"Sayur segar, murah meriah. Silakan dilirik. Beli satu harganya tiga ratus rupiah, beli dua lima ratus rupiah. Dapat potongan seratus rupiah. Ayo, bapak-bapak, ibu-ibu. Stok terbatas. Ini sayur dari kebun sendiri. Dijamin segar dan tidak mengecewakan."
"Sayur yang ini berapa, dik?"
"Oh, yang ini. Satu ikatnya tiga ratus rupiah, kak. Tapi khusus untuk kakak dua ikat ini lima ratus rupiah."
"Wah, saya beli yang ini empat ikat. Berarti seribu rupiah, kan?"
Perempuan yang tampangnya lebih mirip ibu-ibu yang kupanggil kakak itu sedang menawar harga--ini teknik pedagang agar pembeli semangat di lapak kita kata ayah sebulan yang lalu. Ibu-ibu itu tertarik dengan promo yang aku kumandangkan di tengah kesibukan pasar, subuh pada hari minggu ini. Ayah di sampingku bertugas mengembalikan sisa uang pembeli dan membungkus sayur dengan plastik. Ayah duduk di kursi kayu, tampak kelelahan karena selama empat bulan lebih berjualan di pasar tanpa jeda. Tapi hasil berjualan yang ditabung di celengan, berbentuk kotak yang dibuat dari tripleks, di depan celengan itu ditulis, untuk sekolah Aki--berhasil menyemangati ayah. Ibuku yang mendesak ayah membuat celengan tersebut. Kata ibu, siapa tahu suatu hari nanti berguna untukku.
"Iya, kak. Mau beli empat ikat biar langsung saya bungkus?" Gaya berjualan kebanyakan orang pasar telah mendarah daging padaku. Gaya bahasa, cara melayani pembeli, mempromosikan barang dagangan, dan menghitung uang kembalian tanpa harus menggunakan kalkulator telah aku kuasai.
"Iya, dik. Kalau bisa kasi bonus satu ikat." Terkekeh pelan. Aku melirik ke arah ayah, tatapan ayah dapat kumengerti.
"Ini sudah lebih dari bonus kak." Aku tersenyum manis sembari menyodorkan kantong plastik berisi empat ikat sayur segar.
"Iya, dik. Terima kasih ya."
Kata, terima kasih, dari pembeli-lah yang kami sebagai pedagang harapkan. Meskipun terkadang ada pembeli yang sudah diberi hati, malah minta jantung seperti pembeli barusan. Hanya strategi menolak dengan cara yang tepat--dapat membuat pembeli memahami.
Pembeli tidak tahu berapa keuntungan dan kerugian yang aku dan ayah tanggung. Ini sudah resiko dalam usaha kata ayah berulang kali ketika mendengar aku mengeluh kalau ada tetangga yang mengutang.
Ibuku yang mahir dalam dunia per-omelan langsung menciut ketika berhadapan dengan tetangga-tetangga yang sudah lama tidak bayar utang. Hanya kesadaran dari mereka saja yang akan berpikir utangnya harus diapakan.
"Belum ada uang, bu Aki. Tunggu besok, suamiku gajian besok." Alasan tetangga yang bersebelahan dinding dengan kontrakan kami. Ibu menagih serius di teras rumahnya sore ini.
"Iya, bu. Kalau bisa besok lunaskan, ya. Kami sudah tidak punya uang lagi untuk memutar modal." Jawab ibuku. Beralasan tidak punya uang untuk modal, hanya itu strategi ibuku, kendati sayur yang kami jual termasuk modal dan biaya sewa lapak semuanya dari pak Tibet. Meskipun banyak yang mengutang, kami tidak rugi tulen--pak Tibet-lah yang rugi. Tapi kalau dibiarkan, utang akan menumpuk. Contohnya sekarang, kata besok dari tetanggaku menegaskan kalau waktu pelunasan belum pasti; tidak ada penentuan tanggal dan jamnya. Realitanya, besok yang dimaksud tetanggaku adalah besok untuk hari berikutnya lagi.
"Di mana ibumu?" Tanya ayah masih dengan pakaian pasarnya, menghampiri aku yang duduk di teras. Sudah hampir satu jam aku duduk di teras kontrakan sepulang dari pasar; belum sempat mandi dan ganti pakaian--aku kelelahan. Ayah mencari ibu yang sedari tadi tidak dia temui di rumah.
"Itu ibu." Menunjuk ibuku di teras tetangga.
"Cepat suruh ibumu pulang." Desak ayah.
"Iya, yah." Balasku, cepat. Sesegera mungkin aku mengenakan sendal, lantas menuju rumah tetangga yang mana membuat ibu keheranan.
"Ada apa?" Tanya ibuku. Tidak biasanya aku menyusul ibuku yang sedang berkunjung di rumah tetangga. Baru kali ini, atas instruksi ayah.
"Ayah mencari ibu. Katanya cepat pulang." Mengulangi desakan ayah barusan.
"Ini anakmu, ya." Tetangga ikut nimbrung. Memalingkan wajah, hidungnya kembang-kempis seolah mencari udara segar.
"Iya. Ini anak semata wayangku. Kelas tiga Sekolah Dasar tahun ini." Jawab ibuku sedikit berbangga diri kalau anaknya sebentar lagi kelas tiga Sekolah Dasar. Aku tersenyum lebar.
"Kenapa pakaianmu kotor begitu? Masih bersih nampaknya keset kaki kami." Tanya tetanggaku.
Perbandingan yang dia utarakan seolah merendahkan martabat kami. Tetanggaku itu meludah ke samping teras rumahnya berkali-kali. Aku terdiam. Mata berkedip cepat. Ibuku pun terdiam. Ingat pesan paman; hidup ini tergantung bagaimana cara kita memikirkannya.
Aku dan ibu kembali ke rumah tanpa basa-basi. Setiba di rumah, aku langsung mandi dan ganti pakaian.
"Kurang ajar tetangga kita itu. Utang belum dibayar tapi sudah menghina pakaian anakku. Dia belum tahu kalau itu pakaian untuk dia jualan ke pasar. Tunggu nanti, aku akan buktikan anakku pakai toga." Baru masuk ke dalam rumah; belum sempat duduk--ibu sudah mengomel.
"Sudah, sudah. Jangan berlebihan. Lagian kamu juga, kan, yang lagi sibuk-sibuknya malah santai ke rumahnya. Makanya, kubilang jangan, ya, jangan." Ujar ayahku dongkol.
"Santai apa katamu? Aku menagih utangnya." Ibuku memprotes. "Utang tetap utang, Rin. Kamu lihat di sana. Lubang celengan kita menganga lebar. Kita harus menutup lubang itu dengan penuh uang di dalamnya. Tidak kasihan dengan anakmu? Belum apa-apa sudah tetangga hina begitu." Intonasi suara ibuku sedikit ditahan, bukan untuk didengar tetangga. Melainkan untuk dipikirkan dan direnungkan bersama. Ayah hening sejenak, duduk tertunduk ke bawah. Sesekali memegangi perutnya.
"Terserahmu-lah. Aku lapar." Ayah memotong pembicaraan.
Ibu memutar pandangan ke arah dapur, tampaknya emosi ibu tidak tepat jika dilemparkan ke ayahku yang hanya merespon ala kadarnya.
Omelan ibuku tidak berhenti di situ saja, sampai tiba di dapur, "Enak betul dia, semudah itu menghina anakku. Dia tidak tahu anakku peringkat satu di sekolah. Dia kira pakaian anakku cuman itu. Enggak. Banyak, tuh, di kardus. Apa maksudnya lebih bersih dari keset kaki. Itu penghinaan namanya." Mengomel panjang lebar sembari mengongseng tempe.
Aku sedari tadi terdiam, menunduk merasa bersalah. Omelan panjang ibuku seakan merasuki jiwa, perasaan, dan pikiranku. Ada pergulatan hebat di kepala yang bagai ring tinjunya. Aku menyandarkan tubuh ke dinding, memikirkan ucapan ibu yang bilang, toga dan peringkat satu di sekolah. Ibu kalau kesal pasti begini. Semua angan-angannya diungkapkan sebebasnya tanpa berpikir panjang kalau untuk mencapainya tidaklah mudah. Tapi demi menenangkan ibu--aku dan ayah hanya bisa diam.
Ayah mengeluarkan kantong plastik berwarna hitam di hadapanku, membongkar isi di dalamnya. Ada banyak uang ribuan, puluhan, dan uang logam. Ayah memisahkan uang per nominal. Uang logam seratus rupiah tumpukkannya lebih tinggi dari uang logam lima ratus rupiah. Begitu juga uang dua puluh dan sepuluh ribu rupiah yang tidak lebih banyak dari uang seribu rupiah. Setelah semuanya dikumpulkan per nominal, ayah menghitungnya satu per satu.
Omelan di dapur masih membara, radio rusak, kata ayah. Aku terkekeh pelan. Omelan itu berhenti. Ternyata ibu tahu kalau kami sedang menghitung uang.
"Berapa totalnya, Rin?" Tanya ibu sembari mendekat. Spatula di tangannya masih berkutat.
Ayah menghitung uang. Mulutnya komat-kamit seperti membacakan mantra yang hanya dipahami olehnya. Ibu berdiri penuh tanda tanya, penasaran. Aku tertunduk menatap uang yang dihitung sangat cepat.
"Dua ratus lima puluh ribu rupiah" Jawab ayah menyebut nominalnya. Hasil jualan hari ini mengalami peningkatan, bertambah lima puluh ribu rupiah dari penjualan kemarin. Artinya, persenan dari pak Tibet pun bertambah. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan dapur dan membayar rumah kontrakan bulan depan, serta untuk uang jajanku sekolah besok.
Selama jualan sayur di pasar, ayah selalu menyisihkan uangnya untuk jajanku. Kadang lima ratus rupiah, kadang tiga ratus rupiah--tidak jauh dari rentang nominal itu. Tapi berapa pun yang ayah beri, uang jajan itu tidak kugunakan untuk jajan; tapi kutabung. Kebetulan sebulan yang lalu sekolah mengadakan tabungan khusus untuk pelajar. Tanpa ragu, aku langsung membuka tabungan tersebut. Ayah dan ibu tidak tahu, aku sengaja menabung uang jajanku di sekolah diam-diam. Nanti, uangnya akan menjadi momentun berharga seumur hidupku. Aku yakin itu! Seruku dalam hati penuh ambisi.
Lagi pula sekolah setengah hari tidak membuat aku lapar dan dahaga; meskipun kadang-kadang kalau ada maunya Toni mentraktirku.
"Bagaimana? Aku ada rencana mau nambah stok sayur. Tampaknya sayur kita laku keras. Ini peluang kita bersama. Artinya, semakin banyak stok sayur yang aku bawa, semakin banyak pula persenan yang kamu peroleh." Pak Tibet melobi ayah yang menangguk-angguk setuju di ruang tengah.
Seperti biasanya, pak Tibet datang di kontrakan kami. Kalau tidak sore, pasti malam-malam begini pak Tibet mengantarkan sayurnya yang baru dipanen.
Mendengar ada suara pak Tibet, aku membuka pintu kamar, memastikan. Ternyata benar ada pak Tibet. Aku keluar menghampirinya, lantas menyalaminya. Pak Tibet memandangiku dengan takjub.
"Tidak terasa sudah besar, ya. Bagaimana sekolahmu?" Tanya pak Tibet.
"Iya, pak. Sekolah lancar-lancar saja."
"Teman-temanmu di desa seperti kehilangan satu anggota keluarganya. Mereka mencarimu. Hampir setiap minggu ada saja dari mereka yang nongkrong di toko hanya untuk menanyai kabarmu."
"Siapa yang mencariku, pak?" Aku bertanya penuh semangat.
"Masih kenal Aga, kan? Nah, dia yang sering bertanya padaku mengenai kabarmu."
Aku tidak akan pernah melupakan Aga dan yang lainnya. Aku juga bertanya pada pak Tibet bagaimana kabar Aga sekarang. Kata pak Tibet, Aga sedang mencari pekerjaan. Sesekali Aga membantu menjaga toko pak Tibet. Saat ini, Aga jadi tulang punggung keluarga. Ayahnya meninggal sebulan yang lalu. Ibunya sakit-sakitan. Aga ganti-gantian dengan adiknya merawat ibunya. Pak Tibet melanjutkan, "Adiknya akan sekolah tahun depan. Tapi mereka tidak cukup uang."
Aku mengangguk, iba. Ternyata Aga serius tidak lanjut sekolah. Aku memahami keadaan Aga. Kalau kita di pihaknya tentu kita memilih keputusan yang sama. Aku yakin Aga anak yang pintar. Dia tidak sepenuhnya malas belajar kalau dia fokus sepertiku. Banyak hal yang Aga urusi di rumahnya, termasuk ayahnya yang dulu sakit-sakitan, membantu ibunya mencari nafkah. Tentunya sedikit waktu Aga yang tersisa untuk belajar. Tapi kupikir-pikir, siapa tahu suatu saat nanti Aga bisa seperti pak Tibet. Amin. Gumamku dalam hati.
Pak Tibet mematung senjenak, tatapannya khsyuk di belakangku. Lalu pak Tibet memalingkan pandangannya ke ayah. Aku penasaran apa yang pak Tibet barusan lihat. Aku memutar kepalaku ke belakang. Tulisan rangkai ibuku, untuk sekolah Aki, seolah menunggu penyumbang di depan pintu. Aku lupa menutup pintu.
"Silakan pak Tibet. Ini masih panas." Ibu menghidangkan goreng pisangnya. "Tunggu sebentar, ya. Airnya baru mendidih." Lanjut ibuku, kembali ke dapur.
"Wah, ini goreng pisang terenak yang pernah ada. Kamu tambah dengan bumbu apa bisa seenak ini?" Tanya pak Tibet, setengah teko kopi hitam menyusul.
"Tidak ada bumbu lain, pak. Ini hanya racikan sederhana dari perpaduan antara tepung, garam dan telur ayam kampung." Ibu menuang kopi dari teko ke cawan, lalu memberikannya kepada ayah dan pak Tibet.
Aroma kopi sangat menggoda. Uap putih mengepul ditiup pak Tibet, lalu menyeropotnya penuh penghayatan.
"Kenapa belum dijajakan? Ini enak, loh. Aki, pernah lihat goreng pisang dijual di kantin sekolah, tidak?"
"Sejauh ini hanya bakwan yang dijual bu kantin, pak."
"Bagaimana bakwannya? Laris manis, bukan?"
"Sudah pasti, pak. Puluhan bahkan ratusan pasang mata lebih tertarik bakwan bu kantin ketimbang makanan lain."
"Nah, kalau begitu kenapa tidak kamu bantu ibumu titipkan goreng pisangnya di kantin sekolah?" Pak Tibet menyeropot kopinya lagi.
Aku terdiam, berpikir dan mempertimbangkan ide pak Tibet yang ada benarnya juga. Memang jam istirahat kantin sekolah penuh sesak, bahkan mereka ada yang protes penuh kekecewaan kalau bakwan habis sebelum jam pulang.
"Jual tiga ratus rupiah saja per goreng pisangnya. Jangan mahal-mahal. Kalian akan untung banyak. Kamu dapat uang jajan, dan ibumu bisa beli kebutuhan dapur dengan hasil jual goreng pisang itu. Oh, iya. Untuk pemilik kantin beri saja sepuluh persen dari total goreng pisang yang terjual." Lanjut pak Tibet.
"Ada memang niat kami menjualnya, pak Tibet. Tapi setiap kali kami berencana memperbanyak stok goreng pisang, belum sempat dijual sudah habis duluan." Ibuku melirik ke arahku. "Kadang gas elpiji-nya yang habis. Minyak goreng. Bahkan pisangnya, uang untuk beli tepung." Ibu mendetail pengeluaran.
"Oh, kalau begitu kita kerja sama saja. Besok atau lusa biar segala perlengkapan membuat goreng pisang aku yang bawa kemari. Coba tulis apa-apa saja yang diperlukan." Pak Tibet seketika menjadi investor, ibuku produsennya. Tanpa ragu lagi, ibu mengambil kertas ke tasku, menulis segala yang diperlukan.
"Ini, pak. Semoga segera terealisasi, ya." Menyerahkan potongan kertas ke pak Tibet. Kata semoga, menekankan bahwa ibuku sangat berharap.
"Baiklah. Ingatkan aku kalau besok lupa membawanya. Modal semua dari aku. Kamu hanya buat goreng pisang terbaik ini lalu menjajakannya, Aki bisa menitipkannya di kantin sekolah. Jadi kamu bisa buat goreng pisang sebanyak mungkin. Aku hanya ambil sepuluh persen dari total penjualan."
Jadi, dua puluh persen keseluruhan pengurangan hasil penjualan nanti. Ini artinya aku masih dapat lebihnya. Hitungku dalam hati.
Ibu tersenyum bahagia. Ayah menyeropot kopinya, menggangguk-angguk setuju.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments