Gila!
Aku nggak pernah menduga bocah rese itu bakal bilang hal begini. Jiya bahkan buat alasan kalau kita berdua udah berhubungan suami istri semalam.
Huwa, rasanya harga diriku sebagai cowok langsung anjlok-seanjloknya. Nggak puaskah dia, buat burungku hampir kritis? Untung aja, cuma jalanku aja yang ngangkang mirip bocah abis sunat.
Coba aja kalo semalam telorku pecah, mungkin aku udah tinggal nama aja pagi ini.
Daddy sama Momi yang masih mencerna perkataan Jiya, seketika melirik ke arahku seolah berkata. "Itu beneran, Fer?"
Tapi tak kugubris. Malah, aku memilih buang muka. Jujur, ini pertama kalinya aku malu banget setelah hidup selama 29 tahun sebagai seorang pria.
Sedangkan Jiya, si bocah rese itu malah tersenyum lebar sambil ngelirik ke arahku. Seolah-olah, posisinya udah ada di atas angin dan menang.
Awas aja nanti, aku pasti bakal balas balik perbuatannya kali ini. Tunggu aja, tanggal mainnya. Batinku.
"Kalau bener juga nggak masalah sih Fer, cuma kamu jangan brutal gitu sampai nggak bisa jalan. Kan kasihan kamunya. Untung aja yang Mom, mantu kita kuat. Jadi cuma Ferdi yang tersiksa."
Aku hanya bisa mengembuskan napas berat mendengarnya. Merasa terguncang sekali hari ini.
"Ferdi no komen ajalah." Aku berujar sambil berbalik ingin kembali menuju kamar.
Namun, suara si parasit itu tiba-tiba menganggu indera pendengaranku. Asli, kupikir Om Lukman sudah pergi gara-gara omonganku semalam.
Tapi setelah melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul di ruang makan membuatku seketika mengurutkan niat untuk kembali ke kamar.
Hanya saja, aku hanya diam saja saat melihatnya duduk di meja seberangku. Momi, Daddy dan Jiya juga sama. Suara mereka seolah lenyap entah kemana.
Membuat suasana sarapan pagi itu benar-benar hening. Dan hanya dihiasi oleh alunan suara dari sendok dan garpu yang saling beradu dipakai pemiliknya masing-masing.
Sekitar pukul dua siang, Momi tiba-tiba menyuruh Jiya untuk pergi mengambilkan paketnya di kantor pos. Kebetulan, hari ini Momi dan Daddy ada urusan mendadak jadi keduanya menyuruh orang lain untuk mengambilkan paketnya.
Yang lebih mengejutkan, Momi meminta Om Lukman untuk menemani Jiya pergi. Tanpa berbicara dulu padaku.
Mungkin, jika aku tidak bertanya pada pak Tarno perihal kemana semua perginya orang-orang di rumah ini. Aku tidak akan tahu jika Om Lukman dan Jiya sedang pergi keluar bersama.
Ah, bisa-bisanya Momi percaya sama si buaya buntung itu. Sudah tahu Om Lukman itu mata keranjang. Kenapa masih saja ngasih kesempatan buatnya pergi berdua sama Jiya? Benar-benar deh, nggak bisa dibiarkan.
"Pak Tarno, bapak tahu paket Ibu dititipin di mana?" tanyaku setelah mengambil sepeda lipat di garasi, berniat untuk pergi mencari Jiya dan Om Lukman.
"Kalau nggak salah, biasanya Ibu nitip ke toko tenggong, nggak jauh dari Pasar Hewan, Den!" jelas Pak Tarno yang hanya kubalas dengan anggukan.
Segera setelah itu, aku bergegas mengayuh sepeda lipat ini menuju alamat yang Pak Tarno beritahu tadi. Meskipun burungku masih cukup sakit, tapi aku tak memedulikan. Karena dipikiranku saat ini adalah apa keadaan Jiya masih baik-baik saja?
Sudah begitu, ponselnya tak bisa dihubungi. Hal itu semakin membuatku kalut bukan main. Pokoknya, aku harus sampai secepatnya di sana.
Entah ini keberuntungan atau bukan. Mataku tak sengaja melihat mobil sedan Om Lukman setelah mengayuh sepeda lipat ini beberapa meter. Hanya saja, sedan hitam itu tak berhenti di toko yang Pak Tarno maksud. Malahan, mobil sedan Om Lukman seperti berhenti di dekat jalanan gang sepi yang aku tahu dari Aaron, kalau gang itu jalan buntu sewaktu kami masih sekolah dulu.
Jangan-jangan Jiya?!
Segera aku melompat turun dari atas sepeda lipat ini. Lalu berlari dengan terburu-buru menuju gang sempit itu.
Seketika pemandangan mataku disuguhkan dengan jalanan yang begitu sempit dan kotor. Banyak sekali, tong-tong penampung sampah yang diletakkan secara sembarang di sana. Namun, bukan itu yang menarik atensiku lebih.
Tapi, pada dua orang sosok yang tengah berhimpitan di pojok. Dari jauh aku masih berusaha memastikan jika itu bukanlah Jiya. Akan tetapi, suara teriakan dan tangisan meminta tolongnya semakin membuatku yakin jika itu benar-benar dirinya.
Aku tak menyangka, si parasit itu akan melakukan hal ini pada istri keponakannya sendiri. Sungguh, ini benar-benar tak bisa aku biarkan.
Saat bibir kotor itu hampir menyentuh tubuh berharga Jiya. Aku segera menonjok wajahnya dari samping. Membuat Om Lukman seketika kehilangan keseimbangan dan hampir limbung ke sebelah kiri.
Namun, dia berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya dan balas menyerang diriku balik dengan tinjunya. Tentu saja, karena reflek tubuhku yang bagus, aku bisa langsung menghindar. Membuat Om Lukman mendecih tak suka saat melihatnya.
"Brengsek lo, Fer!" umpatnya kesal.
Yang hanya kubalas dengan kekehan ringan. Lantas menendang tubuhnya seperti saat aku latihan taekwondo dulu.
Bugh!
Tubuh Om Lukman yang tak siap langsung jatuh begitu saja di atas tanah. Kulihat pria itu mengerang sembari memegangi bagian rusuknya yang kutendang tadi. Dan aku, mana peduli. Meskipun kami masih keluarga, tapi berani-beraninya dia mengambil kesempatan dan berniat memperkosa istriku.
Tentu saja, aku tak akan pernah memaafkannya. Walaupun aku tahu, sebagai mantan atlet bela diri tidak boleh menggunakan kemampuan itu untuk melukai orang biasa. Tapi jika sudah menyangkut apa yang aku punya, tentu saja aku tak akan tinggal diam begitu saja. Lagi pula, Om Lukman patas mendapatkannya. Yah, sekali-kali bedebah itu perlu mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Setelah memastikan tak ada tanda-tanda bagi pria sampah itu untuk melawan balik. Aku segera menghampiri Jiya yang sedang menangis ketakutan.
Tubuh bocah itu bergetar hebat, dan bagian atas bajunya sudah rusak karena dirobek paksa oleh Om Lukman tadi saat ingin melakukan niat bejatnya.
"Tenang, ini Om Ferdi Ji! Om udah ada di sini, maaf juga karena lama dateng."
Jiya yang awalnya masih beringsut dan menjaga jarak dariku, seketika mendongakkan wajahnya. Kemudian, bocah itu bergegas menuju ke arahku kembali dengan tangisan yang tumpah ruah. Membuatmu merasakan rasa sesak bercampur takut yang dirinya rasakan juga.
Kuusap puncak kepala Jiya pelan sampai tangisan gadis itu cukup reda. Barulah setelah itu, aku menggendongnya pergi keluar dari gang sempit ini dibagian belakang.
Jiya sendiri hanya diam dengan kepala yang ditelungkupkan diantara bahuku. Kedua tangannya, gadis itu lingkarkan erat di leher ini. Aku tahu dia masih menangis, itu karena aku bisa merasakan tiap tarikan napas gadis itu yang tersendat-sendat, dan juga tetesan air matanya yang makin lama membuat permukaan kaos dibahuku basah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments