"Fer, sejak kapan lo punya anak?!"
Eh! Kenapa tiba-tiba situasinya begini? Sudah begitu, semua orang kini memandang ke arahku syok banget. Dan Aaron, bisa-bisanya dia asal nyeplos begitu.
"P-Pak Ferdi, beneran udah punya anak?" Tiba-tiba Maya yang jarang banget nimbrung ikutan nyeletuk.
Dengan wajah terkejutnya, janda dua anak itu berjalan ke arahku cukup linglung. "Padahal saya niatnya mau ngedeketin bapak loh, kalau nggak dapet malah mau saya comblangin bapak sama Bu Gisel."
Semua orang ikut terkejut juga termasuk aku setelah mendengar pengakuan Maya yang mendadak begini. Benar-benar deh, pemikiran karyawanku out of the box sekali.
"Saya belum punya anak kok," jawabku kalem.
Kulihat raut sendu diwajah Maya seketika lenyap entah kemana.
"Wah, berarti saya masih ada kesempatan dong, Pak? Saya siap kok jadi Bu Ferdi heheh.. "
"May!" teriak karyawan yang lain.
Yang tak Maya gubris. Janda dua anak itu masih saja cari muka kepadaku sambil sesekali mengerling genit.
Aku yang merasa situasinya makin lama semakin aneh. Memilih untuk pergi meninggalkan koridor. Lagi pula sebentar lagi sudah masuk jam kerja. Sekalian saja, aku menyiapkan keperluan rapat di ruangan ku.
Lima menit lagi, aku berencana meninggalkan ruangan untuk rapat. Tapi, tiba-tiba sosok Gisel si sekertaris aduhai mengetuk pintu ruanganku pelan.
Karena masih ada waktu beberapa menit, kupersilakan Gisel untuk masuk akhirnya. Hanya saja, sedari tadi gadis itu terus-menerus menundukkan kepalanya seperti orang yang tengah dilanda masalah.
"Kamu baik-baik saja, kan Gisel?" tanyaku membuka percakapan.
Kulihat wajah Gisel perlahan-lahan terangkat untuk melihat ke arahku. Namun, gadis itu masih saja bungkam.
"Kalau kamu takut mau minta izin karena nggak enak badan. Saya nggak bakal ngelarang kok, lagian kesehatan itu prioritaskan?" jelasku.
Pelan-pelan kepala Gisel mengangguk.
"Apa ada hal lain lagi? Jika tidak, saya mau pergi ke ruang rapat."
Karena tak mendapat jawaban, akupun memutuskan untuk meninggalkan Gisel yang masih diam tertunduk di dalam ruanganku.
Beruntungnya, rapat sekaligus meeting dengan klien berlangsung dengan lancar. Yang lebih menggembirakan, perusahaanku bisa menjalin hubungan kerja sama.
Selesai rapat, aku bergegas menuju ruanganku. Ingin cepat-cepat melihat ponselku, siapa tahu ada notifikasi dari si bocah rese itu.
Apalagi, kondisinya sekarang aku sedang merangkap menjadi; ayah, ibu, suami, kakak, teman dan om. Hadeh, berkat ide Momi hidupku makin nggak karuan aja rasanya.
Saat kubuka kunci layar tak ada notifikasi apapun di sana. Hanya ada beberapa pesan penting dari rekan kerja dan informasi google.
Lantas, Jiya?
Kenapa bocah setan itu tak memberi kabar apapun? Jika diingat-ingat, seharusnya dia sudah pulang sekarang. Aku bahkan menyuruh Pak Burhan yang sedang cuti untuk pergi menjemputnya pulang sekolah.
Huft, sebenarnya apa sih mau dia?
"Pak Ferdi!" panggil Gisel yang tiba-tiba sudah muncul di depan meja kerjaku.
"Maaf jika saya membuat bapak kaget, tapi Aaron tadi menitipkan ini ke saya. Katanya, bapak yang minta." Gisel berkata sembari meletakkan dua buah buku berjudul 'Cara Mendidik Anak Nakal' di atas meja kerjaku.
"Eum, kalau boleh tahu, untuk apa yah, bapak meminta buku ini?" ujar Gisel lagi, seraya menatapku penuh minat.
"Koleksi."
Wajah Gisel yang semula menatapku penuh rasa keingintahuannya kini berubah syok. Mungkin, gadis itu tak berpikir aku akan menjawab sampai ke sana.
"Bapak serius sudah punya anak?!" pekiknya kaget, yang langsung dibungkam secepat kilat olehnya sendiri.
Tertawa pelan, aku menjawab."Memangnya harus punya anak dulu, baru boleh beli buku itu?"
"Berarti bapak belum punya anak?"
"Gisel, sopankah bertanya hal begitu?" tanyaku balik, yang kontan membuat Gisel kehilangan kata-kata.
"Maaf Pak, lain kali saya tidak akan bersikap seperti ini lagi."
"Kalau begitu kembali ke meja kerjamu sana. Ingat kata Benjamin Franklin, time is money."
Kulihat kepala Gisel mengangguk mantap. "Siap, Pak!"
Sepeninggalnya sekertarisku itu, aku segera meraih buku yang sudah begitu kutunggu.
"Oke Fer, mari kita mulai cara mendidiknya!" monologku sendiri.
***
Tak seperti yang kuharap, karena hari ini aku pulang lebih lambat dari pada biasanya. Jujur saja, perasanku sedari tadi tak begitu enak. Terlebih lagi, meninggalkan Jiya dan rumahku yang kini kosong tanpa pelayan. Seperti ada perasaan was-was yang seketika menyelinap keluar, kendati mengingat tingkah laku Jiya yang kadang-kadang diluar nalar.
Hm, semoga saja bocah setan itu tak membuat ulah.
Namun, semuanya sirna saat mobilku baru saja terparkir di teras depan. Tiba-tiba saja, kudengar suara jeritan melengking Jiya dari dalam rumah.
Haish, buat perkara apalagi dia, sih?
"Ada apa? Kenapa teriak-teriak begitu?" tanyaku yang ikut panik juga.
Saking paniknya, aku bahkan lupa menutup pintu gerbang dan langsung saja berlari masuk ke dalam rumah.
"Pancinya, Om!" teriak Jiya.
Alisku menaut, masih berusaha mencerna situasi dan apa yang ingin bocah itu sampaikan.
"Pancinya? Kenapa sama pancinya?" ulangku, malah balas bertanya.
"Pancinya bolong! Haduh, mampus nih Jiya kalau ketahuan Momi. Gimana nih, Om. Jiya takut banget dimarahin gara-gara ngerusak perabot," terang Jiya sambil gigit jari.
Siapa yang nggak takut sama Momi coba. Orang Daddy yang udah jadi suaminya dan hidup bertahun-tahun aja langsung kicep.
Apalagi Jiya? Dia pasti ngerasa udah diujung tanduk sekarang. Belum juga ada seminggu jadi menantu udah ngerusak barang kesayangan mertua. Jujur, mau kasihan tapi si bocah setan ini ngeselin juga kadang-kadang.
Apa jangan-jangan ini karma? Ketawain dulu ah dalam hati wkwkkw...
"Om Ferdi, ihhh!" sentak Jiya sebal.
"Apa, sih? Lagian nasi udah jadi bubur. Mau diubah ke bentukan beras juga nggak bakal bisa."
"Dih, sok filosofis banget. Bantuin napa! Atau Jiya ngungsi aja yah, ke rumah Papi?" ujar Jiya yang membuatku langsung melotot.
Pasalnya, kalau dia tiba-tiba pulang sendiri ke rumahnya nanti bisa dikira ada masalah apa-apa. Sudah begitu, statusnya sekarang kan bukan bocah lagi, tapi istri orang.
Emang, bocah satu ini. Minta dihih!
"Kalau kamu pulang ke rumah mendadak, nanti malah dikira ada masalah besar sama pernikahan kita," kataku mencoba setenang mungkin menjawab.
Padahal dalam hati, lumayan gedek sama tingkah Jiya. Cuma, kutahan-tahan biar nggak berantem beneran kita.
"Terus gimana, dong?"
Tersenyum, kudekati istri kecilku itu. Lantas kudekatkan bibir ini ke dekat lubang telinganya, berbisik. "Ngaku aja, pasti Momi nggak bakal marah. Sebaliknya, kalau kamu nggak jujur malah Momi bisa marah besar. Dengar yah, Ji. Momi itu paling nggak suka sama orang yang suka bohong. Jangan ngerasa takut juga, karena Momi pasti bakal memaklumi kamu."
Untuk beberapa saat Jiya terdiam. Lalu didetik berikutnya, bocah rese itu mengecup pipiku singkat sebagai tanpa terima kasih.
"Makasih, Om baik deh."
Dan karena kejadian itu, aku ngerasa ada sesuatu yang aneh sama jantungku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Melia Gusnetty
jgn lh bocah setan thort..tolong lh agk d perhalus bhs nya thort...bocah ingusan boleh juga lh tuu..dr pd bocah setan..kesan nya kasar skl utk seorang yg berpendidikan apa lg dh seorang CEO...
2024-09-11
0
Gagas Permadi
ayoioo jiyaaa
2024-01-06
2
Nurhayati Nia
ampyunnnn jiyaaaaaaa kamu mah aaya aya waee 🙈🙈🙈😅😅😅
2023-11-30
3