Anak Tangga

Anak Tangga

Opelet Tua

Dua kursi memanjang berwarna hitam kecokelatan berhadap-hadapan di dalam opelet tua, berdekatan sejajar di samping kaca kusam. Kursi tersebut mirip seperti kursi bekas dijajah, mengelupas dan berkarat. Karatnya bagai cat permanen, rayap pun enggan mendekatinya. Bahkan namaku yang sering diidentifikasikan dengan orang lanjut usia; Aki, nama yang kerap kali menjadi lelucon--sedikit bergeser, menghindari karatnya.

Aki, pria yang kuat, berani, dan tangguh; ini afirmasiku setiap kali ada yang mengolok namaku.

Aku menatap kursi itu dengan saksama yang tampak memang memprihatinkan. Sesekali tanganku menutup lubangnya dengan tali-temali yang keluar bergelantungan—menyembunyikannya ke lubang yang berbentuk lonjong, bundar, dan melebar luas.

Lubang-lubang seperti hasil tarikan tangan yang tidak bertanggung jawab itu ada di mana-mana. Bahkan di semua tempat. Beberapa kursi lainnya hanya tersisa kayu keras dan paku-paku yang menempel kuat. Di sampingku ada yang dibuat seperti tempat duduk untuk bersantai, sungguh tidak cocok di dalam opelet tua yang sempit, menyesakkan.

Jumlah penumpang opelet yang ideal sebenarnya delapan sampai sepuluh orang dewasa, tapi opelet yang kami tumpangi saat ini jumlah penumpangnya lebih dari itu. Di kursi paling depan ada sopir dan ibu-ibu berbadan langsing memangku bayinya. Kursi memanjang di sebelah kanan tepat di depan pintu opelet ada bapak-bapak berperangai temperamen. Di samping bapak-bapak temperamen itu berjajar dua anak laki-laki pantaranku yang berusia sekitar tiga tahun ke atas, ibu-ibu berbadan tambun bersama anak perempuannya yang baru beranjak remaja, dan aku yang dipangku ibuku. Kursi memanjang satunya lagi di sebelah kiri tepat di samping pintu opelet; ada kernet yang sesekali bolak-balik dari depan ke belakang--duduk di kursi seperti tempat bersantai itu, ibu-ibu yang latah, bapak-bapak bertopi, abang berseragam sekolah putih-biru, dan kakak seragam sekolah putih-merah. Kami semua duduk penuh kehati-hatian, bersusah payah menyeimbangkan tubuh ketika opelet tua berguncang hebat.

Terasa keras. Setiap orang yang duduk di kursi itu pasti sedang berusaha menahan rasa sakit. Tampak jelas pada raut wajah mereka yang melihat pandanganku dengan membalas sedikit senyuman. Terpaksa? Tentu saja. Karena belum pernah kulihat senyuman dengan garis tanggung seperti itu. Apalagi getaran opelet tua yang bisa saja membuat alis melengkung dan dahi berkerut; bibir bergetar bagai gerakan seismograf yang tidak menentu--semakin menyiksa mereka.

Opelet tua memberitahukan dirinya sedang mengalami kerusakan melalui suara rintihan di sudut-sudutnya. Tanpa dipedulikan atau sekadar untuk mengistirahatkannya sejenak. Sampai terpelanting hebat diikuti teriakan menggelegar saat suara pekikan dan tarikan gas sepenuhnya melaju di atas kecepatan maksimal.

“Horeee!” Dua anak laki-laki pantaranku berseru nyaring.

“Diam! Jangan ribut." Sergah bapak-bapak berperangai temperamen itu sembari membelalakkan matanya. Dua anak laki-laki itu seketika membisu.

"Jangan senang dulu. Perjalanan kita masih jauh.” Protes ibu-ibu berbadan tambun.

Mungkin jika ada kuda saat ini, penumpang pasti berpikir dua kali: menumpangi bus tua atau menunggangi kuda? Aku yakin mereka akan memilih pertanyaan yang kedua, karena aku juga merasakan hal yang sama meski dipangku ibuku.

“Bawa kantong plastik itu kemari!” Pinta ibu berbadan tambun itu kepada kernet di depannya. Dia menahan mual akibat goncangan hebat opelet tua. Berkali-kali menutup mulutnya ketika dirasa perutnya mulai bereaksi. Ibu berbadan tambun itu hanya mampu bertahan selang beberapa menit. Kemudian menyerah saat kantong plastik berwarna hitam yang bergelantungan di plafon opelet habis tidak bersisa. Saat mengatakan, berhenti! Opelet tua langsung melamban.

Tergesa-gesa. Ibu berbadan tambun itu menuju ke pintu opelet tua, kendatipun opelet belum sepenuhnya berhenti. Tidak ada yang menahannya, sehingga anak perempuannya yang mulai menikmati perjalanan harus mengekor di belakang ibunya dengan kecewa.

Sopir opelet tidak banyak omong. Memanggil kernetnya dengan bahasa isyarat. Melambaikan tangan, kemudian kernet mendekatinya. Sopir berbisik pelan diikuti anggukan kepala kernet yang naik-turun. Asap rokok daun yang kernet itu gulung dengan tembakau iris di dalamnya, mengepul. Diterbangkan angin ke belakang, mendekatiku. Lenyap seketika dan hanya menyisakan bau kemenyan.

“Ini kueku--bukan kuemu. Jangan ambil!" Rebut dua anak laki-laki pantaranku itu.

“Rasakan!” Suara memukulkan koran. Diikuti isak tangis.

Opelet tua semakin tidak keruan. Barang-barang berjatuhan tindih-menindih.

Mataku yang menyipit berkedip sama cepat dengan jarum detik jam beker yang dipampang di depan opelet. Jarum jam beker tersebut sangat kecil. Tidak tampak angka berapa yang ditunjuk jamnya. Aku hanya menebak dalam hati sekarang ini jam sembilan pagi. Tebakanku mungkin tidak meleset. Jika salah pun—tidak jauh dari angka yang baru saja kusebut. Sebab aku melihat dan memastikan benar-benar kalau matahari masih sepertiga dari arah timur.

Seorang kakek berjenggot putih dan kepala sula tiba-tiba berdiri di pintu opelet tepat di depan bapak-bapak temperamen tadi. Kakek tersebut melotot ke arahku. Keseriusan tatapannya yang mendalam terasa berirama dengan kedip pelan mataku yang juga dia lakukan. Tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Padahal kedip mataku sudah berupaya memberitahunya kalau aku tidak suka tatapannya itu! Berhenti! Perintah ibu-ibu berbadan tambun yang mabuk bus tadi kuulangi lagi dalam hatiku.

Mata kakek itu semakin melotot seperti sedang mengintaiku. Herannya, tidak ada yang menghiraukannya. Bahkan bapak-bapak temperamen itu tidak bergeser sedikit pun untuk sekadar menawarinya tempat duduk walau harus berdempet-dempetan.

Tangan kakek itu sangat erat menggenggam pegangan opelet untuk menyeimbangkan tubuhnya yang terseok-seok ke sana kemari--tidak membuat dia menyerah. Dia tetap berdiri dengan tatapannya yang tajam, menakutkan.

Aku sekilas menatapnya dengan raut wajah marah dan kesal. Kemudian aku mengalihkan pandangan, kembali menikmati perjalanan. Aku bersiul dalam hati hingga aku merasa sedikit tenang. Sambil menyandarkan tubuh ke ibuku, diikuti menghela napas panjang. Aku menghembuskan napas melalui mulut sembari tersenyum lebar kepada semua orang yang seketika menatapku keheranan.

Beberapa detik kemudian, ada lubang besar melingkar di tengah jalan seolah menghalau setiap kendaraan yang melewatinya. Tapi hari ini tidak ada opelet atau kendaraan lain yang lewat selain opelet karatan ini. Pejalan kaki juga tidak. Jalan yang kami lalui lenggang. Hanya pepohonan yang melambai tenang. Semak belukar yang tidak terawat. Semua tampak beda. Tempat ini seperti bukan desa, juga bukan bumi. Benar-benar asing di mataku.

Sopir opelet kehilangan kendali. Lubang besar itu tidak dapat dielakkan lagi. Salah satu ban di bagian depan terbentur kuat, diikuti bunyi merengek di bawah kakiku.

“Tolong..!” Anak laki-laki pantaranku dan ibu-ibu latah berteriak dengan mata yang dikatup kuat-kuat. Bayi di kursi paling depan menangis hebat. Kakak berseragam putih-merah menjambak rambut abang berseragam putih-biru, mengaduh kesakitan. Topi bapak-bapak di depanku jatuh di lantai bus. Kepalanya gundul. Ibu-ibu latah tadi tidak sengaja berteriak,, botak-botak. Dia buru-buru mengambil topinya.

Sebagian barang ada yang terlempar ke luar. Kertas dan kain terbang bagai kupu-kupu yang kehilangan satu sayapnya.

Mereka berusaha mempertahankan posisi masing-masing dengan kaki siap sedia menyelamatkan diri dari situasi mendadak, mengagetkan.

"Mati kamu, mati!" Maki ibu-ibu latah di depanku sembari berpaut pada kursi opelet. Dua anak laki-laki pantaranku terkikik pelan.

Sopir memberhentikan opelet, memeriksanya sejenak. Penumpang membereskan barang bawaan mereka yang berjatuhan dan beterbangan di luar.

“Cepat ambil!” Dua anak laki-laki pantaranku tadi keluar opelet tua lantas mengejar koran yang melayang-layang diterpa angin. Mereka melompat-lompat sekuat tenaga, menangkap koran tersebut lalu membawanya masuk ke dalam opelet tua sembari tersenyum lega.

Aku teringat kakek kepala sula yang memelototiku tadi. Aku masih kesal dan takut padanya. Mataku mengembara ke sekeliling opelet, sedikit waswas. Aku heran pada diriku yang sibuk menjadi intelijen mencari kakek tersebut. Aku mencarinya entah karena khawatir terjadi sesuatu padanya, atau karena aku takut jika tiba-tiba dia menghilang dan muncul seketika di depanku, membawa aku jauh dari ibu? Tapi yang benar, aku mencarinya karena aku takut. Antisipasi. Gumamku dalam hati.

Setelah usai berbenah. Semua penumpang kembali di tempat duduknya masing-masing. Sopir memutar kunci, seisi opelet bergetar bersamaan dengan suaranya yang meraung. Asap tebal berwarna hitam mengepul ke atas. Opelet dengan tarikan gas maksimal bergerak pelan seakan ada yang menariknya dari belakang.

“Kenapa. Ada apa ini?" Tanya bapak-bapak bertopi itu. Sedari tadi dia memegangi topinya.

Sopir opelet tampak kebingungan. Berkali-kali mengentakkan kakinya menginjak pedal gas. Opelet tua bergerak pelan. Sopir opelet mengentakkan kakinya lagi. Tiba-tiba opelet terhenti seketika, raungannya memekik sampai mendenging di gendang telingaku.

Kernet keluar, memeriksa opelet. Langkah kakinya berlalu sangat cepat. Tangannya dikepal kuat-kuat, membentuk otot yang membesar. Urat-urat tangannya muncul tidak beraturan. Keringat menetes membasahi tanah merah yang mengeras dan berbatuan yang besar.

Kami membisu sembari mengawasi melalui kaca kusam di belakang, kiri dan kanan opelet. Kernet berlalu di samping kaca kusam itu, tapi yang kami lihat hanya secercah bayangan hitam. Bayangan tersebut menunduk.

"Berengsek. Lama sekali dia. Coba pak sopir susul cepat." Ujar bapak-bapak temperamen yang duduk di depan pintu opelet itu. Dia nyaris beranjak, mungkin akan sigap memukul siapa pun yang mencoba mengacaukan perjalanan kami ini.

Sopir opelet pun membuka pintunya, lantas menyusul ke belakang. Dari kaca kusam kami melihat ada banyak bayangan hitam yang mendekati opelet.

Seperti bunyi terjerembap di atas berbatuan, “Lari…!” Sopir opelet itu berteriak, mengecil.

Semua penumpang panik tidak kepalang. Mereka baik yang tua, muda, anak-anak hingga bayi, menangis dan berteriak sejadi-jadinya. Ibuku gemetaran, dia beranjak dari tempat duduknya sembari menggendongku.

“Woi…mana otakmu!” Teriak bapak-bapak temperamen itu. Dua anak laki-laki pantaranku sembarang mendorong lantas keluar melalui pintu opelet, kemudian berlari sekencang-kencangnya.

Ibuku mulai mencari cara agar dapat keluar dari opelet tua. Tangan dan kakinya bersiap menuju pintu. Berdiri menunggu waktu yang tepat. Sedikit pun genggaman erat tangannya tidak pernah renggang. Itu membuat aku seperti dijaga seribu pangawal bersenjatakan ketenangan.

Opelet semakin terombang-ambingkan. Semua penumpang menjadi panik. Pintu opelet amat kecil, tapi mereka rebutan untuk keluar. Bahkan memaksakan diri menerobos pintu tersebut. Bapak-bapak temperamen itu tidak sabaran, dia memukul kaca kusam sembari keluar melalui jendela.

Ibuku menuju ke pintu opelet tua, memijakkan kaki di tanah seperti melompati lebih dari dua anak tangga. Tanpa ba-bi-bu, dia berlari sekuat tenaga menuju jalan pulang. Aku terguncang sangat hebat di dalam gendongannya.

Opelet tua di belakang kami semakin jauh sekitar seratus meter. Tiba-tiba ibuku menghentikan langkah kakinya dan mematung. Mata ibuku khusyuk memandang ke depan. Aku bersusah payah memutar kepalaku. Di depan kami ada amukan puluhan bahkan ratusan bekantan yang sedang kejar-kejaran dengan penumpang opelet tua. Mereka memencar ke hutan. Bapak-bapak temperamen pun pasrah tidak berdaya dipukuli, diteriaki, ditarik dan dirubungi bekantan. Ibuku pasrah tidak bergeming. Aku menatap lekat-lekat, di depan sana; kakek kepala sula tadi berdiri santai sembari tersenyum lebar.

Aku mendongak ke atas, menatap wajah ibuku yang kaku seperti hendak mengatakan beberapa patah kata. Aku mulai tidak tenang. Gendongannya seketika berubah menjadi kekacauan.

Mata ibuku berkaca-kaca. Air yang bening nan bersih keluar dari ujung matanya itu. Air tersebut perlahan turun ke dagu, membendung sejenak hingga semakin membesar. Mataku mengikuti pergerakannya. Ibuku semakin erat merangkul aku yang masih berkutat di gendongannya. Aku tidak bisa mengelak, air dari matanya terjun lurus tepat ke wajahku hingga bertubi-tubi. Aku menutup mataku rapat-rapat.

“Bangun, nak. Bangun." Suara samar-samar dari dunia yang lain terdengar bergema di telingaku. Tubuhku berguncang semakin dahsyatnya. Aku membuka mata, ternyata menumpangi opelet tua, senyuman kakek kepala sula dan melihat amukan bekantan hanyalah mimpi. Tapi air yang membasahi wajahku adalah nyata.

Ibu menarik tanganku dengan paksa, "Kita pindah tempat tidur sekarang." Desaknya.

Aku berjalan terhuyung-huyung sembari mengelap wajahku dengan selimut. Aku duduk mematung di ruang tengah. Menatap cahaya di depanku yang terlihat seperti bunga berwarna merah. Redup. Cahaya dari pelita kecil kami menerangi gelapnya malam yang dingin. Bertubi-tubi kudengar irama hujan jatuh di atap daun.

Ibu dan ayah memindahkan tempat tidur. Tikar yang dibuat dari daun mendong hasil rajutan tangan ibuku sudah sobek dan usang. Itu tikar satu-satunya yang andal melindungi kami dari kasarnya lantai papan. Serta tiga bantal yang berisi baju bekas, berat rata-rata per bantal rasanya hampir satu kilogram. Jika melempar kucing dengan bantal itu, tentu tikus pun minggat di rumah sebelah, rumah paman. Itulah bantal kami, tempat untuk membaringkan kepala, dan melenyapkan kelelahan.

Ibu membentangkan tikar di atas lantai yang diinjak berbunyi persis seperti suara teriakan sopir opelet dalam mimpiku tadi—menjerit kesakitan. Papan itu berjingkat-jingkat mengikuti langkah kaki ibuku. Melantur.

Aku pindah tempat duduk, mendekati ayah di dekat pintu ruang tengah. Ayah baru saja selesai membantu ibu memindahkan kelambu, selimut, dan bantal. Ayah merangkul dan memandangku sekilas sembari tersenyum pahit. Senyuman yang seolah berkata, maafkan ayah, nak. Membuat aku berpikir apa yang benar dariku sehingga ayah menatap aku seperti itu?

Ayah mengalihkan pandangannya ke arah pelita. Seakan api pelita itu bisa menghibur dan melenyapkan segala senyuman yang tidak mengenakkan. Kedip mata ayahku sangat pelan seperti menahan sesuatu yang tidak seharusnya dia tahan.

Kami bertiga memandangi lamat-lamat lampu pelita yang menari-nari ditiup angin yang masuk melalui sela-sela dinding papan yang sudah rapuh. Hampir semua sudut di dinding papan ada celah. Celah karena tidak cukup papan untuk rumah ini, dan celah sarang lebah madu.

Saking asyiknya menari, api pelita padam. Seisi rumah menjadi gelap. Ayah memindahkan aku ke samping dari pangkuannya. Dia beranjak mencari korek api di dapur. Berjalan seperti orang buta. Meraba-raba ke dinding rumah.

"Awas, aku tidak bisa melihat. Beri aku jalan. Maafkan aku jika tidak sengaja menginjak kaki atau menggocoh kepala kalian.” Ayah terkekeh mengecil seolah memberi lampu peringatan di kegelapan malam.

Setelah pelita menyala, "Kemari, nak!” Ibu memanggilku sambil menepuk bantal yang bunyinya seperti menendang bola.

Aku berjalan pelan mendekati ibuku dengan langkah kaki terhuyung sedikit manja. Seperti dalam keadaan mabuk, aku melemaskan tubuhku yang kemudian disambut hangat, dan dirangkulnya dengan tenang.

Aku berbaring menyenget, melihat ke arah ayah yang sedang menopang kepalanya dengan tangan kanan.

Aku melayangkan pandangan ke plafon rumah. Air hujan semakin deras menembus atap daun di kamar. Atap daun di ruang tengah juga sesekali bocor; tapi secepat kilat ayah menyisipkan daun tengkawang di sela-sela atap tersebut.

Belaian tangan ibuku terasa lembut dan penuh kasih sayang. Lambat laun tubuhku mulai terasa berat, bantal keras itu seakan menarik kepalaku dalam-dalam.

Terpopuler

Comments

Erarefo Alfin Artharizki

Erarefo Alfin Artharizki

mantap kak

2023-04-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!