Hari ini kulihat cuaca tampak mendung dari balik kaca kantor. Selain itu, satu persatu rintik yang turun mulai berubah menjadi gerimis sebelum akhirnya berubah deras.
Aku yang masih sibuk dengan tumpukan berkas-berkas yang menggunung di atas meja hanya mengembuskan napas pelan. Merasa bosan sekali. Terlebih lagi, hari ini aku lembur sendiri.
Ah, nasib-nasib. Gara-gara kemarin batal melakukan meeting bersama Pak Richard, aku kena getahnya hari ini.
"Permisi Pak," sapa Gisel dari ambang pintu.
Kupikir, dia sudah pulang lebih awal seperti karyawan-karyawan lainnya. Ternyata, gadis itu masih setia menunggui bosnya keluar kantor toh. Benar-benar deh, karyawan teladan.
"Kamu belum pulang, Sel?" tanyaku balik, tak menggubris perkataannya tadi.
Kulihat, Gisel menggelengkan kepalanya pelan seraya menggaruk pangkal hidungnya gelisah. "Belum. Eum, hari ini Pak Ferdi lembur, yah?"
"Iya. Karyawan aja sering lembur masa bos nggak pernah sesekali. Nggak adil dong, namanya."
Gisel tertawa pelan. Setelah itu, dia kembali menatapku malu-malu.
"Apa Pak Ferdi mau saya buatkan kopi, sebelum saya pergi?"
Aku terdiam beberapa saat, memikirkan tawaran Gisel barusan. Selain bisa mencegah rasa kantuk, secangkir kopi juga cocok jadi teman suntuk dan diminum di saat hujan-hujan begini.
Hanya saja, kupikir aku tidak memerlukannya saat ini. Entah sejak kapan, aku mulai membatasi minuman berkafein itu dan juga rokok.
"Tidak usah, nanti kalau saya mau saya bisa buat sendiri kok, Sel."
Aku menolaknya dengan hati-hati, sebisa mungkin tak menyakiti hatinya. Gisel yang mendengar penolakanku tadi hanya mengangguk pelan, lantas pergi setelah berpamitan.
Tak kusangka, lembur hari ini menguras waktu yang sangat banyak. Aku yang mengira jika bisa selesai sebelum tengah malam. Hanya bisa mengusap puncak kepala lesu, saat melirik ke arah jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
Gila, aku lembur apa kerja bagai kuda?
Segera, setelah menandatangani berkas terakhir aku mulai berkemas. Merapikan berkas-berkas yang tercecer di atas meja, kemudian memasukan laptop ke dalam tas kerja.
Saat diperjalanan pulang, jalanan kota cukup lengang. Meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lewat, tapi arusnya tak sepadat saat pagi tiba.
Sepanjang jalan, mataku hanya melihat lampu-lampu yang berjajar sebagai penerangan. Membuatku merasa ingin segera sampai rumah dan bertemu dengan keluarga, terutama si bocah setan itu. Ah, pasti Jiya sudah tidur nyenyak saat ini.
Mana mau dia repot-repot menunggui kepulanganku, sampai nggak sengaja ketiduran di atas sofa, kayak di sinetron ikan terbang. Berasa impossible banget, untuk bocah modelan kayak Jiya.
Akan tetapi, seharian nggak ketemu dan adu bacot sama Jiya. Seketika membuatku merasa ada yang mengganjal dihati. Ibaratnya seperti kopi hitam tanpa gula. Pahit.
"Masa sih, aku kangen sama si bocah setan itu?" monologku sendiri, kemudian lanjut menyetir lagi.
Hampir jam dua dini hari, akhirnya mobilku sampai juga di depan rumah. Cepat-cepat, kusuruh satpam yang berjaga dipos untuk membukakan gerbang.
Nggak tahu apa, kalau aku udah pengin rebahan. Untungnya juga, besok weekend, jadi bisa ngebo sampai siang. Yipiii!
Sayangnya, sewaktu aku mau masukin mobil ke bagasi. Tempatnya udah diisi duluan sama mobil sedan warna hitam. Mau tak mau, aku mengalah dan memarkirkan mobilku di mulut bagasi saja.
"Mobil siapa, Pak?" tanyaku setelah keluar dari dalam mobil.
Kulihat pak Tarno--satpam pribadi keluargaku menggelengkan kepalanya, tanda tak tahu.
"Maaf Den, saya nggak tahu karena kebagian jaga malam. Mungkin, Ujang yang shift pagi sampai sore tahu."
Aku hanya manggut-manggut, menanggapi. Lantas segera pergi untuk masuk ke dalam rumah. Namun, lagi-lagi langkahku kembali terhenti.
Kali ini aku berhenti tepat di ambang pintu masuk, saat mataku tak sengaja melihat sosok yang paling kubenci hadir ditengah-tengah keluarga ini. Terlebih lagi, dia dengan tanpa tahu malu duduk di dekat Jiya sambil sesekali menggodanya tanpa tahu malu.
Aish, benar-benar bikin sakit mata.
"Om Ferdi, kapan Om pulang?" tanya Jiya yang menyadari kehadiranku rupanya.
Kulihat, bocah itu segera beranjak dari tempat duduknya. Kemudian berjalan cukup tergesa ke arahku yang masih berdiri diam di ambang pintu.
Yang langsung membuat semua pasang mata kini tertuju ke arahku. Tak terkecuali, orang itu.
"Hai, Fer. Apa kabar?" sapanya sok peduli. Yang langsung kubalas dengan decihan pelan.
"Kupikir Om Lukman lupa rumah, ternyata masih bisa pulang juga," balasku dingin.
Pamanku itu hanya terkekeh. Kemudian, bersikap seolah-olah omonganku barusan hanya angin lalu. Benar-benar deh, muka tembok.
Momi dan Daddy yang ada di sana juga, hanya bisa diam. Bukan, bukan karena tak perduli. Hanya saja, mereka sudah biasa melihat aku dan Om Lukman yang selalu saja bentrok karena berbeda pendapat sekaligus karakter sedari dulu.
Mau dilerai bagaimana pun juga, aku dan Om Lukman tetap saja bagai air dan minyak. Tak pernah bisa menyatu.
"Ngomong-ngomong, ada angin apa Om Lukman tiba-tiba pulang. Bukan karena butuh uang lagi 'kan, buat main judi sama cewek?" kataku spontan yang langsung dibetak oleh Daddy.
"Ferdi, sejak kapan, kamu kurang ajar begini? Lagi pula, dia juga Om kamu, sopanlah sedikit."
Kutatap mata Daddy tak acuh sesaat, sebelum mengalihkan pandangan ke arah Om Lukman yang kini sedang menyesap kopinya itu. Sungguh, tak tahu malu.
"Hhh, sopan? Buat apa, Ferdi bersikap santun sama orang modelan kayak dia. Om Lukman aja nggak pernah tuh, ngehargai Kakek dan Daddy sebagai keluarga. Yang ada dia malah nyusahin kalian dan terus-terusan jadi beban. Jadi apa masih pantes, buat Ferdi sopan sama dia?" kataku terus terang, membuat Daddy kehilangan kata-kata untuk membalasnya.
Karena merasa muak dengan atmosfer ditempat itu. Akhirnya kuputuskan untuk segera melangkah pergi menuju kamar di lantai dua. Tentunya, dengan menyeret pergelangan tangan milik Jiya untuk ikutan juga meninggalkan tempat itu.
Jiya sendiri tak melayangkan protes. Bocah itu mengekor saja, meskipun dengan raut wajah dipenuhi dengan kebingungan.
Sesampainya di kamar, aku langsung menjatuhkan bokongku di atas ranjang. Kemudian, mengendurkan ikatan dasi yang terasa begitu melilit leher dengan tangan kanan.
Aku bahkan tak memedulikan tatapan penuh rasa ingin tahu Jiya sedari tadi. Sampai tak sadar, saat kepala bocah rese itu tiba-tiba muncul dari bawah lantai, melihat ke arah mukaku yang sedang menunduk karena banyak pikiran.
"Jangan ngajak berantem dulu, aku lagi nggak mood." Aku berujar seraya memalingkan muka ke arah lain. Buru-buru memutus pandangan mata kami yang sempat bertemu tadi.
"Lah, Jiya juga nggak niat ngajak berantem tuh!" balasnya ngegas. Membuatku menolehkan kepala kembali, untuk melihat ke arahnya.
"Terus?"
"Jiya kangen sama Om Ferdi, puas?" katanya cepat, yang membuatku langsung mematung seketika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Mbak anee
😅😅😅
2024-07-31
0
Gagas Permadi
udah mulai kangen tuh bocil🤣🤣🤣
2024-01-06
1
Lilisdayanti
😱😱😱🫣🫣🫣
2023-11-26
3