Setelah nunggu Jiya ganti celana kurang lebih lima menitan. Kita berdua akhirnya sepakat buat makan malam di angkringan aja.
Lagian juga, warung angkringan sama rumahku nggak jauh. Paling, hanya berjarak beberapa meter. Jadi, kalau pergi jalan kaki nggak terlalu jauh.
Tentunya, dengan perjanjian yang Jiya pinta sebelum pergi. Yakni, digendong. Hadeh, istriku ini emang ada-ada aja maunya.
Awalnya sih, biasa-biasa aja. Tapi, makin lama jalan dan makin dilihat banyak orang. Aku mulai merasa nggak enak. Apalagi pas ditatap tajam begitu, rasa-rasanya kayak aku udah jadi seorang kriminal kelas tinggi aja.
"Entar sampe belokan depan, kamu turun yah," bisikku pelan.
Jiya cuma manggut-manggut aja. Sepertinya sibuk dengan dunianya sendiri. Benar-benar deh, bocah satu ini.
"Om, nanti Jiya mau makan banyak, oke!" kata Jiya sesaat setelah dia turun.
"Yah, asal kamu nggak buat kantong tekor aja."
"Dih!" balas Jiya sambil ngedecih. Udah gitu, dia ngelirik tajam banget ke arahku.
"Ngapain punya suami kaya nggak diporotin. Rugi, dong!" lanjutnya dengan bibir dipoutkan, bikin gemes.
"Serah dah, asal nggak lebih dari seratus ribu."
Jiya melotot lagi, "Pelit!"
Reaksiku hanya mengangangkat bahu cuek aja. Terus jalan lagi, sambil ngadep ke depan. Eum, bentar lagi sampai tapi ...
"Jiya!" teriak seseorang yang langsung membuat kepalaku dan Jiya menoleh kompak ke belakang.
Kulihat, diujung jalan raya ada dua orang gadis yang tengah tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah kami.
Mereka berdua masih mengenakan seragam sekolah lengkap dan sepertinya sangat mengenali sosok bocah disampingku.
Lalu, Jiya?
Bukannya balas melambaikan tangan, dia malah sibuk menutupi wajahnya sendiri dan bereaksi panik bukan main.
"Mampus!" umpatnya lirih yang masih bisa kudengar.
"Om, gimana nih! Aku nggak mau ketahuan kalau udah nikah."
Ngakak dosa nggak, sih? Tampangnya Jiya beneran deh, buat humorku jatuh seketika.
"Ya udah, tinggal jujur aja. Apa susahnya, sih?" balasku enteng.
Jiya menggeleng cepat. "Kan Jiya nggak mau ketahuan, Om kok malah nyaranin buat ngasih tahu!"
"Biar kamu nggak bohong."
"Heh, ini tuh-aduuh mereka udah dekat banget!" kata Jiya makin nggak karuan.
Benar aja, nggak berselang lama setelah itu. Dua anak berseragam tadi sekarang udah ada di depanku sama Jiya.
Keduanya langsung meluk tubuh Jiya mendadak. Terus, menyeretnya sedikit menjauh dari tempatku berdiri.
Entahlah, hal apa yang sedang mereka bicarakan. Yang pasti, salah satu topiknya pasti aku. Hal itu bisa kutebak dari raut wajah malu-malu yang kulihat dari kedua temannya Jiya itu.
"Kalian abis ngomongin apa, bisik-bisik gitu?" tanyaku sok penasaran, sewaktu Jiya dan kedua temannya sedang berjalan mendekat.
"Kepo! Ini tuh urusan cewek, jadi RHS!" balas Jiya menyebalkan seperti biasa.
"A-anu .... Om, namanya Om Ferdi, yah?" ujar salah seorang teman Jiya, yang melihatku dengan tatapan malu-malu.
"Iya, kenapa Dek?"
Bukannya menjawab, temannya Jiya itu malah makin nundukin kepalanya ke bawah.
"Nggak papa. Oh iya, kenalin namaku Sekar."
Eh! Kok tiba-tiba, ngajak kenalan?
Kulihat, si Sekar ngulurin tangan kanannya buat kenalan. Yang langsung dengan cepat di balas sama Jiya buat salaman.
"Jiya!" balas Jiya, sambil ketawa.
Aku yang sempat mematung gara-gara melihat tingkah ketiga bocah itu cuma bisa menggaruk tengkuk kepala akhirnya.
"Ngomong-ngomong, kalian udah makan? Kalau belum sekalian aja makan bareng Jiya sama saya."
"Boleh!" teriak keduanya antusias.
Kami makan dengan lahap di warung angkringan. Ralat, Jiya sendiri sebenarnya. Alih-alih memilih mengambil makanan sedikit seperti kedua temannya, Jiya benar-benar nggak jaim sama sekali.
Mungkin, hampir semua persatean ditempat itu Jiya comot ke piring. Belum lagi, mendoan dan tiga bungkus nasi kucing yang sudah habis sejak tadi. Jiya bahkan masih mencoba memasukkan makanan lain ke dalam mulutnya. Rakus.
"Pelan-pelan, nanti keselek loh." Aku berujar yang sepertinya nggak Jiya gubris.
Buktinya, istri kecilku itu masih saja melahap semua makanan yang tersedia tanpa tahu malu.
"Arghhh!" Suara sendawa Jiya setelah menelan semuanya.
"Yang sopan, kamu itu anak cewek." Lagi, aku kembali berkoar.
"Abis ini enak banget, jadi Jiya khilaf hehe..."
Bisa-bisanya, bocah itu masih bisa ketawa setelah makan semuanya. Jangan bilang urat malunya udah putus?
"Om Ferdi, kalau boleh tahu Om itu masih saudara jauh Jiya atau siapanya, yah? Soalnya, selama ini Jiya nggak pernah tuh cerita ke kita, kalau dia punya Om yang tinggal jauh."
Bak tersengat arus listrik. Tanganku yang sedang memegang sendok dan garpu langsung menggantung di udara.
"Eum, menurut kalian?" tanyaku balik.
Untungnya masih bisa menjawab dengan tenang. Coba aja kalau buru-buru tadi, mungkin bakal kelihatan mencurigakan.
"Kenapa lo berdua tiba-tiba kepo sama privasi gue?" tanya Jiya kepada kedua temannya.
"Katanya, si Sekar naksir sama Om lo, jadi dia mau mastiin aja!"
"Nadin!!" pekik Sekar malu-malu, sambil melirik sekilas ke arahku.
"Oh gitu, kenapa nggak bilang aja dari tadi. Pasti udah gue kasih nomor WA-nya. "
Mataku melotot tanpa sadar, kaget dengan reaksi Jiya yang diluar ekspektasiku sebelumnya. Harusnya kan, dia cemburu bukannya malah makin ngomporin perasaan orang, hadeh.
"Se-serius, Ji?" tanya Sekar.
Kali ini bocah itu terang-terangan melihat ke arahku yang sedang mengunyah gorengan. Entah sejak kapan, raut wajah malu-malunya itu hilang.
Haish, apa anak-anak zaman sekarang seberani ini? Perasaan zamanku dulu masih jaim-jaim gitu.
Kulihat kepala Jiya mengangguk mantap. "Yoi, dong! Tapi inget, lo harus kasih gue contekan buat PR kimia sampai lulus, titik."
"Uhukkk!" batukku.
Tatkala mendengar perkataan Jiya barusan. Enak banget dia, barterin nomor WhatsApp ku buat tugas kimianya. Udah gitu, sampai lulus lagi.
Jujur, ingin sekali diri ini berkata kasar. Tapi, mau bagaimana mana lagi. Punya istri seperti Jiya, benar-benar menguras stok sabarku lama-lama.
Akhirnya, kuputuskan untuk segera meninggalkan warung angkringan itu. Bisa-bisa stres kalau kelamaan di sana.
Jiya, yang melihatku beranjak pergi, mulai mengekor seperti anak ayam. Kudengar dia sempat berpamitan dulu kepada teman-temannya sebelum berlari kecil menghampiri diriku yang sudah berjalan beberapa langkah di depan.
"Om, katanya mau beliin Jiya boba. Kok malah pulang duluan?" tanyanya seraya menarik-narik ujung kaosku dari belakang.
Aku cuma diam, malas menanggapi. Tetap berjalan lurus tanpa menggubris perkataannya tadi.
"Om, Ferdi!" teriaknya.
"Kan udah janji beliin boba, ih!" lanjutnya lagi.
Berhasil membuat langkahku terhenti. Dengan malas, kubalikkan tubuhku menghadap Jiya yang sedang berjongkok seperti anak hilang di tengah jalan gang.
"Nggak jadi, kamu nyebelin soalnya!" balasku cuek. Jiya melongo ditempat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Gagas Permadi
itulah senengnya klo punya suami usianya jauh diatas kita🤣🤣🤣🤣
2024-01-06
2
Lilisdayanti
🤦🤦🤦
2023-11-26
3
evita vita
suka😂😂
2023-02-23
3