Serangan burung hantu dan semut api

Matahari sudah berubah warna menjadi jingga kemerahan, condong ke arah barat. Bulan sabit pun sudah melongok dari arah timur menggantikan matahari yang akan tenggelam. Kami sebentar lagi tiba di rumah. Aku tetap bersemangat, memegang erat mobil-mobilan yang dibelikan ayah dan ibuku.

Kakiku sangat pegal, badan terasa remuk, kelelahan jalan kaki terlalu jauh. Sendalku putus, aku pulang dengan kaki telanjang.

Dari jauh rumah kami tampak menyeramkan, gelap, di belakangnya banyak pepohonan yang menjulang tinggi. Rumah panggung itu sudah reyot ke samping. Masih sedikit lebih bagus rumah paman dibandingkan rumah kami. Paman menempati rumahnya lebih dulu empat tahun dari kami. Sebelumnya rumah kami dihuni oleh keluarga pak Tibet. Tapi sekarang keluarga pak Tibet tersebut sudah pindah ke kota. Sore ini, paman tidak ada di rumahnya. Pintunya tampak dikunci dengan gembok.

"Ayo masuk. Tidak baik sore hari masih berkeliaran di luar rumah." Ibu menegur aku yang sibuk bermain mobil-mobilan di halaman rumah.

Aku tidak menggubris teguran ibuku--masih asyik bermain mobil-mobilan. Lelah yang kurasakan seketika lenyap. Aku akhirnya masuk ke dalam rumah setelah teringat peristiwa dua tahun yang lalu.

Tepat di ambang pintu tempat aku berdiri sekarang, aku menyaksikan dua hal aneh yang menghantui pikiranku hingga saat ini. Jika aku teringat dua hal aneh itu, aku pasti takut sendirian. Ibuku sering kusibukkan dengan rasa takutku. Mau ke ****** pasti minta temani ibuku. Bahkan tidur pun harus ditemani. Kecuali kalau aku tertidur pulas, barulah ibu meninggalkanku, melanjutkan aktivitasnya.

Pertama. Kala itu usiaku genap dua tahun dan belum tahu apa-apa. Sore hari begini, aku mematung di bawah ambang pintu rumah. Pintu ini dulunya dipagar. Kata ayah biar aku tidak keluar rumah sendirian.

Sering kulakukan di sore hari--bersandar di pagar pintu sembari memandangi halaman rumah, sesekali meluruskan pandangan ke depan, membayangkan asyiknya bermain di luar rumah. Tanpa aku sadari tubuhku tiba-tiba terasa kaku, terbungkam oleh dua orang berbaju putih lewat depan rumah kami. Aku ingin berteriak memberitahu ibuku yang sedang memasak nasi di dapur, tapi mulutku sulit dibuka. Dua orang berbaju putih itu berlalu begitu saja ke arah jalan menuju kuburan tua, tanpa menoleh. Mereka berjalan sangat cepat. Kira-kira setengah menit setelah dua orang berbaju putih tersebut berlalu, aku masih terbungkam. Ibuku tidak tahu akan hal ini. Aku tidak pernah memberitahunya karena aku berpikir yang kurasakan saat itu hanya mimpi buruk meskipun aku yakin kalau aku tidak tertidur. Lagipula orang dewasa tidak akan percaya semua yang dikatakan anak kecil. Mereka selalu bilang, mungkin hanya halusinasimu saja.

Kuburan tua yang kumaksud berada cukup jauh dari rumah kami, tapi satu jalur dari jalan raya jika ingin ke rumah ini. Kuburan di sana sangat banyak. Bahkan bisa dibilang kumpulan kuburan nenek moyang. Angker kata paman. Dia pernah ke sana, dan lebih tahu semua yang pernah terjadi di rumah yang kami huni sekarang ini. Ayah dan ibu tentu sudah mengetahuinya karena paman sering berbincang dengan mereka ketika aku masih belum mengerti bahasa orang dewasa saat itu.

Aku lahir dan dibesarkan di rumah ini. Kata ayah, tiga orang bidan kampung sekaligus membantu ibuku bersalin saat itu. Bahkan ibuku nyaris tidak terselamatkan ketika melahirkanku.

Rumah ini seperti diasingkan dari keramaian. Wajar, karena dulunya ini pondok kebun karet, lantas dibuat rumah hunian. Meskipun bentuknya hingga saat ini masih tetap tidak beda jauh dari pondok, setidaknya bisa kami huni. Kebetulan bukan cuman kami yang tinggal di sini, masih ada paman yang sesekali membuat aku merasa sedikit tenang, aman, dan nyaman di sini.

Kedua. Usia yang sama tapi di hari yang berbeda. Seekor ular tedung yang cukup besar merayap pelan di depan pintu yang jaraknya sekitar dua meter dari tempat aku berdiri saat ini, tempat di mana aku dan ibu sedang asyik bersenda gurau saat itu. Ibu langsung berdiri, menarik tangan kananku ke belakang.

Ular tedung itu berasal dari arah rumah paman menuju semak di samping rumah kami. Ibu mengusir ular itu dengan mengibas-ngibaskan kedua tangannya ke depan seperti mendorong kotoran yang timbul di dasar air sembari bilang, jangan ganggu kami. Sejak saat itu tidak pernah lagi aku melihat ular lewat di depan rumah kami.

Aku melanjutkan bermain mobil-mobilan di dalam rumah sembari memonyongkan mulut meniru suara mobil. Aku menikmati setiap dorongan tangan kananku ketika melewati garis-garis lurus lantai papan kami, seolah garis pembatas jalan. Garis lurus yang terbentuk karena jarak antar papan. Jika kuinjak papan itu, maka papan di ujung sana ada yang menjerit, sedikit naik ke atas. Papan ini lentur, tapi untungnya tidak patah ketika diinjak. Kecuali ibuku, sudah sering kakinya terperosok di papan yang patah. Tepatnya di dapur, banyak papan yang lapuk karena sering terkena air.

"Cepat mandi. Kalau tidak mandi nanti ibu ambil mainanmu itu." Aku tidak menggubris perkataan ibuku, sibuk bermain. "Lihat, yah. Anakmu tidak mau dengar perkataanku." Pengaduan ini sangat ampuh. Aku berlari ke kamar, meletakkan mainanku di tumpukkan pakaian seraya mengambil handuk.

"Ibu bohong, yah. Aku mau mandi sekarang." Berteriak seraya menuju tong air di dapur.

Ayah hanya terkekeh pelan. Ibu tahu kalau aku takut dimarahi ayah. Bukan berarti aku tidak takut pada ibuku. Tapi begitulah cara ibuku biar aku mematuhi perintahnya. Mengadu pada ayahku padahal ayah tidak pemarah dan pengomel sepertinya.

Tiga centong untuk membasahi tubuh, lima centong untuk membersihkan sabun. Itu rumus menghemat air yang digunakan ayah dan kutiru setiap hari.

Setelah makan malam, tanpa sesi mendengarkan radio karena ayah lupa membeli baterainya--kami tidur di kamar. Memang sunyi senyap, hanya bunyi jangkrik yang berisik. Tidak ada rutinitas menghidupkan radio sebelum tidur, ayah tampak gelisah.

Aku menyimpan mobil-mobilan di atas kepalaku. Mobil-mobilan itu ada yang sudah patah bagian rangka ban belakangnya. Aku tidak sengaja menekan terlalu kuat belakang mobil itu hingga ban belakangnya terperosok di lubang papan, bunyi, krekk, patah. Tapi masih bisa kupakai.

"Dulu ayah sempat sekolah. Tamat kelas enam Sekolah Dasar. Tidak lanjut sekolah karena rumah sekolah jauh dan tidak ada uang untuk beli perlengkapan sekolah." Membelai kepalaku sembari membuang serpihan karet yang masih menempel. Selepas mandi tadi ibu mengolesi rambutku dengan minyak kelapa, katanya biar rambutku tidak merekat lagi.

"Dulu di sekolah kami tidak berani melawan guru, bahkan bertemu guru saja kami harus membungkuk dalam-dalam, bilang permisi. Kami takut pada guru. Didikan mereka sangat keras. Salah sedikit dipukul dengan penggaris kayu. Ribut sedikit langsung dilempar dengan kapur tulis atau penghapus papan tulis. Kami bahkan tidak punya buku dan juga pensil. Kami menulis di meja dengan kapur tulis yang dibagikan guru kami. Satu kapur tulis untuk satu murid selama sebulan. Kami sekolah dalam seminggu sebanyak enam kali, tapi ayah sering tidak masuk karena terlambat, sakit, kelelahan, halangan di jalan seperti hujan, banjir dan masih banyak halangan lainnya lagi. Mata pelajaran saat itu lebih banyak tentang hitung-hitungan. Tanpa kalkulator, kami berhitung dengan lidi kelapa yang diraut dan dipotong pendek." Ayah bercerita tanpa henti.

"Kami dituntut bisa berhitung tanpa alat bantu dan harus mengingat setiap mata pelajaran dengan cepat. Karena setelah menulis angka atau huruf di meja, tulisan itu kami hapus agar ada ruang untuk materi berikutnya. Kami berangkat ke sekolah dengan jalan kaki hingga satu jam lamanya. Menelusuri hutan, kadang bergerombol dengan kawan sebaya, kadang sendirian. Tidak ada sepatu saat itu. Kami ke sekolah tanpa alas kaki. Sekarang tidak seperti dulu ya, bu."

"Iya, yah. Perlengkapan sekolah sekarang sudah banyak diperjualbelikan di toko-toko." Ibu menimpali cerita ayah.

"Nah, justru itu. Nanti kalau usiamu sudah enam tahun kamu harus rajin sekolah." Lanjut ayah. Ini artinya sisa dua tahun lagi aku akan sekolah. Tidak terasa karet yang merekat di rambutku telah habis. Kini rambutku tidak kaku lagi.

Tidak lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara aneh di belakang rumah kami. Ayah dan ibu terdiam. Suara itu semakin lama semakin mendekat. Bunyinya, kulang-kulit, kulang-kulit, hingga berkali-kali. Ada suara seperti bergendang, padahal kami jauh dari keramaian. Suara burung hantu pun bersahut-sahutan dari sebelah timur, selatan, dan aku tidak tahu lagi karena saking banyaknya. Suara aneh itu semakin mendekat seperti bertengger di atap rumah kami.

Ayah bangun menuju dapur. Klik. Suara kunci pintu dapur dibuka. "Lari kalian. Ini rumah kami bukan tempat bertengger." Bunyi melempar kayu. Seketika suara burung hantu yang beraneka macam itu menjauh dan senyap.

Ayah kembali lagi ke kamar. "Kamu lempar pakai apa?" Tanya ibu.

"Pakai kayu api." Jawab ayah sembari mengelap tangannya dengan handuk.

Untungnya malam ini tidak hujan. "Besok kita menoreh lagi, yah?" Tanyaku setelah ayah melabuhkan kepalanya di bantal. Aku menghadap ke ayah, membelakangi ibu. Berharap ayah melanjutkan ceritanya.

"Tidak. Air getah kurang akhir-akhir ini. Harganya pun turun." Menarik selimut.

"Yah, ada cerita lain lagi, tidak?" Tanyaku memeluk ayah.

"Kita lanjutkan besok saja, ya. Sudah malam."

"Iya, yah." Jawabku lesu. Ternyata cerita ayah hanya sampai melempar burung hantu.

Ayah berdengkur keras sampai aku tidak bisa tidur mendengarnya. Memang setiap malam ayah berdengkur. Kadang mengigau, menendang dan meninju dinding. Aku terduduk diam, memandangi seisi kamar. Meluruskan pandanganku ke arah ikan hias yang diberi paman, kusimpan di ruang tengah.

"Kenapa, nak?" Tanya ibu.

"Aku tidak bisa tidur, bu. Ayah berisik. Aku mau melihat ikanku di sana ya, bu." Hampir beranjak dari tempat tidur.

"Jangan, sudah malam. Mari sini, tidur." Melambaikan tangannya.

Aku kembali ke bantal keras dan tikar daun mendong, menarik selimutku hingga di leher. Ayah masih berdengkur. Aku memaksakan mataku, menutupnya kuat-kuat, berharap segera tertidur. Berjam-jam lamanya, akhirnya mataku terkatup kuat.

"Aduh." Aku mengaduh kesakitan sembari meraba-raba jempol kaki kiriku yang terasa seperti disentuh api, panas, perih dan bercampur gatal. Aku menggaruknya dan merasakan ada yang menempel kuat di kulit yang gatal itu. Aku mengambilnya dan melihat dengan pencahayaan api pelita seadanya, ternyata itu kepala semut api.

"Bu. Ada semut api, bu." Menggoyang-goyangkan tubuh ibuku yang menyenget membelakangiku. Aku membangunkannya yang sedang tertidur pulas.

"Aduh, cepat pindah ke ruang tengah." Ibu juga digigit semut api itu.

Ayah langsung terbangun. Kami bertiga keluar kamar seperti menyentuh bara api. Berjingkat-jingkat menghindari koloni semut api yang sudah mengepung kami. Kamar itu dipenuhi semut api. Ada yang merayap di dinding, di lantai, dan di atas kelambu. Semut api yang merayap di lantai mengikuti kami sampai di ambang pintu kamar

Ayah mengambil pelita. Membuka tutup pelita yang apinya masih menyala, lalu menadahkan minyak tanah dari dalam botol ke telapak tangannya seraya memercikkan minyak tanah ke arah koloni semut api. Memercikkan minyak tanah itu berkali-kali.

Aku mundur ke belakang, melihat ikan hiasku sembari mengosok-gosok mataku yang masih berkabut. Satu ekor ikan hias telah mati. Sisa dua ekor lagi karena aku belum sempat memberinya makan tadi siang.

"Aku lupa mengolesi tiang rumah ini dengan minyak tanah." Ujar ayah seolah menjelaskan kenapa semut api bisa masuk ke dalam kamar.

Memang biasanya sebelum malam ayah dan ibu mengelilingi rumah. Menunduk pada tiang-tiangnya sembari membawa botol pelita. Awalnya aku pikir mereka membacakan mantera untuk rumah ini. Sekarang aku tahu manfaat rutinitas setiap sore yang dilakukan ayah dan ibuku. Pantas saja di setiap tiang rumah kami diikat dengan kain. Kain itu memang bau minyak tanah. Tidak heran juga stok minyak tanah satu liter hanya mampu bertahan satu minggu. Karena pikirku, jika hanya untuk satu pelita di rumah, minyak tanah satu liter itu mampu bertahan dua bahkan tiga minggu. Rutinitas mengolesi tiang rumah dengan minyak tanah memang boros. Tapi begini jadinya kalau lupa atau tidak mengolesinya dengan minyak tanah.

Sebelum ayam berkokok, semut api itu sudah kembali ke habitatnya. Minyak tanah menjadi senjata mujarab mengusir semut api. Tapi sayangnya minyak tanah itu dibuang begitu saja hingga tersisa sedikit. Ayah meletakkan pelita itu ke tempat semula.

"Sudah semua, yah?" Tanya ibu sembari melongok ke kamar.

"Masih ada satu-dua ekor lagi." Jawab ayah setelah memastikan seisi kamar.

Aku duduk di ruang tengah, menggaruk-garuk jempol kakiku yang membengkak. Ibu juga sesekali menggaruk kakinya. Lalu mengolesinya dengan minyak tanah dan juga mengolesi kakiku hingga perlahan sudah membaik.

Setelah ayam berkokok, aku dan ibu kembali tidur di kamar yang baunya seperti tidur di dalam botol pelita, bau minyak tanah. Suara ayam itu terlalu singkat. Biasanya lebih dari lima kali. Tapi saat ini cuman dua kali.

Ayah duduk di ruang tengah, termenung. Tidak tidur. Aku bisa tidur cepat karena tidak ada suara berdengkur.

Esok paginya, ibu dikagetkan satu masalah lagi. "Astaga. Sampai begitu teganya mereka."

"Pantas si Ruyuk hanya berkokok dua kali." Balas ayah menyebut nama ayam kesayangannya.

Sepuluh ekor ayam kami mati digerogoti semut api. Belum termasuk anaknya yang baru menetas. Semut api itu hanya menyisakan satu ekor jantan dan dua ekor betina yang mengerami telurnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!