NovelToon NovelToon

Anak Tangga

Opelet Tua

Dua kursi memanjang berwarna hitam kecokelatan berhadap-hadapan di dalam opelet tua, berdekatan sejajar di samping kaca kusam. Kursi tersebut mirip seperti kursi bekas dijajah, mengelupas dan berkarat. Karatnya bagai cat permanen, rayap pun enggan mendekatinya. Bahkan namaku yang sering diidentifikasikan dengan orang lanjut usia; Aki, nama yang kerap kali menjadi lelucon--sedikit bergeser, menghindari karatnya.

Aki, pria yang kuat, berani, dan tangguh; ini afirmasiku setiap kali ada yang mengolok namaku.

Aku menatap kursi itu dengan saksama yang tampak memang memprihatinkan. Sesekali tanganku menutup lubangnya dengan tali-temali yang keluar bergelantungan—menyembunyikannya ke lubang yang berbentuk lonjong, bundar, dan melebar luas.

Lubang-lubang seperti hasil tarikan tangan yang tidak bertanggung jawab itu ada di mana-mana. Bahkan di semua tempat. Beberapa kursi lainnya hanya tersisa kayu keras dan paku-paku yang menempel kuat. Di sampingku ada yang dibuat seperti tempat duduk untuk bersantai, sungguh tidak cocok di dalam opelet tua yang sempit, menyesakkan.

Jumlah penumpang opelet yang ideal sebenarnya delapan sampai sepuluh orang dewasa, tapi opelet yang kami tumpangi saat ini jumlah penumpangnya lebih dari itu. Di kursi paling depan ada sopir dan ibu-ibu berbadan langsing memangku bayinya. Kursi memanjang di sebelah kanan tepat di depan pintu opelet ada bapak-bapak berperangai temperamen. Di samping bapak-bapak temperamen itu berjajar dua anak laki-laki pantaranku yang berusia sekitar tiga tahun ke atas, ibu-ibu berbadan tambun bersama anak perempuannya yang baru beranjak remaja, dan aku yang dipangku ibuku. Kursi memanjang satunya lagi di sebelah kiri tepat di samping pintu opelet; ada kernet yang sesekali bolak-balik dari depan ke belakang--duduk di kursi seperti tempat bersantai itu, ibu-ibu yang latah, bapak-bapak bertopi, abang berseragam sekolah putih-biru, dan kakak seragam sekolah putih-merah. Kami semua duduk penuh kehati-hatian, bersusah payah menyeimbangkan tubuh ketika opelet tua berguncang hebat.

Terasa keras. Setiap orang yang duduk di kursi itu pasti sedang berusaha menahan rasa sakit. Tampak jelas pada raut wajah mereka yang melihat pandanganku dengan membalas sedikit senyuman. Terpaksa? Tentu saja. Karena belum pernah kulihat senyuman dengan garis tanggung seperti itu. Apalagi getaran opelet tua yang bisa saja membuat alis melengkung dan dahi berkerut; bibir bergetar bagai gerakan seismograf yang tidak menentu--semakin menyiksa mereka.

Opelet tua memberitahukan dirinya sedang mengalami kerusakan melalui suara rintihan di sudut-sudutnya. Tanpa dipedulikan atau sekadar untuk mengistirahatkannya sejenak. Sampai terpelanting hebat diikuti teriakan menggelegar saat suara pekikan dan tarikan gas sepenuhnya melaju di atas kecepatan maksimal.

“Horeee!” Dua anak laki-laki pantaranku berseru nyaring.

“Diam! Jangan ribut." Sergah bapak-bapak berperangai temperamen itu sembari membelalakkan matanya. Dua anak laki-laki itu seketika membisu.

"Jangan senang dulu. Perjalanan kita masih jauh.” Protes ibu-ibu berbadan tambun.

Mungkin jika ada kuda saat ini, penumpang pasti berpikir dua kali: menumpangi bus tua atau menunggangi kuda? Aku yakin mereka akan memilih pertanyaan yang kedua, karena aku juga merasakan hal yang sama meski dipangku ibuku.

“Bawa kantong plastik itu kemari!” Pinta ibu berbadan tambun itu kepada kernet di depannya. Dia menahan mual akibat goncangan hebat opelet tua. Berkali-kali menutup mulutnya ketika dirasa perutnya mulai bereaksi. Ibu berbadan tambun itu hanya mampu bertahan selang beberapa menit. Kemudian menyerah saat kantong plastik berwarna hitam yang bergelantungan di plafon opelet habis tidak bersisa. Saat mengatakan, berhenti! Opelet tua langsung melamban.

Tergesa-gesa. Ibu berbadan tambun itu menuju ke pintu opelet tua, kendatipun opelet belum sepenuhnya berhenti. Tidak ada yang menahannya, sehingga anak perempuannya yang mulai menikmati perjalanan harus mengekor di belakang ibunya dengan kecewa.

Sopir opelet tidak banyak omong. Memanggil kernetnya dengan bahasa isyarat. Melambaikan tangan, kemudian kernet mendekatinya. Sopir berbisik pelan diikuti anggukan kepala kernet yang naik-turun. Asap rokok daun yang kernet itu gulung dengan tembakau iris di dalamnya, mengepul. Diterbangkan angin ke belakang, mendekatiku. Lenyap seketika dan hanya menyisakan bau kemenyan.

“Ini kueku--bukan kuemu. Jangan ambil!" Rebut dua anak laki-laki pantaranku itu.

“Rasakan!” Suara memukulkan koran. Diikuti isak tangis.

Opelet tua semakin tidak keruan. Barang-barang berjatuhan tindih-menindih.

Mataku yang menyipit berkedip sama cepat dengan jarum detik jam beker yang dipampang di depan opelet. Jarum jam beker tersebut sangat kecil. Tidak tampak angka berapa yang ditunjuk jamnya. Aku hanya menebak dalam hati sekarang ini jam sembilan pagi. Tebakanku mungkin tidak meleset. Jika salah pun—tidak jauh dari angka yang baru saja kusebut. Sebab aku melihat dan memastikan benar-benar kalau matahari masih sepertiga dari arah timur.

Seorang kakek berjenggot putih dan kepala sula tiba-tiba berdiri di pintu opelet tepat di depan bapak-bapak temperamen tadi. Kakek tersebut melotot ke arahku. Keseriusan tatapannya yang mendalam terasa berirama dengan kedip pelan mataku yang juga dia lakukan. Tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Padahal kedip mataku sudah berupaya memberitahunya kalau aku tidak suka tatapannya itu! Berhenti! Perintah ibu-ibu berbadan tambun yang mabuk bus tadi kuulangi lagi dalam hatiku.

Mata kakek itu semakin melotot seperti sedang mengintaiku. Herannya, tidak ada yang menghiraukannya. Bahkan bapak-bapak temperamen itu tidak bergeser sedikit pun untuk sekadar menawarinya tempat duduk walau harus berdempet-dempetan.

Tangan kakek itu sangat erat menggenggam pegangan opelet untuk menyeimbangkan tubuhnya yang terseok-seok ke sana kemari--tidak membuat dia menyerah. Dia tetap berdiri dengan tatapannya yang tajam, menakutkan.

Aku sekilas menatapnya dengan raut wajah marah dan kesal. Kemudian aku mengalihkan pandangan, kembali menikmati perjalanan. Aku bersiul dalam hati hingga aku merasa sedikit tenang. Sambil menyandarkan tubuh ke ibuku, diikuti menghela napas panjang. Aku menghembuskan napas melalui mulut sembari tersenyum lebar kepada semua orang yang seketika menatapku keheranan.

Beberapa detik kemudian, ada lubang besar melingkar di tengah jalan seolah menghalau setiap kendaraan yang melewatinya. Tapi hari ini tidak ada opelet atau kendaraan lain yang lewat selain opelet karatan ini. Pejalan kaki juga tidak. Jalan yang kami lalui lenggang. Hanya pepohonan yang melambai tenang. Semak belukar yang tidak terawat. Semua tampak beda. Tempat ini seperti bukan desa, juga bukan bumi. Benar-benar asing di mataku.

Sopir opelet kehilangan kendali. Lubang besar itu tidak dapat dielakkan lagi. Salah satu ban di bagian depan terbentur kuat, diikuti bunyi merengek di bawah kakiku.

“Tolong..!” Anak laki-laki pantaranku dan ibu-ibu latah berteriak dengan mata yang dikatup kuat-kuat. Bayi di kursi paling depan menangis hebat. Kakak berseragam putih-merah menjambak rambut abang berseragam putih-biru, mengaduh kesakitan. Topi bapak-bapak di depanku jatuh di lantai bus. Kepalanya gundul. Ibu-ibu latah tadi tidak sengaja berteriak,, botak-botak. Dia buru-buru mengambil topinya.

Sebagian barang ada yang terlempar ke luar. Kertas dan kain terbang bagai kupu-kupu yang kehilangan satu sayapnya.

Mereka berusaha mempertahankan posisi masing-masing dengan kaki siap sedia menyelamatkan diri dari situasi mendadak, mengagetkan.

"Mati kamu, mati!" Maki ibu-ibu latah di depanku sembari berpaut pada kursi opelet. Dua anak laki-laki pantaranku terkikik pelan.

Sopir memberhentikan opelet, memeriksanya sejenak. Penumpang membereskan barang bawaan mereka yang berjatuhan dan beterbangan di luar.

“Cepat ambil!” Dua anak laki-laki pantaranku tadi keluar opelet tua lantas mengejar koran yang melayang-layang diterpa angin. Mereka melompat-lompat sekuat tenaga, menangkap koran tersebut lalu membawanya masuk ke dalam opelet tua sembari tersenyum lega.

Aku teringat kakek kepala sula yang memelototiku tadi. Aku masih kesal dan takut padanya. Mataku mengembara ke sekeliling opelet, sedikit waswas. Aku heran pada diriku yang sibuk menjadi intelijen mencari kakek tersebut. Aku mencarinya entah karena khawatir terjadi sesuatu padanya, atau karena aku takut jika tiba-tiba dia menghilang dan muncul seketika di depanku, membawa aku jauh dari ibu? Tapi yang benar, aku mencarinya karena aku takut. Antisipasi. Gumamku dalam hati.

Setelah usai berbenah. Semua penumpang kembali di tempat duduknya masing-masing. Sopir memutar kunci, seisi opelet bergetar bersamaan dengan suaranya yang meraung. Asap tebal berwarna hitam mengepul ke atas. Opelet dengan tarikan gas maksimal bergerak pelan seakan ada yang menariknya dari belakang.

“Kenapa. Ada apa ini?" Tanya bapak-bapak bertopi itu. Sedari tadi dia memegangi topinya.

Sopir opelet tampak kebingungan. Berkali-kali mengentakkan kakinya menginjak pedal gas. Opelet tua bergerak pelan. Sopir opelet mengentakkan kakinya lagi. Tiba-tiba opelet terhenti seketika, raungannya memekik sampai mendenging di gendang telingaku.

Kernet keluar, memeriksa opelet. Langkah kakinya berlalu sangat cepat. Tangannya dikepal kuat-kuat, membentuk otot yang membesar. Urat-urat tangannya muncul tidak beraturan. Keringat menetes membasahi tanah merah yang mengeras dan berbatuan yang besar.

Kami membisu sembari mengawasi melalui kaca kusam di belakang, kiri dan kanan opelet. Kernet berlalu di samping kaca kusam itu, tapi yang kami lihat hanya secercah bayangan hitam. Bayangan tersebut menunduk.

"Berengsek. Lama sekali dia. Coba pak sopir susul cepat." Ujar bapak-bapak temperamen yang duduk di depan pintu opelet itu. Dia nyaris beranjak, mungkin akan sigap memukul siapa pun yang mencoba mengacaukan perjalanan kami ini.

Sopir opelet pun membuka pintunya, lantas menyusul ke belakang. Dari kaca kusam kami melihat ada banyak bayangan hitam yang mendekati opelet.

Seperti bunyi terjerembap di atas berbatuan, “Lari…!” Sopir opelet itu berteriak, mengecil.

Semua penumpang panik tidak kepalang. Mereka baik yang tua, muda, anak-anak hingga bayi, menangis dan berteriak sejadi-jadinya. Ibuku gemetaran, dia beranjak dari tempat duduknya sembari menggendongku.

“Woi…mana otakmu!” Teriak bapak-bapak temperamen itu. Dua anak laki-laki pantaranku sembarang mendorong lantas keluar melalui pintu opelet, kemudian berlari sekencang-kencangnya.

Ibuku mulai mencari cara agar dapat keluar dari opelet tua. Tangan dan kakinya bersiap menuju pintu. Berdiri menunggu waktu yang tepat. Sedikit pun genggaman erat tangannya tidak pernah renggang. Itu membuat aku seperti dijaga seribu pangawal bersenjatakan ketenangan.

Opelet semakin terombang-ambingkan. Semua penumpang menjadi panik. Pintu opelet amat kecil, tapi mereka rebutan untuk keluar. Bahkan memaksakan diri menerobos pintu tersebut. Bapak-bapak temperamen itu tidak sabaran, dia memukul kaca kusam sembari keluar melalui jendela.

Ibuku menuju ke pintu opelet tua, memijakkan kaki di tanah seperti melompati lebih dari dua anak tangga. Tanpa ba-bi-bu, dia berlari sekuat tenaga menuju jalan pulang. Aku terguncang sangat hebat di dalam gendongannya.

Opelet tua di belakang kami semakin jauh sekitar seratus meter. Tiba-tiba ibuku menghentikan langkah kakinya dan mematung. Mata ibuku khusyuk memandang ke depan. Aku bersusah payah memutar kepalaku. Di depan kami ada amukan puluhan bahkan ratusan bekantan yang sedang kejar-kejaran dengan penumpang opelet tua. Mereka memencar ke hutan. Bapak-bapak temperamen pun pasrah tidak berdaya dipukuli, diteriaki, ditarik dan dirubungi bekantan. Ibuku pasrah tidak bergeming. Aku menatap lekat-lekat, di depan sana; kakek kepala sula tadi berdiri santai sembari tersenyum lebar.

Aku mendongak ke atas, menatap wajah ibuku yang kaku seperti hendak mengatakan beberapa patah kata. Aku mulai tidak tenang. Gendongannya seketika berubah menjadi kekacauan.

Mata ibuku berkaca-kaca. Air yang bening nan bersih keluar dari ujung matanya itu. Air tersebut perlahan turun ke dagu, membendung sejenak hingga semakin membesar. Mataku mengikuti pergerakannya. Ibuku semakin erat merangkul aku yang masih berkutat di gendongannya. Aku tidak bisa mengelak, air dari matanya terjun lurus tepat ke wajahku hingga bertubi-tubi. Aku menutup mataku rapat-rapat.

“Bangun, nak. Bangun." Suara samar-samar dari dunia yang lain terdengar bergema di telingaku. Tubuhku berguncang semakin dahsyatnya. Aku membuka mata, ternyata menumpangi opelet tua, senyuman kakek kepala sula dan melihat amukan bekantan hanyalah mimpi. Tapi air yang membasahi wajahku adalah nyata.

Ibu menarik tanganku dengan paksa, "Kita pindah tempat tidur sekarang." Desaknya.

Aku berjalan terhuyung-huyung sembari mengelap wajahku dengan selimut. Aku duduk mematung di ruang tengah. Menatap cahaya di depanku yang terlihat seperti bunga berwarna merah. Redup. Cahaya dari pelita kecil kami menerangi gelapnya malam yang dingin. Bertubi-tubi kudengar irama hujan jatuh di atap daun.

Ibu dan ayah memindahkan tempat tidur. Tikar yang dibuat dari daun mendong hasil rajutan tangan ibuku sudah sobek dan usang. Itu tikar satu-satunya yang andal melindungi kami dari kasarnya lantai papan. Serta tiga bantal yang berisi baju bekas, berat rata-rata per bantal rasanya hampir satu kilogram. Jika melempar kucing dengan bantal itu, tentu tikus pun minggat di rumah sebelah, rumah paman. Itulah bantal kami, tempat untuk membaringkan kepala, dan melenyapkan kelelahan.

Ibu membentangkan tikar di atas lantai yang diinjak berbunyi persis seperti suara teriakan sopir opelet dalam mimpiku tadi—menjerit kesakitan. Papan itu berjingkat-jingkat mengikuti langkah kaki ibuku. Melantur.

Aku pindah tempat duduk, mendekati ayah di dekat pintu ruang tengah. Ayah baru saja selesai membantu ibu memindahkan kelambu, selimut, dan bantal. Ayah merangkul dan memandangku sekilas sembari tersenyum pahit. Senyuman yang seolah berkata, maafkan ayah, nak. Membuat aku berpikir apa yang benar dariku sehingga ayah menatap aku seperti itu?

Ayah mengalihkan pandangannya ke arah pelita. Seakan api pelita itu bisa menghibur dan melenyapkan segala senyuman yang tidak mengenakkan. Kedip mata ayahku sangat pelan seperti menahan sesuatu yang tidak seharusnya dia tahan.

Kami bertiga memandangi lamat-lamat lampu pelita yang menari-nari ditiup angin yang masuk melalui sela-sela dinding papan yang sudah rapuh. Hampir semua sudut di dinding papan ada celah. Celah karena tidak cukup papan untuk rumah ini, dan celah sarang lebah madu.

Saking asyiknya menari, api pelita padam. Seisi rumah menjadi gelap. Ayah memindahkan aku ke samping dari pangkuannya. Dia beranjak mencari korek api di dapur. Berjalan seperti orang buta. Meraba-raba ke dinding rumah.

"Awas, aku tidak bisa melihat. Beri aku jalan. Maafkan aku jika tidak sengaja menginjak kaki atau menggocoh kepala kalian.” Ayah terkekeh mengecil seolah memberi lampu peringatan di kegelapan malam.

Setelah pelita menyala, "Kemari, nak!” Ibu memanggilku sambil menepuk bantal yang bunyinya seperti menendang bola.

Aku berjalan pelan mendekati ibuku dengan langkah kaki terhuyung sedikit manja. Seperti dalam keadaan mabuk, aku melemaskan tubuhku yang kemudian disambut hangat, dan dirangkulnya dengan tenang.

Aku berbaring menyenget, melihat ke arah ayah yang sedang menopang kepalanya dengan tangan kanan.

Aku melayangkan pandangan ke plafon rumah. Air hujan semakin deras menembus atap daun di kamar. Atap daun di ruang tengah juga sesekali bocor; tapi secepat kilat ayah menyisipkan daun tengkawang di sela-sela atap tersebut.

Belaian tangan ibuku terasa lembut dan penuh kasih sayang. Lambat laun tubuhku mulai terasa berat, bantal keras itu seakan menarik kepalaku dalam-dalam.

Rasbora Maculata

“Aki…” Ibuku berteriak dari dapur, memanggilku.

Nama yang singkat. Nama itu memiliki makna yang berarti semoga sembuh. Dulu, sebelum namaku diganti menjadi Aki--aku sering sakit-sakitan. Ayah dan ibu sempat pasrah karena berbagai cara yang telah mereka lakukan tidak berhasil. Pamanku yang mengganti namaku menjadi Aki. Sejak saat itu, aku tidak sakit-sakitan lagi.

"Ada apa, bu?" Tanyaku penasaran seraya melongok ke dapur. Ibu menyusun pakaian kotor ke dalam ember yang dipadat-padatkan.

"Ibu mau mandi di sumur. Kamu ikut, tidak?"

"Ikut, bu." Jawabku cepat, penuh antusias.

Aku berlari zig-zag ke arah kamar, mengambil handuk kecilku. Handuk polos yang ibu belikan dua tahun yang lalu, masih layak pakai, meskipun sedikit sobek di pinggirnya. Dalam hitungan detik, aku keluar rumah dan bergegas menyusul ibuku yang sudah menjauh sekitar sepuluh meter dari pintu belakang. Kami melewati ilalang di sepanjang jalan. Aku berhenti sejenak, menggaruk-garuk kakiku sembari melihat ibu yang tampak berat melangkahkan kakinya, membawa dua ember yang berisi pakaian kotor; ember yang satunya di bahu, satunya lagi dijinjing. Langkah kaki ibuku memendek, tanpa jejak. Karena memang tidak ada yang bisa membuat kaki berbekas di tanah keras. Biasanya di tanah yang aku dan ibu lalui sekarang ini berlumut. Licin. Kadang-kadang membuat ibuku tergelincir, terhuyung-huyung menjadi latah, memaki-maki sekitarnya sembari bilang, kurang ajar, keras lembut lumut kepala, ilalang berbuah. Sejak kapan ilalang ada buahnya, latah ibuku membuat lelucon aneh, aku tertawa terbahak-bahak setiap kali mendengar latahnya.

Dulu, aku juga pernah tergelincir melewati rumpun ilalang ini. Kaget. Bahkan sangat kaget sampai menutup mata dengan kedua tanganku seperti melihat hantu. Bukan takut hantu, tapi aku takut ilalang itu menusuk mataku. Mata yang amat mungil, yang kupejamkan di kala malam dan kupaksa melek di saat subuh dan pagi; yang berkedip pelan, bahkan yang bisa mengeluarkan air di kedua sisinya.

Ilalang itu menunduk seolah menghormatiku seperti seseorang yang dituakan dalam kumpulan anak-anak. Aku berjalan membalas penghormatannya sembari mengucapkan kata, permisi dalam hatiku.

Tidak mengulur waktu terlalu lama. Aku berjalan mendahului ibuku. Menuju sumur yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah tua kami. Sekitar dua puluh lima meter.

Rumah tua? Aku menoleh ke belakang dan memastikan bahwa rumah itu benar-benar sudah tua.

"Aku duluan, bu." Langkah kaki yang sengaja dibuat terseok-seok, mengolok-olok ibuku yang berjalan pelan.

Aku bagai burung yang lepas dari sangkar dengan sendirinya. Berlari kencang, mendekati sumur. Melihat ke sekeliling sumur yang tampak mengasyikkan. Ada tanaman seperti keladi, berdaun lebar, batang berduri—tumbuh di dekat sumur. Tidak jauh dari tanaman berduri itu ada rerumputan yang rebah ke kiri dan ke kanan seperti jalan yang sengaja dibuat menuju ke hutan. Mungkin jalan alternatif ayahku untuk mencari rumput. Bisa jadi ayam kampung peliharaan ayah menjadi vegetarian akut. Sapi menyukai rumput, tidak mungkin ayam menolaknya. Tapi, ada satu hal aneh. Aku belum pernah melihat ayah mandi di sumur ini. Celotehku dalam hati.

Ayah paling mahir menghemat air, bahkan mandi pun sanggup dengan persediaan air yang serba dicukup-cukupkan. Tidak mau mandi di sumur ini. Malah lebih memilih mandi di kolam buatan paman. Airnya keruh. Ayah tidak peduli. Asal basah! Bantahnya ketika ibu mengomel. Siapa yang mau tidur satu kamar dengan orang yang mandi di air keruh? Pasti bau. Ketus ibuku setiap kali ayah membantah. Tapi ibu tidak sampai hati membiarkan ayah tidur di ruang tengah sendirian. Itu hanya cara ibuku agar ayah rajin mandi, meskipun tidak berhasil.

Dulu ibuku pernah memaksa ayah mandi di sumur ini. Hanya beberapa hari. Dingin. Alasannya agar tidak dipaksa. Memang benar. Air sumur ini sangat dingin dibandingkan air kolam buatan paman. Tapi aku tidak mau seperti ayah, dan juga paman yang ikut-ikutan mandi di kolam buatannya itu.

Sumur ini dihuni ikan-ikan kecil bermacam warna. Di pinggirnya ada akar-akar yang menjalar ke bawah, menyentuh air. Sumur yang cukup dalam. Kemarau panjang tidak membuat sumur ini kering. Tapi memang agak surut. Hampir satu meter menurut perhitunganku dari permukaan tanah. Airnya yang jernih membuat aku dengan bebas bisa melihat ikan-ikan kecil itu berenang. Ada yang berwarna merah, putih garis kehitaman, mulutnya moncong, mata kecil, dan aku tergoda.

Ibuku melemparkan ember yang diikat dengan tali ke dalam sumur. Air di sumur beriak-riak ketika ember itu berkecimpung dan diangkat perlahan oleh ibuku. Ikan-ikan itu tetap tenang. Sesekali bersembunyi di balik akar, dedaunan dan batu yang tersusun acak di dalam sumur. Dua ember penuh. Ibu membawa air itu agak jauh dari sumur, lantas mencuci pakaian membelakangiku, menghadap ke arah tanaman berduri itu. Kata ibuku biar air sabun tidak mengotori sumur.

"Kenapa, bu?" Aku bertanya keheranan melihat ibuku membuang seember air ke sumur.

"Melepaskan ikan yang tidak sengaja terserok." Ibu melempar ember ketiga kalinya. Setelah memastikan tidak ada ikan yang ikut terserok, barulah kemudian air itu dia digunakan untuk mencuci pakaian.

Belum sempat aku menahan ibuku agar tidak mengembalikan ikan itu ke sumur; aku bermaksud ingin memeliharanya. Seolah mengucapkan terima kasih, ikan itu berenang riang di dalam sumur. Aku tidak pernah bosan melihatnya. Malah semakin lama mencondongkan kepalaku ke sumur, aku semakin bersemangat dan penasaran ingin menyeroknya langsung. Sembari menghayal ikan-ikan itu kupelihara di dalam botol yang sudah aku siapkan dua hari sebelumnya.

Ibuku masih sibuk mencuci pakaian di belakangku. Berkali-kali menyeka wajahnya yang keringatan. Aku tidak tega. Ibu membutuhkan bantuan, sangat membutuhkannya! Dan, seharusnya sebuah ide baru kulakukan dengan sesegera mungkin. Saat ini. Ide itu muncul. Aku akan membantu ibu mengambil air sumur, dan juga ikan-ikan itu. Tunggu kalian! Seruku dalam hati sembari mengambil ember kosong di samping ibuku, diam-diam. Berharap ada yang terangkat ke atas olehku. Aku ingin memelihara salah satu ikan yang ada di sumur itu.

Tanganku sudah siap menyerok air sumur. Kepalaku tertunduk ke bawah. Mengambil posisi yang tepat untuk fokus pada gerakan tanganku yang penuh ambisi agar ember yang dilempar ke sumur tepat sasaran. Tiba-tiba beberapa capung mengepakkan sayapnya, beterbangan di depanku. Ada banyak. Sekitar sepuluh ekor. Mereka tampak sedang merayakan kebebasan. Sekaligus menemaniku yang juga senang bisa memegang ember, mengaiskannya ke permukaan air.

Sebenarnya aku tidak diperbolehkan mendekati sumur ini. Lebih tepatnya, ibuku akan marah jika melihat tanganku senakal ini tidak mengindahkan larangannya.

Aku mencoba mengambil air saat ibu sibuk, lagi pula tidak ada yang tahu. Aku juga ikut mengibas-ngibaskan tanganku seperti capung yang mengepak-ngepakkan sayapnya. Sudah tiga kali. Aku melemparkan ember dengan penuh hati-hati, pelan--agar tidak didengar ibuku kalau aku memberanikan diri mendekati sumur dan mencoba mengambil airnya.

Rumput di dalam sumur ikut tersingkirkan. Berkali-kali sampai akhirnya pada lemparan yang kelima, ikan-ikan kecil itu masuk dan terjebak di dalam ember. Mereka sengaja kutarik dengan sangat cepat supaya aku tidak terlambat. Aku menariknya semakin cepat. Tidak jauh dari ganggang ember tampak beberapa untai tali telah putus. Semakin kuat aku menarik ember itu, semakin banyak untaian tali yang putus. Aku berupaya menjangkau ember sembari membungkuk.

Mendesis tertahan, sedikit ragu, dan berusaha tidak didengar ibuku. Tidak ada yang tahu dengan ide muliaku. Bisa jadi suatu hari nanti ibu memercayaiku mengambil air di sumur ini lagi. Satu hal yang menyenangkan. Tapi itu masih tekad yang kuat, dengan segenap ambisi aku harus berjuang untuk membuktikannya! Batinku.

Pembuktian dengan mengangkat ember seperti lelaki gagah perkasa yang memang pahlawan andalan. Tentu akan menjadi perbincangan yang mengharukan bagi setiap orang. Aku berharap demikian. Hanya seember air, aku yakin ibu akan menceritakan aku pada ibu-ibu lainnya, menyebut kelebihanku yang bernyali besar bertenaga super. Aku harus berbeda dari anak kecil biasa. Bukan hanya ingin menjadi pahlawan, aku juga iba melihat ibu jika setiap hari mengambil air di sumur tanpa ada yang membantu.

Aku memegang gaggang ember sekuat tenaga agar tidak terlepas. Mengangkatnya sembari memasang ancang-ancang seperti tarik tambang. Tapi terhenti sejenak. Napasku terlalu lama kutahan, dan ember pun terlalu berat. Tanganku masih memegang ember. Aku memang belum sepenuhnya kuat seperti yang kubayangkan. Tapi, apa salahnya kucoba sekali lagi?

Tanah di pinggir sumur terkikis. Aku melihat air sumur itu mulai keruh. Satu per satu tanah di atas sumur berjatuhan. Ibuku di ujung sana tidak melihatku. Terlalu banyak pakaian yang dicucinya hari ini, sibuk.

Aku tidak mau melepaskan ember itu karena di dalamnya sudah ada ikan yang akan aku pelihara. Apalagi ibuku membutuhkan bantuanku. Ibu harus merasakan peranku sebagai anaknya! Setidaknya aku sedikit berguna meskipun kadang-kadang menyusahkannya. Bandel, nakal, dan aktif.

Berat badanku kata petugas Posyandu beberapa hari yang lalu lima belas kilogram, sedangkan berat ember yang kutarik sekarang rasanya sekitar dua kilogram. Aku memang kurus. Di usiaku yang lima tahun sekarang dengan berat badan sebegitu--tidak ideal kata petugas Posyandu. Ada yang bilang aku cacingan. Ada juga yang bilang aku nakal, jarang istirahat siang. Memang aku jarang istirahat. Ibu sering mengintaiku, memaksa aku tidur siang. Tapi aku malah kabur dari rumah sembari berjoget-joget menjulurkan lidah, mengolok ibuku. Ayah dan ibu pernah memberi aku obat tidur. Sumpah. Hanya obat tidur itulah yang berhasil membuat aku terlelap sampai kedua orang tuaku itu ketakutan kalau aku tidak bangun selamanya. Bagaimana tidak takut? Aku tidur sedari meminum obat itu, mulai dari pagi sekitar jam enam, bangun siang hanya untuk makan, lanjut tidur lagi hingga pagi berikutnya. Sejak saat itu, kedua orang tuaku jera memberiku obat tidur. Biarkan. Kata ayah ketika aku menolak tidur siang.

Aku mengangkat ember itu lagi sambil mengerang pelan. Tangan kiriku memegang ganggang ember, tangan kananku berpaut pada rerumputan. Sendal yang kupakai terasa licin. Aku sedikit membungkuk sembari melepaskan sendal itu. Kemudian melanjutkan misiku.

Kali ini aku tidak akan gagal. Aku memegang ember itu dengan kedua tanganku. Tumpuan terhebatku saat ini ada pada kakiku. Semua tenaga telah kukerahkan.

Ibu menoleh ke sumur dengan sangat cepat. Tangannya yang cekatan berhenti seketika setelah mendengar kecimpungan air yang sangat kuat.

“Ya Tuhan..!” Teriak ibuku, kaget dan panik.

Berlari mendekat. Mengulurkan tangannya. Tapi tidak sampai, hanya ujung jari yang bisa kusentuh. Ujung jari yang terasa seperti magnet sama kutub. Meskipun aku sudah berusaha mendekat dan menggapai tangan ibuku, tapi gagal karena aku belum bisa berenang. Ibu juga tidak bisa berenang. Dia hanya bisa mengulurkan tangannya sembari berteriak sekuat tenaga, minta pertolongan.

Lubang melingkar seperti huruf vokal tidak ada ujung dan pangkal yang disebut dengan mulut termonyong-monyong tanpa menyentuh kedua bibir itu, membuat aku tidak berdaya. Aku kedinginan dan takut. Mulut komat-kamit minta tolong tidak beraturan. Sesekali air sumur masuk melalui mulut dan hidungku. Aku kesulitan bernapas.

Aku mengibas-ngibaskan kedua tanganku. Tenagaku hampir habis. Kakiku sama sekali tidak bisa menggapai berbatuan di dalam sumur. Bahkan ember pun aku tidak tahu ke mana. Jelas sudah, ikan-ikan itu tidak bisa kutangkap. Mereka telah bebas. Saat ini, malah aku yang terperangkap di lorong perlindungan mereka.

Sumur telah berubah menjadi siluman. Tanah yang terkikis dan air sumur yang bergelombang membuatnya airnya keruh. Warnanya tidak jauh beda dari kolam buatan paman. Ikan-ikan pun menghilang seketika, menjauhiku, seolah aku mengundang bencana bagi mereka.

Tangan ibuku melambai-lambai. Berteriak panik, bergema seperti di dalam gua.

Tidak lama kemudian ada seorang lelaki mengenakan topi berwarna merah yang perawakannya seperti kakek-kakek berdiri di dekat sumur. Melihatku sekilas. Seketika itu juga seutas tali tambang diulurkan ke sumur. Aku tidak bertenaga lagi untuk memegang tali itu. Meskipun di atas sana ada suara yang terdengar mengecil menyuruh aku memegang tali. Tapi aku tidak bisa. Sebentar lagi aku akan tenggelam. Aku pasrah.

Perlahan tali itu memendek, tubuh besar masuk, menyusulku ke dalam sumur. Kakinya menginjak dinding sumur, sementara tangannya berpaut pada tali.

Dia merangkulku dengan satu tangannya. Menarik aku ke atas. Aroma getah kering masih melekat di tubuhnya. Pelukannya sangat erat. Membuat aku merasa sedikit kehangatan. Tangannya terasa kasar. Aku sepertinya mengenali tangan itu.

Mataku belum bisa melihat dengan jelas. Yang kulihat semuanya tampak samar.

Aku diangkat sungsang; kaki di atas, kepala di bawah. Lalu diguncang berkali-kali hingga sedikit demi sedikit air yang tertelan keluar dari hidung dan mulutku, disertai batuk.

Aku sadar dan mulai bisa melihat siapa yang menolongku. Ternyata dia adalah ayahku. Orang yang telah berjasa menyelamatkanku. Orang yang banyak alasan kalau dipaksa mandi di sumur ini. Saat ini, malah ayah yang turun ke dalam sumur menolong aku.

Ibu memeluk aku seperti orang yang bersalah. Dia menangis sejadi-jadinya ketika melihat aku sekarat.

"Ini salahku." Kata ibuku terisak tangis, aku masih di dalam pelukannya. Suaranya terdengar lembut di telinga kiriku.

"Tidak apa-apa." Ayah memeluk aku dan ibu. Kami bertiga seperti teletubbies yang sedang berpelukan. Seperti gambar di sampul buku yang sempat aku tatap lekat-lekat beberapa hari lalu.

Dari kejauhan, paman berlari kencang mendekati kami yang sedang berpelukan di dekat sumur.

“Syukurlah kamu selamat.” Paman tersenyum lega. Napasnya tersengal-sengal. Keringatan dan sedikit pucat. Membelai kepalaku.

Ayah melepaskan bajunya, melingkarkannya di tubuhku. Mengambil topi di atas dedaunan. Topi itu sengaja dilempar sembarangan karena panik, menolongku. Menyungkupkannya di kepalaku sembari tersenyum kelelahan.

"Di mana anak ikan itu, sembunyi semua?" Ledek paman. "Oh ini embernya." Mengangkat ember yang tenggelam di sumur.

"Mau ke mana, Cil?" Tanya ayah pada paman. Nama paman, Ucil. Sesuai dengan namanya; tubuh paman tidak lebih besar dari ayah. Tapi langkah kaki paman sangat tangkas. Meskipun satu langkah kaki ayah sama dengan dua langkah kaki paman, tapi laju langkah kaki paman tidak bisa kami kalahkan kalau sedang di hutan.

"Sebentar!" Paman meneruskan perjalanannya, melewati rerumputan yang rebah. Ayah mendongak, penasaran.

"Apa itu?" Tanya ayah sembari mendekati paman.

"Hadiah untuk anak yang nakal." Paman memberiku tiga ikan mungil yang dia ambil dari dalam hutan.

Ternyata rerumputan yang rebah itu ulah paman. Sengaja direbahkan agar ada jalan menuju ke hutan, tempat paman mencari ikan rasbora maculata. Ikan jenis ini bisa dijual. Harga per ekornya lima puluh rupiah. Harga dua ekor ikan rasbora maculata mampu membeli permen pendekar biru yang lagi hit di Desa Trans Prompong ini, desaku. Desa yang jauh dari pasar, jauh dari sekolah tingkat pertama dan atas, dari puskesmas dan kota.

"Oh gara-gara ikan ini?" Tanya ayah dengan nada bicara keberatan. Melirik ke arahku yang tersenyum merasa bersalah.

Karet Hitam

Setelah insiden kemarin aku jera ikut ibuku ke sumur lagi. Aku lebih memilih mandi di rumah dengan air hujan yang ditampung di tong besar. Meskipun ayah dan paman berkali-kali menawari aku mandi di kolam buatannya. Kolam itu bagai kolam renang bagi mereka. Cukup luas. Tapi aku tidak suka dengan airnya yang keruh. Jarang sekali aku melihat ikan di kolam buatan itu.

Sore ini, aku mandi lebih cepat dari biasanya yang kadang dipaksa ibuku terlebih dahulu. Tidak jauh dari tempat aku mandi ada ayah yang sedang duduk membelakangiku, menggerakan tangannya seperti menarik-ulur sesuatu. Terdengar seperti besi yang bergesekan dengan batu. Setelah merasa cukup, ayah menguji ketajamannya dengan menggoreskan ujung benda itu pada kuku jempol kanannya.

Aku mendongak sejenak, berdiri sembari mengembalikan gayung ke dalam tong. "Itu apa, yah?" Tanyaku penasaran.

Ayah berbalik badan. Mengangkat benda yang dipegangnya itu seakan mengangkat uang yang ditemukan di pinggir jalan. Tampak jelas dari kejauhan, karet melingkar berwarna hitam pada ganggang kayu yang ayah pegang. Ujung ganggang kayu itu ada warna putih berkilauan, tajam.

"Ini pisau toreh, nak." Jawab ayah sembari tersenyum manis lalu kembali melanjutkan mengasah pisau toreh itu.

Ibuku baru sampai di rumah. "Ambil ini, Rin." Sembari menyodorkan ember berisi air bersih.

Kemarau sudah hampir seminggu membuat ibu setiap hari mengambil air, bolak-balik ke sumur. Spontan ayah langsung menyambar ember itu. Meletakkannya di depanku, menutupnya dengan nyiru agar cecak atau rayap.di atap daun tidak mencebur ke dalamnya.

Rin, panggilan sayang ayah dan ibuku. Dulu sempat kutiru. Aku bilang pada ayahku, bangunkan aku besok pagi ya, Rin. Ibu langsung marah. Katanya itu panggilan rin-rindu. Dulu ayah berjualan di pasar, meninggalkan ibu sendirian di rumah selama beberapa bulan sebelum aku lahir. Sekarang, ayah sudah banyak waktu luang di rumah. Beralih pekerjaan menjadi penoreh getah milik pak Tibet, bos besar yang punya banyak perkebunan karet. Rumah yang kami tempati sekarang juga milik pak Tibet. Kami diberi tumpangan rumah gratis.

Meskipun sekarang ayah memiliki banyak waktu luang di rumah, tapi panggilan Rin itu tidak sirna. Aku tidak berani menirunya lagi.

"Punyaku juga jangan lupa diasah, ya." Pinta ibuku.

"Iya, kamu ikut menoreh besok?"

"Ikutlah, biar cepat selesai dan cepat pula kita menjualnya ke pak Tibet." Sembari membereskan barang yang berserakkan di dapur dan di sekitar tungku.

Aku baru selesai mandi, menggigil kedinginan. Lantas bergegas masuk ke dalam kamar. Kamar yang panjangnya kurang lebih tiga meter dan lebarnya kurang lebih dua setengah meter. Sempit memang. Untungnya aku anak tunggal. Jadi kamar ini masih muat untuk kami bertiga walaupun berhimpit-himpitan.

"Bu, bajuku mana?" Berteriak di dalam kamar.

"Ini paman pakai." Sahut paman di luar sana. Rumah paman berdekatan dengan rumah kami. Paman tinggal seorang diri. Kata ayah, paman dulunya punya istri dan memiliki dua orang anak. Tapi mereka bercerai dan kedua anaknya bersama mantan istrinya.

Ternyata teriakanku kedengaran sampai ke rumah paman. Aku tersipu malu. Masih mencari pakaian yang ibu simpan di dalam kardus mi.

"Ya, ampun. Kamu cari apa? Kenapa sampai berantakan begini?" Ibu marah sembari berkacak pinggang di ambang pintu kamar. "Ini apa?" Mengangkat baju dan celanaku.

Baju bergambar anak kecil yang sedang duduk termenung di tangga rumah. Celana polos yang pendek. Jika kukenakan, ujung celana itu sekitar dua puluh senti di atas lututku, seksi. Baju dan celana ini diberi pak Tibet setahun yang lalu.

Aku tersenyum lebar hingga gigi ompongku tampak melucu. Bulan lalu, satu gigi gerahamku patah. Aku kesal karena semenjak gigi geraham itu patah, aku kesulitan mengunyah dan makan permen pendekar biru lagi.

Ibuku dan petugas Posyandu melarangku makan permen pendekar biru. Kata mereka dapat merusak gigiku. Tapi aku menyukai permen itu. Sehabis makan permen pendekar biru aku bisa menyombongkannya dengan menjulurkan lidah ke ayah, ibu dan paman.

"Maaf, bu." Ujarku menghentikan omelan ibuku yang bisa saja sepanjang gerbong kereta api.

Aku mengenakan celana, sedikit oleng. Baju itu sudah sempit. Sekuat tenaga aku menariknya ke bawah hingga kepalaku masuk. Begitu pula dengan celana itu. Satu kaki yang kuangkat ketika memasukkannya, membuat aku kurang keseimbangan hingga hampir terjatuh.

Ibu mengemaskan pakaian yang baru saja kubongkar. "Ada-ada saja anak ini memberiku pekerjaan. Lain kali kalau ambil pakaian di sini--diangkat bukan ditarik."

"Sekalian juga pakaianku, Rin." Pinta ayahku.

"Ini pun sama. Anak sama ayah tidak beda jauh." Ibuku mengomel. Ayah tertawa tertahan mendengar omelan ibuku.

Aku salut pada ibuku. Padahal sedari tadi aku tidak melihat pakaian itu di kardus. Tapi dengan mudahnya--ibu menemukannya. Semua pekerjaan rumah beres karena ibuku. Seperti malam ini. Kami duduk melingkari hidangan makan malam. Masakan ibuku sangat lezat. Biarpun hanya daun ubi tumbuk dan ikan asin, kami makan dengan lahap.

*Sekarang jam tujuh Waktu Indonesia Bagian Barat, Radio Republik Indonesia akan menyajikan berita seputar pe*rtanian.

Ayah dengan khusyuk mendengarkan.

Harga karet saat ini mengalami perubahan yang cukup drastis. Dari yang sebelumnya delapan belas ribu per kilo menjadi, tut...tut...tut...

Radio soak. Baterainya habis. Ayah penasaran. Dia beranjak dari tempat duduknya dan memutar tombol volume radionya. Kemudian bergegas masuk ke dalam kelambu, kecewa.

Untungnya malam ini tidak hujan. Jadi kami bisa tidur dengan nyenyak.

"Bangun, nak." Ibu membangunkanku.

Bukannya aku baru terlelap? Tidur yang sangat singkat. Ayah di dapur sedang menyiapkan perlengkapan menoreh. Ibu masih sibuk membereskan kamar. Sementara aku berusaha bangun dari kantukku.

Ayam belum berkokok, tapi kami sudah bangun. Aku mencuci wajahku. Kemudian mengenakan celana dan baju panjang yang tebal biar tidak kedinginan.

"Bekal?" Tanya ayahku.

"Ada." Ibu menjawab pelan sembari memasukkan rantang dan air minum ke dalam tas.

Kami bertiga jalan kaki melewati rerumputan yang masih berembun. Sendalku basah. Aku di tengah. Ayah di depan sembari menyinari jalan dengan obor yang diikatkan di kepala. Ibu di belakangku yang juga menerangi langkah kakiku dengan api obor.

Sekitar setengah jam. Kami sampai di perkebunan karet milik pak Tibet. Karet itu tidak beraturan karena karet lokal yang ditanam asal-asalan, ada pula yang tumbuh dengan sendirinya. Ukuran batang karet itu dua kali lebih besar dariku.

"Kalian di sebelah sana. Biar aku di sini." Tunjuk ayah.

Ibu mulai menorehkan pisau torehnya ke batang karet. Bunyi torehan itu seperti kita menggaruk kulit yang gatal kuat-kuat. Tangan ibuku sangat tangkas. Satu batang karet dapat ditoreh dalam waktu yang cukup singkat, tidak sampai satu menit.

Ayam jantan berkokok setelah sepuluh batang karet berhasil ditoreh ibuku. Aku mengekor di belakangnya sembari memegang anti nyamuk.

Di ujung sana tampak lampu obor ayahku. Terhalang dedaunan. Sesekali aku menepuk nyamuk yang berlabuh di tangan dan kakiku, menggaruknya. Gatal.

"Kamu tunggu di sini. Mau?" Ibu meletakkan tasnya ke dalam pondok.

"Aku takut, bu." Mataku mulai berkaca-kaca. Tidak mau jauh dari ibuku. Takut.

Aku tetap mengekor, mengikuti ibu hingga cahaya matahari mulai menampakkan dirinya barulah aku berani menjauh. Kicauan burung bersahut-sahutan. Tupai melompat kian kemari. Semut di depanku mulai sibuk mengumpulkan makanan.

"Aduh." Aku mengaduh kesakitan.

"Kenapa?" Tanya ibuku.

"Kakiku digigit semut api, bu." Sembari mengaruk-aruk jempol kaki kananku, mulai bengkak. Gatal dan nyeri.

Semut api itu bergerombol sangat banyak. Berwarna cokelat agak kemerahan. Rasa gigitan pertama memang seperti disentuh api. Lama-kelamaan gatal dan nyeri hingga bengkak.

"Sudahlah, kamu tunggu saja di pondok. Sebentar lagi kami selesai." Ibu melanjutkan torehannya setelah mengolesi kakiku dengan minyak tanah dari dalam obornya.

Sedikit membaik. Aku menunggu mereka di pondok. Tidak lama kemudian mereka mendekatiku.

"Sudah selesai, yah?" Tanyaku bersemangat.

"Menoreh sudah, tapi air getahnya belum. Kita tunggu dua hingga empat jam, baru nanti kita ambil getah yang sudah terkumpul di tempurung." Jawab ayah, menjelaskan.

Ibu membuka tasnya. Mengeluarkan rantang makanan. Ayah meneguk air minum sangat cepat, terdengar kuat. Hanya tiga tegukan, air di botol minuman itu sisa sedikit. Napasnya tidak teratur. Keringat bercucuran sangat deras.

"Hari ini sudah bisa kita jual. Perlengkapan dapur juga sisa sedikit. Bagaimana dengan utang kita pada pak Tibet?" Tanya ibu sembari menyuapkan nasi.

"Boleh. Kita jual yang kita toreh kemarin. Yang hari ini kita simpan dulu. Masalah utang biar kita cicil. Pak Tibet pasti memaklumi, kok." Ayah duduk di dekatku. Memberiku sepotong ikan asin.

Aku menyimak pembicaraan mereka. Tidak jauh dari pondok kami memang ada tiga tumpukan karet yang sengaja ditutup dedaunan. Tidak heran bau karet menyengat di pondok ini. Tapi aku tidak peduli. Aku lapar. Malah aku makan sangat lahap. Ternyata makan di hutan lebih mengasyikkan.

Ayah sudah selesai makan. Duduk sejenak, kemudian berdiri seraya mengambil ember. Mengoleskan tanah liat ke dalam ember. Katanya biar karet tidak lengket. Ibu juga melakukan hal yang sama setelah selesai makan siang. Aku masih dengan sisa nasi yang harus kuhabiskan, dipaksa ibuku.

Sebentar lagi bayanganku tepat di tengah. Aku uring-uringan di dalam pondok sambil menikmati suara kicauan burung yang semakin membahana. Terdengar merdu.

Sekitar tiga jam kemudan, ayah dan ibu beranjak, mengambil ember yang dijemur di bawah sinar matahari. Tanah liat yang diolesi di dalam ember itu sudah mengering.

"Kamu tunggu di sini ya, nak."

"Aku ikut, bu." Spontan berdiri, melompat dari pondok itu yang terseok-seok hampir roboh.

Aku mengekor di belakang, ibu membawa ember yang cukup besar. Dia berhenti di setiap pohon karet yang ditoreh. Membungkuk, menuang air getah dari tempurung ke ember. Aku turut membantu menggunakan tempurung yang lebih besar, hingga tempurung itu penuh, barulah aku memberikannya pada ibuku. Tidak sadar tubuhku sampai cemong kena semburan getah yang kutarik karena menempel kuat di tempurung. Sampai rambutku yang pirang sedikit ikal merekat, sulit dipisahkan.

Aku mengerang kesakitan, berupaya memisahkan rambutku yang merekat.

"Ibu sudah bilang tunggu saja di pondok." Tatapannya iba, tapi buru-buru membelokkan pandangannya, kedua bahunya naik-turun, bunyi terkekeh pelan.

Aku tetap bersikeras hingga ember ibu penuh. Kami kembali ke pondok, disusul ayahku. Ayah membekukan karet itu dengan cuka getah. Mencetaknya di atas karpet bekas yang berbentuk persegi panjang.

Satu keping karet besar telah berhasil dicetak. Ayah menutup karet itu dengan dedaunan kering. Tiga keping lainnya diambil dan dibersihkan, warnanya sudah menghitam. Bau busuk menyengat di hidung kembang-kempisku. Ayah memikulnya sendiri menggunakan gandar kecil. Mengerang sekuat tenaga, melabuhkan gandar itu ke bahu seraya berjalan cepat. Aku dan ibu mengikuti ayah dari belakang.

Rambutku masih merekat. Ibu menahan tawanya melihat rambutku yang acak-acakkan, berdiri jabrik. Aku terdiam malu.

Sekitar satu menit lamanya, akhirnya kami tiba di rumah pak Tibet yang besar dan bertingkat tiga, berwarna campuran antara merah, putih dan biru di setiap tingkatnya. Rumah pak Tibet sangat besar. Satu-satunya rumah termegah di desa ini.

Seorang pria tinggi berotot menghampiri kami. "Bos tidak ada di rumah, pak. Tapi bos serahkan jual-beli karet ini pada kami untuk sementara waktu. Ini kita giling dulu di mesin ya, pak."

Ayah dan karyawan pak Tibet mengangkat karet itu satu per satu. Menggilingnya dengan mesin manual menggunakan putaran sekuat tenaga hingga karet itu menipis dan kadar airnya berkurang.

Di ujung sana, ibuku sedang berbincang-bincang dengan tiga orang ibu yang sedang duduk santai di kanopi toko pak Tibet. Aku menghampiri ibuku penuh semangat.

"Kenapa rambutnya, kok kaku begitu?" Tanya salah seorang ibu kepada ibuku sembari tertawa yang diikuti oleh ibu-ibu lainnya.

"Kena percikan getah." Jawab ibuku dengan intonasi suara kasihan.

"Miris benar nasibmu, nak. Usia sebegini sudah ikut menoreh." Ibu di depanku yang hamil tua ikut nimbrung.

Aku duduk di samping ibuku. "Iya. Tidak ada yang menemaninya di rumah." Jawab Ibuku, pelan.

Aku tersenyum tipis membalas tatapan sinis seorang ibu yang sekujur tangannya dipenuhi gelang berwarna kuning.

"Aku pulang duluan, ya. Anakku di rumah sudah lama kutinggal. Tadi masih tidur di ayunan." Ibu yang sekujur tangannya yang dipenuhi gelang berwarna kuning itu pamit mengundurkan diri, kembali ke rumahnya.

"Aku juga duluan, ya. Sudah lama kami mampir di sini." Ibu yang hamil tua juga pamit mengundurkan diri. Ibuku mengangguk.

"Aku juga, ya." Ibu yang menanyai rambutku tadi menyusul.

Saat ini, hanya aku, ibu, dan penjaga toko yang masih duduk santai di kanopi toko pak Tibet. Di toko itu ada mainan, mataku berbinar-binar melihatnya. Sesekali melirik ke arah ibuku yang sedari tadi memandangi ayah yang sedang transaksi tunai bersama karyawan pak Tibet. Ayah mendekati kami, tangan kanannya menggenggam sesuatu. Raut wajah ayah tampak bersedih.

"Yah, mau mainan." Pintaku sembari memasang wajah memelas.

"Belilah. Ambil yang mana kamu mau." Sembari menyalami ibuku seolah mengestafetkan sesuatu.

"Harganya turun. Kalau tahu turun tidak bakal kujual hari ini."

"Turun berapa emangnya?"

"Minggu lalu delapan belad ribu per kilo, hari ini cuman sembilan ribu per kilo. Memang benar kata siaran radio semalam. Jauh turunnya."

"Ya, sudahlah. Mau bagaimana lagi. Persediaan di rumah pun sisa sedikit."

Aku memilih mainan di dalam toko. Tidak peduli dengan rambutku yang saat ini sesekali membuat penjaga toko menahan tawanya. Aku memilih mainan yang ukurannya lebih kecil. Harganya pasti murah. Ini mobil-mobilan impianku. Seruku dalam hati.

"Aku mau beli yang ini, yah. Ini warnanya bagus. Bentuknya juga bagus. Ada rodanya. Bisa kudorong ke sana kemari. Pasti seru, yah." Aku menunjukkan mainan pilihanku pada ayah dan ibu. "Belikan mainan ini ya, bu." Imbuhku.

Meminta persetujuan ibuku yang sedari tadi terdiam mendengarkan aku promosi mainan pilihanku.

"Aku janji akan sering bantu ayah dan ibu." Aku mengimbuhi penjelasanku tadi. Meyakinkan kedua orang tuaku kalau yang kubeli sekarang tidak akan membebankan mereka.

"Iya. Ambillah." Anggukan ibuku bagai joran pancing yang ditarik ikan besar. Lentur. Disambut riang olehku sembari berkata, hore dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!