Paman dengan bangga menceritakan prestasiku pada ayah dan ibu yang baru pulang menoreh sore ini.
"Kalian tahu prestasinya ini mendapat hadiah apa?"
Ayah dan ibu terdiam, menanti penjelasan paman sembari menyeruput kopi di ruang tengah. Paman mengeluarkan raporku lantas menyerahkannya pada ayah.
"Sudah sepantasnya kita acungkan jempol." Lanjut paman. Ayah dan ibu mengangguk-angguk selama beberapa detik, tertunduk dalam melihat raporku.
"Ini hadiahnya." Paman menyerahkan bingkisan dari pak Mad, membuat ibu dan ayah terkejut, tersenyum haru.
Perayaan kecil-kecilan di rumah reyot kami. Kunang-kunang yang berlalu di depanku tidak lagi kuhiraukan. Aku lebih menikmati malam indah ini bersama mereka daripada lampu kelap-kelip kunang-kunang. Ayah memuji dirinya sebagai kepala keluarga yang lebih dominan menurunkan kepintarannya padaku. Ibu tidak mau kalah. Ibu lebih banyak bercerita bagaimana dia mendidik aku hingga bisa berhitung dan membaca. Paman pun ikut nimbrung. Paman bilang berkat dialah aku mahir merayu pak Mad, hingga berjam-jam lamanya kata sambutan dari pak Mad siang tadi diisi dengan cerita hukuman yang tidak lain tentang aku.
"Kami dulu kalau yang namanya dihukum pasti tidak naik kelas." Mata paman menatapku serius.
"Itu dulu, Cil. Sekarang kan sudah beda. Buktinya, nilai anakku terbaik dari dua belas murid." Ayah tidak mau kalah.
"Nah, justru itu. Aku yakin dia berhasil merayu pak Mad, ini bakat yang kuwariskan padanya." Paman melucu. Rumah menjadi ramai padahal hanya empat orang yang sedang melingkari hidangan makan malam. Dua di antara lima ekor ayam yang berhasil selamat dari koloni semut api kemarin dijadikan lauk makan malam kami. Kaleng nasi paman pun pindah ke rumah kami malam ini, sengaja diangkut paman karena kami kekurangan nasi untuk delapan porsi sekaligus.
Aku tersipu malu. Paman memang benar. Awalnya aku berpikir hukuman pak Mad akan menjadi mimpi buruk. Tapi ternyata pak Mad tidak sesangar yang diceritakan Aga padaku.
Tiba-tiba aku ingat pada Aga. Aku merasa bersalah padanya. Tatapan Aga siang tadi penuh penyesalan. Sepertinya Aga menyesal semeja denganku; di depan. Tapi tidak mungkin. Setahuku Aga sudah dua kali di kelas satu. Tidak mungkin kelas satu pertamanya karena duduk di depan. Yang kulihat dari Aga memang dia malas belajar. Semua angka merah yang dia peroleh itu akibat kemalasannya. Meskipun Randi dan Budi yang juga dapat rangking kelas tidak kalah pemalasnya dari Aga. Tapi setiap kali ulangan berakhir, Randi dan Budi memeriksa buku catatan mereka. Ini artinya Randi dan Budi melakukan cara jitu yang tidak dilakukan Aga.
"Ini kursiku. Dua minggu yang lalu aku sudah memilihnya." Randi merebut kursi yang dipilih Budi.
Dua minggu yang lalu? Aku tidak yakin Randi seoptimis itu sudah memilih kursi di kelas dua; padahal dua minggu yang lalu kami masih ragu naik atau tinggal kelas. Budi mengalah. Lagi-lagi mereka berdua memilih tempat duduk paling pojok.
"Kamu yakin duduk di sini lagi, Ki?" Tanya Randi.
Aku mengangguk lentur sembari membersihkan laciku yang penuh kertas. Aku membuka salah satu kertas yang dironyok itu. Di pojok atasnya ada nama Nina. Nama wanita berlesung pipit yang diceritakan Aga padaku beberapa bulan lalu. Ternyata Nina pernah duduk di meja yang kupilih saat ini. Tapi Nina yang mana? Setahuku, setiap sekolah pasti memiliki setidaknya dua murid yang namanya sama.
"Jangan, Ki. Ingat teman di sebelahmu kemarin tidak naik kelas karena duduk di depan." Budi nimbrung.
"Ah, bukan salah tempat duduk, Bud." Ujarku membantah.
"Iya, Bud. Buktinya Aki bisa peringkat satu. Kita yang duduk di pojok masih kalah dengannya yang duduk di depan." Randi sependapat denganku.
"Kalau begitu, aku mau coba duduk semeja dengan Aki, Ran. Siapa tahu nasibku bisa lebih baik dari kamu." Aku menahan tawa mendengar mereka berdua. Budi bergegas mengambil tasnya. Pindah tempat duduk. Randi menatap Budi keheranan bercampur kesal.
"Bukan begitu maksudku, Bud." Ujar Randi, lesu.
"Sebentar saja, Ran. Aku ingin tahu rasanya duduk di depan--dekat Aki."
Senyum Budi membuat Randi memakluminya. Budi duduk di sampingku. Untuk sementara waktu, Randi mencari teman semeja yang lain. Dia berhasil melobi Kino yang duduk di depan, sejajar dengan mejaku. Awalnya Kino menolak, tapi Randi bilang kelas dua lebih sering diajar pak Mad. Randi mengingatkan Kino pada Aga yang mengulang kelas. Melalui pertimbangan yang amat matang, akhirnya Kino ikut ajakan Randi. Untuk sementara, ya. Kino menegaskan.
Sekian lama memilih tempat duduk di hari pertama masuk di kelas dua--akhirnya kami bertiga sepakat menuju ke halaman sekolah karena sebentar lagi akan upacara bendera.
"Bud, kamu ada lihat Aga, tidak?"
"Gak ada, Ki." Jawab Budi sembari menoleh ke kiri, barisan kelas satu dan ke belakang.
Kupikir hanya aku yang tidak melihat Aga di halaman sekolah hari ini, ternyata Budi dan Randi juga tidak melihatnya.
Kami berbaris bersebelahan dengan kelas satu, murid baru. Di antara mereka ada yang menggunakan sepatu, ada juga yang menggunakan sendal. Aku menunduk ke bawah, melihat kakiku yang sudah berkasut--hadiah peringkat satu dari pak Mad yang sempat membuat kedua orang tuaku terdiam haru tadi malam.
"Mungkin Aga terlambat, Ki." Imbuh Randi.
Gedung sekolah yang baru sudah selesai dibangun. Kami berdiri menghadap gedung itu. "Ini berkat kerja keras kita bersama yang memperjuangkan sekolah di pelosok desa dari tahun ke tahun." Pak Mad dengan bangga membumbui kata sambutannya. Disambut tepuk tangan orang tua yang berdiri di selasar sekolah, menyaksikan anak mereka yang baru masuk di kelas satu--seperti kami dulu.
Gedung sekolah yang baru ditempati murid kelas enam. Pak Mad bilang ruang kelasnya sangat adem, luas, bersih, yang tentunya lebih layak pakai daripada kelas kami. Satu syarat agar kami bisa menempati gedung baru itu, kata pak Mad, kami harus giat belajar agar setiap tahun kami naik kelas, ketika kelas enam nanti kami akan menempatinya.
Murid kelas lima tersenyum bahagia mendengar kata sambutan pak Mad. Tentu saja mereka tersenyum bahagia, karena setahun lagi mereka-lah yang akan menempati gedung baru itu. Sementara kami yang kelas dua terdiam karena harus menunggu empat tahun lagi.
Petugas upacara hari ini dari murid kelas empat. Biasanya bergiliran. Sempat dulu kelas satu yang ditunjuk menjadi petugas upacara. Tapi kami dengan kompak menolak sehingga dialihkan ke kelas dua. Ini artinya, kami di kelas dua tidak bisa menolak lagi kalau dijadwalkan menjadi petugas upacara.
Murid kelas empat melaksanakan tugas mereka amat baik. Mereka menyambut murid baru dengan lagu daerah yang telah mereka pelajari beberapa minggu lalu. Cukup sulit menyanyikan lagu tersebut karena menggunakan bahasa daerah. Yamko Rambe Yamko. Hanya itu lirik yang aku ingat karena diulang berkali-kali sembari berjoget sesuai irama musiknya. Orang tua murid yang menyaksikan bertepuk tangan penuh semangat.
Kami masuk ke kelas masing-masing setelah upacara bendera berakhir. Ternyata menjadi murid kelas dua tidaklah berbeda rasanya ketika di kelas satu. Hanya saja ruang kelas dua sedikit lebih baik daripada kelas satu, terutama kursinya yang reyot. Kursiku cukup kuat. Kalau tidak, tentulah aku akan jatuh ke bawah karena berat badanku sudah bertambah. Sebenarnya bukan hanya berat badan yang bertambah, tapi usia pun demikian.
"Usiaku tahun ini tua satu tahun darimu, Ran." Ujar Budi.
"Emang usiamu berapa, Bud?" Tanyaku penasaran.
"Delapan tahun, Ki. Bulan sembilan tanggal lima belas nanti delapan tahun."
Aku baru menyadari kalau kami hanya berbeda bulan lahir. Aku lahir bulan Agustus tanggal lima belas. Hari Kamis, malam Jumat kata ayahku. Kalau saja aku masuk sekolah di usia enam tahun, mungkin usia delapan tahun ini aku sudah kelas tiga.
Randi kembali ke mejanya ketika bu Neli--wali kelas kami, masuk ke kelas dua. Senyum bu Neli teramat manis. Sifat bu Neli yang keibuan membuat Randi berpindah tempat duduk ke kursi kosong di depan mejanya. Kursi kami genap untuk dua belas murid jika Aga tidak mengulang kelas.
"Anak-anak. Hari ini ibu hanya sebentar. Ada pertemuan di luar. Nanti kalau sudah selesai, ibu kembali lagi di kelas ini. Tapi ingat. Ibu tidak ingin kelas ini kotor. Paham, kan maksud ibu?"
Kami serentak bilang, paham bu guru. Randi penuh antusias mengambil sapu lidi di balik pintu setelah bu Neli keluar kelas.
"Ini sapu untukmu, Bud." Bagai menganugerahkan jabatan terpenting dalam kelas, Randi menyodorkan sapu lidi itu pada Budi.
"Kamu?" Tanya Budi tidak terima.
Randi tersenyum lebar. "Aku yang akan mengawasi kalian." Mengedipkan sebelah matanya.
"Dasar pemalas." Budi menggerutu.
Sampai lonceng istirahat berkumandang, bu Neli tidak kunjung datang. Kami keluar kelas menuju kantin sekolah. Di kantin, Budi dan Randi memesan bubur kesukaannya. Aku memilih gorengan. Uangku hanya tiga ratus perak, tidak cukup untuk membeli bubur yang harganya perlahan naik. Alasan pemilik kantin harga bubur naik karena inflasi besar-besaran. Biaya produksi pun ikut naik kata bu kantin. Jadi untuk mengimbangi antara pengeluaran dan pemasukan, bu kantin terpaksa menaikkan harga jual dagangannya. Padahal dulu tiga ratus perak itu bisa membeli semangkuk bubur, sekarang hanya dapat tiga gorengan.
"Ini. Temanmu yang membelinya untukmu." Bu kantin meletakkan semangkuk bubur di hadapanku. Budi mengekor di belakang bu kantin.
"Kamu mentraktirku, Bud?" Tanyaku pada Budi yang mengangguk iba."Terima kasih, Bud." Lanjutku.
Dari kejauhan, bayangan seseorang seperti gelagat Aga berlalu cepat menyimpang ke sebelah kiri--ke arah rumah pak Tibet.
"Kamu ada lihat yang di persimpangan tadi, tidak?" Tanyaku pada Randi yang duduk di sampingku.
"Gak ada, Ki. Aku hanya melihat buburmu dari tadi belum habis." Jawabnya mengingatkan aku untuk segera menghabiskan bubur yang mulai mendingin.
Sekolah bagai rumah kedua bagi kami. Tidak lain setelah istirahat di kantin, kami kembali ke kelas dua. Randi yang tadinya pindah tempat duduk ke depan, spontan kembali ke tempat duduknya yang semula setelah tahu pak Mad menggantikan bu Neli. Kino menertawakan Randi.
"Sekarang kalian boleh pulang. Besok jangan lupa bawa sapu lidi kelapa."
Kami bersorak bahagia setelah pak Mad keluar kelas. Bagai anak ayam yang ditinggalkan induknya, kami berhamburan masing-masing menuju jalan pulang.
Di depan rumah pak Tibet aku dikejar angsa lagi. Jalan pintas telah menjadi semak. Terpaksa aku harus berlari lebih cepat dari angsa itu.
Setiba di rumah, aku melihat paman sedang membuka gembo ruumahnya. Aku tiba di rumah lebih dulu sekitar sepuluh menit dari paman. Aku melongok dari ambang pintu kami, paman masuk ke dalam rumahnya sembari melepaskan sepatu. Tumben. Pikirku dalam hati. Tidak biasanya paman keluar rumah tanpa tujuan yang jelas menggunakan sepatu dan pakaian yang rapi. Bahkan dari kejauhan aku bisa mencium aroma wangi parfumnya.
Rumah kami lenggang, ayah dan ibu belum pulang dari kebun karet. Memang biasanya sudah petang mereka baru pulang. Aku masuk ke dalam rumah. Rupanya pelita belum dipadamkan. Aku meniup api pelita itu sekuat tenaga, hingga akhirnya padam. Aku teringat anak kecil yang ulang tahun yang kami tonton di televisi pak Tibet seminggu yang lalu. Di desa ini baru pak Tibet yang memiliki televisi. Itu pun berfungsi jika dengan listrik dari generator pribadinya. Televisi pak Tibet memang buram, hanya berwarna hitam dan putih. Tapi televisi itu berhasil mengundang keramaian. Setiap malam rumah pak Tibet penuh pengunjung. Alhasil, toko pak Tibet laris manis. Lalu aku mengulangi kalimat bocah yang ulang tahun di televisi itu, Semoga panjang umur. Gumamku dalam hati. Asap hitam api pelita mengepul ke atas.
"Pasti kalian belum tahu, kan?" Paman menghampiriku yang sedang membasahi kain untuk tiang rumah dengan minyak tanah.
"Ada berita apa, paman?" Tanyaku sembari mendongak, menatap mata paman yang memang tidak sedang bercanda. Aroma parfum paman masih semerbak anggrek hutan.
"Belum tahu, ya? Paman kira kalian sudah tahu." Tampaknya paman sengaja memancing emosiku yang penasaran sedari tadi.
"Belum, paman. Tentang apa?" Tanyaku sekali lagi.
Paman memang jahil. Boro-boro menjawab pertanyaanku, malah dia mencongkel pantatku yang sedang berjongkok di depan tiang rumah dengan kakinya. Aku menoleh ke belakang, menatap paman penuh amarah. Paman tertawa terbahak-bahak. Semakin aku kesal padanya, semakin kuat pula tawa paman sembari menjauh dari kejaranku.
Setelah tawa itu mereda, paman mendekatiku lagi. "Temanmu, Aga tidak masuk sekolah tadi, kan?" Pertanyaan paman kali ini membuat emosiku urung. Pertanyaannya lebih penting daripada mempertahankan rasa kesal.
"Iya, lantas kenapa?" Tanyaku sediki cuek.
"Dia tidak akan masuk sekolah lagi."
"Darimana paman tahu? Jangan mengada-ada, deh." Aku menatap paman, sinis.
"Terserah-lah kalau tidak mau percaya." Paman membalikkan badan menuju ke rumahnya.
"Tapi memang Aga pagi tadi tidak masuk sekolah, paman."
"Iya, Aga berhenti. Tadi paman bertemu Aga di rumah bu Neli. Terus terang Aga bilang tidak sanggup sekolah karena sudah mengulang dua kali." Jelas paman.
Belum sempat aku bertanya apa alasan paman bertemu bu Neli--paman sudah menjauh. Tidak lama kemudian ayah dan ibu datang. Ayah seperti mandi keringat, bajunya basah. Ibu berjalan tertatih-tatih sembari membawa ember kosong.
Aku mengikuti ibuku dari belakang ke dapur sembari membawa pelita. Setelah membasuh kakinya, aku bertanya pada ibuku.
"Apakah masih ada persediaan minyak tanah, bu?"
Ibu memeriksa botol minyak. "Habis." Jawabnya menggeleng hebat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments