Seumur-umur aku baru tahu. Kalau cemburunya cewek lebih seram dari pada apapun. Seperti yang Jiya lakukan tadi.
Setelah meluapkan semua unek-uneknya tentang Gisel. Secara nggak langsung, bocah itu memberi tahu kalau dia cemburu.
Jujur, ini lucu buatku. Karena aku tak pernah menduga kalau Jiya bakal berreaksi seperti ini setelah bertemu dengan Gisel.
Selain itu, Gisel juga. Entah mengapa aku merasa dia memandang Jiya tajam layaknya seorang rival.
"Ah, bangsat! Gue pengin ngejambak bibirnya yang mirip jambu air!" teriak Jiya tiba-tiba.
Bocah rese itu bahkan sudah menyingsingkan lengan seragamnya sendiri. Dan bergegas untuk pergi keluar lagi.
"Heh, mau kemana?" tanyaku kaget.
Jiya hanya menolehkan wajahnya sebentar ke arahku. "Ngasih pelajaran ke si *****! Lagian, dia niat kerja apa ngegoda atasan sih? Pakai baju kok ketat gitu, mirip lemper di acara nikahan sumpah."
Bisa-bisanya, bocah setan itu ngesamain body goals Gisel sama lemper yang notabene jajanan pasar. Aduduh, humorku astaga ...
Sayangnya, aku nggak jadi ngakak ditempat. Karena bahaya banget kalau ngelepasin Jiya keluar kandang. Bisa-bisa, bocah setan itu ngacak-ngacak seisi kantor ini malah.
"Kenapa Om Ferdi berdiri di depan pintu? Minggir, nggak? Jiya mau ngehajar dia!" katanya ngegas, sambil ngegeser tubuhku yang sengaja diam aja di depan pintu.
"Om Ferdi!" teriaknya di dekat telingaku.
"Ji," panggilku pelan.
"Minggir, ih!"
Aku menggelengkan kepala, menolak keras. "Nggak, mau."
"Ah, rese! Jiya sebel sama Om Ferdi. Hari ini pokoknya Jiya mau balik aja ke rumah Papi, titik!"
Setelah itu dia langsung menarik knop pintu yang sempat kutahan, kemudian pergi melenggang begitu saja melewati Gisel.
Seriusan, Jiya ngambek? Batinku, saat melihat bocah setan itu telah jauh melangkah pergi.
Kupikir itu cuma ancaman bawang dari Jiya. Namun kenyataannya, bocah rese itu benar-benar pergi meninggalkan rumah Momi. Parahnya lagi, dia pergi nggak bilang-bilang dan membuat khawatir semua orang.
Saking khawatirnya, Momi bahkan sampai nggak makan dan ngedrop. Hadeh, kapan sih, bocah rese itu tobat buat berhenti berulah?
Kayak, ada aja hal-hal menyimpang dan bikin kesal yang Jiya lakukan tiap hari.
"Mom, Ferdi pamit ke rumah Tante Vivi dulu, yah. Soalnya Ferdi yakin, kalau Jiya ada di sana." Aku berkata, seraya meraih tangan Momi untuk mengajaknya bersalaman.
Wanita yang melahirkanku itu hanya mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. "Jangan galak-galak, yah sama Jiya. Dia emang lagi difase memberontak. Jadi Fer, kalau bisa kamu selalu jadi air buat nenangin sifat Jiya yang memang keras."
Aku menganggukkan kepala, dan menerima saran dari Momi itu. Toh, yang dikatakan olehnya memang benar. Terkadang harus ada orang yang mengalah, tapi bukan berarti dia kalah.
Lagi pula, percuma juga membalas api dengan api. Bukannya mereda, apinya malah semakin menyala-nyala dan membara.
"Ferdi pergi dulu, assalamualaikum."
Walaupun belum begitu tahu seluk-beluk tentang jalan menuju rumah Jiya. Namun, aku tetap memaksakannya, berbekal dari alamat dan hanya melihat google maps. Aku nekat pergi, menjemput bocah setan itu sendirian.
Hampir dua jam tempuh perjalanan dari rumahku. Akhirnya, aku sampai juga di depan bangunan bertingkat dengan pagar teralis besi di depannya.
Salah satu rumah dengan arsitektur yang begitu indah dan cukup memikat mata, bagi siapapun yang melewati jalan depan rumah ini tentunya.
"Apa ini rumah, Jiya?" monologku seraya melihat-lihat bangunan itu dengan saksama.
"Maaf, Aden nyari siapa, yah?" sapa seseorang yang kusimpulkan jika dia adalah satpam yang bertugas untuk menjaga pos depan rumah ini.
"Saya Ferdian Juni, ngomong-ngomong apa bapak bisa panggilkan si pemilik rumah?" balasku sopan.
"Apa Aden, sudah membuat janji sebelumnya? Habis, tuan dan nyonya jarang sekali di rumah. Sudah begitu, nona Jiya juga ..."
"Siapa, pak?" tanya seseorang yang aku yakin sekali kalau itu suara milik Tante Vivi.
"Eh, Ferdi? Ya ampun mantu mamah yang paling ganteng, kenapa nggak masuk-masuk ke dalam?" ujar Tante Vivi, sambil mengusap puncak kepalaku sayang, mirip ana di TK.
Wanita berumur itu terlihat baru saja pulang dari tempat kerjanya. Itu terlihat dari jubah putih khas perawat rumah sakit yang masih saja melekat dengan rapi di tubuhnya.
"Tumben kamu ke sini, ngomong-ngomong Jiya mana? Kamu nggak ke sini sendirian 'kan, Fer?" tanya Tante Vivi, seolah-olah bisa membaca isi kepalaku saat ini.
Aku yang ditanya begitu hanya tersenyum tipis, sambil menggaruk bagian belakang kepalaku sendiri.
"I-iya Tante."
Kukira, Tante Vivi akan memarahi diriku. Nyatanya, wanita berumur yang kini sudah menjadi mertuaku itu malah tersenyum. Persis seperti apa yang Momi sering lalukan padaku dulu, jika aku membuat kesalahan yang tak disengaja.
"Masuk aja, Jiya pasti ada dikamarnya sekarang sambil nyakar-nyakar tembok."
Eh!
"Nggak usah kaget, kebiasaan anak Mamah emang gitu. Oh iya Fer, jangan panggil Tante, tapi panggil Mamah yah."
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. Kemudian mengikuti saran Mamah Vivi untuk segera menghampiri Jiya di kamarnya.
Kunaiki anak tangga perlahan, sambil memikirkan kata-kata apa yang cocok untuk kusebut nanti di depan Jiya. Jangan sampai aku mengatakan hal-hal yang tidak perlu dan malah membuatnya merasa kesal nanti.
Tak terasa, terlalu dalam berfikir. Kakiku sudah sampai saja di depan pintu bercat krem itu. Kamar pojok, yang Mamah Vivi bilang kalau itu tempat kesukaan Jiya.
Hm, memangnya apa sih yang membuat kamar ini istimewa?
Kuketuk pelan pintu itu, yang rupanya tak dikunci. Segera saja, aku melangkah masuk ke dalam dan merasa syok berat.
"Kim Taehyung, Om Ferdi jahat banget sama Jiya tahu. Masa dia main belakang sama sekertarisnya yang mirip lemper itu."
Aku ternganga, saat melihat Jiya mengaduh pada potret tujuh orang pria yang tertempel di dinding kamarnya. Potret yang begitu jelas, dan langsung memberiku kesimpulan kalau Jiya itu seorang KPopers garis keras.
"Yoongi, apa aku kerjain Om Ferdi aja, yah? Sekali-kali Om bangkotan itu perlu dihajar sampai nangis kejer."
"Kook, kamu pasti setuju sama ide brilian Jiya, kan?" kata Jiya lagi, masih belum menyadari kehadiranku.
Gila sih, aku tak pernah membayangkan akan melihat hal begini. Bahkan aku berdiri seperti orang bodoh sampai Jiya menyelesaikan semua unek-uneknya, dan curhat kepada satu-persatu potret di dinding itu.
"Ji, kamu ngapain?" ujarku pada akhirnya.
Yang kontan membuat Jiya menoleh ke arahku dengan pandangan tak kalah terkejutnya.
"Om Ferdi! Sejak kapan Om di situ?" teriaknya yang langsung memenuhi seluruh penjuru ruangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Melia Gusnetty
aduuhh...kpn si ferdi gk ngatain istri nya bocah setan siiih.....dasar laki setan...😏🤭
2024-09-12
0
Ray_Na
sedikit ambigu di paragraf ini.
kenapa gak masuk?
yuk masuk-masuk kedalam.
harusnya Gitu sih
2023-03-20
3
Aisyah
ji km bnr2 unik
2023-02-21
1