"Pagi Pak Ferdi."
"Pagi Pak CEO ganteng."
"Pagi Pak Bos!"
"Pagi Pak!"
"Woy Ferdi! Tumben baru berangkat, ngapain aja lo di rumah tadi?" pekik Aron sebelum aku menaiki lift menuju ruanganku.
Mungkin sudah jadi makanan sehari-hari, aku yang bos ini diteriaki tanpa sopan santun oleh sahabatku sendiri.
"Sopan banget kamu, udah bosen kerja sama saya?"
Deg!
Hanya dalam sepersekian detik saja, muka songong Aron berubah ketakutan. Pria berkumis tipis dengan kemeja maroon itu segera melangkah tergesa ke arahku seraya tercengir lebar seperti kebiasaan sewaktu sekolah dulu.
"Ah, lo mah nggak asyik sama temen sendiri. Gue kan cuma bercanda tadi," elaknya.
Kusunggingkan sebuah senyum manis berseri ala-ala iklan pasta gigi.
"Oh, becanda? Oke, sebagai ganti bonus lembur Minggu ini saya potong."
Aron melotot. Kelihatan ingin mengajukan protes namun aku sudah lebih dulu menaiki lift menuju ruanganku dengan tampang arogan.
Jangankan untuk memanggil, menatap diriku saja dia tak berani. Samar-samar, sebelum pintu lift tertutup aku bisa mendengar rutukannya padaku.
"Sial! Apes banget gue hari ini. Duh, kagak jadi shoppingkan, weekend nanti."
Ya, sekiranya begitulah ocehan Aron, yang masih kudengar.
Tring ...
Lift terbuka, dan hal pertama yang mataku lihat adalah Gisel si sekertaris aduhai. Apalagi kalo lihat senyumannya, beuh berasa lihat kembang gula.
Cuma, ada yang janggal. Aku selalu lihat Gisel pakai baju kurang bahan. Entah, gajinya yang gede masih kurang atau emang dia yang sibuk sampai nggak ada waktu untuk belanja? Tapi opsi kedua lebih meyakinkan sih.
Tepat saat kakiku melangkah mendekati pintu ruanganku. Suara serak Gisel terdengar, seperti biasa memberi sapaan dan tawaran untuk dibuatkan segelas kopi hitam.
"Selamat pagi Pak Ferdi, apa Anda mau saya buatkan kopi?"
"Tidak usah, tapi saya perlu camilan nanti. Tolong sebelum masuk jam makan siang kamu kirimkan beberapa camilan ke ruangan saya yah," jawabku tanpa melirik ke arahnya.
Ya, walaupun Gisel begitu cantik tapi hal itu tak menarik minatku sama sekali. Bagiku dia tetap sama seperti anak buahku yang lain.
"Baik, Pak."
Kudengar nada suaranya sedikit bergetar tidak seperti sapaannya tadi. Sesaat aku sempat berpikir jika sekertarisku itu kurang sehat, namun segera kutepis dengan melangkah menuju ruang kerja. Tentunya meninggalkan Gisel seorang diri di depan ruangan kembali.
***
Ini hampir jam makan siang tapi belum juga kudapati Gisel di dalam ruangan. Jujur ingin rasanya aku segera memanggil sekertarisku itu, tapi notif dari smartphone di atas meja lebih menarik minat.
Tertera nama Momi menggantung dijendela layar depan. Tumben sekali dijam-jam begini. Aku jadi mencium bau-bau tidak beres di sini.
'Dear Ferdiku yang manis. Maaf yah, hari ini Momi dan Daddy ada acara keluarga mendadak. Jadi, kamu jangan lupa buat jemput Jiya di sekolah yah, nanti sore. Oh iya, Momi lupa memberitahu, mulai hari ini sampai tiga hari kedepan pembantu cuti jadi kamu siap-siap ngurus Jiya sendiri.'
What the pack?!
Ngurus Jiya?
Momi beneran pengin Ferdi cepat mati?!
As....taghfirullah!!!
Detik itu juga, rasanya mood-ku anjlok-seanjloknya. Bahkan, pikirkanku sudah tak lagi fokus pada tumpukan berkas-berkas yang menganggur minta ditandatangani.
Ibaratnya, nama Jiya itu sakral buat kesehatan mentalku.
"Ferdi salah apa sih, Mom? Sampai dikasih ujian buat ngurus bocah tengik itu? Rasanya ngenes banget sumpah," monologku sendu.
Entah sejak kapan aku yang biasanya cuek sama semua orang mendadak jadi sad boy setelah kenal Jiya.
Mungkin emang seharusnya aku nggak nikah sama dia. Fiks, hidupku lebih ceria. Tapi ...
'Si Bocah Lucnut!'
Astaga cobaan apalagi ini?
'Halo?'
'Om Ferdi, nanti nggak usah jemput Jiya. Pokoknya N-G-G-A-K U-S-A-H!!!'
Alisku menaut mendengar ocehan bocah itu lewat telepon. Mungkin, kalau Jiya ada di depanku ekspresi wajahnya sudah berapi-api ingin makan daging manusia.
Eh, tapi kenapa kita sepemikiran? Aku juga nggak mau jemput dia tuh wkwkwk...
'Awas aja kalo nanti dateng! Jiya doain bolak-balik ke WC semalam suntuk!'
Ngeri banget nih bocah, doanya jelek-jelek mulu. Kayaknya emang Jiya punya dendam pribadi deh, sama aku.
'Sopir sama pembantu lagi pada cuti, kamu mau pulang jalan kaki?' jawabku kemudian.
Sejenak kudengar suara ditelepon lengang. Entah, Jiya yang nekat menelepon diriku saat masih jam pelajaran atau memang dia sedang berpikir di seberang sana.
'Ji...," panggilku tapi belum ada sahutan.
Sebaliknya malah sebuah suara deep ala-ala remaja baru gede yang kudengar.
'Kita jadi nongkrongkan nanti? Ditempat biasa ya, dekat jembatan rel kereta yang nggak ada palang pintunya. Btw, lo gue bonceng yah, Ji.'
'Oh iya, jangan lupa kumpulin uang sepuluh ribu per anak. Hari ini lawan kita anak SMA sebelah.'
Apa?
Apa tadi? Kupingku nggak salah dengarkan soal rencana mereka?
Ah, sial! Niat mau nongkrong di depan laptop sambil ngerjain berkas sirna. Secepat kilat diriku langsung bangkit dari singgasana kemudian berjalan tergesa meninggalkan ruang kerja.
Tak sengaja di koridor aku berpapasan dengan Gisel yang membawa beberapa toples camilan hendak ke ruanganku. Terlihat sekali raut kaget menghiasi wajahnya. Namun, aku hanya melihatnya sekilas dan tak menggubris panggilannya barusan.
Beberapa menit kemudian, aku sudah sampai di depan sekolah Jiya. Tepatnya, di depan sebuah bangunan bercat krem keputihan dengan tulisan SMA Garuda di gerbang depan.
Sengaja kuparkir mobilku ini lumayan jauh dari sekolah. Lantas, agar tak kelihatan pekerja kantoran. Aku mengganti setelan jasku dengan jaket hoddie berwarna hitam dan celana bahan.
Sekitar sepuluh menit lebih aku menunggu di dalam mobil, akhirnya aku mendengar bel pulang sekolah dibunyikan. Lalu tak berselang lama setelahnya, kulihat Jiya berjalan keluar.
Secepatnya aku menghampiri bocah itu. Menarik tangannya secara paksa lantas mengurung tubuhnya ke dekat dinding samping sekolah. Yakni kesebuah gang sempit yang tampaknya jarang dilalui anak-anak.
"Mmmm... lo siapa Anjink! Lo mau perkosa gue? Tol-Om Ferdi?!" teriak Jiya kaget saat mendapati wajahku di depan wajahnya.
"Kok Om bisa di sini? Bukannya Jiya udah larang Om lewat telepon tadi?" katanya lagi. Aku segera menjitak ujung jidatnya membuat bocah tengik itu mengaduh.
"Ish, sakit tahu!" ringis Jiya sambil mengusap-usap bekas sentilan tanganku dijidatnya.
"Lagian itu mulut kotor banget jadi gemes pengin bersihin. Siapa sih yang ngajarin?"
"Dih, suka-sukalah. Mulut-mulut Jiya, jadi terserah Jiya mau ngomong apa!" kata Jiya malah makin ngegas.
"Eh, nyolot! Udah berani kamu sama orang tua?"
Bukannya minta maaf, Jiya malah memelototiku tak suka.
"Lagian Om Ferdi ngeselin, Papih aja nggak pernah tuh larang-larang Jiya!"
Pletak!
"Ish, kok dijitak lagi sih Om!"
"Kamu lupa status Om sama kamu apa? Udah jadi tanggung jawab Omkan sekarang, buat ngelarang dan nasehati kamu kalo nggak bener?"
"Ya iya, tapikan ..."
"Nggak ada tapi-tapian sekarang cepet masuk mobil. Kita pulang!" ucapku final Jiya masih mau mengelak.
"Yah, Om Jiya udah ada janji buat..."
"Tawuran?" serobotku cepat, gadis itu mendelik. "Berani kamu ikut hal-hal begitu, siap-siap aja nanti malem aku serang."
Glek!
Kudengar suara saliva Jiya yang ditelan berat. Efek karena ancamanku barusan.
"Oke, Jiya ikut pulang," ucap bocah itu pasrah, aku terkikik didalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Nurhayati Nia
nah lhooo knp di emm jiyaa takut ya di serang sama c omm ya😅😅
2023-11-30
1
Lilisdayanti
aqu mampir,,tapi maaf ini novel,atau lagi dengerin orang cerita 🤭🤭ko aqu kaya lagi dengerin si Ferdi cerita yah 🤔
2023-11-25
5
Sri Darmayanti
Hi Hi.... lanjut
2023-11-16
2