Hari ini genap setahun dari peristiwa bubur panas. Kata paman aku tidak nakal lagi. Memang benar. Aku lebih banyak belajar, berhitung, dan mengeja. Selama setahun belakangan ini ibu yang menjadi guruku. Di sela-sela kesibukannya ibu menyempatkan waktu mengajariku di rumah. Kadang sebelum tidur. Belajar disinari cahaya redup api pelita. Aku harus lebih dekat ke arah pelita biar tulisan bisa kulihat dengan jelas. Tidak heran lubang hidungku hitam bagai cerobong asap. Sebenarnya aku sudah lama sembuh. Hanya sebulan. Tapi pendaftaran murid baru sudah ditutup. Aku tidak bisa daftar sekolah.
Aku yang awalnya hanya bisa berhitung satu sampai sepuluh, sekarang sudah bisa berhitung satu sampai seratus. Aku belajar menulis, meniru ibuku meskipun tulisanku seperti cakar ayam kata paman. Belajar mengeja yang sesekali membuat ibu, ayah dan paman tertawa terbahak-bahak karena aku belum bisa menyebut huruf, R. Aku masih belajar menyebut huruf itu!
Tangan kananku belang sekitar lima belas senti, bekas bubur panas. Aku rajin menggosoknya ketika mandi, berharap bekas itu bisa hilang. Tapi nihil.
"Tidak apa. Nanti hilang sendiri." Ujar ibu setelah melihat tanganku.
"Tapi, bu. Nanti teman-temanku bertanya ini kenapa."
"Bilang saja kena tumpahan bubur panas." Aku terdiam.
Ibu mengeluarkan seragam sekolahku dari dalam kardus yang sebelumnya diikat kuat-kuat, ditumpuk di bawah kardus lainnya.
Aku mengenakan seragam itu, "Terasa sedikit sempit, bu." Mengangkat tangan seraya memutar-mutar badanku.
"Tapi masih muat, kan?" Tanya ibu memastikan.
Ayah dan paman menginap di hutan dari kemarin. Mereka mancing dan mencari bibit karet untuk pak Tibet. Coba kalau ada mereka di rumah, pasti ikut senang melihat aku mengenakan seragam sekolah ini. Gumamku dalam hati.
"Masih, bu. Tapi bukuku sudah habis." Membuka buku pada halaman terakhir, memperlihatkan coretan-coretan hitam yang tidak beraturan, ibu mengangguk paham. Setahun belajar mandiri di rumah, buku itulah yang sering kubuka bolak-balik sebelum tidur.
"Oh, iya. Tunggu ayah pulang, nanti beli buku yang baru."
"Kapan ayah pulang, bu?"
"Mungkin besok." Jawab ibu, mengernyitkan dahi.
Dua hari ke depan pendaftaran murid baru berakhir. Pendaftaran tahun ini tidak gratis seperti tahun lalu. Ada iuran, kebetulan sekolah itu sedang tahap pembangunan gedung baru.
Aku keluar rumah seraya mengambil sepeda onthel paman di rumahnya tanpa sepengetahuannya. Tidak ada mobil-mobilan lagi. Semenjak tumpahnya bubur panas, mobil-mobilan itu hilang entah ke mana.
Aku mendorong sepeda paman ke tempat yang tinggi biar melaju dengan sendirinya di penurunan. Aku berhasil. Aku mencobanya lagi hingga akhirnya aku bisa menaiki sepeda onthel itu meskipun duduk di segitiganya. Kakiku belum sampai.
Esok paginya, paman dan ayah tiba di rumah. Wajah paman seakan menahan amarah karena sepeda itu kusimpan sembarangan di samping rumahnya.
"Maaf paman, aku salah." Paman tidak jadi marah, aku sengaja memasang raut wajah minta kasihan.
Paman dan ayah membawa banyak ikan dan bibit karet. Lalu hasilnya dibagi dua. Setelah makan siang, ayah menjualnya ke pak Tibet.
"Berengsek memang karyawan pak Tibet itu." Ayah menggerutu. Mukanya memerah.
"Kenapa?" Tanya ibu hendak menenangkan.
"Rupanya selama ini mereka mengakali kita." Ayah melanjutkan, terengah-engah.
"Mengakali bagaimana?" Ibu masih belum paham.
"Harga karet mahal. Mereka membeli karet kita dengan harga murah. Selain itu, timbangan yang mereka pakai juga disetel. Yang seharusnya sepuluh kilo jadi hanya delapan kilo."
"Tega sekali mereka begitu sama kita. Jadi bagaimana sekarang? Apa yang dilakukan pak Tibet?"
"Pak Tibet memecat mereka. Ini uang ganti rugi dari pak Tibet." Ayah menyodorkan uang ke ibuku.
"Syukurlah. Ini cukup untuk bayar pendaftaran Aki."
Aku tersenyum bahagia melihat ibu tersenyum. Besok aku akan daftar sekolah. Minggu depan aku sudah kelas satu. Kelas yang dulu sempat aku amati bersama Aga, temanku. Tentulah Aga tahun ini naik ke kelas dua. Beruntungnya jadi Aga.
Kalau saja tidak ditimpa musibah waktu itu, aku pasti sudah kelas dua. Alhasil aku tidak bisa sekelas dengan Aga tahun ini. Kami sudah lama tidak bertemu.
Pendaftaran murid baru pagi ini dihadiri belasan orang tua. Mereka duduk di suatu ruangan besar bersama Kepala Sekolah dan guru. Aku dan calon murid lain sedang menunggu di luar. Berharap mendapat kabar baik dari hasil rapat orang tua dan guru hari ini.
"Kenapa tanganmu?" Tanya calon murid kelas satu di sampingku sembari menjilati permen pendekar biru.
Dia lebih tertarik menanyai tanganku daripada namaku. Aku menutupi bekas tumpahan bubur panas itu dengan tangan kiriku.
"Tangan yang mana?" Tanya teman di sebelahnya.
"Itu, tangannya belang." Jawabnya sembari menunjukku.
Aku bergeser ke samping sedikit menjauh. "Siapa namamu?" Dia menanyaiku lagi sembari menjilati permennya yang mulai mengecil.
"Aki. Namamu siapa?" Tangan kiriku masih memegangi bekas bubur panas. Aku malu memperlihatkannya. Warnanya putih seperti panau. Aku khawatir jika bekas bubur panas itu mereka sangka panau yang menular.
"Budi, namaku budi. Kamu akan tahu rumahku jika melewati jalan ke arah sana." Menunjuk ke arah rumahnya. Badan Budi dua kali lipat lebih besar dari badanku. Aku yakin, makan salah satu hobinya.
Kami berjabat tangan, berkenalan. "Kalau kamu siapa?" Tanyaku kepada teman di sebelah Budi.
"Aku Randi. Rumahku berdekatan dengan rumah Budi. Itu ayahku yang duduk di depan, samping jendela." Ternyata ayah Randi duduk bersebelahan dengan ayahku. Randi tubuhnya sebelas dua belas dengan tubuhku. Artinya sama kecilnya. Tapi dari gelagatnya, Randi membangkang dan pemberani. Tatapan matanya sangat tajam seakan siap menerkam.
"Tanganku ini kena tumpahan bubur panas." Ujarku, memperlihatkan tanganku. Mereka berdua memelototi tanganku dengan raut wajah kasihan. Aku pikir mereka akan mengolokku. Tapi ternyata mereka bersimpati, turut bersedih.
"Kapan bubur panas membuatnya begitu?" Budi bertanya.
"Setahun yang lalu. Sebenarnya sekarang aku kelas dua. Tapi aku telat daftar sekolah karena masa pemulihan." Aku menjelaskan penuh optimis.
"Sama dong. Aku sebenarnya tidak mau sekolah. Aku dipaksa ayah dan ibuku." Randi berlagak jago.
Tidak banyak orang yang beruntung bisa sekolah meskipun tidak sedikit pula yang tidak mau sekolah. Di desa ini banyak anak yang putus sekolah. Bagi mereka sekolah membosankan dan buang-buang duit saja. Tapi tidak bagiku. Sedari kecil ayah dan ibu menceritakan indahnya masa-masa sekolah yang tidak bisa lama mereka nikmati karena keadaan. Ayah juga pernah bilang, jangan seperti kami. Aku selalu ingat perkataan ayahku setiap kali peristiwa yang tidak menyenangkan terjadi pada mereka. Sering dibohongi, ditipu, dan dipaksa melakukan pekerjaan yang sebenarnya mereka tidak ingin mengerjakannya.
"Kita beruntung kawan. Masih ada orang tua yang peduli dengan pendidikan kita meskipun mereka tidak cukup uang." Ujarku seperti motivator ternama. Diikuti anggukan lentur Budi dan Randi. Sepertinya mereka paham maksudku.
"Itu ayah kita sudah keluar." Budi menunjuk ayahnya dengan tangan kiri, tangan kanan memegang batang permen pendekar biru.
"Aku duluan ya, Ki." Budi berlari ke arah ayahnya.
"Aku juga, Ki." Randi juga pamit meninggalkan aku yang masih menunggu ayahku.
Tidak lama kemudian, ayahku keluar dari ruang rapat. Ayah yang terakhir keluar ruang rapat bersama Kepala Sekolah. Ayah langsung menghampiriku dengan senyum manisnya. Kami pulang dengan kabar gembira dan memberitahukannya pada ibuku.
"Syukurlah." Ujar ibu sembari tersenyum lega.
Akhirnya. Seragam sekolah yang telah lama bersemayam di dalam kardus dapat kukenakan dengan bangga subuh ini. Ibu membantu aku menyisir rambut gaya sembilan puluhan, menyerong ke kanan.
"Sarapan dulu ya, nak." Suara ibu lembut. Biasanya berteriak keras memaksa aku mandi, tidur siang, makan. Tapi kali ini lembut.
Aku melabuhkan langkah kaki pertama di tanah setelah berpamitan dengan ibuku. Aku tidak berpamitan dengan ayah karena sebelum aku bangun tidur; ayah sudah berangkat ke kebun karet, menoreh.
Aku ingin menyombongkan diri pada paman. Tapi sayangnya paman tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini paman jarang di rumah.
Di saku baju putih yang bertulisan SD di atas kepala siswa dan siswi yang berdiri di depan rumah dan di belakang bunga putih segi lima itu, kukenakan dengan rasa bangga. Aku sudah bisa mengeja tulisannya.
Topi di atas kepala dan dasi melingkar di leher, menandakan bahwa aku sudah siap mengikuti upacara bendera di sekolah pagi ini. Sendal jepit menjadi alas kakiku pagi ini. Kemarin ayah bilang, Kepala Sekolah mengijinkan aku ke sekolah menggunakan sendal--selama ada niat sekolah dan belajar imbuh Kepala Sekolah.
Aku tiba di sekolah lebih awal. Aku menyaksikan petugas upacara yang sedang mempersiapkan acara sambutan, paduan suara, gerak jalan, dan pembagian tempat peserta upacara per kelas. Aku duduk di kursi memanjang di depan kelas satu.
Budi dan Randi diantar ayahnya dengan sepeda onthel.
"Hai, Ki. Kamu diantar siapa ke sekolah?" Tanya Budi
"Aku sendiri, Bud." Senyum semringah.
"Kok, tidak diantar ayah atau ibumu?" Randi nimbrung.
"Mereka tidak sempat. Lagipula aku sudah tahu jalannya."
Kami terdiam seketika, Kepala Sekolah berlalu di depan kami, membawa palu, memukul lonceng sebanyak tiga kali sebagai isyarat bahwa upacara bendera hari senin akan dimulai.
Beberapa siswa yang terlambat berdesak-desakkan dari halaman sekolah menuju ke kelas masing-masing, menyimpan tas, kemudian kembali lagi di halaman sekolah, menyesuaikan barisan.
Aku mengikuti petunjuk pak guru. Masuk dalam barisan kelas satu bersama Randi dan Budi. Aku berbaris di Belakang Budi, sementara Randi di depan kami. Di belakangku ada siswa lain yang ikut mengekor. Beberapa orang tua murid memantau anak mereka dari jauh di parkiran sepeda.
"Aga, panggilku pelan." Anak berdasi serong itu menoleh.
"Iya, kamu Aki, kan?" Memastikan. Lalu mendekatiku, pindah barisan. Aku mengangguk.
"Kok, bisa di kelas satu?" Tanyaku penasaran, membuat Budi dan Randi keheranan. Randi menoleh ke belakang seolah bertanya, itu siapa?
"Aku tinggal kelas, Ki." Ujar Aga tersipu malu.
Ini artinya temanku di kelas satu bertambah. Kami serentak menyanyikan lagu yang diawali dengan kata Indonesia. Tangan kanan berada di samping topi seperti menghalau cahaya matahari. Aku meniru gerak-gerik peserta upacara di depanku. Seorang perempuan melambai-lambaikan tangannya memandu lagu. Ketika lambaian tangan itu pelan, maka nada lagu pun ikut pelan, tapi ketika lambaian tangan itu laju, maka nada lagu pun dipercepat. Lagu berakhir bersamaan dengan bendera berwarna merah di atas dan putih di bawah mentok di ujung tiang yang ditarik dengan tali oleh dua orang petugas upacara bendera. Tegak grak. Suara komandan upacara berteriak nyaring di tengah-tengah kami.
"Sut...kamu tahun lalu kenapa tidak masuk sekolah?" Aga menyikutku.
"Aku kena musibah, Ga." Memperlihatkan tanganku.
Komandan upacara menginstruksikan peserta upacara untuk istirahat di tempat. Awalnya aku bingung yang dimaksud istirahat di tempat itu seperti apa. Tapi aku melihat komandan upacara mengangkangkan kedua kakinya selebar bahu, dan menyembunyikan kedua tangannya di belakang, aku menirunya.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.
Kepala Sekolah berdiri tegak di depan tiga guru, satu di antaranya berambut panjang, cantik, dan murah senyum. Kami serentak membalas, selamat pagi.
Para dewan guru dan orang tua siswa yang turut menyaksikan upacara bendera hari ini yang saya hormati. Siswa dan siswi yang saya sayangi dan saya banggakan. Pertama-tama kita ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Kamu tahu, itu pak guru mata pelajaran apa?" Tanya Aga padaku yang sedang serius mendengarkan pidato Kepala Sekolah di depan kami. Jari telunjuk Aga menunjuk Kepala Sekolah.
"Aku tidak tahu, Ga." Jawabku dengan suara yang amat kecil.
"Itu guru matematika.Namanya pak Mad. Kamu akan kaget cara dia mengajar kita nanti." Aga menyerigai.
Aku tidak terlalu menanggapi pernyataan Aga. Aku fokus mendengarkan ceramah panjang Kepala Sekolah.
Saya berharap sekolah ini bisa menjadi rumah kedua bagi para murid selama menuntut ilmu. Kami sebagai guru akan berupaya semaksimal mungkin dalam mendidik murid kami. Saat ini, sejak adik-adik semua menginjakan kaki pertama di sekolah ini, itu artinya kalian adalah bagian dari keluarga kami.
Kepala Sekolah bersemangat memberikan motivasi, nasihat, dan arahan khususnya bagi kami murid baru. Aku mengulangi perkataan Kepala Sekolah dalam hati sembari tersenyum bahagia dan bergumam, aku ada keluarga baru. Kata sambutan Kepala Sekolah diakhiri dengan tepuk tangan. Aga bertepuk sangat kuat, bersemangat. Padahal sedari tadi dia cuman banyak omong.
Komandan upacara berteriak, tegak grak. Kami serentak merapatkan kaki dan meluruskan tangan selaras dengan tubuh kami.
Matahari semakin panas. Sebelum upacara bendera berakhir, kelompok paduan suara mempersembahkan sebuah lagu yang dulu pernah aku dan Aga dengar. Lagu rasa sayang, sayange. Dinyanyikan dengan suara yang amat merdu dan lantang, kompak. Beberapa siswa yang ingat lirik lagu itu juga ikut bernyanyi riang. Aku mengikuti lirik akhir. Aku hafal karena terlalu sering mendendangkannya di rumah. Mulutku komat-kamit ketika lirik awal dan tengahnya, bagian itu belum kuhafal. Lagi-lagi aku melihat tingkah aneh Aga. Selama lagu itu dikumandangkan, Aga tidak berhenti mengoyang-goyangkan badannya. Dia membuka mulutnya seolah ikut bernyanyi, tapi tidak kudengar suaranya.
Kepala Sekolah kembali ke ruangannya, kami dibubarkan. Upacara bendera selesai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments