Kami libur panjang kendati di kalender tidak ada tanggal merah. Biasanya hari libur yang dinanti-nanti anak sekolah karena bisa berleha-leha seharian di rumah. Bermain. Menikmati liburan bersama keluarga. Tapi tidak denganku. Malah aku bangun tidur sebelum ayam berkokok. Membantu kedua orang tuaku mengumpulkan uang untuk aku lanjut ke kelas dua; kalau naik kelas.
Dari kemarin ibu menginterogasiku. "Bagaimana ulangannya? Bisa dijawab semua, kan?" Kemudian meminta pendapat ayah, "Menurutmu dia naik kelas tidak, ya?" Khawatir.
Ayah mengangkat kedua bahunya seolah bilang, tidak tahu. Mendengarkan radio. Kepala ayah mengangguk-angguk mengikuti irama musik dangdut kesukaannya. Kemarin paman menghibahkan radionya pada ayahku. Radio itu masih bagus, suaranya tidak amburadul seperti radio ayah yang dulu, antenanya juga panjang. Ayah tidak perlu repot-repot mencari sinyal radio dengan menarik-ulur antena lagi. Cukup satu tarikan panjang ke atas, sinyal radio bisa ditemukan. Ayah bilang paman akan pindah rumah. Tidak tahu kapan dan kenapa.
Malam ini ayah dan paman berbincang di ruang tengah sangat lama. Anggukan paman sangat lentur setiap kali mendengar nasihat ayah.
"Memang pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri, Cil." Agaknya paman mulai mengerti.
"Benar katamu. Aku akui, sendiri hanya membuat diri ini kesepian, tujuan hidup tidak jelas. Aku berharap gagal terjadi hanya sekali." Ujar paman, lirih. Dua cawan kopi dihidangkan ibuku di hadapan ayah dan paman.
"Oh, ini ponakanku yang sebentar lagi kelas dua." Aku keluar kamar. Duduk di dekat ayah.
"Belum, paman. Aku tidak yakin dengan pak Mad."
"Emang ada apa dengan pak Mad?" Sambar ibu, penasaran.
"Sudah dua kali aku dihukum pak Mad." Keceplosan.
"Hah, kapan?" Ibu kaget. Membelalakkan matanya. Tidak percaya.
Aku tidak bisa mengelak, "Pertama, dihukum menyalin tulisan, aku tidak pandai berhitung sebanyak dua ratus baris." Ujarku tertunduk, menyesal. "Kedua dihukum membersihkan kelas." Lanjutku.
"Hebat dong. Kalau kami dulu gak afdal kalau tidak dihukum guru. Itu bakal jadi kenang-kenangan yang tak terlupakan." Paman menimpali.
Paman benar. Aku bahkan lebih ingat dihukum pak Mad ketimbang dapat ponten seratus dari bu Neli. Aku ingat bagaimana raut muka Budi yang kelabakan menyelesaikan hukuman dua ratus baris dari pak Mad. Aku juga ingat bagaimana kebersamaan kami ketika membersihkan kelas. Ingat bagaimana cara Aga marah pada Randi. Aku rindu kenangan itu. Sayangnya waktu tidak bisa diputar mundur.
Ibu tidak jadi marah. Ayah mengangguk setuju.
Tulat menjadi penentu kami akan ke kelas mana. Mungkinkah lanjut ke kelas dua atau kembali ke kelas satu? Aku tidak terlalu yakin. Ayah sudah menerima undangan dari pak Mad seminggu yang lalu. Pak Mad tahu ayah berkuli dengan pak Tibet dan menitipkan surat itu pada pak Tibet.
Paman pamit, kembali ke rumahnya. Kami tidur dengan nyenyak. Tiba-tiba air beruntun dari atap daun membanjiri wajahku.
"Pindah, pindah. Cepat angkat bantalmu." Ibu kalang-kabut memindahkan alas tidur, bantal, selimut dan kelambu.
"Hampar di sini, Rin. Sini kering." Ujar ayah.
Hujan tidak terlalu deras di luar sana. Hanya saja atap daun kami terlalu tua. Hujan berarti batal menoreh. Dalam hati aku bilang, hore. Tapi aku tidak bisa menunjukkan raut wajah bahagiaku di hadapan ayah yang gundah dan ibu yang kelelahan memindahkan tempat tidur dan menggeser kardus pakaian. Raut wajahku tidak bisa menjelaskan antara bahagia gagal menoreh, atau kasihan melihat ayah dan ibu yang diam membisu mendengarkan suara hujan di atap daun. Pisau toreh pun sudah terlanjur ayah asah.
Hujan telah reda, hanya gerimis di luar sana. Tapi tidak mungkin kami kembali ke kamar sementara ayah sudah berdengkur hebat, bersahut-sahutan dengan suara kodok.
Malam ini aku seakan menemani ayah dan ibu tidur di ruang tengah, sedari tadi aku tidak terlelap. Meski mata kukatup rapat-rapat, tapi saraf otak di kepala masih bergulat memecahkan masalah benang kusut atau jarum di jerami.
Aku menarik selimut hingga di leher, dingin. Hampir terlelap, tiba-tiba ayah membangunkan aku dan ibu.
"Kalian ikut menoreh, tidak? Kalau ikut--cepat bangun. Sebentar lagi pagi." Desak ayah, tergesa-gesa. Ibu mengira aku masih tidur.
"Bangun, nak. Kami mau menoreh." Suaranya pelan tanpa menyentuh. Aku membalik-balikkan tubuhku dengan malas.
Memang tidak ada kata atau kalimat paksaan. Tapi aku sadar--aku belum tidur. Aku tidak akan berani kalau aku tahu di rumah sendirian!
"Tunggu, bu." Sahutku sekonyong-konyong beranjak dari tempat tidur.
Ayah membawa handuknya. Tumben bawa handuk. Pikirku keheranan. Tanah di luar becek. Rerumputan berembun. Bulan sabit pun tampak samar-samar. Kodok masih bersahut-sahutan. Jangkrik bagai memukul tamborin, berisik.
Kami tiba di kebun karet, kaki di bawah lututku basah kuyup.
Sebelum ditoreh, ayah mengelap setiap pohon dengan handuknya sampai kering.
"Biar air getah tidak belepotan." Ujar ayah sembari senyum lebar melihat aku yang bingung, penuh tanya.
"Hujan semalam hanya sebentar. Pohon ini tampaknya belum terlalu basah." Ujar ibu mengambil handuk yang ayah sodorkan kepadanya.
Ayah menggoreskan pisau torehnya lalu memastikan arah air getah belepotan atau tidak. Setelah yakin air getah jatuh tepat ke tempurung, barulah ayah menoreh pohon karet berikutnya.
"Berikan padaku handuknya, bu. Biar aku yang mengelapnya." Pintaku pada ibu yang lamban mengelap pohon karet.
Ayah mengomel sedari tadi, menyuruh ibu mengelap pohon karet itu sedikit lebih cepat. Ayah sangat mahir memainkan pisau torehnya. Setiap lekukan bekas torehan kemarin tidak ada yang terlampaui. Ayah menoreh satu pohon karet hanya dalam hitungan detik. Sedangkan ibu mengelap satu pohon karet lebih dari satu menit. Maklum. Ibuku selalu teliti dan berhati-hati dalam melakukan sesuatu.
Sekarang giliran aku yang mengelap pohon karet. Memang tidak terlalu kering. Tapi lebih cepat dari ibuku. Alhasil ayah dan ibu bisa selesai menoreh ketika fajar mulai menyingsing. Dan mengumpulkan air getah ketika matahari sudah terik, menyengat.
Selanjutnya, ayah mencetak kepingan getah dan menjualnya ke pak Tibet.
"Syukurlah. Ini sudah cukup." Hitungan genap membuat secangkir kopi pahit ayah seakan manis karena senyumnya. Gula telah habis. Terpaksa ayah meminum kopi tanpa gula sore ini.
Pagi hari yang sangat cerah, disambut riang oleh paman yang rapi tidak terhingga. Baju kemeja kotak-kotak warna biru muda berkerah. Celana kain berwarna hitam menutupi mata kaki. Sepatu semi kulit berwarna hitam tanpa kaus kaki. Paman berdiri tegap seperti mendengar aba-aba, siap grak, dari komandan upacara. Memasukkan ujung bawah kemeja kotak-kotak ke dalam celana lantas menarik ikat pinggang sekolahku kuat-kuat.
"Siap. Apa lagi?" Paman tersenyum tanpa memperlihatkan giwangnya, malu.
Aku pun berpenampilan rapi. Wajah riang, tersenyum. Tapi hati bertanya-tanya.
"Sudah. Jangan dipikirkan. Berangkat, yuk." Melangkahkan kaki, menjauhi rumah yang tidak ada rapi-rapinya sedikitpun. Berantakan. Aku dan paman buru-buru. Tidak sempat mengemaskan pakaian di kardus. Kami langsung menggembok rumah itu dan menyimpan gemboknya ke tempat biasanya.
"Paman sangat ganteng." Pujiku seraya berjalan kaki.
"Oh, tentu. Paman ini dari muda dulu memang ganteng. Hanya saja paman tidak merawat diri. Nah, lihat sekarang. Pamanmu ini cocok menggandeng wanita muda, bukan?"
Aku tertawa terbahak-bahak. Paman selalu berhati-hati setiap kali ada kubangan lumpur di hadapannya. Tidak boleh setitik lumpur pun menjamah sepatunya. Hari istimewa yang dikhususkan paman untukku seolah hari terakhir bertemu, sehingga sangat disayangkan kalau momen ini tidak dimaksimalkan oleh paman. Paman menjadi wakilku, menepati undangan penerimaan rapor dari pak Mad, menggantikan ayah dan ibu yang sedang menoreh. Beginilah kesepakatan mereka setelah berdiskusi panjang semalam.
Setiba di sekolah, teman-temanku keheranan melihat paman di sampingku.
"Jadi ayahmu sebenarnya yang mana, Ki?" Budi berbisik pelan. Paman melirik ke arah kami. Lirikannya seolah tidak ingin dibilang bapak-bapak. Tentu penampilan paman yang narcis hari ini ingin disebut bujangan.
"Itu pamanku, Bud. Ayahku tidak sempat." Kami duduk di kursi panjang selasar sekolah, depan kelas satu.
Paman masuk ke dalam kelas, duduk di kursi paling depan. Paman semakin percaya diri ketika salah satu temanku menunjuk ke arahnya sembari tersenyum manis. Randi diantar ayahnya menggunakan sepeda onthel, dia duduk di boncengan sepeda onthel itu, sementara ayahnya menggayuh sepeda dengan sekuat tenaga. Dengan susah payah Randi turun dari sepeda tersebut. Kakinya yang pendek berusaha memijak tanah. Randi hampir tergelincir. Untung saja ayahnya sigap menarik tangan kirinya.
"Aduh. Hampir saja. Di mana orang tua kalian?"
Aku dan Budi serentak menunjuk dengan mulut yang sengaja dimonyongkan. Randi duduk di antara aku dan Budi. Menyerempet tanpa pamit. Randi berlagak jagoan di depan ayahnya yang tersenyum manis, lewat di depan kami yang menyapanya dengan senyuman pula.
"Itu, Aga. Kok dia sendiri, ya?" Ujar Budi sembari memutar kepala ke belakang.
"Iya, ya. Ini kan hari yang penting, setidaknya bisa diwakilkan kalau orang tua tidak sempat." Randi menimpali.
Aku ingat ayah tidak sempat mengambil raporku hari ini. "Mungkin wakil Aga menyusul atau sudah di ruang kelas. Kita tidak ada yang tahu, bukan?" Tanyaku sembari mengangkat kedua bahu. Mereka berdua setuju.
Aga tergesa-gesa menghampiri kami. "Sudah dimulai, belum? Ayahku tidak mau mengambil raporku." Aga berusaha memburu napasnya. "Aku tentunya perlu waktu seharian penuh menggandeng ayahku sampai di sini." Aga terkekeh, pelan.
"Jadi bagaimana, Ga? Kita tidak bisa mengambil rapor sendiri, harus orang tua atau diwakilkan." Budi menambah raut wajah khawatir Aga yang sedari tadi sedang berpikir keras.
"Bisa-bisa kamu dimarah pak Mad, Ga." Imbuh Randi. Tampaknya Aga hendak pulang. Matanya tidak tenang.
"Aku ada ide, Ga." Ideku membuat Aga merasa sedikit tenang.
Panjang lebar pak Mad memberi kata sambutan. Murid-murid lalu lalang di depan kelas dan halaman sekolah, ada pula yang berkumpul di kursi selasar, mematung dan penuh perhatian mendengarkan setiap inci kalimat pak Mad--menanti hasil yang kami perjuangkan kurang lebih setahun yang lalu.
Pak Mad menceritakan tabiat kami selama di sekolah. Orang tua yang mendengarnya melirik ke arah anak mereka masing-masing, malu dan kecewa. Tapi untungnya paman memaklumi kenakalanku ketika pak Mad bilang, dua siswa pernah dihukum menulis dua ratus baris. Salah satu di antaranya berhasil menulis dengan baik meskipun tulisannya belum sempurna-cakar ayam dan cacing kepanasan. Budi bersemangat mendengarnya. Tersenyum bangga menatap ayahnya seolah bilang, itu aku.
Seyogianya hukuman membuat malu, Randi dan Budi malah berbangga diri. Pak Mad memang pintar dalam merangkai kata-kata sehingga hukuman yang menurutku menyengsarakan, malah menjadi lelucon, pujian, dan ternyata memiliki nilai tersendiri bagi pak Mad.
"Saya suka pada siswa kelas satu ini meskipun mereka sering saya hukum, tapi mereka menunjukkan tanggung jawabnya." Diikuti tepuk tangan.
"Tapi perlu saya tekankan kembali, bahwa ada satu di antara mereka yang tinggal kelas. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi nilainya tidak dapat kami tolong, sangat jauh dari yang lain. Memang ada perubahan, tapi kami pihak sekolah tidak bisa membantu lebih. Ada wewenang dan tanggung jawab yang harus kami laksanakan." Pak Mad membuat semua orang yang mendengarnya bungkam seketika sembari bertanya dalam hati, siapa?
"Tapi. Saran saya kepada semua orang tua jangan sampai mematahkan semangat anak. Mereka yang tinggal kelas saat ini bukan berarti mereka gagal, tidak punya masa depan, bodoh, dan tidak pantas sekolah. Tapi ketahuilah, bahwa mereka belum mengenal jati diri masing-masing. Mereka unik bapak-ibu. Punya kemampuan tersendiri yang bahkan tidak dimiliki orang pintar. Jadi, harapan saya sekolah ini tetap menjadi pusat belajar bagi siapa saja yang masih memiliki tekad, semangat, dan impian." Ujar pak Mad panjang lebar, meredakan sedikit kekhawatiran orang tua murid.
Sekali lagi aku mengacungkan jempolku dalam lamunan setelah mendengar rangkaian kata pak Mad yang menyejukkan hati. Paman mendengarkan dengan serius. Mengangguk-angguk meskipun pak Mad berbicara tanpa jeda sama sekali.
"Baiklah, saya akan memanggil nama siswa yang mendapat rangking terlebih dahulu." Pak Mad berhasil membuat Randi dan Budi bangun dari lamunannya yang sedari tadi diam tidak bergeming.
Mulut Randi komat kamit, Budi merapatkan jemarinya sembari menutup mata. Amin. Keduanya serentak. Aga mengedipkan mata, pasrah.
"Rangking tiga diberikan pada." Semua hening. Orang tua yang tadinya sibuk mengobrol dengan teman di sebelahnya seketika diam, menatap pak Mad yang berdiri di depan penuh harap. "Budi." Teriak pak Mad keras. Diikuti tepuk tangan yang sangat meriah. Budi berdiri seraya melompat-lompat bahagia, hore.
"Rangking dua diberikan pada, Randi." Teriakan pak Mad bergema hingga ke luar kelas. Membuat Budi dan Randi berpelukan saling memberi selamat. Sedangkan aku dan Aga hanya tersenyum iri.
"Rangking satu" Pak Mad sengaja menjeda omongannya. Hening. Momen ini dibuat setegang mungkin oleh pak Mad. Sampai orang tua murid mematung lama seakan menahan napas dan kedip mata.
"Aki."
Aku terdiam, dalam hati aku berpikir ini mimpi. Aga, Budi dan Randi menyalamiku sembari bilang, selamat. Seakan membuat aku sadar, bahwa ini nyata.
Paman bertepuk tangan, bersalaman dengan pak Mad sembari mengambil raporku. Telingaku dipenuhi ucapan selamat.
Paman kembali ke tempat duduknya. Satu per satu orang tua murid keluar menemui anaknya, dengan penuh penasaran membuka rapor mereka. Ada yang melompat bahagia setelah melihat rapornya, ada yang menangis haru seraya memeluk orang tuanya, dan ada yang bersalam-salaman. Separuh lagi ada yang terdiam menunggu orang tuanya keluar.
Budi dan Randi pulang duluan. "Sampai bertemu di kelas dua." Ujar Budi, lalu menjauh.
Randi pun melakukan hal yang sama, "Dah, Aki, Aga." Dia susah payah menaiki sepeda onthel ayahnya, perlahan menjauh.
Paman keluar kelas paling akhir sembari membawa rapor dan bingkisan yang katanya dari pak Mad dan hanya boleh dibuka di hadapan orang tuaku. Wajah paman tampak bersedih. Aku dan Aga bingung padahal paman baru saja mengambil raporku yang rangking satu.
"Kenapa, paman?" Tanyaku.
Paman menggeleng ambigu, antara bilang tidak apa dan bilang terjadi sesuatu. Aku dan Aga saling beradu pandang. Kami berdua bertanya-tanya dalam hati keheranan.
Paman menyerahkan rapor kami berdua. Tanpa pikir panjang, aku dan Aga membuka rapor masing-masing, ternyata memang benar; hasilnya aku rangking satu dari dua belas murid. Aga terdiam. Tertunduk dalam. Aku mengambil rapornya dan membuka halaman kedua, karena halaman pertama dipenuhi catatan mengulang kelas. Aku pun terdiam. Tidak bisa berkata apa. Ternyata angka merah berderet rapi di rapor Aga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments