Tak terasa acara ijab qobul pun dimulai. Pak penghulu didepanku pun mulai menyiapkan semua berkas-berkas yang perlu ditandatangani.
"Nak Ferdi, Bapak mulai akadnya yah?" tanyanya sembari tersenyum.
Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Bismillahirrahmanirrahim, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Ferdian Juli bin Juliyanto dengan anak saya yang bernama Jiyaning Admaja binti Abdul Jaya dengan maskawinya berupa satu unit mobil Lamborghini Aventador, seratus batang emas serta satu penthause dan seperangkat alat sholat tunai," ucap bapak penghulu panjang lebar sembari menarik tanganku.
Menggenggamnya erat seperti mengkode agar aku siap menjawab akadnya dengan ijab.
"Saya terima nikah dan kawinnya Jiyaning Admaja bin-hachuuu ..."
"Ferdi!" teriak semua orang kompak.
Oh, ****! Cobaan apalagi ini ya, Rab? batinku mengaduh.
Menatap semua orang kikuk layaknya seorang pelaku kejahatan yang tertangkap basah dipublik.
Kebiasaan burukku memang kalau merasa nervous berlebihan pasti suka bersin-bersin sembarangan. Cuma yang buat gedek, saat kudengar tawa mengejek milik Jiya.
Tak tanggung-tanggung, si bocah setan itupun mendekatkan mukanya ketelingaku berbisik. "Dasar Om Bangkotan, ngucap ijab aja remidi! Nggak malu apa sama umur wkwkwk ..." sindirnya yang membuatku dongkol.
Belum tahu saja dia, seorang Ferdian itu siapa?
"Pak!" panggilku pada pak penghulu kemudian.
"Iya, Nak. Ada apa?"
"Saya minta ijab qobulnya diulang, tapi pakai bahasa Inggris!" kataku kalem.
Semua orang terlihat saling pandang, karena terkejut.
"Loh, masih bisa kok pakai bahasa Indonesia kan belum salah tiga kali," ujar pak penghulu menjelaskan.
Kepalaku menggeleng seketika. "Saya maunya bahasa Inggris, Pak. Oh iya, dimulai sekarang aja yah, jangan lama-lama."
Seketika suasana yang tadinya sempat tenang mendadak riuh kembali. Bahkan Daddy dan Pak Jaya kulihat saling berpelukan saking senangnya.
"Duh, Pak, maaf yah kalo Ferdi nggak sabaran. Maklum umurnya udah mateng banget jadi pengin cepat-cepat sah, terus coblos."
Astaghfirullah, Daddy!
"Santai aja Pak, lagian Jiya juga udah bisa dicoblos buahahha ..."
Sakit! Sakit nih orang tua.
"Eh, Jeng, pokoknya abis ini kita harus gencar mantau anak-anak, biar cepet nimang cucu eaks!"
Dan semprulnya lagi, Momi sama Tante Vivi ikut-ikutan menggila. Berbeda dengan reaksiku dan Jiya yang masing-masing langsung buang muka, merasa mual seketika.
Tak berselang lama setelah drama yang buat mual itu. Aku pun melakukan ijab dengan bahasa Inggris. Alhamdulillahnya lancar jaya kayak Jalan Pantura.
"Sah, ya bapak-bapak, ibu-ibu!" ucap pak penghulu.
"Sah!"
"Alhamdulillah, Fer! Akhirnya kamu kawin juga. Pokoknya Momi pengin cepet punya cucu ya, jadi kalian harus rajin!" teriak Momi antusias.
Seketika kubuang mukaku ini. Sungguh rasanya ingin menenggelamkan diri saja di Samudera Pasifik.
Mungkin semua orang terlihat bahagia. Hanya saja, Jiya tanpa kusadari terdiam sedari tadi dengan ekspresi melongo. Terlalu kaget, dengan ijab qobul tadi mungkin. Kontan, itu membuatku ingin menggodanya balik habis-habisan.
"Cieee, yang sampe melongo gitu. Pasti bahasa Inggrisnya remid, nih! Btw, awas loh kemasukan laler ijo!" ejekku balik.
Membuat Jiya mencak-mencak tak jelas ditempatnya duduk.
"Au ah, apes banget hari ini sumpah!" teriaknya kemudian.
Setelah acara ijab qobul yang lumayan berdrama, akhirnya aku dan Jiya disuruh pindah ke tempat duduk ala-ala.
Bisa dibilang, biar kelihatan jadi raja dan ratu sehari gitu. Cuma, entah karena sawan atau emang bawaan dari lahir. Semenjak pindah, Jiya terus-menerus blingsatan kayak cacing kepanasan.
Garuk sana, garuk sini. Mangap. Garuk lagi. Belum lagi, nanti teriak empat oktaf. Aku rasa, pengin nyerah aja jadi suami Jiya.
"Jangan garuk-garuk begitu, mirip monyet tahu. Oh, atau jangan-jangan kamu punya khodam Kingkong?" ujarku sok iye.
Jiya melotot tajam. "Mana ada? Nggak liat apa dandanan cantik Jiya yang Paripurna ini? " sentaknya emosi.
Aku tergelak ditempat. "Cantik? Mirip ondel-ondel di pinggir lampu merah mah, iya!"
"Om!" teriak Jiya yang langsung kubekap mulutnya.
"Jangan teriak-teriak, masih banyak orang!" jelasku berbisik.
Jiya mendengus, kemudian menghentak tanganku dari wajahnya dengan kasar. "Bodo! Lagian kapan sih, acaranya kelar? Jiya laper sama ngantuk banget loh ini! Udah gitu, korsetnya sesak banget Tuhan!"
"Nih, makan."
Kusodorkan sepotong bolu kehadapan bocah itu yang sempat kucomot barusan di meja sebelah.
"Ada racunnya nggak, nih?" tanya Jiya menatapku curiga.
Namun, mulutnya sudah terlebih dahulu kusumpal dengan bolu pandan itu sebelum Jiya banyak berkomentar.
"Udah, makan aja yang banyak. Katanya laper," tukasku meledek.
Dengan mulut penuh, Jiya masih berusaha berbicara. Meskipun mulutnya cuma komat-kamit mirip ikan Koi.
"Iya, iya kamu masih cantik kok!" ledekku, Jiya kini mendelik.
"Aduduh, gemesnya penganten baru bikin iri aja."
Tiba-tiba satu orang yang tak ingin kulihat wajahnya muncul. Meskipun aku sendiri tak bisa memungkiri jika dirinya masih punya ikatan darah dengan Daddy. Tapi, Om Lukman benar-benar punya karakter yang berbeda.
Dia licik sekaligus munafik. Manis berucap, namun tak pernah benar dalam bertindak. Selain itu, mungkin dia anak kakek yang sukanya membuang-buang uang tanpa tahu malu. Sebut saja, beban sesungguhnya dalam keluarga.
"Eh, Om Lukman. Kapan balik Om, kok Ferdi nggak lihat yah dari tadi?" ucapku berbasa-basi.
Om Lukman hanya membalas ucapanku dengan senyuman. Seperti tak tertarik menanggapi. Buktinya, kini pria yang terpaut hanya setahun denganku itu malah berjalan ke arah Jiya, yang notabene baru pertama kali bertemu.
Kita lihat saja, mau berulah apa dia?
"Hai!" sapa Om Lukman lembut yang membuatku ingin muntah.
Fyi, selain manis berucap dia juga mata keranjang.
"Boleh kenalan?" tanyanya lagi, tapi tak digubris Jiya sepertinya.
Itu terlihat dari pandangan mata Jiya yang tak pernah lepas dari wajahku meski kita sering adu bacot.
"Om Ferdi!"
Nahkan, percuma banget mau goda anak modelan Jiya. Habis dia itu punya selera yang unik dan pasti nggak bakalan minat sama tampang modelan kayak Om Lukman.
"Apa?" sahutku cuek.
Tiba-tiba kepala Jiya mendekat lantas bocah itu berbisik pelan, "Siapa? Ganteng banget ya Allah, kenalin dong!"
Uhukkk!
Telingaku nggak salah dengarkan? Tenggorokanku juga, kenapa pula ikut-ikutan tersedak ludah sendiri.
Nggak mungkinkan, benih-benih cemburu?
"Orang nggak penting! Oh iya, kayaknya matamu perlu diperiksa deh, siapa tahu katarak!" ucapku kemudian membuat Jiya mendengus sebal lagi dan lagi.
"Ih, pelit banget sih. Lagian kapan lagi, ditanya nama sama Cogan? Udah gitu, Om itu mirip Taehyung BTS!"
Taehyung matamu!
Dia mah parasit!
Astaghfirullah, nyebut Fer! Nyebut.
"Fiks, kayaknya abis ini kita perlu ke dokter mata deh," balasku.
Jiya merenggut. Dihentakkan kakinya cukup keras ke atas lantai hingga membuat beberapa orang melirik ke arah kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Mbak anee
ngakak thor
2024-07-30
0
Norah Haderan
sakit perutku/Facepalm/
2024-02-15
1
Gagas Permadi
emngnya umur mereka beda berapa tahun kok lucu bgt sih ceritanya,🤭🤭🤭
2024-01-06
1