Malam ini hujan turun begitu derasnya. Disertai angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar keras di langit.
Membuat Jiya beberapa kali merintih layaknya anak kecil gara-gara kilatan cahaya yang kemudian disusul dentuman petir besar.
Mungkin, sudah dari sejam yang lalu. Bocah setan itu tak sekalipun beranjak dari sisiku. Yang ada malahan, dia makin menempel dan membuatku kehilangan fokus saat mengecek laporan yang Gisel kirimkan lewat Gmail.
Sudah begitu, Jiya juga memonopoli tempatku duduk sekarang. Untung saja, aku ini sabar dan penyayang. Jadi, masih berbaik hati memberinya tempat untuk duduk di sebelahku.
Asalkan dia tak mengganggu konsentrasiku. Aku pasti akan tetap tenang-tenang saja. Namun, semesta sepertinya tak menginginkan aku bebas begitu saja.
Hal itu disebabkan oleh suara petir yang begitu besar dari sebelumnya dan membuat aliran listrik di rumahku padam tanpa aba-aba.
Kontan saja, Jiya menjerit histeris dan reflek memeluk leherku erat sekali. Hingga rasanya, kepalaku ini nyaris putus gara-gara tergores kuku-kuku si bocah rese itu.
"Om, Ferdi! Jiya takut gelap huhuhu ..."
"Buruan nyalain senternya, Om!!"
Tenang, Fer. Tenang, kamu itu cowok tercool dan paling cuek kalau urusan begini. Jangan emosi, inget jangan EMOSI!!! Batinku mulai berontak.
Hanya saja, ini kuku apa silet, sih? Sakit banget duh, Gusti!
"Kamu geser dulu dong, aku nggak bisa gerak Ji."
Gimana mau gerak dan nyalain lampu? Orang si bocah setan ini meluknya kencang banget. Berasa dililit ular piton aja, pemirsa.
"Nggak mau, Jiya takut."
Aku menghela napas berat mendengarnya. Pengin deh, menghempaskan si bocah satu ini dari tubuhku seketika.
Padahal, waktu ditongkrongan anak-anak cowok dulu. Mereka sering bilang, kalau mau pacaran itu mending ditempat yang gelap biar bisa ngegrepe-*****.
Sejujurnya, kondisi saat ini menguntungkan banget. Selain gelap karena aliran listrik yang padam, posisi duduk kita berdua juga ... Aih kayaknya tak perlu dijelaskan.
Sayangnya, kalau modelannya kayak Jiya. Aku nggak yakin, masih bisa berangkat ke kantor besok. Jadi, mending cari aman aja.
"Terus mau sampai kapan kamu diposisi ini? Nggak takut, si Joni bangun?" kataku akhirnya.
Niatnya sih, mau ngerjain Jiya aja biar cepat pergi. Tapi sia-sia, karena bocah rese itu tak segera beranjak juga dari posisi duduknya.
"Joni? Itu siapa, sih? Jangan bilang penunggu rumah ini!"
"Huss, ngarang kamu!" balasku cepat yang kali ini bisa sedikit mencairkan suasana.
Kulihat Jiya juga sudah lebih tenang dari pada sebelumnya. Itu terdengar dari suara tawanya yang kudengar tipis-tipis.
"Lagian, Om Ferdi itu aneh. Orang cuma kita berdua, kenapa bawa-bawa Joni pula."
Masa iya sih, aku harus bilang kalau Joni itu nama burungku. Nggak lucu, banget, kan?
"Serah deh, tapi aku serius nanya. Kapan kamu mau turun, asli lama-lama kamu berat banget tahu."
"Ih, orang Jiya ideal begini masa dibilang gendut. Lagian ini udah Pe-We."
Pe-We gundulmu. Enak di si bocah rese nggak enak di aku. Kira-kira kapan yah, dia mau minggir?
"Om!" panggil Jiya mendadak.
Segera, aku menyahut malas. "Apa?"
Tersenyum tipis, kulihat samar-samar Jiya mendekatkan wajahnya ke arahku. "Karena lampunya nggak tahu kapan nyala, Jiya tidur bareng Om Ferdi yah."
Fyi, mungkin cuma Jiya. Satu-satunya istri yang minta izin dulu buat tidur disebelah cowok yang udah sah dan jadi suaminya.
***
"Loh Fer, semalam kamu tidur bareng Jiya di sini?"
Aku yang masih setengah sadar, berusaha untuk membuka kelopak mata, meskipun rasanya benar-benar berat. Seolah-olah, ada lem yang direkatkan ditiap sisinya.
"Ealah, mentang-mentang masih pengantin baru dan ditinggal sendirian di rumah. Jadi bisa main di mana-mana, gitu?" celetuk Daddy yang langsung dibalas kekehan Momi.
Aku sendiri masih mengusap-usap mata. Sembari mengumpulkan nyawa yang masih terpencar kemana-mana. Sedangkan si Jiya, dia masih terpejam erat di atas tubuhku.
Tunggu! Sejak kapan, dia tidur di atas sana?
Tanpa sadar, aku segera beringsut lumayan jauh. Sampai membuat kepala Jiya terhantuk bagian ujung sofa. Untung saja, bocah rese itu tak bangun, karena saking pulasnya tertidur.
Tentunya, karena tindakanku ini. Momi langsung menjewer telinga kiriku keras sekali.
"Kamu yah, sama istri sendiri masa gitu banget. Ingat yah, kalau bukan karena keluarga Jiya, kamu pasti belum juga kawin sampai sekarang, Fer!" kata Momi panjang lebar, mirip rumus volume balok.
Aku yang sudah terbiasa mendengarnya hanya tercengir lebar tanpa dosa. Malas menanggapi, toh ini juga kebetulan dan nggak disengaja.
Tapi, mendadak kemarahan di muka Momi lenyap. Tergantikan dengan senyum secerah mentari pagi yang baru keluar di ufuk timur. Sudah begitu, tatapan matanya ituloh. Berasa mau keluar aja dari tempatnya.
"Ka-kamu ... Daddy! Akhirnya, anak kita udah nggak perjaka!" teriak Momi kegirangan.
Kulihat wanita tua itu berlari menghampiri Daddy dengan tergesa. Untuk memberikan kabar yang sepertinya, terjadi karena kesalah pahaman ini.
Padahal, aku sama Jiya belum ngapa-ngapain. Selain, berantem sama adu bacot. Haduh, benar-benar deh.
Ngomong-ngomong, setelah melihat Momi pergi, mataku jadi teralih ke arah Jiya yang masih meringkuk dan tertidur pulas di atas sofa tak jauh dariku.
Ada satu hal yang kusadari saat melihat wajahnya itu. Jiya terlihat lebih tenang dan cantik. Selain itu, bibirnya yang biasanya hanya mengeluarkan omelan padaku. Kenapa kini begitu menggoda. Seolah, berkata.
Sentuh aku Ferdi, sentuh aku!
Secepatnya aku menggeleng-gelengkan kepala. Saat merasakan ketidakwarasan mulai menggerogoti hatiku.
Haish, bisa-bisanya aku berpikiran kotor pada anak yang usianya bahkan sepuluh tahun lebih muda dariku? Itu membuatku merasa seperti seorang penyuka anak-anak kecil.
Aku jadi takut, jika terlalu lama berdiam di sini, aku tidak yakin masih tetap menjaga kewarasan. Jadilah, kuputuskan untuk pergi ke kamarku untuk mandi dan mendinginkan suhu tubuh. Selain itu, aku tidak menyangka jika adikku juga akan terbangun begini.
Sialan! Kau benar-benar membuatku gila, Ji!
Ah, aku tidak tahu lagi. Apakah ini yang dinamakan benih-benih cinta? Sejujurnya, aku takut sekaligus malu.
Yah, takut karena melukai Jiya dengan sikapku yang kadang keras kepala. Serta takut, karena perbedaan usia yang terpaut jauh sekali. Hanya saja, bolehkah kali ini aku egois?
Aku juga ingin tahu apa itu cinta. Dan bagaimana perasaan itu menggerogoti kewarasanku secara bertahap.
Tanpa sadar aku terengah-engah saat mengingat segala tingkah laku bocah itu. Aku bahkan sampai tak sadar sudah memuaskan hasratku sendiri begini.
Kacau!
Sepertinya, aku benar-benar mulai menyukai bocah setan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Myca
halah, mamah papah ku itu lho beda 10 th, aku tetep lahir di dunia🗿
2024-05-30
0
Nurhayati Nia
aku do ain biar kalian pada bucinnn 😍😍😍😍
2023-11-30
3
Erha Print
serta malu
2023-05-07
2