Jingga Langit Kelabu

Jingga Langit Kelabu

Mimpi vs Cita-cita

"Apa mimpi mu, Tam?"

Mata Tama melebar menatap gadis yang begitu dicintainya dengan tanda tanya besar. Sudah lama Ia tak lagi mendengar kalimat itu dari mulut Rani. Tapi melihat yang ditatap hanya diam membisu dan menatapnya dengan mata sendunya yang teduh, Tama yakin tak ada yang janggal di pertanyaan barusan.

"Mengumpulkan uang yang banyak."katanya tanpa berpikir.

Rani tertawa tertahan."Ngapain jadi tentara kalau mau jadi orang kaya?" katanya.

"Yah, kamu tau mimpi aku apa."

"Apa?"

Bukannya menjawab, Tama malah menantang bola mata Rani. Alhasil Rani mendadak gelisah tak menentu, karena ia tak pernah bisa tahan dengan tatapan itu. Tatapan yang penuh ketulusan dan misteri kehidupan, yang selalu saja memberikan kejutan untuk dirinya. Melihat itu, Tama tersenyum lebar sambil menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

"Mimpiku, menjadi seorang Letjen TNI."katanya tegas dan yakin.

Bibir Rani tersenyum, meski ada luka di hatinya yang tiba-tiba berdarah. Yah, luka kecil yang selama ini menemani sepi malamnya. Jawaban Tama membuatnya ragu tentang hal yang selama ini diyakininya. Butuh waktu lama untuk mewujudkan mimpi itu, dan tentunya akan semakin berat bagi Rani. Ia memalingkan wajah, mencegah air matanya jatuh. Biar bagaimanapun Ia tak akan membatasi Tama, apalagi perihal mimpi-mimpinya.

"Kalau cita-citamu apa?" katanya lagi.

Tama sejenak tampak berfikir."Sama, aku akan menunaikan tugas panggilan negara tak perduli apapun_"

Rani tiba-tiba bangkit."Kita break aja yah. Aku butuh waktu berfikir setidaknya sampai kewarasan ku kembali."katanya.

Ia tak bisa bertahan lagi, karena matanya telah basah oleh air mata. Sebelum ini Ia sangat yakin keluarganya salah mengatakan tak ada masa depan untuknya dan Tama. Tapi kini ia tau bahwa tak ada dirinya dalam mimpi dan masa depan Tama. Semuanya hanya tentang tugas dan tanggung jawab Negara.

Sebelum Ia benar-benar pergi, tangannya di tahan Tama. Kapten muda pasukan Perdamaian itu menatap kekasihnya dengan kerutan di dahi. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa Rani seperti ini. Sebelumnya semuanya baik-baik saja meski 18 bulan Ia pergi untuk menjalankan tugas.

"Kenapa ngga putus aja? kenapa harus break?" Tangannya memaksa Rani berbalik.

"Nah, kamu tau maksud aku apa."Rani menghindari tatapan mata Tama, dan memilih menunduk menatap rerumputan.

"Liat aku, Ran! Kamu mau aku putusin?"

Rani menghela nafas, kemudian mengangguk beberapa kali."Aku terlalu banyak menuntut waktumu, Tam. Aku_"

Tama menarik gadis itu ke dalam pelukannya lagi, meski Rani menolak dan mendorongnya. Ia tetap mengeratkan pelukannya sampai Rani kehabisan tenaga dan menangis sesunggukan. Hatinya begitu sakit, meski Ia tau tak seharusnya Ia bersikap seperti ini.

"Jangan buatku bingung, Tama. Aku_"

Tama membelai lembut kepala gadis itu."Aku tau apa yang kamu rasakan, Sayang. Aku juga tidak perduli kalaupun semisal kamu sudah tak mencintaiku lagi. Aku_"

"Kamu ngga pernah ngerasain gimana rasanya menanti orang yang jelas ngga pernah ngasih harapan. Kamu_"

Rani tak mampu menyelesaikan ucapannya lagi. Ia memilih menangis dan memukuli dada Tama sebagai ungkapan sakitnya hatinya. Harusnya pertemuan mereka setelah sekian lama dipisahkan jarak tidaklah seperti ini. Tetapi karena hal ini sudah direncanakan Rani sejak lama, Ia tak begitu kecewa saat ini.

"Nggada yang lain, Rani. Hanya kamu seorang, dan selamanya akan hanya kamu."kata Tama menenangkan.

"Mungkin aku ngga akan sesakit ini kalau Ia manusia sepertiku. Tapi... Kamu tau rasanya cemburu dengan Negara sendiri? Kamu tau aku sangat ingin membunuhnya meski aku tak... Akh, Aku bisa gila memikirkannya."

Bukannya sedih mendengar perkataan kekasihnya, Tama malah tersenyum dan mengeratkan pelukannya lagi. Ia begitu bahagia mendengarnya, dan Ingin selalu seperti itu. Yah, Ia kini mengerti mengapa sikap Rani berubah akhir-akhir ini.

"Kamu mau tau mimpiku yang sebenarnya?"bisiknya.

"Lepaskan aku, Tama."Isak gadis itu terus mengamuk.

"Diatas mimpi dan cita-citaku hanya tentang kamu, Rani. Aku ingin menghabiskan masa tuaku denganmu. "

"Gila!"

"Emang."

"Jangan membuatku bingung."

Tama melepas pelukannya dan memegang bahu gadis itu dan memaksa mata mereka saling menatap. "Bersabarlah sebentar lagi, Sayang. Kamu adalah alasan utama aku terus berjuang," Katanya meyakinkan Rani.

"Kamu jahat, Tama."

Bukannya minta maaf, Tama malah mencubit pipi Rani lumayan keras. Sontak saja gadis itu memekik keras, dan memukul Tama segera. Selalu saja seperti ini, selama bertahun-tahun. Tak pernah ada kata 'Maaf' yang keluar dari mulut Tama, tapi ia selalu punya cara tersendiri membuat hubungan mereka bertahan selama ini.

"Kapan kamu pergi lagi?" Rani menyenderkan kepalanya di bahu Tama.

"Kamu terganggu dengan kehadiranku?"

"Banget."

Tama tersenyum dan merapikan anak-anak rambut Rani. "Aku ngga akan pergi lagi, sampai 6 bulan mendatang."katanya.

Rani menegakkan duduknya dan menatap wajah Tama dalam."Janji?"katanya mencari sesuatu di mata Tama.

Lelaki itu mengangguk. "Demi kamu, aku rela dikeluarkan."katanya.

Rani memukul bahu Tama keras."Dasar gila," makinya.

Keduanya tertawa bersama menikmati senja yang perlahan menghilang. Menikmati momen yang selama ini dinantikan kedua pasangan muda yang sedang berjuang melawan kerasnya LDR. Yah, Rani yang hanya gadis biasa tanpa gelar, ingin bersanding dengan seorang Kapten Pasukan Khusus. Apakah hal itu mungkin?

***

"Nomor urut 567, Atanasius Sint Fatwa dengan nomor akademi 2189_"

Tepat saat penyebutan nama itu, semua orang sudah bersorak menyambut kelulusan Tama meski hanya melalui siaran live. Keringat yang terbayar sudah, meski tak begitu sesuai rencana. Tama yang sangat menginginkan TNI AL kini berakhir di TNI AD

Kini Rani terpukau sendirian memikirkan banyak hal. Ia memilih keluar rumah dan membiarkan keluarganya berbincang soal Tama yang sudah Ia kenalkan sebagai kekasih. Ia tak bisa memastikan Ia bahagia ataupun bersedih. Yah, selama ini Ia menjadi kekuatan utama Tama hingga titik ini. Tetapi semakin kesini, ada sedikit rasa cemas dalam hatinya meski Ia juga tidak tau apa yang membuatnya cemas.

Tanpa Ia sadari, Mamanya memperhatikan raut wajahnya yang muram. Wanita empat puluh tahunan itu mendekatinya dan menepuk keras bahunya. Sepertinya Beliau tau apa yang ada dipikiran Rani, meski Ia sudah berjanji tak akan mencampuri urusan mereka meski itu hal kecil maupun yang berat.

"Mama,"

Wanita itu duduk disampingnya."Kalau ngga sanggup, cerita ke Mama aja yah."katanya.

Rani menyenderkan kepalanya di bahu Mamanya dan memeluknya erat sekali. Rasanya begitu nyaman meski Ia tau beliau bukan orang yang melahirkannya. Tapi selama ini, rasanya tak ada perbedaan antara dia,Laudy dan Alaska sang adik tiri. Hal itulah yang membuat Rani tak bisa pergi meninggalkan rumah ini, karena Ia masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang Ibu.

"Karena Tama?"

Rani mengangguk."Kenapa Rani sedih ya? Padahal kan itu juga mimpi Rani juga."katanya pelan.

Yah, semenjak SMP, Ia selalu bercita-cita menjadi Istri seorang abdi negara. Tidak perduli itu AU,AL maupun AD. Entah apa yang Ia pikirkan tentang pendamping mereka, Ia selalu terobsesi tentang hal itu. Tapi sekarang, Ia begitu sedih dan takut hal itu menjadi kenyataan.

Mira mengusap kepala Puteri-nya lembut, dan memberikan kenyamanan yang selama ini dicari Rani. "Keberhasilan Tama, sebagian besar dari ketabahan kamu "bisiknya.

Hari berganti hari, masih tak ada kabar dari seorang Tama. Yah, Ia bagaikan hilang ditelan bumi begitu saja. Tak hanya sekali dua kali Rani membuka kembali history chat mereka, dan semuanya masih sama seperti saat Tama berpamitan dulu.

"Apakah aku dibuang sekarang?"

*

Terpopuler

Comments

Monstercute

Monstercute

semangat kak

2023-03-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!