Benjol

Aku tiba di persimpangan rumah paman saat bayanganku sejajar dengan tubuh yang berjalan tegak, melamban. Tadi di perjalanan menuju pulang aku sempat kena sial. Pantatku yang tepos hampir saja dipatuk angsa pak Tibet. Kalau saja tidak diusir pak Tibet, mungkin aku sudah dipatuk angsa itu. Sendalku sampai putus saking ketakutan dikejar angsa. Aku pulang sembari menenteng sendal itu.

"Kenapa sendalmu?" Tanya paman saat berpapasan denganku di persimpangan jalan rumahnya. Paman bagai jaringan radio ayah, sering timbul-tenggelam. Kadang ada, kadang tidak. Kalian tahu apa yang dilakukan ayah ketika suara radionya terputus-putus? Benar. Ayah memukul-mukul dan menarik-ulur antena radionya hingga radio itu rusak. Nahasnya ayah tidak punya gantinya. Di waktu senggang, ayah lebih banyak bertafakur di ruang tengah.

"Putus, paman." Jawabku terengah-engah. Aroma wangi parfum menusuk hidungku yang menghirupnya kembang-kempis. Parfum paman sangat wangi. Aku terpikat aromanya. Aku tidak tahu aroma apa, yang jelas sangat wangi.

"Paman mau ke mana?" Tanyaku menoleh ke belakang. Paman sudah menjauh sekitar satu meter dariku.

Paman tersenyum lebar, "Biasa." Jawabnya seraya meninggalkanku.

Aroma masakan ibuku tidak kalah saing dari aroma parfum paman, menggugah selera makan. Orang lapar yang mana kalau mencium aroma masakan ibunya yang tidak langsung mengambil piring?

Selepas makan aku mengerjakan tugas yang diberikan pak Mad pagi tadi. Ibuku mendekat.

"Sedang apa kamu, nak?"

"Mengerjakan tugas, bu."

Aku menutup bukuku ketika ibu semakin mendekat. "Buku siapa itu?" Aku sudah menebak akan ada pertanyaan ini.

"Tadi Aga mengganti bukuku, bu. Buku yang ayah belikan kemarin sobek ditarik Aga." Ibu mengangguk, setuju.

Aku lanjut mengerjakan tugas setelah ibu keluar kamar. Ibu kembali lagi sembari membawa pelita ke kamar karena hari mulai gelap. Aku menelungkupkan badanku di atas lantai papan, sesekali lantai papan yang ayah injak di ruang tengah berjingkrak, menjepit perutku, aduh. Aku menggeser bantal di lantai yang renggang sembari menggoreskan pensil di kertas.

Sekitar lima belas menit kemudian tugasku telah rampung. Tapi masih ada hukuman dari pak Mad yang menanti untuk aku selesaikan.

Api pelita menari-nari seolah menghiburku menyelesaikan hukuman pak Mad malam ini. Masih kurang seratus baris lagi. Aku menutup bukuku setiap kali ayah dan ibu menghampiriku, seakan aku tidak mau diganggu dan diajari. Mereka duduk di ruang tengah sembari bercerita dengan intonasi suara yang sengaja dipelankan. Sayangnya tidak ada radio.

Hukuman pak Mad kuselesaikan dalam waktu kurang lebih satu jam. Cepat memang. Aku menulis kata yang sama di setiap barisnya, aku tidak pandai berhitung, tulisan yang bukan saja seperti cakar ayam, tapi juga seperti cacing kepanasan memenuhi bukuku. Kalau sempat ibuku tahu, dia tidak marah, aku yakin tidak akan marah. Tapi dia akan malu melihat anaknya mengaku dengan tulisan seperti itu. Tidak masuk akal di depan mereka aku lancar berhitung, tapi di sekolah malah dihukum?

Ayah dan ibu berkali-kali menguap di ruang tengah. Aku mengemaskan buku dan pensilku, memasukkannya ke dalam tas kresek.

Aku dapat tidur dengan tenang tanpa memikirkan tugas dan hukuman pak Mad.

Suara burung hantu dari dalam hutan terdengar bergema di telingaku. Kami sudah terbiasa mendengarnya. Aku telelap hingga lupa hari sudah pagi, tidak mendapati ayah dan ibu di rumah. Mereka sudah berangkat menoreh. Ini pertama kalinya aku ditinggal sendirian di rumah. Aman. Hanya saja aku masih penakut. Tapi untungnya mereka meninggalkan aku sendirian di rumah ini ketika aku masih tertidur pulas, jadi aku tidak tahu apa yang terjadi subuh tadi.

Rumah terasa lenggang padahal ketika ada ayah dan ibu--rumah ribut membahana. Setelah mandi dan sarapan, karena tidak ada uang jajan hari ini; sebelum berangkat ke sekolah aku terlebih dahulu menyembunyikan kunci rumah di brankas rahasia kami. Kain yang melilit di tiang rumah, itulah brankas tempat kami menyembunyikan kunci rumah. Ayah dan ibu yang menyuruh aku menyembunyikannya di situ. Memang kunci rumah seharusnya dibawa ke mana pun kita pergi. Tapi tidak ada harta berharga di rumah ini. Siapa yang mau membobolnya. Seru ayah bulan lalu.

Aku berjalan menuju ke sekolah dengan sendal yang sudah diperbaiki ayahku kemarin sore. Tali sendal yang putus disambung dengan bekas pipet, warnanya sama seolah berkamuflase dengan sendal itu.

Aku melihat pak Mad melaju dengan tatapan serius, menggayuh sepedanya. Pak Mad memarkirkan sepedanya di samping kelas satu, kakinya tangkas menginjak penyangga sepeda. Aku datang di sekolah lebih dulu dari pak Mad.

Aku tersenyum, menyapa pak Mad yang berjalan tegap melewatiku yang sedang duduk di kursi selasar sekolah, lantas pak Mad masuk ke ruang guru. Pak Mad seolah tidak melihatku. Dia lewat tanpa membalas sapaanku sedikit pun.

Dari jauh, Budi dan Randi menyusul. Hari ini mereka ke sekolah dengan jalan kaki. Budi menyapaku, mengangkat tangan kanannya sembari menghampiriku, duduk di sampingku. Randi langsung masuk ke ruang kelas.

"Randi dimarahin ibunya, Ki." Ujar Budi sembari merangkul bahuku seakan menyuruh aku memaklumi tindakan Randi yang dingin.

"Iya, Bud. Aku paham kok. Masuk kelas, yuk."

"Yuk. Kebetulan tugasku belum selesai. Tugasmu sudah selesai?"

"Sudah, Bud." Jawabku seraya berdiri.

"Ajarin aku dong, Ki." Senyum Budi bagai gula.

Budi menarik tanganku menuju ke mejanya. Randi menundukkan kepala, menggerak-gerakkan pensilnya. Bukunya penuh dengan coretan. Budi menggeser kursi di sebelah meja mereka.

"Duduk, Ki." Ujarnya sembari mengambil buku dan pensil dari dalam tasnya. Aku pun mengambil bukuku dari dalam plastik kresek.

"Ini jawabanku, Bud. Aku tidak tahu ini salah atau benar." Budi menyalin jawabanku di buku tugasnya tanpa ragu.

Sesekali Randi melirik buku Budi. Menulis angka yang sama persis dengan jawabanku.

"Aku minta maaf atas kejadian kemarin ya, Ran." Ujarku pelan. Randi mengangguk.

Dari pintu kelas gelagat Aga seperti penagih utang berjalan mendekati kami bertiga. Dia sembarang menarik kursi, duduk di sampingku. Tanpa basa-basi, Aga menyalin jawabanku.

Menyontek cara yang cepat, praktis dan ekonomis. Inilah yang dilakukan mereka bertiga. Seyogianya konferensi meja bundar, mereka mengelilingi bukuku, berganti-gantian. Aga mengambil bukuku dari tangan Budi dengan paksa.

"Aku duluan. Kalian dari tadi belum selesai. Nulis apaan begitu." Ujarnya membuat Budi jengkel.

"Nih." Budi menyerahkan buku itu. Sudah mulai ronyok.

"Udahlah nyontek, belagu lagi." Ujar Randi menyinggung Aga.

"Kamu juga nyontek. Jangan ngomong begitu, dong." Aga berdiri, menarik kerah baju Randi, melangkahi kepala Budi yang tertunduk diam.

Aku berusaha melerai mereka bedua. Tangan Randi dikepalnya kuat-kuat. Tubuh mereka sama kecil. Keduanya tidak mau mengalah. Budi yang sedikit lebih besar dari mereka berdua hanya diam, menunduk di bawah ketiak Aga yang masih menarik kerah baju Randi, siap meluncurkan kepalan tangannya.

Randi lebih dulu membidik Aga dengan tangannya. Bunyinya bagai durian jatuh dari ketinggian, tepat mengenai keningku. Aga pun hendak membalas, tapi urung seketika karena aku sudah mengaduh kesakitan. Aga melepaskan tangannya dari kerah baju Randi.

Aku menggeliat kesakitan sembari memegang keningku yang benjol, memerah. Telingaku berdengung. Kelas penuh sesak mengerumuniku, penasaran. Aga dan Randi bersahut-sahutan meminta maaf. Merangkulku yang hampir pingsan.

"Maaf, Ki. Aku tidak sengaja." Perkataanku sehari yang lalu diulangi Randi. Sekarang dia tahu bagaimana rasanya memohon-mohon. Aku mengaduh pelan, menahan sakit.

Benjol di keningku mulai menggunung. Rasanya seperti migrain, nyut-nyutan. Aku memegangi kepala dan keningku seperti foto pria di obat sakit kepala yang laku keras saat ini.

"Harus tanggung jawab kamu, Ran." Salah satu dari mereka yang berdiri di kerumunan itu seketika menjadi Jaksa.

"Iya, nih. Asal tonjok aja. Makanya emosi tuh ditahan. Sabar." Budi memarahi Randi. Budi benar. Randi memang mudah terpancing emosi.

Aku ditenteng Budi ke tempat duduk. Keningku dikompres menggunakan es gepeng yang dia beli di warung. Es yang paling diincar anak sekolah, digunakan hanya untuk keningku.

Belum banyak orang yang mempunyai lemari es. Di desa ini hanya pak Tibet dan pemilik kantin yang punya. Itu pun menggunakan mesin diesel untuk menghidupkan lemari esnya.

Nyeri di keningku mulai reda. Randi tetap di dekatku, merasa bersalah. Aga berdiri di sampingku, tidak tenang.

Satu per satu kembali ke tempat duduk mereka ketika rambut putih tampak dari jendela nako. "Minta kursiku, Ga." Pinta pemiliknya, menarik kursi di depan Aga. Di sebelah yang meminta kursi itu sedang menunggu kursi yang kududuki.

Aku berdiri sembari memegang es gepeng, menuju mejaku. Pak Mad melihat aku dan Aga seakan main-main di dalam kelas karena yang lain sudah duduk rapi, sementara aku dan Aga masih berjalan dari belakang ke depan. Menyerigai gelagat kami berdua yang berjalan pelan, berdampingan seraya membawa tas kresekku.

"Kenapa keningmu?" Tanya pak Mad.

"Jatuh pak. Menubruk meja." Ujarku. Aga tidak terima. Tatapannya tajam, marah padaku yang berbohong.

Aga ingin aku menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dia berharap Randi mendapat hukuman yang setimpal. Tapi aku tidak mau. Aku berbohong demi kebaikan Randi, Budi dan Aga. Jika mereka berdua ketahuan berebut contekan dariku, maka kami berempat akan jadi terdakwa. Akibatnya kalau tidak hukum, pasti diberi tugas entah berapa ratus baris lagi.

"Kenapa, Aga?" Tanya pak Mad, curiga.

"Ti-tidak, pak." Jawab Aga terbata-bata.

"Kumpulkan tugas kalian. Saya tidak mau tau. Siapa yang belum mengumpulkan tugas!" Pak Mad berhenti sejenak. Jari telunjuk kanannya di leher lalu menggerakkannya dari kiri ke kanan.

Semuanya takut tidak kepalang, termasuk Aga.

"Ini." Memberikan bukuku pada Aga. Biar dia menyalinnya selama pak Mad mencari penggaris kayu. Bolak-balik mengelilingi meja, papan tulis, pak Mad belum menemukan penggarisnya.

"Tunggu sebentar." Ujar pak Mad, membuat siswa bahagia seakan menang dari pertandingan, tapi tanpa suara.

Mulai dari Aga, contekanku menyebar hingga ke pojok kelas. Mereka sangat kompak, hingga pak Mad kembali di kelas, mereka baru tersenyum lebar.

Pak Mad memantulkan penggaris kayu di telapak tangannya seraya berjalan dari depan ke belakang, samping kiri ke samping kanan. Setiap siswa yang dilewati pak Mad wajahnya tegang.

"Sekarang kumpulkan tugas kalian di meja saya." Ujar pak Mad di dekat Budi dan Randi. "Yang mendapat hukuman dua ratus baris tetap di tempat."

Hanya dua orang yang masih duduk di kursi, sementara yang lainnya berbondong-bondong membawa buku ke meja depan--Aku dan Budi mematung menunggu instruksi. Sepertinya ada kejutan baru. Gumamku dalam hati.

Budi menundukkan kepalanya sangat dalam, menatap bukunya. Penggaris pak Mad masih memantul-mantul di telapak tangan.

"Mana tugas dan hukuman dua ratus barismu?"

Budi gemetaran, "Ini, pak." Menyodorkan bukunya ke pak Mad. Tangan yang sudah mulai keriput itu menyambar buku Budi.

"Mau saya tambah lagi hukuman ini?" Tanya pak Mad yang spontan membuat Budi menggeleng hebat.

Pak Mad menuju mejaku. Berjalan pelan agak terpingkal-pingkal melihat aku yang memang tampak sedang melucu, memegangi keningku. Aga langsung menggeser bukuku. Hampir saja ketahuan pak Mad.

"Punyamu mana? Jangan bilang tidak ada." Pak Mad berdiri sembari berkacak pinggang.

"Ini, pak." Aku memberikan bukuku dengan tangan kiri. Tidak sengaja. Aku lupa karena tangan kananku memegangi keningku.

Pak Mad marah besar padaku. "Kurang ajar. Tidak sopan sekali kamu." Bentaknya. Penggaris di tangan pak Mad sedikit lagi melayang di tangan kiriku. Aku menarik tanganku seakan penggaris itu sudah mengenainya.

"Maaf, pak. Saya tidak sengaja." Sembari mengibas-ibaskan tanganku seolah kesakitan.

Untungnya pak Mad mau menerima bukuku meskipun tanpa merasa kasihan. Boro-boro dikasihani, malah benjol di keningku bagai lelucon, mengundang tawa bagi siapa saja yang melihatnya. Kecuali paman, ibu, dan ayahku. Meskipun saat pertama kali melihatnya mereka menahan tawa, tapi ketika tahu aku kesakitan, mereka antusias membantu mengobatinya. Sudah delapan kali ibu mengompres benjolku malam ini dengan air hangat kuku. Ayah pun tidak henti-hentinya bercerita masa mudanya dulu. Kadang pula ibu berdeham, membuat ayah mengubah alur ceritanya.

"Kamu tahu tidak. Ayah ini seorang jagoan di sekolah. Biarpun begini." Aku tahu arti kata, begini. Itu jelas menggambarkan tubuhnya yang kurus kering efek kurang tidur. Bagaimana tidak! Aku masih tidur nyenyak tapi ayah sudah bangun, menoreh.

"Dulu ada teman ayah yang nakalnya minta ampun. Dia pernah coba-coba mendekati cewek gebetan ayah." Ibuku berdeham lagi kesekian kalinya. "Teman cewek ayah maksudnya. Ya, teman cewek." Aku terkekeh pelan. Ibu mengganti air kompres.

"Ayah berkelahi dengan anak itu. Ayah tonjok hidungnya sampai mimisan. Iya, mimisan." Lanjut ayah menjawab tatapanku yang tidak percaya.

"Sejak saat itu dia tidak berani lagi mengganggu ibumu." Ayah main mata pada ibuku. Membuat ibu tersipu malu.

"Aduh, bu. Jangan ditekan terlalu kuat. Sakit." Benjol di keningku terasa semakin membengkak. Ibu menarik napas dalam-dalam, lalu dikeluarkan dengan berdesis pelan. Aku melihat ibu seperti ada yang mengganjal pikirannya. Termenung, menatap aku yang memelas minta kasihani.

"Kamu dihukum, ya?" Tanya ibu ragu-ragu.

"Tidak, bu." Jawabku singkat setelah berpikir panjang.

"Jangan bohong, ibu tau apa yang kamu kerjakan kemarin."

Kali ini aku tidak bisa mengelak. Sebelum berangkat menoreh, aku yakin ibu sudah membongkar tas kresekku. Tulisan, aku tidak pandai berhitung, membuat ibuku terdiam karena aku sudah menyangkal.

"Iya, bu." Jawabku sembari berkedip pelan. Aku tidak menjelaskan alasannya kenapa. Rumah hening. Ibu memutar pandangannya ke ayahku, kecewa.

"Lain kali jangan sampai dihukum lagi, ya. Apa pun alasannya!" Pesan ayah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!