Apa begini rasanya, rindu yang terbalas? Lumayan cukup menganggu dan buat aku nggak bisa merem.
Anjirlah, masa iya aku langsung baper dan kena panah asmara si cupid semesta? Hanya karena kata-kata si bocah setan itu yang bilang, 'kangen'.
Kalau iya sih, kayaknya nggak cuma mata. Hatiku juga perlu diperiksa ke dokter saat ini juga. Ayolah Fer, sadar! Umurmu udah nggak cocok buat kasmaran kayak anak-anak ABG yang bucin berlebihan.
Cuma tetap aja, mau jungkir balik sekalipun. Hatiku sekarang benar-benar nggak bisa diajak kompromi. Sudah begitu, mataku juga nggak bisa merem dari tadi.
Kenapa, gini banget sih?
"Om Ferdi, belum bisa tidur? Apa mau Jiya puk-puk?"
Aku yang mendengar suara Jiya tepat di dekat telinga, reflek membalikkan badan. Sayangnya, karena hal itu dahiku dan jidat milik Jiya, tak sengaja berbenturan dengan keras. Membuat kami meringis kompak kemudian.
"Aduh, sakit! Om Ferdi sengaja yah, mau buat jidat Jiya benjol?" ujarnya marah-marah.
Aku masih sibuk mengusap-usap dahiku sendiri. Tak ada niat untuk menanggapi ajakan adu bacot Jiya.
Cukup hatiku aja yang nggak karuan, jangan buat kepalaku pusing juga hari ini kalau bisa. Batinku.
Jiya yang merasa ku acuhkan. Kulihat menggeser posisi duduknya. Kemudian, bocah itu berjalan untuk mengambil raket nyamuk yang sengaja digantung, di sebelah lemari baju. Untuk dirinya bawa kembali ke atas kasur.
"Buat apa?" tanyaku mendadak kepo.
Si bocah setan itu menatap mataku sinis. Masih marah sepertinya, gara-gara jidatnya jedotan sama dahiku tadi.
"Buat main badminton! Ya, buat bunuh nyamuklah, Om. Masa iya, kayak gini aja nggak tahu," jawab Jiya, walaupun sambil ngegas.
"Terus ngapain kamu bawa-bawa ke sini? Awas loh, kalau nangis nanti, gara-gara kena tangan."
Secepat kilat kepala Jiya menggeleng mantap. "Ya nggak dong. Kan udah pro hehehe ..."
Aku yang mendengar jawabannya itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Mau banget heran, tapi ini Jiya.
"Terserah kamu ajalah," balasku akhirnya.
Rencananya aku ingin membenarkan posisi rebahanku dulu sebelum lanjut tidur. Tapi tiba-tiba, kedua pergelangan tanganku dicekal oleh tangan Jiya.
"Sebentar, jangan gerak." Jiya mendadak memberi komando padaku, sembari melihat-lihat dari atas kepala sampai ujung kaki.
"Kenapa? Kamu nggak berniat buat perkosa aku, kan?" kataku sompral yang langsung mendapat plototan gratis dari bocah rese itu.
"Ngarep! Orang tadi Jiya lihat ada kecoa terbang ke arah Om Ferdi."
"Kecoa?"
Kepala Jiya langsung mengangguk mantap. "Iya, gede banget dan sekarang ..."
Mendadak bocah rese itu menggantungkan ucapannya. Lalu, sorot matanya yang tadinya biasa-biasa saja, kini berubah serius dan mengarah lurus pada bagian bawah perutku.
Kontan saja, aku yang ditatap begitu langsung salah tingkah. Sekaligus bertanya-tanya dalam hati, tentang raut wajah Jiya yang tiba-tiba berubah itu.
Mulanya aku tak sadar, hingga aku merasakan ada sesuatu yang bergerak di atas permukaan celaka boxerku.
Yah, rupanya kecoa itu hinggap dengan begitu santainya di sana. Sebuah tempat yang seharusnya jadi penentu masa depanku kelak.
"Ji, kamu nggak bakalan ..." ucapanku terhenti saat kulihat Jiya sudah mengangkat raket pembasmi nyamuk itu tinggi-tinggi.
Sudah begitu, tatapan matanya horor sekali. Dan haus darah.
"Ji, kamu mau apa?!" tanyaku mulai panik.
Sejujurnya, aku mau segera bangun dan bergegas pergi. Tapi, kecoa itu salah satu phobia terbesarku.
Kulihat Jiya tersenyum mengerikan ke arahku. "Mau apa lagi, kalau bukan membasmi. Ngomong-ngomong Om Ferdi, maaf yah. Kali ini saja tolong relakan burungmu itu hahahah ..."
Brak!
"Tidakkkkk!"
Setelah itu aku benar-benar tidak ingat apapun lagi, selain duniaku yang perlahan-lahan mulai menggelap.
Entah pada pukul berapa aku terbangun. Kupikir, aku akan tewas begitu saja semalam, setelah Jiya dengan tidak manusianya memukul burungku sampai aku jatuh tak sadarkan diri karena pingsan.
Yang pasti, saat aku membuka mata. Sinar matahari sudah begitu terik dan sangat menggangu penglihatan. Membuatku beberapa kali menyipitkan mata, untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam kornea.
Selain itu, bau harum dari tumisan di dapur juga sudah tercium sampai kamarku. Membuat para cacing diperut berdemo, untuk meminta segera diberikan jatah, karena semalam aku lupa tak makan.
Dengan langkah yang begitu berat karena pukulan dari raket semalam. Aku perlahan-lahan berjalan menuruni anak tangga, meskipun susah payah.
Sampai di anak tangga terakhir, kulihat si bocah setan itu sedang membantu Momi memasak. Ralat, Jiya tak membantu apapun selain meletakkan masakan Momi yang sudah selesai di atas meja makan. Selebihnya, bocah rese itu cuma menjadi teman ngobrol Momi selama kegiatan masak-memasak itu belum selesai.
"Loh Ferdi, kenapa jalan kamu ngangkang begitu kayak orang abis sunat?" tanya Daddy, yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah.
Sontak hal itu, membuat Jiya dan Momi seketika mengalihkan perhatian untuk melihat ke arahku yang masih berdiri di anak tangga terakhir.
Kalau ditanya rasanya kayak apa? Asli deh, berasa keperjakaanku semalam diambil secara paksa.
"Ee ... Itu ... "
Mendadak otakku ngeblank. Apalagi saat Daddy menatapku dengan tatapan mata menyipit, penuh kecurigaan. Yang pada detik berikutnya langsung berubah dengan senyuman tipis yang begitu misterius.
"Berapa ronde semalam? Masa anak Daddy lemah sampe nggak bisa jalan. Apa perlu, Daddy kasih obat kuat?"
Eh! Seketika rohku berasa keluar dari hidung saat mendengar kata-kata Daddy barusan.
Sungguh, itu frontal sekali Pak! Jujur, Ferdi nggak kuat. Auto kena mental parah banget ini. Batinku menjerit.
Sedangkan, Momi dan Jiya malah terbahak-bahak di depan westtafel cuci piring. Fiks sih, seketika aku berasa jadi anak tiri yang terbully.
"Jangan bilang, teriakan Ferdi semalam itu karena ..." Momi tak jadi melanjutkan kata-katanya dan malah ngakak terpingkal-pingkal.
Saking lucunya, wanita yang melahirkanku itu sampai tak sadar menitikkan air mata.
Kalau dilirik sama produser film ala-ala iklan terbang, mungkin kisahku ini bakal diberi judul 'Derita Anak Kandung Yang Terbully'. Dan pasti, bakalan heboh dikalangan emak-emak.
Duh, ngenes banget sumpah.
"Bisa nggak sih Momi sama Daddy pikirannya nggak terus-menerus menjurus ke hal itu. Orang semalam Ferdi kena musibah, makanya jalannya susah begini."
"Musibah?!" teriak Momi sama Daddy kompak. Muka mereka yang tadinya ceria kini berubah syok saat melihat diriku.
"Musibah apa? Emang kamu kenapa?" tanya mereka lagi.
Diam-diam, aku melirik ke arah Jiya yang mulai gelisah di samping Momi. Sudah begitu, muka si bocah rese itu pucet banget gara-gara saking takutnya dengan kemungkinan yang ada.
Tersenyum tengil, aku berniat untuk membuka suara. Tapi, Jiya tiba-tiba menyumpal mulutku terlebih dahulu dengan tomat yang dia pegang.
"Iya, semalam kami emang abis ***-***!" teriak bocah itu yang kontan membuat kami semua terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Gagas Permadi
sumpah aku ketawa Ampe ngikik sampe keluar air mata udah dibuat bengek ini lucu bgt 🤣🤣🤣🤣🤣😭😭😭🤣🤣🤣🤣😭🤣🤣
2024-01-06
1
Lilisdayanti
wah si Ferdi di perkaos sama kecoa janda ya 🤔🤭
2023-11-26
2
pipi gemoy
🤣👍🌹
2023-11-05
1