Ayah tergesa-gesa melangkahkan kakinya, berjalan mendahului aku dan ibu sembari memegang obor yang membara. Kami tertinggal lima meter jauhnya dari ayah. Ibu sesekali berhenti kelelahan, mengatur napas yang tersengal-sengal.
"Coba jalan pelan sedikit. Kami di belakang sembarang melangkah. Entah menginjak semut api, entah lubang, batu. Gelap." Ujar ibu menghentikan langkah kaki ayah. "Kenapa tergesa-gesa begitu?" Tanya ibu setelah mengomel sedikit.
Dalam hati aku juga melontarkan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan ibuku. Tidak biasanya ayah setega ini, berjalan cepat meninggalkan kami di belakang. Setahuku, ayah tidak bertengkar mulut apalagi berkelahi dengan orang lain selama jadi penghulu paman tadi, tidak mungkin jadi alasannya.
Memang sudah larut malam. Rumah pak Tibet pun sudah lenggang. Angsa tidak lagi menggertakku, senyap.
"Ada yang aku lupa." Jawab ayah cepat.
"Apa?" Tanya ibu sembari mendekati ayah. Dia menunggu kami di pinggir jalan.
"Itulah yang aku lupa. Aku tidak tidak ingat sama sekali. Dari tadi aku tidak tenang. Ada yang kurang beres nampaknya." Ayah membuat ibu ikut berpikir keras. Mereka gundah, sementara aku diam, menyimak pembicaraan mereka.
Dulu waktu aku kecil, pulang malam begini selalu digendong ayah gantian dengan ibu. Sekarang aku harus mengekor di belakang mereka. Biar pun satu langkah kaki ayah sama dengan tiga langkah kakiku. Berjalan setengah berlari hingga akhirnya aku bisa mengejar langkah kaki ayah yang hanya melamban ketika obor hampir padam, kemudian melaju lagi saat obor kembali menyala terang.
Aku menegadah ke depan. Dari kejauhan aku melihat warna merah samar-samar di langit seperti matahari tenggelam ke barat. Tapi rumah kami ke arah selatan. Matahari apa yang ada di sebelah selatan? Aku juga mendengar suara kaki menginjak ranting sayup-sayup ke arah rumah kami. Menginjak ranting? Paling kalau bukan ayah, pasti ibu. Pikirku dalam hati.
"Cepat. Cepat. Ada yang tidak beres." Ayah mengulangi perkataannya tadi, ada yang tidak beres. Lupa.
Aku semakin mempercepat langkah kakiku. Bukan setengah berlari, melainkan memang sedang kejar-kejaran dengan ayahku yang melangkah sembarangan. Ibu pun demikian. Obor yang nyaris padam berusaha ditudungi ayah dengan telapak tangannya. Obor itu sama sekali tidak menerangi jalan kami. Pikiran yang masih ingat jalan pulang membuat kami yakin melangkahkan kaki di tapak tilas yang tepat.
Ayah berlari semakin kencang hingga akhirnya api obor padam. Kami melangkah dalam kegelapan. Untungnya masih ada sinar bulan yang setidaknya membuat mata melek.
Cahaya merah samar-sama dan suara seperti menginjak ranting semakin jelas terdengar. Tengah malam begini masih ada yang nekat buat api unggun. Gumamku dalam hati sembari berlari tanpa tahu apa yang sedang kukejar. Aku hanya ikut-ikutan melihat kedua orang tuaku yang tergesa-gesa menuju rumah. Tidak peduli seberapa lambatnya aku berlari, tidak peduli dedaunan yang menghalangi langkah kaki. Mereka semakin menjauh, aku hanya melihat bayangan hitam di depanku dan cahaya merah yang samar-samar itu.
"Api. Api. Api. Tolong bantu padamkan." Ayah berteriak sangat keras disusul ibu dengan isak tangisnya. Aku yang baru sampai di depan rumah karena ketinggalan jauh dari ayah dan ibu; sedikit tidak dipedulikan--ikut berteriak. Ayah mengambil ember ke kolam buatan paman. Menyauk air keruh itu dengan ember. Dia berlari sekuat tenaga, air dalam ember beriak-riak--bercucuran ke tanah keras. Ayah mengayunkan ember, lantas menyiram api yang kian membara.
Ibu berlari bolak-balik kebingungan harus melakukan apa seraya menangis tersedu-sedu. Aku pun kebingungan.
"Tolong. Tolong." Aku berteriak sekuat tenaga. Rumah yang jauh dari keramaian membuat teriakanku tidak kedengaran. Tapi meskipun begitu, aku tetap optimis. Berteriak sampai suaraku serak. Air mata mengering karena panasnya api yang melahap lapar rumah kami.
"Ambil. Cepat." Ayah melempar embernya ke ibuku.
Ibu berlari zig-zag menuju kolam buatan paman. Hanya kolam itu andalan kami satu-satunya untuk menyirami rumah yang terbakar. Kemarau panjang membuat atap daunnya mengering, alhasil api semakin semangat melahapnya.
Ibu mengambil air lantas menyiram api. Bolak-balik. Ayah di ujung sana mencoba masuk ke dalam rumah. Meski panas, ayah yang sudah membasahi tubuhnya dengan air tadi, lantas masuk tanpa ba-bi-bu. Jangan, yah. Teriakku dalam hati tidak terkatakan.
Ayah keluar, membawa berkas-berkas penting. Sayangnya, tikar daun mendong buatan ibuku tidak terselamatkan. Api lebih menyukai tikar itu. Hanya raporku dan beberapa helai pakaian yang berhasil ayah selamatkan.
Ayah memberikannya padaku, "Pegang ini." Ujarnya penuh keringat dan napas sekencang generator listrik pak Tibet. Aku mengambil rapor dan pakaian itu. Ada setitik warna merah di ujung pakaian, aku menghempas-hempaskannya hingga setitik warna merah itu padam.
Ibu tidak henti-hentinya menyiram rumah dengan air. Langkah kakinya yang dipaksa melaju membuat ibu berlari terseok-seok. Air di ember ibuku tumpah sebagian. Tapi ibu tidak menyerah. Yakin api masih bisa dipadamkan. Ayah masuk lagi ke dalam rumah. Tidak lama kemudian keluar tanpa membawa apa-apa. Ini artinya, semua seragam sekolahku tidak bisa diselamatkan, termasuk sepatu hadiah peringkat satu dari pak Mad. Dengan susah payah kedua orang tuaku mengumpulkan uang untuk membeli seragam sekolah. Dengan susah payah pula aku belajar sampai poniku dilahap api pelita, tapi malam ini, semua susah payah itu seakan sia-sia. Rapor yang kupegang erat-erat ingin kubuang jauh-jauh, berpikir sekolah tanpa seragam tidak ada gunanya. Tapi aku mengurungkan niat untuk bertindak gegabah. Aku teringat bagaimana ayah berjuang mengambilkannya untukku.
Api terlalu bersemangat melahap rumah kami. Serpihan api berterbangan bersamaan dengan asap yang mengepul hebat di atas. Bagai bintang yang jatuh ke bawah, serpihan api itu melayang-layang ke atas dan padam.
Di belakangku ada suara minta tolong mengikuti teriakanku yang perlahan melemah. Semakin lama suara itu semakin mendekat. Kedengarannya sangat ramai. Aku menoleh ke belakang, memastikan. Ternyata paman dan rombongannya berdatangan. Ada yang menggunakan sepeda onthel, ada yang berlari sekuat tenaga. Ramai. Teriakanku berhasil! Seruku dalam hati.
Mereka memarkirkan sepedanya sembarangan di antara semak, jauh dari api. Paman langsung menuju rumahnya, berpapasan dengan ibuku yang tetap berusaha memadamkan api dengan air. Gembok rumah paman berhasil dibuka, dia masuk ke dalam rumah lantas mengeluarkan semua embernya.
Belasan bapak-bapak mengambil ember itu. Bergantian. Mereka menyiram api yang perlahan padam. Tapi bukan padam karena air, melainkan tidak ada lagi yang bisa dilahap api.
Tangis ibuku pecah sebelum pak Tibet tiba. Ayah sesekali mengelap matanya dengan tangan kanannya. Wajahnya hitam. Biarpun tampak melucu, tapi tidak ada yang tertawa melihatnya. Semua bersimpati.
"Sabar, ya." Ujar paman dan yang lainnya sembari menepuk-nepuk pundak ayah. Aku, ayah dan ibu saling rangkul, terisak tangis. Tubuh ayah terasa sangat panas. Ibu basah kuyub.
"Kenapa bisa terbakar begini." Ujar pak Tibet sembari menepuk dahinya. Bapak-bapak di samping pak Tibet menyikutnya.
Baru pertama kali ini aku melihat wajah pak Tibet. Meskipun di kegelapan malam, wajah itu tampak sangat serius dan penuh pertimbangan, mirip wajah pak Mad. Janggut hitam pak Tibet menjulur ke bawah sekitar sejengkalku. Pak Tibet tiba belakangan menggunakan sepeda motornya setelah semuanya usai. Di desa ini hanya pak Tibet yang mampu membeli barang mewah nan mahal seperti sepeda motor. Kami yang tidak mampu, hanya jadi penonton takjub.
Ayah mendekati pak Tibet. Menunduk sampai ke lutut pak Tibet. "Maaf bos. Maaf." Ujarnya dengan suara gemetaran.
Bapak-bapak di samping pak Tibet menyikutnya lagi. Pak Tibet ikut menunduk, mengangkat kedua bahu ayah, perlahan ayah ikuti sampai keduanya bersitatap tegang.
"Kamu tidak apa-apa? Barang berharga sudah diamankan?" Ujar pak Tibet lembut.
Ayah mengelap air matanya lagi. Tangis ayahku tidak bersuara seperti ibu yang sedari tadi menangis nyaris pingsan.
Hanya hitungan jam rumah itu hangus dimakan api. Kenang-kenangan yang kami ukir sedemikian rupa dihapus oleh si jago merah. Bertahun-tahun kami merangkai kisah suka dan duka di rumah ini, tapi malam ini semuanya sirna.
Ayah mengangguk pelan, menjawab pertanyaan pak Tibet kalau kami dalam kondisi baik-baik saja. "Hanya rapor anakku dan beberapa helai pakaian yang dapat kuselamatkan." Jawab ayah.
Pak Tibet mengangguk iba, menepuk-nepuk pundak ayah. Wajah ayah yang coreng moreng tidak ditertawakan. Mereka ikut bersedih. Berkali-kali menepuk pundak ayah.
"Cil." Panggil pak Tibet.
"Apa, bos?" Paman mendekat. Pakaian paman yang tadinya rapi menjadi berantakan. Parfum yang tadinya wangi menjadi bau keringat dan bau asap.
"Ajak mereka menginap di rumahmu malam ini." Jawab pak Tibet.
"Siap, bos."
Mereka menyalami ayahku lantas pamit pulang. Kata, sabar, sudah belasan kali kudengar bersahut-sahutan dengan anggukan kepala ayah. Mereka menjauh sembari menggayuh sepeda sekencang-kencangnya karena sudah larut malam, pulang ke rumah masing-masing. Hanya sisa kami berempat yang masih berdiri menatap rumah yang terbakar, penuh kesedihan, ayah penuh penyesalan. Kantuk yang sedari tadi kutahan, seketika hilang. Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah rumah.
"Sabar, ya. Kalian bisa menginap di rumahku. Toh, sebentar lagi aku pindah rumah. Kalian tidak perlu khawatir masalah rumah, perabotan dan lain sebagainy akan kutinggalkan untuk kalian." Ujar paman prihatin.
Ayah tersenyum pahit seolah bilang, terima kasih, Cil. Aku memegang erat raporku. Satu-satunya harta berharga yang berhasil diselamatkan ayahku. Harta yang lebih bernilai bagi ayah sehingga banyak yang perlu diselamatkan tapi hanya rapor yang ayah pilih. Radio pemberian paman seolah dikorbankan ayah demi rapor ini. Yang biasanya menghibur di sore hari. Yang membuat ayah ikut berdendang ria. Yang mengabarkan berita tentang kondisi nan jauh di seberang sana. Radio itu lenyap.
Kami berjalan menuju ke rumah paman. Air kolam buatan paman bergelombang hingga menyentuh tebing kolam yang terdengar seperti suara tepuk tangan. Paman memarkirkan sepeda onthelnya di samping rumah tanpa mengemboknya. Kami melangkahkan kaki di anak tangga pertama, masuk ke dalam rumah paman. Pintu paman mengerang kesakitan, dipaksa terbuka selebar-lebarnya.
"Soe benar malam ini." Gerutu ayahku sembari melabuhkan pantatnya di lantai papan. Paman dari dapur membawa seteko kopi.
"Udah. Jangan dipikirkan. Percuma dipikirkan. Toh, rumah itu tidak akan kembali seperti semula." Paman menasihati ayahku yang tertunduk ke bawah.
"Iya, benar katamu, Cil. Seandainya aku menaruh pelita jauh dari dinding rumah mungkin tidak akan begini jadinya." Ayah menjelaskan alasan kenapa rumah bisa kebakaran.
Ibu mengelap air matanya berkali-kali. "Kami tidak menyalahkanmu. Anggap saja kita kalah berjudi." Ujar ibu menenangkan ayah.
Mungkin yang dimaksud ibu tentang kalah berjudi adalah ketidakberuntungan. Memang benar, kami tidak beruntung. Tidak ada yang bisa disyukuri, kecuali ratap tangis. Aku menangisi nasibku yang kemungkinan besar tidak bisa bersekolah. Hanya baju dan celana yang kupakai saat ini yang masih tersisa. Sementara pakaian yang ayahku ambil sembarangan di dalam rumah yang terbakar tadi hanyalah sehelai baju ibuku, dan dua helai celana ayah. Sekali lagi kami tidak menyalahkan ayah yang ceroboh sembarangan menyimpan pelita. Ini semua berbicara tentang keberuntungan. Pak Tibet-lah yang beruntung semasa hidupnya.
"Sabar. Kalian jangan menyerah begitu. Kan, kamu sendiri yang bilang." Paman memfokuskan tatapannya pada ayah yang menunduk datar. Ayah membalas tatapan paman dengan kedip mata yang seolah bertanya, bilang apa?
"Hidup ini tentang rasa sayang, cinta, bahagia, suka dan duka. Kalian masih punya rasa itu, kan?" Tanya paman mengulangi ucapan ayahku saat jadi penghulunya tadi. Ayah mengangguk, paham. "Itu yang kamu maksud tentang keputusan ada di tangan kita, bukan? Kalian tentu sudah memikirkan rasa mana yang akan kalian pilih. Jika kalian memilih rasa sayang, cinta dan bahagia, kalian akan merasakannya. Tapi jika kalian pilih suka dan duka, kalian akan melewatinya. Memang pilihan yang kamu beri padaku tadi semuanya pilihan tentang kesabaran. Tapi apakah kalian akan gegabah untuk ambil keputusan?" Ayah menggeleng pelan. Ibu mengelap air matanya lagi. Mata ibuku memerah. Api pelita memantulkan cahayanya dari mata ibuku. Menari-nari turut menghibur, bukan mengolok. Sekali lagi, ini tentang kesabaran. Gegabah hanya akan membuat kita berpikir semuanya tidak ada yang benar.
"Hidup bukan tentang enaknya saja, kawan. Sabar akan membuat kamu tahan ketika mengalami kekacauan, masalah dan musibah." Paman berbicara lancar dan tegas seakan membacakan proklamasi kemerdekaan.
"Iya, Cil. Kamu benar." Ujar ayah. Tangan kanannya menahan tubuh yang menunduk, condong ke bawah.
"Sudah. Jangan disesali lagi. Cepat hamparkan tikar ini, pakai bantal yang ada untuk kita tidur." Paman mengangkat tikar daun mendongnya dari kamar ke ruang tengah. Ibu menyambar tikar itu lantas menghamparnya. Ayah menyandarkan tubuh ke dinding. Menghela napas dengan cepat.
Paman kembali ke kamarnya setelah membantu ibu menyiapkan tempat tidur darurat untuk kami. Aku berbaring di dekat ibu. Ayah masih bersandar di dinding, tampaknya sedang berpikir keras.
"Tapi bagaimana?" Ayah berucap pelan. Hanya aku yang mendengar, ibu sudah terlelap.
Aku menutup mataku dengan cepat saat ayah menoleh ke arahku. Ayah menyapu tikar daun mendong dengan tangannya lantas melabuhkan kepala di bantal tipis. Meski sudah berbaring, mata ayah tetap berkedip liar mengembara ke sudut-sudut rumah paman, berpikir. Aku tertidur lelap. Tidak tahu apa yang ayah lakukan setelah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments