Benar yang Momi bilang lewat pesan, tak ada satupun pembantu di rumah. Bisa dibilang semua diliburkan secara serempak entah karena alasan apa.
Untung saja aku sudah tak kaget dengan hal ini. Malahan, aku merasa bebas jika rumah dalam keadaan lengang. Cuma yang jadi pikiran sekarang, aku yang biasanya haha-hihi sendiri di depan laptop harus stay cool di depan Jiya.
Bisa berabe nanti kalau dia makin menjadi-jadi ngehinanya.
"Om, Jiya laper. Masakin nasgor dong!" pinta si bocah setan yang tiba-tiba nongol dari kaca sebelah kanan.
Aku yang hendak memasukkan mobil ke dalam garasi seketika menarik rem karena ulah bocah itu. Untung saja reflekku bagus.
Dengan sinis kulirik mata Jiya setelah mengelus dada tiga kali. Tak lupa, mulutku juga merapal istighfar saat melihat kelereng cokelat itu yang kini menampilkan raut penuh harap.
Heh! Jangan kira seorang Ferdian luluh hanya karena puppy eyes itu. Jujur saja, puppy eyes Kitty, kucing kesayangan Momi jauh lebih menggemaskan tahu.
"Dih manja, masak aja sana sendiri!" balasku tak acuh.
Raut wajah Jiya tampak menggelap.
"Jiya, kan nggak bisa masak! Ngerebus air aja, pancinya gosong. Apalagi di suruh buat nasgor? Yang ada jadi kerak telor!" sentaknya emosi. Aku cuma mengela napas berat sekali.
"Denger yah, Jiya istriku yang unyu-unyu mirip koala. Kalo kamu nggak nyoba belajar sekarang, mau sampai kapan bisanya? Mau sampai kepalaku ini dipenuhi uban, huh?" balasku ikut kesal.
Si bocah tengik malah ngikik.
"Pffftt ... Ubanan! Dasar Om bangkotan!"
"Ealah malah ngikik dia! Aku serius ngomongnya Jiya."
"Au ah, Jiya pesan lewat grabfood aja. Percuma punya suami, tapi yang selalu diandalkan abang-abang gojek."
Eh! Apa iya aku harus ngojek dulu biar lebih dihargai?
"Terserah kamulah, aku males berdebat hari ini."
Setelah itu, tak kulihat lagi batang hidungnya. Jiya seolah lenyap begitu saja, meninggalkan diriku sendiri di depan teras garasi.
Sorenya, sekitar pukul 16.00 kulihat muka Jiya suram. Sambil mencoret-coret meja makan dengan sendok, bocah tengik itu menelungkupkan kepalanya membelakangi diriku yang baru saja turun dari anak tangga.
"Pantesan hawanya kelabu, ternyata ada yang lagi galau. Kenapa lagi kamu?" kataku berniat menggodanya, tapi Jiya terlihat tak peduli.
Bocah itu malah terus-menerus menghela napas jengah sembari mengusap-usap perutnya.
"Jiya laper, peka dong!" sentaknya.
Alisku terangkat sebelah. Teringat dengan ucapan Jiya tadi siang yang katanya mau pesan nasgor lewat grabfood. Terus kenapa sekarang masih ngeluh?
"Bukannya kamu tadi pesen makanan online?" tanyaku hati-hati, Jiya menatap diriku sekilas.
"Nggak jadi, mehong! Mending uangnya buat beli skincare."
Masya Allah, punya bini gini amat. Padahal dia bisa bilang mau apa. Toh, aku kerja juga buat dia.
Tunggu!
Sejak kapan aku perhatian sama bocah setan itu? Sadar Fer, sadar kalian nikahnya terpaksa tanpa didasari cinta.
"Oh gitu? Ya udah selamat makan angin," kataku sebelum pergi ke arah meja dapur.
Jiya yang melihat gerak-gerikku hendak membuat kopi seketika mendekat. Tiba-tiba bergelayut manja pada lengan sebelah kiri mirip anak simpanse.
"Om," panggilnya penuh harap.
Jangan lupakan ia juga memasang raut wajah memelas dengan puppy eyes ala-ala anak kucing terlantar.
"Apa?" sahutku cuek.
Mataku sibuk meracik kopi dan melihat ke arah ceret air. Menunggu air di dalamnya mendidih.
"Masa Om tega, lihat Jiya yang gemes ini kelaparan? Om nggak kasihan? Nanti kalo Jiya sakit dan kena maag gimana, Om mau tanggung jawab?" terangnya panjang lebar.
Kepalaku menoleh ke arahnya. Sambil tersenyum tipis aku mendorong jidat bocah setan itu untuk menjauh dari tubuhku, dengan jari telunjuk.
"Mau tanggung jawab apalagi? Kamu juga belum hamil, apa mau aku hamilin dulu. Toh kita udah nikah."
Demi Gery keongnya Spongebob, muka Jiya langsung berubah seratus delapan puluh derajat.
"Nggak mau! Lagian kalo mau buat anak itu harus saling cinta, Om aja sama Jiya nikah karena terpaksa."
Benar juga. Kita berdua menikah karena terpaksa dan gara-gara surat wasiat kakek buyut soal keturunan. Mungkin, kalau waktu itu aku nggak termakan omongan bagian dari skenario Momi. Aku dan Jiya masih hidup kayak biasa.
Ah, bicara soal itu aku jadi teringat kembali beberapa hari sebelum pernikahan. Tepatnya saat pesawatku hampir lepas landas ke Jepang, aku segera mengcancel penerbangan karena pesan WhatsApp dari Momi.
'Kakek meninggal, kamu nggak pulang?'
Saat membaca pesan yang menggantung dijendela layar depan, jantungku langsung terpacu. Rasanya begitu menyesakkan saat tahu jika kakek tercinta meninggal tanpa aku di sisinya.
Ya, itu karena kakek salah satu orang yang paling kusayang. Jadi saat aku mendengar kabar buruk tentang dirinya, akupun tanpa sadar kehilangan pondasi kehidupan.
Sialnya, saat aku sampai di ambang pintu rumah, bukan jenazah kakek yang kudapati saat itu. Melainkan beberapa keluarga, bapak penghulu serta seorang gadis berkebaya putih yang tengah menangis tersedu-sedu.
Aku sempat mematung di tempatku berdiri beberapa saat. Menjatuhkan tas kerja dan sama sekali tak menggubris pandangan orang-orang terhadap penampilanku yang acak-acakan.
"Kakek!"
Hanya orang itu yang aku cari, sampai ketika mataku melihat sosoknya duduk dikursi roda dekat tangga. Aku langsung berlari menghampirinya. Duduk bersimpuh di depan tubuh kakek, seraya memeluknya begitu erat.
"Maafin Ferdi yah, yang baru bisa pulang. Ferdi janji bakal lebih sering jenguk kakek. Tapi Kek, kenapa dirumah ada Pak Penghulu? Emangnya siapa yang mau nikah?"
"Kamu," balas Kakek santai. Aku terperanjat kaget waktu itu.
"Ah, Kakek kalo bercanda suka kebangetan. Ferdi kan belum ada calon mana bisa naik ke pelaminan," elakku sopan.
Kudengar Kakek tertawa. Renyah sekali seperti tanpa dosa.
"Itu yang pakai baju kebaya putih kan calonmu, ingatkan sama cucunya Mbah Maja. Dia buyutnya, Jiya."
Bak tersambar petir saat panas terik, aku dibuat melongo detik itu juga. Ya kali, dijodohin? Sudah begitu, siapa yang nggak bakal sadar kalau calonku sekelas ABG. Mau ditaro mana mukaku ini yang lebih cocok jadi Omnya?
"Kakek nggak bercanda, kan? Dia ..." tunjukku pada gadis yang kini menatapku penuh derai air mata dan raut wajah penuh kebencian."Bukannya lebih cocok jadi ponakannya, Ferdi?"
"Son, kamu lupa keluarga kita punya perjanjian tertulis dengan keluarga Admaja? Perihal perjodohan anak masing-masing?"
Kini Ayah ikut ambil suara. Hal itu membuatku makin tak karuan saja.
Dijodohkan?
Emangnya ini masih zaman Siti Nurbaya? Come on, Ferdi sudah dewasa dan bisa memilih siapa yang mau dinikahi. Terlebih lagi, apa mereka nggak malu merusak masa depan Jiya yang notabene masih remaja?
Jujur ingin sekali aku menolaknya, namun melihat ekspresi wajah Kakek yang begitu sumringah membuatku tak enak hati. Dengan terpaksa, kududukan diriku di samping gadis bernama Jiya itu.
Namun siapa sangka, gadis remaja yang kupikir hanya bisa menangis tersedu-sedu itu, kini menatap diriku nyalang sembari membisikan ancaman. "Awas aja kalo Om berani nyentuh Jiya nanti, masa depan Om bakal Jiya pangkas sampai Om mati kehabisan darah."
Glek!
Berani banget dia? Belum tahu aja, seorang Ferdian itu siapa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Nurhayati Nia
😅😅😅😅 ampyunnn sumpah aku ngakakk tros nyimak mereka berdua dehh
2023-11-30
3
Lilisdayanti
kaya gemanayah bacanya,,jadi bingung aqu,,kaya lagi dengerin curhatan si Ferdi 🤭.
2023-11-25
3
Jesi Jasinah
waduh ngga bisa masak
2023-05-19
2