Karet Hitam

Setelah insiden kemarin aku jera ikut ibuku ke sumur lagi. Aku lebih memilih mandi di rumah dengan air hujan yang ditampung di tong besar. Meskipun ayah dan paman berkali-kali menawari aku mandi di kolam buatannya. Kolam itu bagai kolam renang bagi mereka. Cukup luas. Tapi aku tidak suka dengan airnya yang keruh. Jarang sekali aku melihat ikan di kolam buatan itu.

Sore ini, aku mandi lebih cepat dari biasanya yang kadang dipaksa ibuku terlebih dahulu. Tidak jauh dari tempat aku mandi ada ayah yang sedang duduk membelakangiku, menggerakan tangannya seperti menarik-ulur sesuatu. Terdengar seperti besi yang bergesekan dengan batu. Setelah merasa cukup, ayah menguji ketajamannya dengan menggoreskan ujung benda itu pada kuku jempol kanannya.

Aku mendongak sejenak, berdiri sembari mengembalikan gayung ke dalam tong. "Itu apa, yah?" Tanyaku penasaran.

Ayah berbalik badan. Mengangkat benda yang dipegangnya itu seakan mengangkat uang yang ditemukan di pinggir jalan. Tampak jelas dari kejauhan, karet melingkar berwarna hitam pada ganggang kayu yang ayah pegang. Ujung ganggang kayu itu ada warna putih berkilauan, tajam.

"Ini pisau toreh, nak." Jawab ayah sembari tersenyum manis lalu kembali melanjutkan mengasah pisau toreh itu.

Ibuku baru sampai di rumah. "Ambil ini, Rin." Sembari menyodorkan ember berisi air bersih.

Kemarau sudah hampir seminggu membuat ibu setiap hari mengambil air, bolak-balik ke sumur. Spontan ayah langsung menyambar ember itu. Meletakkannya di depanku, menutupnya dengan nyiru agar cecak atau rayap.di atap daun tidak mencebur ke dalamnya.

Rin, panggilan sayang ayah dan ibuku. Dulu sempat kutiru. Aku bilang pada ayahku, bangunkan aku besok pagi ya, Rin. Ibu langsung marah. Katanya itu panggilan rin-rindu. Dulu ayah berjualan di pasar, meninggalkan ibu sendirian di rumah selama beberapa bulan sebelum aku lahir. Sekarang, ayah sudah banyak waktu luang di rumah. Beralih pekerjaan menjadi penoreh getah milik pak Tibet, bos besar yang punya banyak perkebunan karet. Rumah yang kami tempati sekarang juga milik pak Tibet. Kami diberi tumpangan rumah gratis.

Meskipun sekarang ayah memiliki banyak waktu luang di rumah, tapi panggilan Rin itu tidak sirna. Aku tidak berani menirunya lagi.

"Punyaku juga jangan lupa diasah, ya." Pinta ibuku.

"Iya, kamu ikut menoreh besok?"

"Ikutlah, biar cepat selesai dan cepat pula kita menjualnya ke pak Tibet." Sembari membereskan barang yang berserakkan di dapur dan di sekitar tungku.

Aku baru selesai mandi, menggigil kedinginan. Lantas bergegas masuk ke dalam kamar. Kamar yang panjangnya kurang lebih tiga meter dan lebarnya kurang lebih dua setengah meter. Sempit memang. Untungnya aku anak tunggal. Jadi kamar ini masih muat untuk kami bertiga walaupun berhimpit-himpitan.

"Bu, bajuku mana?" Berteriak di dalam kamar.

"Ini paman pakai." Sahut paman di luar sana. Rumah paman berdekatan dengan rumah kami. Paman tinggal seorang diri. Kata ayah, paman dulunya punya istri dan memiliki dua orang anak. Tapi mereka bercerai dan kedua anaknya bersama mantan istrinya.

Ternyata teriakanku kedengaran sampai ke rumah paman. Aku tersipu malu. Masih mencari pakaian yang ibu simpan di dalam kardus mi.

"Ya, ampun. Kamu cari apa? Kenapa sampai berantakan begini?" Ibu marah sembari berkacak pinggang di ambang pintu kamar. "Ini apa?" Mengangkat baju dan celanaku.

Baju bergambar anak kecil yang sedang duduk termenung di tangga rumah. Celana polos yang pendek. Jika kukenakan, ujung celana itu sekitar dua puluh senti di atas lututku, seksi. Baju dan celana ini diberi pak Tibet setahun yang lalu.

Aku tersenyum lebar hingga gigi ompongku tampak melucu. Bulan lalu, satu gigi gerahamku patah. Aku kesal karena semenjak gigi geraham itu patah, aku kesulitan mengunyah dan makan permen pendekar biru lagi.

Ibuku dan petugas Posyandu melarangku makan permen pendekar biru. Kata mereka dapat merusak gigiku. Tapi aku menyukai permen itu. Sehabis makan permen pendekar biru aku bisa menyombongkannya dengan menjulurkan lidah ke ayah, ibu dan paman.

"Maaf, bu." Ujarku menghentikan omelan ibuku yang bisa saja sepanjang gerbong kereta api.

Aku mengenakan celana, sedikit oleng. Baju itu sudah sempit. Sekuat tenaga aku menariknya ke bawah hingga kepalaku masuk. Begitu pula dengan celana itu. Satu kaki yang kuangkat ketika memasukkannya, membuat aku kurang keseimbangan hingga hampir terjatuh.

Ibu mengemaskan pakaian yang baru saja kubongkar. "Ada-ada saja anak ini memberiku pekerjaan. Lain kali kalau ambil pakaian di sini--diangkat bukan ditarik."

"Sekalian juga pakaianku, Rin." Pinta ayahku.

"Ini pun sama. Anak sama ayah tidak beda jauh." Ibuku mengomel. Ayah tertawa tertahan mendengar omelan ibuku.

Aku salut pada ibuku. Padahal sedari tadi aku tidak melihat pakaian itu di kardus. Tapi dengan mudahnya--ibu menemukannya. Semua pekerjaan rumah beres karena ibuku. Seperti malam ini. Kami duduk melingkari hidangan makan malam. Masakan ibuku sangat lezat. Biarpun hanya daun ubi tumbuk dan ikan asin, kami makan dengan lahap.

*Sekarang jam tujuh Waktu Indonesia Bagian Barat, Radio Republik Indonesia akan menyajikan berita seputar pe*rtanian.

Ayah dengan khusyuk mendengarkan.

Harga karet saat ini mengalami perubahan yang cukup drastis. Dari yang sebelumnya delapan belas ribu per kilo menjadi, tut...tut...tut...

Radio soak. Baterainya habis. Ayah penasaran. Dia beranjak dari tempat duduknya dan memutar tombol volume radionya. Kemudian bergegas masuk ke dalam kelambu, kecewa.

Untungnya malam ini tidak hujan. Jadi kami bisa tidur dengan nyenyak.

"Bangun, nak." Ibu membangunkanku.

Bukannya aku baru terlelap? Tidur yang sangat singkat. Ayah di dapur sedang menyiapkan perlengkapan menoreh. Ibu masih sibuk membereskan kamar. Sementara aku berusaha bangun dari kantukku.

Ayam belum berkokok, tapi kami sudah bangun. Aku mencuci wajahku. Kemudian mengenakan celana dan baju panjang yang tebal biar tidak kedinginan.

"Bekal?" Tanya ayahku.

"Ada." Ibu menjawab pelan sembari memasukkan rantang dan air minum ke dalam tas.

Kami bertiga jalan kaki melewati rerumputan yang masih berembun. Sendalku basah. Aku di tengah. Ayah di depan sembari menyinari jalan dengan obor yang diikatkan di kepala. Ibu di belakangku yang juga menerangi langkah kakiku dengan api obor.

Sekitar setengah jam. Kami sampai di perkebunan karet milik pak Tibet. Karet itu tidak beraturan karena karet lokal yang ditanam asal-asalan, ada pula yang tumbuh dengan sendirinya. Ukuran batang karet itu dua kali lebih besar dariku.

"Kalian di sebelah sana. Biar aku di sini." Tunjuk ayah.

Ibu mulai menorehkan pisau torehnya ke batang karet. Bunyi torehan itu seperti kita menggaruk kulit yang gatal kuat-kuat. Tangan ibuku sangat tangkas. Satu batang karet dapat ditoreh dalam waktu yang cukup singkat, tidak sampai satu menit.

Ayam jantan berkokok setelah sepuluh batang karet berhasil ditoreh ibuku. Aku mengekor di belakangnya sembari memegang anti nyamuk.

Di ujung sana tampak lampu obor ayahku. Terhalang dedaunan. Sesekali aku menepuk nyamuk yang berlabuh di tangan dan kakiku, menggaruknya. Gatal.

"Kamu tunggu di sini. Mau?" Ibu meletakkan tasnya ke dalam pondok.

"Aku takut, bu." Mataku mulai berkaca-kaca. Tidak mau jauh dari ibuku. Takut.

Aku tetap mengekor, mengikuti ibu hingga cahaya matahari mulai menampakkan dirinya barulah aku berani menjauh. Kicauan burung bersahut-sahutan. Tupai melompat kian kemari. Semut di depanku mulai sibuk mengumpulkan makanan.

"Aduh." Aku mengaduh kesakitan.

"Kenapa?" Tanya ibuku.

"Kakiku digigit semut api, bu." Sembari mengaruk-aruk jempol kaki kananku, mulai bengkak. Gatal dan nyeri.

Semut api itu bergerombol sangat banyak. Berwarna cokelat agak kemerahan. Rasa gigitan pertama memang seperti disentuh api. Lama-kelamaan gatal dan nyeri hingga bengkak.

"Sudahlah, kamu tunggu saja di pondok. Sebentar lagi kami selesai." Ibu melanjutkan torehannya setelah mengolesi kakiku dengan minyak tanah dari dalam obornya.

Sedikit membaik. Aku menunggu mereka di pondok. Tidak lama kemudian mereka mendekatiku.

"Sudah selesai, yah?" Tanyaku bersemangat.

"Menoreh sudah, tapi air getahnya belum. Kita tunggu dua hingga empat jam, baru nanti kita ambil getah yang sudah terkumpul di tempurung." Jawab ayah, menjelaskan.

Ibu membuka tasnya. Mengeluarkan rantang makanan. Ayah meneguk air minum sangat cepat, terdengar kuat. Hanya tiga tegukan, air di botol minuman itu sisa sedikit. Napasnya tidak teratur. Keringat bercucuran sangat deras.

"Hari ini sudah bisa kita jual. Perlengkapan dapur juga sisa sedikit. Bagaimana dengan utang kita pada pak Tibet?" Tanya ibu sembari menyuapkan nasi.

"Boleh. Kita jual yang kita toreh kemarin. Yang hari ini kita simpan dulu. Masalah utang biar kita cicil. Pak Tibet pasti memaklumi, kok." Ayah duduk di dekatku. Memberiku sepotong ikan asin.

Aku menyimak pembicaraan mereka. Tidak jauh dari pondok kami memang ada tiga tumpukan karet yang sengaja ditutup dedaunan. Tidak heran bau karet menyengat di pondok ini. Tapi aku tidak peduli. Aku lapar. Malah aku makan sangat lahap. Ternyata makan di hutan lebih mengasyikkan.

Ayah sudah selesai makan. Duduk sejenak, kemudian berdiri seraya mengambil ember. Mengoleskan tanah liat ke dalam ember. Katanya biar karet tidak lengket. Ibu juga melakukan hal yang sama setelah selesai makan siang. Aku masih dengan sisa nasi yang harus kuhabiskan, dipaksa ibuku.

Sebentar lagi bayanganku tepat di tengah. Aku uring-uringan di dalam pondok sambil menikmati suara kicauan burung yang semakin membahana. Terdengar merdu.

Sekitar tiga jam kemudan, ayah dan ibu beranjak, mengambil ember yang dijemur di bawah sinar matahari. Tanah liat yang diolesi di dalam ember itu sudah mengering.

"Kamu tunggu di sini ya, nak."

"Aku ikut, bu." Spontan berdiri, melompat dari pondok itu yang terseok-seok hampir roboh.

Aku mengekor di belakang, ibu membawa ember yang cukup besar. Dia berhenti di setiap pohon karet yang ditoreh. Membungkuk, menuang air getah dari tempurung ke ember. Aku turut membantu menggunakan tempurung yang lebih besar, hingga tempurung itu penuh, barulah aku memberikannya pada ibuku. Tidak sadar tubuhku sampai cemong kena semburan getah yang kutarik karena menempel kuat di tempurung. Sampai rambutku yang pirang sedikit ikal merekat, sulit dipisahkan.

Aku mengerang kesakitan, berupaya memisahkan rambutku yang merekat.

"Ibu sudah bilang tunggu saja di pondok." Tatapannya iba, tapi buru-buru membelokkan pandangannya, kedua bahunya naik-turun, bunyi terkekeh pelan.

Aku tetap bersikeras hingga ember ibu penuh. Kami kembali ke pondok, disusul ayahku. Ayah membekukan karet itu dengan cuka getah. Mencetaknya di atas karpet bekas yang berbentuk persegi panjang.

Satu keping karet besar telah berhasil dicetak. Ayah menutup karet itu dengan dedaunan kering. Tiga keping lainnya diambil dan dibersihkan, warnanya sudah menghitam. Bau busuk menyengat di hidung kembang-kempisku. Ayah memikulnya sendiri menggunakan gandar kecil. Mengerang sekuat tenaga, melabuhkan gandar itu ke bahu seraya berjalan cepat. Aku dan ibu mengikuti ayah dari belakang.

Rambutku masih merekat. Ibu menahan tawanya melihat rambutku yang acak-acakkan, berdiri jabrik. Aku terdiam malu.

Sekitar satu menit lamanya, akhirnya kami tiba di rumah pak Tibet yang besar dan bertingkat tiga, berwarna campuran antara merah, putih dan biru di setiap tingkatnya. Rumah pak Tibet sangat besar. Satu-satunya rumah termegah di desa ini.

Seorang pria tinggi berotot menghampiri kami. "Bos tidak ada di rumah, pak. Tapi bos serahkan jual-beli karet ini pada kami untuk sementara waktu. Ini kita giling dulu di mesin ya, pak."

Ayah dan karyawan pak Tibet mengangkat karet itu satu per satu. Menggilingnya dengan mesin manual menggunakan putaran sekuat tenaga hingga karet itu menipis dan kadar airnya berkurang.

Di ujung sana, ibuku sedang berbincang-bincang dengan tiga orang ibu yang sedang duduk santai di kanopi toko pak Tibet. Aku menghampiri ibuku penuh semangat.

"Kenapa rambutnya, kok kaku begitu?" Tanya salah seorang ibu kepada ibuku sembari tertawa yang diikuti oleh ibu-ibu lainnya.

"Kena percikan getah." Jawab ibuku dengan intonasi suara kasihan.

"Miris benar nasibmu, nak. Usia sebegini sudah ikut menoreh." Ibu di depanku yang hamil tua ikut nimbrung.

Aku duduk di samping ibuku. "Iya. Tidak ada yang menemaninya di rumah." Jawab Ibuku, pelan.

Aku tersenyum tipis membalas tatapan sinis seorang ibu yang sekujur tangannya dipenuhi gelang berwarna kuning.

"Aku pulang duluan, ya. Anakku di rumah sudah lama kutinggal. Tadi masih tidur di ayunan." Ibu yang sekujur tangannya yang dipenuhi gelang berwarna kuning itu pamit mengundurkan diri, kembali ke rumahnya.

"Aku juga duluan, ya. Sudah lama kami mampir di sini." Ibu yang hamil tua juga pamit mengundurkan diri. Ibuku mengangguk.

"Aku juga, ya." Ibu yang menanyai rambutku tadi menyusul.

Saat ini, hanya aku, ibu, dan penjaga toko yang masih duduk santai di kanopi toko pak Tibet. Di toko itu ada mainan, mataku berbinar-binar melihatnya. Sesekali melirik ke arah ibuku yang sedari tadi memandangi ayah yang sedang transaksi tunai bersama karyawan pak Tibet. Ayah mendekati kami, tangan kanannya menggenggam sesuatu. Raut wajah ayah tampak bersedih.

"Yah, mau mainan." Pintaku sembari memasang wajah memelas.

"Belilah. Ambil yang mana kamu mau." Sembari menyalami ibuku seolah mengestafetkan sesuatu.

"Harganya turun. Kalau tahu turun tidak bakal kujual hari ini."

"Turun berapa emangnya?"

"Minggu lalu delapan belad ribu per kilo, hari ini cuman sembilan ribu per kilo. Memang benar kata siaran radio semalam. Jauh turunnya."

"Ya, sudahlah. Mau bagaimana lagi. Persediaan di rumah pun sisa sedikit."

Aku memilih mainan di dalam toko. Tidak peduli dengan rambutku yang saat ini sesekali membuat penjaga toko menahan tawanya. Aku memilih mainan yang ukurannya lebih kecil. Harganya pasti murah. Ini mobil-mobilan impianku. Seruku dalam hati.

"Aku mau beli yang ini, yah. Ini warnanya bagus. Bentuknya juga bagus. Ada rodanya. Bisa kudorong ke sana kemari. Pasti seru, yah." Aku menunjukkan mainan pilihanku pada ayah dan ibu. "Belikan mainan ini ya, bu." Imbuhku.

Meminta persetujuan ibuku yang sedari tadi terdiam mendengarkan aku promosi mainan pilihanku.

"Aku janji akan sering bantu ayah dan ibu." Aku mengimbuhi penjelasanku tadi. Meyakinkan kedua orang tuaku kalau yang kubeli sekarang tidak akan membebankan mereka.

"Iya. Ambillah." Anggukan ibuku bagai joran pancing yang ditarik ikan besar. Lentur. Disambut riang olehku sembari berkata, hore dalam hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!