Sesampainya di rumah, aku segera pergi menuju kamar. Dan langsung mendapati sosok si bocah rese itu yang tengah berbaring di atas kasur, tertidur pulas.
Cuma yang buat salah fokus adalah posisi tidurnya itu. Memang sih, beberapa orang memiliki posisi paling pewe untuk tidur. Seperti; miring ke kanan, miring ke kiri, terlentang atau meringkuk mirip anak bayi.
Tapi untuk Jiya. Aku baru tahu ada posisi tidur sambil sujud begitu. Hadeh, apa nggak pegal dan kesemutan itu tangan sama kaki, yah?
Sudah begitu, kedua tangannya menopang dagunya sendiri sambil streaming video mirip personel Cherrybelle. Ini mah bukan videonya yang ditonton, tapi kebalikannya. Benar-benar deh, kelakuan bocah satu ini.
Dengan langkah pelan, kudekati Jiya perlahan. Mula-mula kubereskan dulu semua alat-alat sekolahnya yang masih berserakan. Kemudian, mengangkat tubuh Jiya pelan-pelan untuk merubah posisi tidurnya menjadi lebih baik.
Anehnya, bocah itu tak merasa terganggu sekalipun. Jiya malah semakin jatuh terlelap dan mendengkur lirih.
Setelah kubenarkan posisi tidurnya lebih baik. Aku berniat untuk mandi sebelum tidur. Tapi, tiba-tiba saja lenganku dipeluk erat oleh bocah rese itu, seolah-olah aku ini tak boleh pergi dari sisinya.
Kuembuskan napas panjang sesaat, sembari menyugar anak-anak rambutku yang jatuh menutupi poni. Lantas kulirik wajah Jiya dari ekor mata.
Mungkin hanya satu kata untuk menggambarkan wajahnya dimataku, yakni manis. Eum, gimana yah. Pokoknya makin dilihat, makin enak aja gitu. Kayak bikin nagih.
Apalagi saat dia menggembungkan pipinya atau mengerucutkan bibir saat marah. Tanganku jadi gemas sendiri dan ingin segera mencubitnya, karena mirip squesy.
Yah, meskipun bodynya kalah jauh sama Gisel yang lebih mirip gitar Spanyol. Aku sih nggak masalah. Toh, cinta itu nggak selamanya tentang fisik, kan?
Lagian, makin berumur. Kecantikan juga akan pudar. Lain cerita, kalau dia punya kecantikan dari dalam dan attitude yang baik. Hal itu pasti bakalan bertahan lama, bahkan sampai akhir hidupnya.
Ah, mataku mendadak nggak fokus. Saat kulihat mulut Jiya pelan-pelan terbuka. Seketika, pikiran kotorku muncul.
Pelan-pelan, kuarahkan jari telunjukku ke dekat bibirnya. Kemudian mengusap benda merah itu intens. Terkadang membukanya sedikit untuk memasukkan tanganku lebih dalam.
Gila! Fiks, aku kayaknya kemasukan setan nafsu nih.
Secepatnya, aku menjaga jarak dari bocah rese itu. Saking frustasinya sama pikiran kotorku barusan, aku bahkan mengacak-acak rambutku sendiri sebagai pelampiasan.
Sadar Fer! Jiya bahkan masih pakai celana pendek gambar strawberry, bukan lagi pakai lingerie.
Bisa-bisanya, aku mau khilaf? Aih.
Segera kuambil langkah seribu untuk mencari selimut tebal di dalam lemari. Kemudian, kudekati bocah rese itu lagi dan mulai menggulung-gulung tubuh Jiya mirip kepompong dan hanya menyisakan bagian kepala saja.
***
Paginya, aku berangkat lebih dulu dan menyuruh Pak Tarno untuk mengantarkan Jiya ke sekolahnya.
Sebenarnya bukan tanpa alasan aku melakukan itu. Sejujurnya, berada di dekat bocah rese itu membuatku kehilangan akal sehat beberapa hari terakhir ini. Lebih tepatnya, aku merasa kalau aku bukan Ferdi yang biasanya dan tak tertarik dengan seorang wanita.
Kemarin malam saja, aku hampir melakukan hal buruk padanya. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga bocah itu sampai cita-citanya tercapai dan sukses kelak.
Jadi, hanya ada satu cara untuk itu. Aku akan menghindari kontak fisik, sekaligus bertatap muka terlalu lama dengan Jiya. Kupikir, itu pilihan yang terbaik untuk saat ini.
Pagi berlalu begitu cepat dan tak terasa hari sudah berganti menjadi sore. Aku yang masih sibuk mengurusi berkas tidak sadar kalau pintu ruanganku tiba-tiba di dorong paksa dari luar.
Yang lebih membuatku kaget, saat kudengar suara ribut-ribut Gisel di luar sana. Hal yang sangat jarang sekali sekertarisku lakukan, kecuali bila ada wartawan yang memaksa untuk masuk dan meliput, seperti kejadian pada tahun lalu.
"Sudah saya bilang, Pak Ferdi sedang sibuk. Jadi tidak bisa bertemu."
Kudengar, suara keras Gisel dari luar. Sampai akhir, gadis itu tetap berusaha melindungi aku untuk tidak bertemu dengan pembuat kekacauan di luar. Namun, di detik berikutnya aku mendadak tertegun saat mendengar suara seseorang.
"Om Ferdi, ini Jiya!"
Bagaimana bisa, bocah rese itu ada di sini dan tahu alamat kantorku?
"Om Ferdi, Jiya tahu kok, kalau Om ada di dalem sana. Jadi cepetan buka dan nggak usah kebanyakan mikir. Jiya juga tahu, kalau sekarang Om lagi gigit jari, karena syok berat."
Seram banget, dia juga tahu apa yang aku lakukan saat ini. Apa jangan-jangan, Jiya itu reinkarnasi dari cenayang?
Kalau iya, aku berarti harus hati-hati.
"Kalau Om Ferdi nggak mau buka pintunya juga, Jiya bakal ratain ini kantor."
Buru-buru, aku membuka pintu setelah berdiri lama menguping di sana. Tepat, setelah pintu ruanganku terbuka. Mataku langsung bertemu pandang dengan mata cokelat milik Jiya.
Namun hal itu tak berlangsung lama, karena aku langsung menarik pergelangan tangan Jiya untuk masuk ke dalam ruangan. Lalu menutup pintunya kembali, dengan suara dentuman cukup keras.
"Ngapain kamu ada di sini?" kataku dingin.
Kulihat Jiya hanya membuang wajahnya ke samping, sambil mengerucutkan bibirnya. Merasa kesal, mungkin.
"Om, tega!" katanya tiba-tiba. Yang membuat amarahku langsung hilang begitu saja.
"Tega, kenapa?"
Wajah bocah rese itu mendadak terdongak ke atas dengan cepat. Dengan tatapan yang begitu tajam, hingga rasanya bisa melubangi kedua kornea mataku saat itu juga.
"Masih nanya kenapa? Apa belum jelas sama cewek bahenol di depan?" kata Jiya sambil menunjuk ke arah Gisel yang terlihat dari kaca dengan jari tengah.
"Heh, Jiya bahkan tahu otak-otak bulus Om Ferdi. Pasti Om diem-diem main belakang'kan? Om selingkuh! Ngaku!!" teriaknya kesal, tak seperti Jiya yang biasa kukenal.
"Kamu kenapa, sih? Oh, apa karena ada pelajaran yang susah di sekolah jadi marah-marah nggak jelas begini?"
Jiya makin menatap diriku tajam, seraya menggertakan giginya.
"Kenapa sih, Om Ferdi itu nggak peka!"
Aku salah lagi?
"Tenang dulu, coba jelasin. Dibagian mana aku nggak peka. Kalau kamu marah-marah terus begini, yang ada nanti malah tambah capek sendiri." Aku berkata pelan untuk menenangkan bocah rese itu.
Perlahan-lahan Jiya terlihat menstabilkan emosinya. Kemudian berjalan menuju sofa tamu yang letaknya tak begitu jauh dari meja kerjaku.
Dia duduk di sana sembari bersedekap dada. Tentunya, masih dengan tatapan yang begitu menusuk ke arahku.
"Coba sekarang kamu bilang, alasan kenapa kamu marah kayak tadi."
Mengembuskan napas sesaat, bocah setan itu lantas menatap serius ke arah mataku. "Jiya nggak suka sama sekertaris Om Ferdi. Keliatan banget mau ngegoda atasan dari pada kerja. Ah, Jiya pengin ngejambak bibirnya yang mirip jambu air itu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Mbak anee
jiya cembokur ma gisel
2024-07-31
0
Gagas Permadi
jambu Aer yg asyem bgt yg warna pink 🤣🤣
2024-01-06
1
Gagas Permadi
jambu Aer yg asyem bgt yg warna pink 🤣🤣
2024-01-06
1