Kata ayah teman-teman di sekolah mencariku, tapi sudah dua hari ini aku alpa, mereka tidak kunjung datang menjenguk aku di rumah paman. Budi dan Randi yang biasanya selalu penasaran jawaban dari tugas yang diberikan pak Mad, akhir-akhir ini seolah tidak memerlukanku. Aku termenung di ambang pintu, menatap lamat-lamat rintik hujan yang berjatuhan di kolam buatan paman. Hujan panas mengurungku di rumah. Padahal tadi aku berniat akan bermain sepeda onthel, kebetulan paman tidak ada di rumah, mencari maculata lagi di hutan. Seminggu ini paman sibuk mencari ikan maculata. Sekalipun sudah dilarang ibuku karena musim penghujan, paman tetap bersikeras seperti ayah. Subuh tadi, ayah sudah berangkat ke pasar. Paman menawari ayah sepeda onthelnya. Tapi ayah menolak, katanya jalan kaki lebih nyaman.
"Cepat masuk. Tempias di situ." Desak ibu. Terpaan angin menderu kencang. Sontak menutup pintu, aku masuk ke dalam rumah mendekati ibu.
"Bu, kapan aku bisa sekolah?" Ibu terdiam amat lama. Berpikir keras.
"Sabar. Nanti kalau ada seragam, kamu bisa sekolah. Kalau mau tanpa seragam sekolah pun tidak apa, menggunakan pakaian rumah dan sendal jepit. Pak Mad pasti memaklumi." Seakan pernah diajar pak Mad, ibu dengan penuh keyakinan mendeklarasikan apa yang akan terjadi jika aku ikut sarannya.
"Tapi, bu. Aku tidak punya buku, pensil. Aku juga malu dilihat teman-temanku yang tampak asing sendiri di sekolah. Lagi pula sekolah sekarang mewajibkan muridnya berpakaian rapi dan seragam. Coba ibu lihat pakaianku." Jawabku sembari memutar badan.
Ibu tersenyum pahit setelah menilai pakaian yang kukenakan. Memang tidak layak untuk ke sekolah. Baju dan celana usang. Kupakai berhari-hari, bahkan rela menunggunya kering setelah dicuci. Terkadang meminjam sarung paman untuk menutupi tubuhku jika baju dan celanaku belum kering. Paman tertawa terbahak-bahak setiap kali aku meminjam sarungnya, bilang kalau aku seperti baru disunat.
"Aku ingin sekolah, bu. Bosan di rumah. Sepi. Bermain sepeda onthel sendirian seolah aku tidak punya teman. Padahal temanku banyak di sekolah." Nada bicaraku memelas. Wajahku muram. Aku mengeluh, menahan air mata. Aku menatap ibuku, kedip matanya membuat aku berhenti mengeluh. "Tapi besok atau lusa aku sudah bisa sekolah lagi kan, bu?" Tanyaku kembali bersemangat. Ibu mengangguk pelan sembari tersenyum lebar. Aku berteriak dalam hati, hore. Meskipun aku hanya berharap.
Gerimis telah reda, angin pun stabil kembali. Aku membuka pintu rumah, mengelap lantai yang basah kena tempias tadi. Aku menuruni tangga rumah yang tidak terlalu tinggi, tapi cukuplah membuat aku berjinjit ketika hendak masuk ke dalam rumah, karena jarak antara satu tangga dengan tangga lainnya yang sebanyak tiga tangga itu setinggi tulang keringku.
Tidak lupa aku melirik ke bekas rumah kami, ayah dan ibu pun tidak pernah lupa meliriknya. Kami rindu kenang-kenangan di rumah itu. Semalam ayah mengingau, meninju dinding, menendang angin sembari berteriak minta tolong. Ibu dengan cepat membangunkan ayah, nahasnya ayah hanya bilang tidak tahu apa-apa setelah sadar.
"Jangan jauh-jauh." Pesan ibu.
"Tidak, bu. Aku di sekitar sini saja." Aku berjalan di pinggir kolam buatan paman. Telur katak, berudu yang baru menetas, lubang belut, dedaunan air, ada di kolam itu. Berudu berenang kian kemari, aku hendak mengambilnya dengan kedua telapak tangan tapi berudu itu berenang sangat kencang, menjauh.
Siang begini biasanya Budi dan Randi makan bubur di kantin sekolah. Aroma bubur muncul di ingatanku, ditambah lagi dengan kuah ayam, dicampur kecap manis, sedikit jeruk nipis, satu sendok saus cabai--sedap. Sayangnya aku hanya berhalusinasi. Aku sama dengan Aga. Tidak sekolah. Padahal aku yang memarahi Aga berhenti sekolah, malah aku pula yang waswas putus sekolah.
Paman pernah bilang kalau sekolah tidak lebih dari belajar, rapor atau ijazah hanyalah bukti bahwa kita telah berhasil menyelesaikan pembelajaran. Bahkan paman membandingkan dirinya yang tamat Sekolah Menegah Atas dengan pak Tibet yang tidak tamat Sekolah Dasar. Paman bilang pak Tibet lebih sukses dan kaya darinya, dan tidak lebih bodoh dari paman yang pengangguran tulen dan sempat gagal dalam rumah tangga, yang hanya mengandalkan otot dan hasil dari alam. Mendengar ocehan paman, aku sempat berpikiran ingin seperti pak Tibet. Tapi ayah bilang kalau itu hokinya pak Tibet. Bukan berarti kita harus ikut jejaknya. Ayah bilang sekolah akan membuat aku rindu masa-masa itu, dan sekarang aku merindukannya. Entahlah bagaimana dengan Aga. Kalau dia rindu pastinya dia sekolah, lagipula seragam sekolah Aga masih utuh dia simpan di rumahnya.
Aku menatap lekat-lekat jalanan menuju ke sekolah. Ilalang menunduduk, basah. Jalan itu seolah menjadi semak selama dua hari aku alpa sekolah. Jalan yang dulu sering kulalui, kini aku enggan ke sana lagi, malu--anak seusiaku sekolah, sementara aku tidak. Saking seringnya di rumah membuat kulitku yang hitam kemerah-merahan menjadi hitam kulit sawo. Ternyata kulit yang kuanggap berwarna permanen ini bisa berubah warna, perlahan.
"Kenapa termenung begitu." Tanya ibu. Aku masih berkutat di depan kolam buatan paman. Melihat keasyikkan berudu bertemu sebayanya, aku sampai melamun.
"Tidak apa-apa, bu. Aku hanya lapar." Tersipu malu.
"Oh. Kalau lapar jangan melamun. Sini bantu ibu."
Aku melangkahkan kaki, pelan menuju rumah paman. Ibu rupanya sedang membersihkan daun ubi untuk sayur kami siang ini. Aku hampir tergelincir di tangga rumah.
"Hati-hati. Itu licin. Makanya jangan melamun terus." Ibu mengingatkan.
Aku duduk di ambang pintu selepas makan siang. Mataku tidak lepas dari bangunan sekolah. Target belajar di gedung yang baru masih membayangiku. Di antara kayu dan dedaunan, aku melihat gelagat anak kecil sepantarku sedang berjalan menuju rumah paman. Tidak jauh dari belakangnya, ada yang mengekor satu per satu. Kayu dan dedaunan menghalangi pandanganku, membuat aku semakin penasaran--berdiri dan berjinjit.
Aku ingat sepasang baju putih di jalan yang sama beberapa tahun lalu yang sempat membuat aku bungkam. Kali ini aku bungkam, mata berkedip pelan, tangan memegangi tiang pintu, kaki berdiri sekuat tenaga.
"Aki." Panggilnya, berteriak sangat keras susul-menyusul. Sungguh aku tidak lupa teriakan itu. Di barisan halaman sekolah, di layar tancap, di rumah pak Mad, teriakan itu tetap sama. Bahkan suara yang sama ketika minta contekan pun ada, aku ingat suara itu. Belasan. Mereka bagai gugusan perang yang menolong kawanannya yang dihadang musuh. Aga-lah pemimpin gugusan perang itu.
Tangan Aga memegang erat kantong plastik besar berwarna hitam. Yang lain juga melakukan hal yang sama. Mereka berbondong-bondong membawa kantong plastik masing-masing. Budi dan Randi berjalan di urutan tengah, mereka berdua memikul karung goni. Berjalan terhuyung-huyung sembari mengelap keringat.
Aku melompat dari ambang pintu ke tanah. Bahkan anak tangga pun mungkin keheranan melihat aku sangat bersemangat hingga tidak menapakinya. Ibu juga termagu-magu keheranan, lantas mendongak di ambang pintu.
"Aga." Aku berteriak. Berlari kencang meghampiri Aga dan kawanannya. Aga melepaskan kantong plastik itu. Kami berpelukan seperti gambar teletubbies di buku tulisku yang hangus terbakar. Bagai bermain rugbi, mereka mengerumuniku, seakan memperebutkan bola rugbi, berganti-gantian mereka memeluk dan menyalamiku.
"Bagaimana kamu bisa tahu rumah kami di sini?" Tanyaku sembari menyeka mata.
"Bukannya pamanmu sebentar lagi akan jadi tetangga kami." Jawab Aga tertawa pelan.
"Bagaimana kabarmu, Ki?" Randi mendekat. Baju sekolahnya basah keringat. Mereka datang ke sini masih dengan seragam sekolah, kecuali Aga.
"Kabar baik, Ran. Kalian apa kabar?"
Aku tersenyum manis. Bahagia. Kedatangan mereka membuat aku lupa musibah dua hari lalu. Mereka serantak menjawab, kabar baik. Sungguh menenangkan hatiku. Kami bertatap-tatapan bahagia dan rindu, masih berdiri di depan rumah paman yang jaraknya sekitar lima belas meter.
"Aduh. Berat. Bantu bawa, Ki." Budi menjinjing karung goni, mengayunnya ke arahku.
"Apa ini, Bud?" Tanyaku keheranan. Menunduk ke bawah, melihat karung goni yang sengaja ditutup Budi rapat-rapat, merahasiakannya.
"Ada, deh. Penasaran, ya? Yuk, bantu kami mengantarnya ke rumah pamanmu." Ujar Budi mengolokku.
Ibu keluar rumah, membantu kami yang sedang berusaha mengangkat karung goni itu. "Sini, biar ibu yang membawanya." Mengangkat karung goni di bahu. Tenaga ibuku sangat luar biasa, kuat. Membawa karung goni itu ke rumah.
"Kamu bawa ini saja." Aga menyodorkan kantong plastiknya padaku.
" Apa ini, Ga?" Tanyaku yang sedari tadi penasaran. Aku hendak membuka kantong plastik itu, tapi Aga menahan tanganku.
"Nanti bukanya. Tunggu sampai di rumah." Kata Aga.
Kami masuk ke dalam rumah yang dipaksakan muat untuk belasan orang. Tubuh kecil tidak boros tempat. Tapi Budi berusaha mengecilkan tubuhnya. Makin banyak gerak, makin dihimpit, Budi menyerah, dia duduk di ambang pintu.
Kami duduk melingkari barang bawaan mereka yang bermacam rupa. Dari kantong plastik warna hitam, merah, hingga kantong yang nyaris sobek. Karung goni, dan tas di berwarna hitam di depan kami. Tidak ada satu pun di antara mereka yang datang dengan tangan kosong.
"Bu, ini dari orang tua aku dan Randi. Maaf tidak bisa lebih dari ini." Ujar Budi menunjuk karung goninya.
"Ini dari aku, bu. Semoga bermanfaat." Ujar yang lainnya.
Ibuku mendengarkan mereka penuh haru. Mata ibuku berbinar-binar. Bibirnya bergetar pelan.
"Ki, kamu layak menerimanya. Jangan seperti aku." Aga menatapku serius. Matanya tidak sedang main-main. Tatapan ini sungguh membuat aku merasa berutang budi.
Aku terdiam. Menunduk sangat dalam. Menyeka air mataku yang bingung membedakan antara sedih dan haru. Aku menangis sejadi-jadinya. Mereka mendekat, merangkul aku yang tidak henti-hentinya menyeka air mata.
"Bukalah, Ki. Kamu penasaran, kan, isinya." Gigi gingsul Aga tampak manis dengan senyumnya.
Aku buru-buru membuka plastik hitam itu. Tatapan Aga tampak santai. Ibuku dan yang lainnya tegang, penasaran.
"Terima kasih, Ga. Terima kasih." Aku memeluk Aga kesekian kalinya, berterima kasih.
"Kamu harus semangat, ya." Aga menepuk-nepuk pundakku. "Ini bukan yang baru. Dua tahun lalu pak Mad memberikannya padaku. Coba pakai, siapa tahu cocok padamu." Tatapan Aga meyakinkan.
Aku mengenakannya. Tulisan SD di sakunya sangat memesona. Dan seragam pramuka. Ini artinya, semua seragam sekolah Aga dia wariskan kepadaku. Aku menyukainya. Berterima kasih tidak henti-hentinya pada Aga setelah merasa seragam sekolah pemberiannya cocok padaku.
"Tapi." Aku mengheningkan suasana. "Apa kamu yakin tidak mau sekolah lagi?"
Aga menggeleng mantap. Keputusannya sudah bulat. Tatapan ibuku tampak prihatin pada Aga. Lalu ibu menoleh ke arahku sembari mengangguk-angguk, senang.
"Terima kasih ya, nak. Semoga kamu jadi orang sukses." Doa ibuku untuk Aga. "Ibu harap kalian semua bisa membanggakan orang tua kalian." Doa untuk semuanya.
Mereka menegakkan tubuh sembari berkata, amin--serentak. Satu persatu memberikan barang bawaan mereka kepada aku dan ibu. Ada salah satu di antara mereka yang menyumbangkan sepatu bekasnya padaku. Kebetulan sepatu itu cocok di kakiku. Masih bagus. Satu hingga dua tahun masih kuat membungkus kakiku dan melindunginya dari lumpur serta kotoran di tanah.
Aku tidak menyangka kalau mereka bisa senekat ini jauh-jauh membawa bingkisan yang cukup berat. Apalagi sepanjang jalan setapak menuju rumah kami sekitar delapan puluh persen jalanan berlumpur. Bahkan mereka yang sedang duduk menunggu air mendidih sembari mengelap keringat, berlumuran lumpur di kaki, celana dan percikkan lumpur di baju. Tapi biarpun begitu, tidak satu pun kulihat dari mereka yang berat hati. Mereka tersenyum manis, tertawa terbahak-bahak sembari bersenda gurau, membuat rumah paman bergoyang, pelan.
Ibu menghidangkan satu teko teh panas dan dua belas cawan plastik. Mereka menuangkan teh panas dari teko ke cawan plastik itu dengan penuh kehati-hatian. Cawan plastik seakan melepuh. Mereka meniup teh panas dan meneguknya, pelan.
"Besok kamu sekolah tidak, Ki?" Tanya Budi sembari meletakkan cawannya ke lantai lalu memegangi celananya, kepanasan.
"Sekolah-lah, Ki. Kami ada tugas dari pak Mad. Budi dan aku kemarin dapat pontenan kepala tanpa hidung, mata, mulut, rambut, dan telinga tanpa nyawa. Kamu tahu kan maksudku?" Mereka tertawa. Aku tersenyum sembari mengangguk lentur.
"Iya, aku besok sekolah." Disambut riang oleh mereka. Aga turut senang.
"Kalian sudah makan?" Tanya ibuku.
"Belum, bi." Jawab Aga memanggil ibuku, bibi.
"Panggil saja ibu." Aga mengangguk sembari bilang, iya, bu. Membuat aku yang anak tunggal seperti memiliki abang kandung. "Kalau begitu tunggu sebentar. Ibu mau masak untuk kalian." Lanjut ibuku. Mereka tersenyum bahagia.
"Oh, iya. Kebetulan di sini ada mi, beras dan bahan dapur lainnya, bu." Ujar Budi, membongkar karung goninya.
Aroma masakan ibuku tidak tertandingi dengan masakan siapa pun. Ini akan membuat mereka yang menunggu dengan sabar akan rindu masakan ibuku.
"Ki, Nina beberapa hari ini menanyaimu." Aga berbisik. Tidak. Lebih tepatnya memberitahu yang lain. Serentak mereka mengolokku dengan bilang, cieee.
Aku malu tidak kepalang. Menepis olok-olokkan mereka. Ibu yang sibuk memasak, menoleh ke belakang mendengar keributan kami.
"Ada apa?" Tanya ibu yang membuat mereka bungkam, tidak bergeming.
"Kami hanya bercanda, bu." Jawab Aga.
Makan rangkap antara siang dan sore karena sebenarnya sudah sore, tapi aku belum makan siang--dihidangkan di hadapan kami. Mereke antre mengambil piring, nasi, mi, sayur daun ubi, dan beberapa potong ikan asin yang dibagi-bagi hingga cukup untuk dua belas orang; alumni kelas satu. Ya, alumni kelas satu khususnya Aga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments