Bubur Panas

Besok adalah hari ulang tahunku yang ke enam tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada yang istimewa. Ibu dan ayah seakan tidak ingat hari ulang tahunku. Mereka selalu membalas tatapanku yang penuh harap dengan senyum manis.

Tidak ada yang berubah ketika usiaku bertambah satu tahun. Hanya uban ayah semakin banyak dan ibu semakin sering mengajariku menulis, membaca dan berhitung meskipun aku belum mengerti dan tidak lebih bersemangat daripada main mobil-mobilan. Sesekali ibu marah kepadaku karena tidak mendengarkannya, tapi dia tetap sabar mengajariku, hingga aku bisa berhitung satu sampai sepuluh yang membuat dia akhirnya tersenyum bahagia.

Kata paman aku semakin nakal. Paman tidak dendam padaku padahal seminggu yang lalu aku membuat paman marah dan kesakitan.

Kala itu, aku sedang bermain ketapel di sekitar rumah paman, mencari burung yang hinggap di pepohonan. Ibu sudah berkali-kali memanggil aku untuk tidur siang, tapi aku hanya menjawab, iya bu. Paman jengkel padaku yang masih sibuk menembaki burung yang tidak bersalah. Saat itu paman sedang membersihkan kakinya sepulang dari mencari ikan maculata.

"Ketapel begitu mana mempan di pantat paman, buang-buang waktumu saja. Coba tidur siang setidaknya lebih berguna ketimbang menembaki burung-burung itu. Kena pun tidak, yang ada malah buat kamu makin kurus kering." Ujar paman kepadaku yang sedang menengadah ke atas tanpa tanggapan sama sekali.

Aku menarik ketapelku sekuat tenaga ke arah paman, kemudian melepaskan batu di ketapelku ketika paman menungging membersihkan kakinya.

"Kurang ajar. Awas kamu." Paman marah. Berlari zig-zag mengejarku. Tembakanku tepat sasaran. Aku berlari menjauhi paman.

Sejak saat itu paman tidak berani menegurku lagi yang sekiranya akan merugikan dirinya. Ketapelku pun disita ayahku. Saat ini, aku hanya bisa main mobil-mobilan.

Selamat malam pendengar setia Radio Republik Indonesia. Sebentar lagi kami akan menyajikan berita seputar pendidikan.

Jeda. Suara musikal khas Radio Republik Indonesia terdengar menggugah semangat ayah yang diikuti dengan goyangan kepala naik-turun.

Apa kabar pemirsa yang berbahagia. Semoga sehat selalu dan dilancarkan rejekinya.

Pembawa acara radio menyapa, "Amin." Ayahku menjawab sembari beranjak dari tempat duduk, membesarkan volume radionya.

Besok adalah hari yang ditunggu-tunggu bagi orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya. Anda perlu menyiapkan berkas, yaitu...

Ayah mendengarkan dengan khusyuk, memegang alat tulis dan kertas. Siap mencatat persyaratan masuk sekolah. Ayah tambah bersemangat ketika mendengar sekolah tahun ini gratis.

Aku terdiam tidak mengerti. Meskipun kemampuan berhitungku semakin membaik karena setiap inci ketika mendorong mobil-mobilan aku sambil berhitung dalam hati.

"Kapan rencananya ke pasar membeli perlengkapan sekolah?" Tanya ibu.

"Besok aku mau ke sana, bertemu Kepala Sekolah."

Hanya ada satu sekolah di desa ini, Sekolah Dasar. Tidak ada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Menengah Pertama, apalagi Sekolah Menengah Atas. Tentunya akan membuat siswa yang nekat sekolah harus menginap atau indekos yang jauh dari orang tuanya ketika tamat Sekolah Dasar.

Jarak Sekolah Dasar dari rumah kami sekitar satu jam jauhnya jika jalan kaki. Kalau pakai sepeda onthel mungkin lima belas menit.

"Biar sekalian besok membeli perlengkapan sekolah." Lanjut ayah. Artinya besok aku ikut ayah ke sekolah dan ke pasar. Horeee. Gumamku dalam hati.

"Anak ibu sudah siap sekolah belum?" Tanya ibu yang membuat aku bertanya-tanya pula kepada diriku sendiri. Aku mengangguk lentur. Ibu tersenyum senang.

Esok paginya, aku dibangunkan ibuku. Tangan kananku ditarik, dipaksa berdiri sembari bilang, bangun, nak. Sudah siang.

Aku membuka kedua mataku yang seketika terbelalak melihat ayah berpakaian sangat rapi. Rambutnya yang memutih disisir rapi dengan gaya sisiran tahun delapan puluhan, dibelah tengah. Celana warna hitam seperti disetrika, rapi. Celana itu sudah lama bersemayan di kardus. Baju kemeja lengan pendek berwarna dominan abu-abu kehitaman. Ayah memasang kacing kemejanya seraya bercermin, memutar-mutar tubuhnya sembari bilang, masih tampan rupanya. Aku terkekeh pelan.

"Cepat mandi. Nanti kalian terlambat." Desak ibu sembari menyodorkan handukku.

Seperti biasa, rumus tiga-lima setiap kali mandi kulakukan biar menghemat air di tong. Kebetulan cuaca kemarau, air di tong pun menipis.

Di atas kardus, pakaianku sudah disiapkan. Jadi aku tidak perlu membongkarnya lagi. Ibuku telah menyiapkan semuanya dengan sempurna. Bahkan sendalku pun dicuci sampai mengilap.

Sayangnya, baru saja melangkahkan kaki pertama, sendal itu sudah menginjak kotoran ayam. Ibu mengomel sangat panjang seperti membacakan kata sambutan bagi para petinggi negara dalam momentum bersejarah.

Ini pertama kalinya aku di sekolah. Banyak sekali teman sebaya yang kutemui hari ini. Mereka tampak ramah dan menyambutku dengan sangat baik.

"Hay, siapa namamu?"

"Namaku, Aki. Namamu siapa?"

"Aku Saga. Panggil saja Aga." Sembari berjabat tangan.

Aga juga diantar ayahnya hari ini. Ternyata kami akan satu kelas. Sambil menunggu orang tua berbincang di ruang guru, aku dan Aga bermain di selasar sekolah yang memanjang, lurus. Ada tujuh ruang di sepanjang selasar sekolah yang telah kami lalui. Di ujung sana berdiri tegak pondasi bangunan sekolah yang baru. Tampaknya sekolah yang lurus ini akan berkelok setengah melingkari halaman sekolah.

Pintu kelas enam di sebelah pojok kiri dari ruang guru terbuka lebar. Aku dan Aga berniat mengintip siswa kelas enam. Kami melangkahkan kaki sangat lamban. Tiba-tiba, aku dan Aga menghentikan langkah kaki setelah mendengar lagu yang serentak dinyanyikan banyak orang di kelas enam. Suara yang kami dengar seperti suara wanita, intonasi nada turun-naik dan amat merdu.

Rasa sayange, rasa sayang, sayange

Lihat nona dari jauh rasa sayang, sayange

Itu lirik terakhir dari lagunya yang kuulang berkali-kali di dalam hatiku. Aku dan Aga batal ke kelas enam. Kami melanjutkan menelusuri ruang kelas paling ujung di sebelah kanan, berdampingan dengan ruang guru di sebelah kirinya. Ruang kelas itu senggang. Ternyata hari ini sekolah libur. Tapi di kelas enam ada yang bernyanyi riang. Kami yakin itu kelas enam karena di atas pintunya ada tulisan angka enam.

Aku dan Aga kembali memastikan ke kelas enam. Ternyata suara siswi yang sedang belajar paduan suara.

"Mungkin untuk menyambut kita, Ki." Ujar Aga. Pasti meriah. Gumamku dalam hati membayangkan hari pertama masuk sekolah.

"Ki, itu ayah kita sudah selesai rapat." Aga menunjuk ke arah ruang guru. Dia menghampiri lelaki tua yang sedikit membungkuk, Aga menggandeng lelaki tua itu menuju halaman sekolah ke jalan pulang.

"Sampai bertemu di kelas satu nanti, Ki." Teriak Aga, mengucapkan salam perpisahan. Aku melambaikan tangan kananku yang seperti biasanya dilakukan orang ketika berpisah, da-da.

Ayah membawa aku ke pasar. Tempat ini tidak bisa dibilang pasar sepenuhnya. Lebih tepatnya kumpulan per tokoan kecil. Pusat berbelanja penduduk di sini.

Kami memasuki salah satu toko yang dari luar toko hingga ke dalam banyak bergelantungan perlengkapan sekolah. Aku disuruh memilih sesuai warna dan ukuran yang aku suka. Meskipun aku melihat mata ayahku seolah bilang, cari yang murah sedikit. Tapi aku bingung yang mana?

Aku mengambil baju putih mengikuti arahan penjaga toko di depanku yang menunjuk perlengkapan Sekolah Dasar. Di saku baju putih itu ada gambar siswa dan siswi yang setengah badannya ditutup bunga berwarna putih segi lima, berdiri di depan rumah, kiri dan kanannya ada gambar seperti tali. Aku juga memilih celana warna merah setinggi lutut, seragam berwarna cokelat yang dibilang penjaga toko seragam pramuka. Ikat pinggang. Satu buku tulis dan satu pensil. Untungnya dapat bonus penghapus. Tidak lupa aku memilih topi dan dasi untuk upacara bendera. Lalu aku menoleh ke belakang, ternyata ayah mengikuti aku memilih perlengkapan sekolah ini.

Aku menelusuri toko paling belakang, ada bermacam jenis sepatu sekolah yang berhasil menggodaku. Aku ingin mengambilnya. Tapi ingat cerita ayah beberapa tahun lalu yang bilang mereka sekolah dulu tidak pakai sepatu. Artinya, tanpa sepatu aku masih bisa sekolah. Lagipula sepatu hanyalah alas kaki. Guru juga tidak mengharuskan siswanya sekolah menggunakan sepatu. Apalagi harganya tentu sangat mahal. Satu pasang sendal saja sekilo harga karet. Bagaimana dengan sepatu ini? Bisa sampai lima kilo karet harganya.

Satu kantong plastik besar penuh perlengkapan sekolah. Aku tidak tahu berapa uang yang akan dibayarkan ayahku. Aku menunggu di depan toko, melihat ayah sedang berdiskusi panjang dengan penjaga toko. Lalu mereka berjabat tangan, tanda setuju.

Ayah membawa kantong plastik besar itu seraya berjalan pulang. Kami tiba di rumah seperti mandi keringat, basah. Cuaca sangat panas, jalan kaki cukup jauh, membuat aku dan ayah menghabiskan air di teko kecil rumah kami. Haus.

"Kenapa tidak beli minum di warung?" Tanya ibu dengan intonasi suara tidak setuju.

"Uang habis." Ayah terkekeh pelan.

Ibu mengangguk, "Oh..." Berusaha memaklumi.

Paman berkunjung di rumah kami ketika hari mulai petang, "Cieee, ponakan paman mau sekolah." Dia mengolok aku yang sedang mencoba seragam sekolah, salah tingkah.

Aku tersenyum, "Iya dong. Paman mau sekolah lagi?" Tanyaku balas mengolok.

"Jangan tanya paman mau sekolah atau tidak. Coba tanya paman kapan nikah lagi?" Ibu nimbrung, tertawa kecil. Paman tersenyum lebar.

"Palingan dua hari pakai sudah kotor. Bagus pakai baju dinas paman." Menunjuk bajunya yang digantung di samping rumah, baju dinas hutan untuk mencari maculata.

"Paman ini ada-ada saja. Ini mahal loh harganya. Harus dirawat baik-baik, jangan sampai sobek atau kotor." Ibu menimpali.

Aku mengangguk seraya merentangkan kedua tanganku, memperlihatkan seragam sekolah yang sudah kukenakan di depan ibu, ayah dan paman. Mereka bertepuk tangan, paman mengangkat dua jempolnya di atas.

Seragam sekolah itu dilipat kembali, disimpan di kardus yang khusus untuk seragam sekolah.

Aku mengambil mobil-mobilan seraya bermain. Ayah dan paman berbincang di halaman rumah, ibu memasak bubur untuk makan siang. Tungku api membara sangat panas. Ibu meninggalkan tungku itu, mengambil kayu bakar di luar.

Aku bermain mobil-mobilan di dapur. Aku hendak kembali ke ruang tengah, memegang erat mobil-mobilanku seraya beranjak.

"Panas." Teriakku kepanasan. Tidak sengaja kepalaku menyentuh kayu bakar yang seketika mendorong panci berisi bubur panas itu, menumpahiku.

Aku menggeliat kesakitan. Kulitku sebagian yang dikenai bubur panas melepuh. Uap panas mengepul ke atas bercampur aroma kulit yang melepuh. Ibu mengambil air di tong lantas menyiramkannya ke tubuhku.

Ibu menangis tersedu-sedu. "Tolong, cepat bantu dia ke rumah sakit." Panik.

Ayah menggendongku. Membawa aku keluar rumah. Sementara paman berlari ke rumahnya mengambil sepeda onthelnya. Ayah meminjam sepeda itu. Menggendong aku dengan mengikatkan sarung ke tubuhnya seperti membawa jamu keliling kampung.

Sepeda onthel digayuh sekuat tenaga. Tidak peduli jalanan yang berlubang. Aku terguncang lemas tidak berdaya. Tanganku memerah, panas. Kulitku ada yang terkelupas. Di ************ terasa seperti balon, mengembang. Beberapa hentakan membuatnya meletus, mengeluarkan cairan panas.

Ayah menggayuh sepeda onthel sangat cepat. Angin sepoi-sepoi membuat aku sedikit lega. Saat di tanjakan, ayah turun mendorong sepeda. Aku tetap di gendongannya. Cahaya matahari masih panas. Keringat ayahku bercucuran deras. Sesekali aku melihat ayah mengelap air matanya.

Setibanya di Puskesmas, ayah berteriak, "Tolong, bantu anak saya." Seraya membuka pintu Puskesmas.

Perawat berhamburan, ada yang mengambil brankar dorong, memanggil dokter, dan menyiapkan peralatan medis lainnya. Aku langsung dibaringkan ke brankar dorong itu lantas dibawa ke ruangan khusus.

Aku mendengar langkah kaki ayahku berlari mengikutiku. "Pak, silahkan tunggu di sini. Lengkapi berkas dan biayanya." Terdengar sayup-sayup. Lalu pintu ditutup.

"Adik pintar, kamu yang kuat ya." Dokter menyuntik tangan kiriku, memasukkan jarum infus. Nahasnya, aku sadar terlalu cepat, sehingga tahu rasanya ditusuk jarum infus itu.

"Aduh, dokter. Sakit." Aku mengaduh. Walaupun dokter bilang jarum infus itu rasanya seperti digigit semut, tapi aku tahu persis sakitnya lebih dari gigitan semut.

"Sebentar, kok." Dokter tersenyum manis.

Semua pakaianku dilepas. Dua orang dokter berpakaian putih bersih menggunakan masker, satu berkacamata, yang satunya tidak--membersihkan tubuhku. Aku menahan perih, mengernyitkan dahi dan menutup mata.

Dokter berusaha menenangkanku.

"Siapa namamu, dik?" Tanya dokter bekacamata.

"Aki, dok. Aduh, sakit." Air mataku keluar di kedua sisi, membasahi seprai.

"Tenang ya." Menggerakkan tangannya, menyentuh kulitku yang melepuh. "Berapa usiamu sekarang?" Tanya dokter yang tidak berkacamata itu.

"Enam tahun, dok." Jawabku cepat.

"Oh, sebentar lagi masuk sekolah, ya." Dokter berkacamata itu meliriknya. Seolah bilang, jangan katakan itu. Lalu dokter yang tidak berkacamata itu terdiam.

Ibu dan paman menyusul, masuk bersamaan dengan ayah di ruangan khusus. Aku sedang berbaring menatap air infus yang menetes pelan.

"Bagaimana keadaanmu? Masih sakit tidak?" Tanya ibuku dengan mata sembap.

Aku mengangguk pelan. Paman menenteng makanan dan buah. "Ayo, makan. Pasti sudah lapar, kan?"

Ini pertama kalinya kami makan di Puskesmas. Aroma obat tidak dihiraukan. Ibu menyuapiku dengan penuh perhatian. Kami menginap semalam di Puskesmas. Hingga akhirnya kondisiku mulai membaik, barulah kami diperbolehkan pulang.

Kami pulang dengan dua sepeda onthel. Ayah memboncengku, paman membonceng ibuku.

Sekitar pukul enam sore ketika matahari setengah tenggelam, kami tiba di rumah. Ibu membuka pintu rumah. Ayah menggendongku masuk ke dalam kamar. Paman bergegas mencari daun pisang.

"Tunggu dulu." Teriak paman ketika ayah hendak membaringkanku ke tikar daun mendong.

"Baringkan di sini." Paman menyusun daun pisang itu.

Selama hampir dua minggu aku tidur di atas daun pisang tanpa sehelai benang pun di tubuhku. Kulitku yang melepuh menempel di daun pisang itu. Aku yang paling tidak suka tidur siang, harus berkurung diri di dalam kamar.

Ayah dan ibu bergiliran menjagaku. Ketika ayah menoreh, ibu yang menjagaku. Tapi ketika hujan turun, ibu langsung memanggil paman. "Tolong jaga Aki sebentar."

Ibu buru-buru ke kebun karet menyusul ayah mengumpulkan getah. Hujan di luar terdengar menderas. Kalau telat sedikit, getah akan bercampur air dan sulit dicetak.

Paman masuk ke dalam kamar, "Sakit tidak?" Menyentil kulitku yang gembung.

"Aduh. Sakit." Paman terkekeh keras hingga gewangnya lepas. Aku tertawa terbahak-bahak, ternyata paman ompong.

Paman langsung memasang gewangnya dan mengangkat tangan kanan sembari menyentuhkan jari telunjuknya di bibirnya. Aku paham. Paman malu ketahuan giginya ompong.

Paman menjagaku seharian penuh hingga kedua orang tuaku tiba di rumah. Mulai dari mandi, makan, dan bangun, aku dibantu mereka. Aku tidur di tempat tidur tersendiri. Daun pisang setiap hari diganti dengan daun pisang yang baru.

"Masuk tahun depan saja, yah. Kita lihat kondisinya sekarang tidak memungkinkan." Ibu dan ayah berbincang di ruang tengah. Aku mendengarnya sembari mengatupkan mataku, mengelabui mereka seolah sudah tidur malam ini.

"Baiklah, simpan aja dulu seragam sekolahnya itu. Besok aku ngomong dengan Kepala Sekolahnya."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!