Setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya kemarin aku hanya terbawa suasana. Sudah begitu, memang saatnya untuk memberi asupan si Joni sekaligus khilaf.
Yah, mana mungkin seorang Ferdian Juni menyukai bocah seperti Jiya. Sudah begitu, masa iya baru seminggu kenal aku udah ada rasa. Beuh, impossible banget kecuali kalau kita emang jodoh.
"Pak Ferdi, mau saya buatkan kopi?" tawar Gisel yang tiba-tiba udah nongol aja di depan meja kerjaku.
Aku hanya menggeleng pelan seraya mengibaskan tangan. "Nggak usah, nanti saya mau pergi meeting soalnya."
"Kalau begitu, apa saya ikut?" ujar Gisel yang kontan membuat alisku berkerut.
Entah kenapa, aku jadi merasa akhir-akhir ini Gisel seperti melakukan berbagai cara untuk semakin dekat denganku.
"Maaf?"
Kulihat Gisel sedikit gelisah. "Eum, anu ... Itu ... Pak, biasanya kan saya yang nemenin bapak pergi keluar. Apa meeting kali ini, saya juga ikut?" katanya penuh harap.
"Nggak perlu, saya udah bilang ke Aaron soalnya. Toh, kamu lagi repot ngurus berkas sama jadwal saya, kan?"
"Iya, sih. Tapi, Pak ..."
"Maaf Gisel bicaranya dilanjut nanti saja yah, saya sudah ditunggu Aaron di lobi. Kalau begitu, saya pergi dulu." Aku berujar dingin, tanpa menoleh ke arah Gisel sekalipun.
Entah seperti apa raut wajahnya setelah mendengar jawabanku barusan. Yang pasti, aku masih mendengar decihan kecil dari mulutnya sebelum menaiki lift.
Sesampainya di lobi, kulihat Aaron sudah duduk menungguku di salah satu sofa. Dengan kepala menunduk, pria itu tampak serius melihat berkas laporan ditangannya, sambil sesekali mencorat-coret dengan pena ditangan.
"Udah lama?" tanyaku.
Kepala Aaron seketika terdongak. Lantas, buru-buru pria itu beranjak dari posisi duduknya dan pergi menghampiriku yang baru saja keluar dari lift.
"Belum sih, btw tumben banget lo ngajak gue pergi meeting Fer. Kenapa nggak sama sekertaris lo yang seksi itu?" tanya Aaron, kepo seperti biasanya.
"Maksudnya Gisel?"
Kulihat Aaron manggut-manggut. "Yoi. Selain punya body yang bagus, mukanya kan cantik tuh, jadi enak buat cuci mata."
Aku terkekeh pelan. Memang yah, pikiran cowok begini semua. Ralat, kayaknya nggak semua deh. Buktinya, aku nggak mikir ke situ. Oh, atau tergantung orangnya berarti.
"Tobat ngapa, Ron. Cewek mulu, dah perasaan."
Si Aaron mendelik, kelihatan tak suka dengan reaksiku barusan.
"Justru karena hal itu, tandanya gue cowok normal Fer!" balasnya ngegas.
Aku yang mendengar ocehannya malah ngakak. Terlihat receh memang, tapi gini-gini tingkat humorku rendah. Meskipun jarang banget orang yang tahu.
Habis, kebanyakan dari mereka mengira kalau aku ini orang yang kaku, cuek dan tak perduli. Selain itu, terlihat tak tertarik dengan wanita. Makanya, sewaktu SMA sampai lulus kuliah, kebanyakan orang mengira aku ini gay, karena nggak pernah pacaran dan dekat sama cewek.
Ditengah-tengah obrolan receh kami sebelum pergi. Tiba-tiba saja, kudengar dering ponsel pintarku.
Mulanya sedikit kuabaikan benda pipih itu, namun dipanggilan ketiga. Aku segera menggeser tombol berwarna hijau, untuk menjawab.
'Halo?'
'Selamat siang, apa benar ini dengan Bapak Ferdian?'
'Iya, ini saya sendiri. Kalau boleh tahu, ini siapa yah?'
'Saya perwakilan dari guru BK, Pak. Saya di sini ingin memberi tahu jika anak bernama Jiyaning Admaja berkelahi dengan temannya tadi. Oleh sebab itu, saya minta waktu bapak untuk segera hadir ke sekolah hari ini. Terima kasih.'
Apa? Berkelahi? Astaghfirullah, berulah apa lagi sih, dia?
'Baik, Bu. Saya akan segera ke sana. Terima kasih informasinya, yah.'
Setelah itu kudengar sambungan telepon terputus. Aaron yang melihat raut wajahku mulai mengeras, tak banyak bicara. Mungkin dia sungkan atau tak mau ikut campur.
"Sorry, Ron. Kayaknya hari ini gue nggak bisa ikut meeting."
Kulihat wajah Aaron pucat seketika. "Loh, kenapa? Lo kan bos- eh Ferdi! Fer!" teriaknya saat melihatku pergi meninggalkannya di lobi seorang diri.
Dengan langkah tergesa-gesa, aku berjalan sambil sesekali berlari kecil ke arah parkiran. Membuka knop pintu mobil dengan cepat, lantas menginjak pedal gas sekencang mungkin.
Terlihat kurang profesional memang. Tapi, jika sudah menyangkut Jiya, aku tak peduli lagi dengan yang lain. Biar saja nanti, kukabari Pak Richard lewat Gmail dengan alasan ada keperluan mendesak. Mau bagaimanapun juga ini urusan rumah tangga.
Sekitar lima belas menit membelah jalanan kota yang ramai, akhirnya aku kembali menginjakkan kaki di depan sekolah Jiya.
Ah, kalau melihat gang disebelah kiri itu, aku jadi dejavu. Tentang kejadian dulu. Dimana aku menyeret tubuh Jiya ke sana gara-gara bocah itu mau pergi ikut tawuran. Kalau dipikir-pikir, nggak terasa juga waktu begitu cepat sekali berlalu.
Padahal kayak baru kemarin aku sama dia nikah, nggak tahunya udah mulai dekat aja sekarang. Tapi, kenapa aku ngerasa malah kita berdua semakin mirip Om dan keponakan yah, dari pada suami-istri?
Cukup lama melamun, aku kembali disadarkan pada kenyataan saat mendengar suara decihan Jiya.
Kulihat dari jauh, bocah itu sedang berdiri di depan ruangan dengan tulisan 'Ruang BK' di atas pintu masuknya. Cuma, yang buat salah fokus adalah penampilannya.
Baju seragam kusut dan rambut acak-acakan, seketika mengingatkan diriku pada kera sakti. Sudah begitu, Jiya nggak sendiri. Ada dua orang murid perempuan yang penampilannya hampir sama. Ralat, lebih parah dari Jiya malah.
Sebentar, jangan bilang Jiya sendiri yang buat penampilan mereka acak-acakan begitu. Kalau iya sih, ngeri banget.
Hadeh, waktu itu tawuran. Kemarin ngerusak perabotan. Sekarang berantem. Jiya oh Jiya, kamu emang paling pintar yah, buat aku puyeng.
"Om Ferdi!" teriak Jiya saat melihat sosokku yang masih mematung di koridor.
Bukan tanpa alasan aku melakukan itu, tapi sedang mengingat-ingat kembali hal-hal yang perlu aku lakukan setelah membaca habis buku berjudul 'Cara Mendidik Anak Nakal' kemarin.
Oke, kalau tak salah dihalaman 12, jika anak tidak sengaja melakukan kesalahan atau bertengkar dengan teman sebayanya. Sebaiknya orang tua bersikap sebagai pendengar dulu. Tunggu dia menyelesaikan semua ceritanya, barulah orang tua mulai memberi saran. Tentunya harus membangun, supaya si anak dapat bersikap mandiri dan bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Namun, jika permasalahan itu cukup rumit dan tidak bisa diselesaikan secara mandiri. Barulah, peran orang tua diperlukan.
Dari paragraf yang aku baca kemarin. Aku mendapat satu simpulan. Yakni, pentingnya sebagai orang tua untuk menghadapi persoalan anak tanpa terburu-buru bertindak dan mengambil keputusan. Yah, selain untuk mengasah kemampuan anak sendiri, setidaknya permasalahan itu bisa diselesaikan dengan cara damai.
Jadi, aku berharap untuk permasalahan Jiya kali ini. Aku bisa membantunya dengan cara yang telah kubaca dibuku itu. Hanya saja ...
"Kenapa Om Ferdi sih, yang datang? Papi mana?!"
Seketika aku merasa ngenes, karena kedatanganku tak dianggap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
ayu nuraini maulina
kenapa y semua kaum Adam d novel pasti ngmng gini Mulu kalo berjodoh istri nya yg baru berumur belasan tahun,
2023-09-22
3
yuce
kebanyakkan ortu selalu mengutamakan pendidikan diaekolah daripada pendidikan akhlak dan agamanya jadi salah gaul nih anak.
2023-03-20
2