NovelToon NovelToon

Jingga Langit Kelabu

Mimpi vs Cita-cita

"Apa mimpi mu, Tam?"

Mata Tama melebar menatap gadis yang begitu dicintainya dengan tanda tanya besar. Sudah lama Ia tak lagi mendengar kalimat itu dari mulut Rani. Tapi melihat yang ditatap hanya diam membisu dan menatapnya dengan mata sendunya yang teduh, Tama yakin tak ada yang janggal di pertanyaan barusan.

"Mengumpulkan uang yang banyak."katanya tanpa berpikir.

Rani tertawa tertahan."Ngapain jadi tentara kalau mau jadi orang kaya?" katanya.

"Yah, kamu tau mimpi aku apa."

"Apa?"

Bukannya menjawab, Tama malah menantang bola mata Rani. Alhasil Rani mendadak gelisah tak menentu, karena ia tak pernah bisa tahan dengan tatapan itu. Tatapan yang penuh ketulusan dan misteri kehidupan, yang selalu saja memberikan kejutan untuk dirinya. Melihat itu, Tama tersenyum lebar sambil menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

"Mimpiku, menjadi seorang Letjen TNI."katanya tegas dan yakin.

Bibir Rani tersenyum, meski ada luka di hatinya yang tiba-tiba berdarah. Yah, luka kecil yang selama ini menemani sepi malamnya. Jawaban Tama membuatnya ragu tentang hal yang selama ini diyakininya. Butuh waktu lama untuk mewujudkan mimpi itu, dan tentunya akan semakin berat bagi Rani. Ia memalingkan wajah, mencegah air matanya jatuh. Biar bagaimanapun Ia tak akan membatasi Tama, apalagi perihal mimpi-mimpinya.

"Kalau cita-citamu apa?" katanya lagi.

Tama sejenak tampak berfikir."Sama, aku akan menunaikan tugas panggilan negara tak perduli apapun_"

Rani tiba-tiba bangkit."Kita break aja yah. Aku butuh waktu berfikir setidaknya sampai kewarasan ku kembali."katanya.

Ia tak bisa bertahan lagi, karena matanya telah basah oleh air mata. Sebelum ini Ia sangat yakin keluarganya salah mengatakan tak ada masa depan untuknya dan Tama. Tapi kini ia tau bahwa tak ada dirinya dalam mimpi dan masa depan Tama. Semuanya hanya tentang tugas dan tanggung jawab Negara.

Sebelum Ia benar-benar pergi, tangannya di tahan Tama. Kapten muda pasukan Perdamaian itu menatap kekasihnya dengan kerutan di dahi. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa Rani seperti ini. Sebelumnya semuanya baik-baik saja meski 18 bulan Ia pergi untuk menjalankan tugas.

"Kenapa ngga putus aja? kenapa harus break?" Tangannya memaksa Rani berbalik.

"Nah, kamu tau maksud aku apa."Rani menghindari tatapan mata Tama, dan memilih menunduk menatap rerumputan.

"Liat aku, Ran! Kamu mau aku putusin?"

Rani menghela nafas, kemudian mengangguk beberapa kali."Aku terlalu banyak menuntut waktumu, Tam. Aku_"

Tama menarik gadis itu ke dalam pelukannya lagi, meski Rani menolak dan mendorongnya. Ia tetap mengeratkan pelukannya sampai Rani kehabisan tenaga dan menangis sesunggukan. Hatinya begitu sakit, meski Ia tau tak seharusnya Ia bersikap seperti ini.

"Jangan buatku bingung, Tama. Aku_"

Tama membelai lembut kepala gadis itu."Aku tau apa yang kamu rasakan, Sayang. Aku juga tidak perduli kalaupun semisal kamu sudah tak mencintaiku lagi. Aku_"

"Kamu ngga pernah ngerasain gimana rasanya menanti orang yang jelas ngga pernah ngasih harapan. Kamu_"

Rani tak mampu menyelesaikan ucapannya lagi. Ia memilih menangis dan memukuli dada Tama sebagai ungkapan sakitnya hatinya. Harusnya pertemuan mereka setelah sekian lama dipisahkan jarak tidaklah seperti ini. Tetapi karena hal ini sudah direncanakan Rani sejak lama, Ia tak begitu kecewa saat ini.

"Nggada yang lain, Rani. Hanya kamu seorang, dan selamanya akan hanya kamu."kata Tama menenangkan.

"Mungkin aku ngga akan sesakit ini kalau Ia manusia sepertiku. Tapi... Kamu tau rasanya cemburu dengan Negara sendiri? Kamu tau aku sangat ingin membunuhnya meski aku tak... Akh, Aku bisa gila memikirkannya."

Bukannya sedih mendengar perkataan kekasihnya, Tama malah tersenyum dan mengeratkan pelukannya lagi. Ia begitu bahagia mendengarnya, dan Ingin selalu seperti itu. Yah, Ia kini mengerti mengapa sikap Rani berubah akhir-akhir ini.

"Kamu mau tau mimpiku yang sebenarnya?"bisiknya.

"Lepaskan aku, Tama."Isak gadis itu terus mengamuk.

"Diatas mimpi dan cita-citaku hanya tentang kamu, Rani. Aku ingin menghabiskan masa tuaku denganmu. "

"Gila!"

"Emang."

"Jangan membuatku bingung."

Tama melepas pelukannya dan memegang bahu gadis itu dan memaksa mata mereka saling menatap. "Bersabarlah sebentar lagi, Sayang. Kamu adalah alasan utama aku terus berjuang," Katanya meyakinkan Rani.

"Kamu jahat, Tama."

Bukannya minta maaf, Tama malah mencubit pipi Rani lumayan keras. Sontak saja gadis itu memekik keras, dan memukul Tama segera. Selalu saja seperti ini, selama bertahun-tahun. Tak pernah ada kata 'Maaf' yang keluar dari mulut Tama, tapi ia selalu punya cara tersendiri membuat hubungan mereka bertahan selama ini.

"Kapan kamu pergi lagi?" Rani menyenderkan kepalanya di bahu Tama.

"Kamu terganggu dengan kehadiranku?"

"Banget."

Tama tersenyum dan merapikan anak-anak rambut Rani. "Aku ngga akan pergi lagi, sampai 6 bulan mendatang."katanya.

Rani menegakkan duduknya dan menatap wajah Tama dalam."Janji?"katanya mencari sesuatu di mata Tama.

Lelaki itu mengangguk. "Demi kamu, aku rela dikeluarkan."katanya.

Rani memukul bahu Tama keras."Dasar gila," makinya.

Keduanya tertawa bersama menikmati senja yang perlahan menghilang. Menikmati momen yang selama ini dinantikan kedua pasangan muda yang sedang berjuang melawan kerasnya LDR. Yah, Rani yang hanya gadis biasa tanpa gelar, ingin bersanding dengan seorang Kapten Pasukan Khusus. Apakah hal itu mungkin?

***

"Nomor urut 567, Atanasius Sint Fatwa dengan nomor akademi 2189_"

Tepat saat penyebutan nama itu, semua orang sudah bersorak menyambut kelulusan Tama meski hanya melalui siaran live. Keringat yang terbayar sudah, meski tak begitu sesuai rencana. Tama yang sangat menginginkan TNI AL kini berakhir di TNI AD

Kini Rani terpukau sendirian memikirkan banyak hal. Ia memilih keluar rumah dan membiarkan keluarganya berbincang soal Tama yang sudah Ia kenalkan sebagai kekasih. Ia tak bisa memastikan Ia bahagia ataupun bersedih. Yah, selama ini Ia menjadi kekuatan utama Tama hingga titik ini. Tetapi semakin kesini, ada sedikit rasa cemas dalam hatinya meski Ia juga tidak tau apa yang membuatnya cemas.

Tanpa Ia sadari, Mamanya memperhatikan raut wajahnya yang muram. Wanita empat puluh tahunan itu mendekatinya dan menepuk keras bahunya. Sepertinya Beliau tau apa yang ada dipikiran Rani, meski Ia sudah berjanji tak akan mencampuri urusan mereka meski itu hal kecil maupun yang berat.

"Mama,"

Wanita itu duduk disampingnya."Kalau ngga sanggup, cerita ke Mama aja yah."katanya.

Rani menyenderkan kepalanya di bahu Mamanya dan memeluknya erat sekali. Rasanya begitu nyaman meski Ia tau beliau bukan orang yang melahirkannya. Tapi selama ini, rasanya tak ada perbedaan antara dia,Laudy dan Alaska sang adik tiri. Hal itulah yang membuat Rani tak bisa pergi meninggalkan rumah ini, karena Ia masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang Ibu.

"Karena Tama?"

Rani mengangguk."Kenapa Rani sedih ya? Padahal kan itu juga mimpi Rani juga."katanya pelan.

Yah, semenjak SMP, Ia selalu bercita-cita menjadi Istri seorang abdi negara. Tidak perduli itu AU,AL maupun AD. Entah apa yang Ia pikirkan tentang pendamping mereka, Ia selalu terobsesi tentang hal itu. Tapi sekarang, Ia begitu sedih dan takut hal itu menjadi kenyataan.

Mira mengusap kepala Puteri-nya lembut, dan memberikan kenyamanan yang selama ini dicari Rani. "Keberhasilan Tama, sebagian besar dari ketabahan kamu "bisiknya.

Hari berganti hari, masih tak ada kabar dari seorang Tama. Yah, Ia bagaikan hilang ditelan bumi begitu saja. Tak hanya sekali dua kali Rani membuka kembali history chat mereka, dan semuanya masih sama seperti saat Tama berpamitan dulu.

"Apakah aku dibuang sekarang?"

*

Kesuksesan Dirimu= Kekalahan Untukku

Perlahan tapi pasti, jari Rani bergerak menekan tombol vc. Kali ini Ia akan mengalahkan keegoisannya sendiri demi rasa rindu yang tak bisa ditahannya lagi. Tapi Ia harus menelan ludah pahit saat Tama menolak panggilannya.

Rani melempar ponselnya sembarang tempat dan membaringkan dirinya di atas ranjang. "Apa yang Ia lakukan?" katanya berfikir keras.

Tok...tok...tok,

"Rani! Tidur ya?" Mita mengetuk pintu Rani pelan.

"Masuk aja, Ma."

"Kamu keluar yah, ada tamu."

"Siapa?"

"Teman sekolah kamu katanya."

Rani bangkit dan membuka pintu "Bilang Rani lagi ngga da yah,Ma."pintanya.

Mita menggelengkan kepala."Mama yakin kamu pasti senang nemuin_"

"Rani cuma mau istirahat aja."potong Rani cepat.

Mita merangkul bahu Rani dan menuntunnya pergi. Meski dengan langkah malas, Rani mengikuti juga langkah Mamanya. Alangkah terkejutnya Ia melihat sosok yang harus ditemuinya tersenyum dengan senyuman khas yang membuatnya mabuk kepayang. Yah, disana ada Tama yang baru saja menolak vc darinya.

Air mata jatuh begitu saja dari matanya sembari Ia menghampiri lelaki itu.

"Kamu_"

Ucapan Rani terhenti terhenti saat Tama memberikan hormat padanya. "Kita berhasil, Ran."katanya dengan senyuman full.

"Aku tau."

Secepat mungkin Ia menjatuhkan diri dalam pelukan Tama. Orang yang sebentar lagi akan mengajarinya tentang sakitnya hubungan LDR. Tanpa diberi tau sekalipun, Rani tau peran utama kini digantikan sudah.

"Kaki kamu baikan?" kata Tama saat mereka berbicara di ruang tamu Rani.

"Hah? Emang kami aku kenapa?" tanya Rani bingung.

"Sakit apa engga aja jawabnya Ran. "

"Engga." kata Rani mencoba mengikuti alur yang diciptakan Tama meskipun ia sendiri bingung maksudnya.

"Sanggup jalan denganku?"

"Kemana?"

"Ke ujung dunia."

Rani tersenyum."Kencan?" godanya.

"Enggak. Yang benar tuh Bunuh diri."kata Tama sewot.

Rani tertawa." Ya udah, aku siap-siap yah."katanya bangkit.

"Ga pakai lama yah."

"2 jam."

Mereka akhirnya keluar rumah setelah pamitan pada Mita. Tempat tujuan mereka adalah taman bunga milik Tama yang selalu menjadi tempat kencan paling romantis buat mereka. Lokasi yang sangat lebar dengan bermacam-macam jenis bunga yang mekar dan harum, memberikan sensasi tersendiri bagi pasangan muda ini meskipun mereka lebih suka bermain dengan ikan-ikan di dalam kolam. Tapi kali ini, suasana tampak sepi seakan tak ada orang yang sedang menyusuri taman itu.

"Mau berhenti sebentar?" tawar Tama.

"Boleh."

Tama menarik tangan Rani agar duduk di rumput Jepang yang terpotong rapi. "Aku akan pergi Ran."katanya.

"Berapa lama?" balas Rani cepat.

"4 tahun."

Rani memalingkan wajahnya."Selamat, Tam. Aku belum mengucapkannya tadi," katanya.

Tama memegang wajah gadis itu dan memintanya menghadap padanya. "Ini semua karena kamu, Sayang. "kata Tama mencium kening gadis itu dalam.

Rani mencoba menikmati meski air matanya semakin deras. Ia juga bingung kenapa Ia bisa se cengeng ini. Padahal sebelumnya Tama yang lebih sering dibuatnya menangis tanpa alasan yang jelas. Melihat hal itu, Tama kembali memeluknya semakin erat seakan enggan untuk dilepaskannya. Sama seperti Rani, Ia juga takut dengan hubungan LDR. Tetapi demi mimpi dan cita-cita mereka berdua, Ia akan mencobanya.

"Ran_"

"Jangan lupa makan yang banyak yah. Jaga diri di sana, dan_" Rani menggantung kalimatnya dan memilih mengusap air matanya.

"Kok nangis? Kamu_"

Rani mencegah Tama berucap dan menutup mulutnya dengan tangannya. "Kalau aku bilang jangan pergi, kamu ngga kan pergi?' tanyanya.

"Aku akan menurutimu."kata Tama yakin.

"Bagaimana dengan mimpiku?"

"Mimpi dan cita-cita ku adalah kamu, Ran. Aku ngelakuin semuanya demi kamu juga,"

Rani kembali memeluk kekasihnya semakin erat. "Pergilah, Sayangku. "bisiknya.

"Jangan menangis. Aku tak akan pergi kalau kamu seperti ini,"

"Aku menangis karena begitu bahagia." balas Rani.

Tama merangkul bahu gadis itu dan menyenderkan ya di dada bidangnya. Yah, sekarang ia sedang berusaha mencuri momen karena ia tau ia akan kesulitan mencari kesempatan seperti ini.

"Oh ya, aku lupa bertanya. Bagaimana dengan kuliahmu?" kata Tama menatap lekat wajah gadis yang sedang memejamkan mata dalam pelukannya.

"Aku gagal."

"Benarkah?"

Itu bukan ekspresi yang diharapkan Rani dari seorang kekasih yang ia dukung selama ini. Sama sekali tak ada raut kaget seperti orang-orang lainnya mengingat Rani sang bintang sekolah yang tidak lulus SBMPTN.

"Kamu senang?" balas Rani bingung.

Tama mengangguk cepat."Tentu saja."katanya yakin.

"Why?"

"Artinya kamu tak perlu seperti ibu-ibu lainnya yang sibuk dengan kerjaan sampai lupa anak dan suami."katanya.

"Siapa bilang aku ibu-ibu?"

Dahi Rani berkerut bertanda ia tidak suka apa yang keluar dari mulut Tama. Dengan gemes Tama mencubit puncak hidung kekasihnya itu sambil tersenyum lebar.

"Kamu hanya perlu menungguku pulang, Ran."katanya.

"Kenapa membatasi mimpiku kalau kamu sendiri ingin meraih mimpimu?"

"Aku tidak membatasi mimpi kamu. Tapi dengan tulus hati aku akan selalu berdoa dan meminta agar kamu gagal." kata Tama lagi.

Tama cemberut."Kamu jahat. Egois!" katanya sok marah.

"Emang. Tapi kamu suka kan?"

"Dulu."

"Hah?"

Rani bangkit dan berlari cepat hingga Tama terpaksa ikutan berlari mengejar langkahnya. Yah, momen itu akan menjadi kenang-kenangan yang mereka rindukan setelah ini.

"Selamat berjuang, Kekasihku." bisik Rani saat Tama berhasil memeluk tubuhnya.

*

Lo dateng sendirian? cowo lo mana?"

itu kata-kata pertama yang didengar Rani begitu Ia menginjakkan kaki di kafe milik Laura ini. Yah, ini tahun ke 2 Tama mengikuti pendidikan dan pastinya jarak yang terbentang di antara mereka semakin jelas terlihat bersamaan dengan sibuknya Tama.

"Pakai nanya lagi. lo kan tau cowoknya sibuk ama Negara. Mana ada waktu ngebucin kaya kita,"sahut Nadia mewakili Rani.

"Yah, sibuk sih bisa aja. Tapi gue ragu dia ngga pulang, apalagi ni kan akhir tahun."

Alsky yang berlebel sebagai pacar Laura merangkul bahu kekasihnya itu dan sengaja memamerkan kemesraan di depan Rani. "Jangan-jangan Tama punya cewek lain, Ran. lo kan tau cowo paling ngga tahan ama yang namanya LDR-an. "katanya.

"Hah?"

"Makanya aku ngga mau jauh dari kamu, Sayang."katanya menanggapi wajah seram Laura.

"Bener sih, Ran. Apalagi sekarang kan lo ada di level yang berbeda ama Tama. Lo yakin dia bakalan setia ama lo?" sambung Laura.

"Emang Rani ada di level berapa?"

Tiba-tiba semua mata mengarah pada sosok yang datang dengan buket mawar putih itu. Azkara yang merasa tak diundang, duduk disamping Rani dan hanya tersenyum pada gadis itu.

"Lo yang ngundang Azka?" tanya Nadia pada Laura.

"Aku."balas Raditya yang berlebel sebagai pacar Nadia.

"Nuduh gue tanpa tanya cowok lo."balas Laura.

"Yah, kan Rani sendirian. Masa sih dia cuma liatin kita doang, "kata Radith.

"Apaan sih, gue kan ngga _"

"Gue emang dateng buat lo, Ran."potong Azka.

"Daripada nunggu Tama, mending kan lo ama_"

Sky sengaja menggantung kalimatnya dan memilih berbicara dengan bibirnya yang dimancungkan ke arah Azka. "Kesempatan langka, bro."katanya oada Azka.

"Nih, buat kamu."Azka menyodorkan bunga itu pada Rani.

Cieeeeee

Sifat kekanak-kanakan mulai muncul diantara mereka. Dan karena keributan yang diciptakan

*

Cinta + Nafsu = Melukai

"Mau yah, Ran." kata Azka tulus.

"Terima! terima... terima!"

Suasana yang semakin riuh membuat Rani terpaksa menunduk karena ia merasa malu dan sakit sekaligus. Hanya anak kecil yang tidak mengerti apa maksud dan tujuan dibalik buket bunga itu, dan itu adalah hal terberat bagi Rani.

"Terima dong." kata Laura menyenggol lengannya.

"Daripada lo nungguin Tama."sambung Nadia.

Hal itu membuat Rani tidak nyaman dan terpaksa menerima buket bunga itu dari tangan Azka. Alhasil, siutan semakin menjadi dan mengakui kalau mereka sekarang pacaran. Yah, Rani tau dan sadar apa yang tengah ia lakukan meskipun saat ini hatinya masih kosong menanti orang yang tak kunjung hadir.

"Makasih, Ran." kata Azka penuh dengan senyuman kemenangan.

"Iya,"

Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Rani sambil ia menunduk menatap lantai yang serasa ikut menertawakan dirinya. Kehidupan memang sudah berbeda sekarang. Laura yang bermimpi mempunyai kafe dapat mewujudkannya dalam jangka 1 tahun, Nadia yang ingin kuliah ke luar Negeri kini tengah menyelesaikan S1-nya di Jerman. Dan benar saja apa yang dikatakan Sky tadinya, tak masuk akal kalau Tama tak ada waktu libur karena Nadia saja bisa pulang meski berkuliah di luar Negeri.

Tapi, apakah pencapaian Rani selain bertahan hidup?

Suasana di dalam cafe sama sekali tak menarik bagi Rani. Padahal itu momen yang jarang terjadi, karena mereka punya kesibukan masing-masing dan sangat menghargai waktu. Tapi jiwa kosongnya tak mampu berdamai, memaksanya keluar menikmati dinginnya malam. Yah, sekarang Ia terpukau menatap bintang-bintang yang juga ceria menemani sang malam.

Mendadak hati Rani semakin galau menyadari kalau bintang-bintang itu juga ikutan menertawakan dirinya sama seperti sahabat-sahabat baiknya itu. Tiba-tiba, Ia merasa ada pelukan hangat dari belakang. Pelukan yang terasa asing dan sama sekali tak sesuai ekspektasi Rani. Hal itu membuat Ia segera berbalik dan menampar sosok yang memeluknya itu dengan keras. Siapa sangka, Azka yang mengira hubungan mereka telah berkembang kini mendapat perlakuan seperti itu.

"Kamu ngga nyaman yah? maaf," katanya memegang pipinya yang memanas.

"Maaf, gue_"

"Ngga papa, Sayang. Kita bisa ngelakuin semuanya perlahan kok,"

"Sayang?"

"Kamu mau panggilan yang_"

"Kita emang harus ngomong, As."potong Rani.

"Kalau ini ngga ngomong, berarti kita lagi ngapain?"

"Gue tau dan sadar kalau rasa gue cuma buat Tama doang. Dan gue masih kuat nunggu dia pulang, ngga perduli sampai kapanpun. Untuk bunganya, gue letakin di kursi dan lo bisa ambil sendiri nantinya." katanya.

Kata-kata itu membuat Azka mendadak tercengang tak percaya. Jujur, 15 kali ia melakukan hal yang sama dalam kesepian, selalu mendapatkan penolakan dari Rani. Tapi, tadina ia sempat senang karena mengira ia berhasil, tapi apalah yang didapat nya kini?

"Kamu mabuk yah?"

"Gue ngga lagi bercanda, Az."

"Ran, lo ngga ngeliat gue tulus? Apa yang mau lo harapin dari Tama? Penantian lo ibaratkan menghitung bintang di langit yang ngga akan pernah berakhir karena_"

Parrrrrrr

Ucapan Azka berhenti takkala ia mendapatkan tamparan ke dua dari Rani. Wanita muda itu menatapnya tajam seakan ia bisa menelannya hidup-hidup. "Lo bisa ngejelekin gue, tapi tidak dengan Tama. Gue tau dan sadar apa yang gue lakuin dan ngga perlu lo ajarin."katanya tajam.

"Gue akan nunjukin kalau ucapan gue bener." balas Azka.

"Gue tau dan sadar apa yang gue rasakan, Az. "

"Apa kurangnya aku, Ran?"

"Lo sempurna di mata orang yang tepat, Azka. Maafin gue karena gue bukan orang yang tepat." Rani beranjak pergi karena berfikir itu cara yang tepat membuat suasana seimbang.

Yah, ia takut semakin lama ia berdebat dengan Azka semakin banyak luka yang ia ciptakan baik untuk dirinya maupun Azka. Ia memilih menyerah karena butuh waktu sendirian menanti Tama dalam kesepian.

Jangan sebut namanya Azka jika ia bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Ia berfikir cukup sudah penantiannya selama ini, dan Ia tak akan membiarkan Rani lepas kali ini. Ia mencengkram tangan Rani, dan menahan langkah gadis itu.

"Az, Please _"

Ucapan Rani terhenti karena bibirnya disumpal bibir Azka yang menciumnya dengan kasar. Sontak saja membuat gadis itu kaget sekaligus marah. Bagaimana tidak, selama berpacaran dengan Tama ia tak pernah mendapatkan perlakuan menjijikkan seperti ini.

Dengan keras Rani mendorong Azka sehingga tanpa sengaja bibirnya berdarah akibat ulah Azka. Kesempatan ini tak disia-siakan Rani untuk kembali masuk dan meminta bantuan kepada sahabat-sahabat nya di dalam sana. Tetapi belum sempat ia melangkah, Azka menarik kakinya sehingga ia tersungkurnya.

"Lo pikir lo_"

"Woiii, Lo gila?"

Al berlari menghampiri mereka dan segera menendang tubuh Azka yang hendak berdiri. Sontak saja tindakannya membuat Azka kembali tersungkur.

"Lo jangan ikut campur."katanya marah.

Al menarik kerah baju Azka dan memaksanya berdiri. "Hanya binatang buas yang memperlakukan lawan jenisnya dengan kasar. Bahkan seekor burung Merak saja tau cara membuat pasangannya terpesona."kata Al marah.

"Lo ngga_"

"Lo pikir Tama akan maafin lo kalau tau perlakuan lo ke wanitanya."potong Al.

Mendengar nama Tama, entah karena takut atau bagaimana Azka melarikan diri seketika setelah memakai dirinya sendiri. Tinggal Rani yang kesulitan berdiri karena ia merasa ngilu di pergelangan kakinya.

"Lo ngga papa?" Al memburu gadis itu dan membantunya berdiri.

"Engga kok, makasih yah."Rani meraih tangan pria itu agar membantunya berdiri.

"Beneran? kaki lo keseleo tuh."

"Ngga papa."

Dengan susah payah, Rani berusaha bangkit meskipun air mata jatuh menetes di pipinya. Ia tiba-tiba teringat sosok Tama yang dulunya selalu bersikap kasar padanya namun tak pernah membuatnya terluka. Semakin kesini, semakin ia merindukan Tama saja.

"Bibir lo...."

Rani menepis tangan Al yang hendak mengusap darah di bibirnya. "Ngga papa." katanya.

"Masuk ke dalam susah lewat pintu depan, Ran. Gimana kalau gue panggil Laura dulu biar pintu darurat dibuka aja."saran Al.

"Gue mau pulang."kata Rani memelas.

"Tapi_"

"Antar gue pulang sekarang, Al."pintanya.

Mau tak mau Al menelepon kekasihnya agar keluar sejenak. Dan begitu mendengar soal Rani, ketiga temannya langsung keluar dan kaget bukan main melihat kondisinya.

"Lo kenapa sih?" Nadia membersihkan pasir yang menempel di luka lutut Rani akibat ulah Azka.

"Dia _"

"Gue cuma terpeleset doang."kata Rani menatap tajam Al seakan memberikan kode agar tidak berkata apa-apa.

"Yah, ada cowok yang nyerempet dia." Kata Al mendukung ucapan Rani.

"Kita masih dulu yah, bersihin_"

"Antar gue pulang, Lau." pinta Rani.

"Tapi_"

"Gue mohon ke lo semua. Antar gue pulang, Please."

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!