Pak Mad

"Bagaimana sekolah di hari pertama. Menyenangkan tidak?" Tanya ibuku penasaran. Jika diberi rentang nilai dari satu sampai sepuluh, tentu aku akan menjawab rentang yang terakhir. Pertanyaan itu seolah menjelaskan betapa rindunya ibuku semasa sekolah dulu. Meskipun mereka tidak bisa menikmati sekolah sedikit lebih lama, tapi kenangannya masih ibu ingat sampai sekarang.

"Iya, bu. Seru. Di sekolah aku sudah punya banyak teman. Ada Budi, Randi, dan Aga temanku tahun lalu yang tinggal kelas."

"Temanmu yang tinggal kelas?" Tanya ibu sembari mengernyitkan dahi.

"Iya, bu. Namanya Aga."

"Wah, kalau begitu kamu harus sekolah lebih giat lagi. Itu artinya sangat memungkinkan dari dua belas murid akan ada yang tinggal kelas." Ibu tampak khawatir, menyebut jumlah murid di kelas satu.

Ayah duduk di ruang tengah sembari mendengarkan radio, mengangguk. "Benar itu." Nimbrung. "Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah." Lanjut ayah meniru lagu di radio.

"Ah, bilang saja rindu mantanmu." Tanda-tanda omelan panjang akan dimulai.

Pagi ini, sinar matahari yang masuk melalui lubang-lubang kecil di atap daun berhasil membangunkanku. Aku langsung beranjak dari tempat tidur seraya berjalan menuju ke dapur. Tidak ada air di tong. Kemarau panjang sudah hampir sebulan. Aku melogok ke danau buatan paman. Airnya tetap sama. Tidak menarik.

Aku memercikkan sisa air di tong ke rambutku. Asal basah. Seruku dalam hati.

"Sudah mandi?" Tanya ibu.

"Ini." Menunjuk rambutku yang basah.

"Mandi apaan, gak ada air pun. Pasti cuman cuci muka." Tebakan ibu benar. Tapi aku mengelak.

"Ini buktinya rambutku basah, bu."

"Dah-lah. Berangkat sana! Nanti terlambat. Mau seperti Aga?"

"Ya, enggaklah, bu." Sembari mengenakan seragam cokelat.

"Nih, untuk jajan." Ibu menyodorkan uang logam lima ratus rupiah.

Kusambut dengan riang sembari berkata, "Terima kasih, bu."

Lima ratus rupiah dapat ditukarkan dengan semangkuk bubur, satu bakwan isi kangkung, satu es gepeng, dan sepuluh butir permen.

Aku tiba di sekolah tepat waktu, duduk di kursi yang kupilih kemarin, satu meja dengan Aga. Kursi pilihanku di depan meja guru. Awalnya Aga menolak duduk di kursi ini. Tapi aku tetap bersikeras. Aku sudah bilang pada Aga untuk mencari tempat duduk yang lain, tapi Aga tetap ingin satu meja denganku.

Kursi dan meja kayu itu sudah digerogoti rayap. Tapi masih kuat menahan tubuhku yang sudah agak berisi, efek masa pemulihan setahun yang lalu.

Terdapat coretan pensil di meja kami. Ada rumus matematika, abjad, dan beberapa bocoran jawaban.

Aku menyimpan tasku di laci. Sebenarnya tidak layak dibilang tas karena bentuknya seperti kantong kresek. Di kantong kresek inilah aku menyimpan buku multifungsi, pensil, penghapus, dan lidi untuk berhitung. Bukuku memiliki tiga fungsi sekaligus seperti buku catatan, buku gambar dan buku tugas. Aku tidak punya banyak buku. Ini pun buku yang dibelikan ayah beberapa hari lalu. Di sampulnya bergambarkan teletubbies berwarna merah muda.

"Cantik sekali bukumu, Ki." Aga meraba-raba bukuku sembari terkekeh pelan.

Aku sempat komplain pada ayah karena membelikan aku buku tulis yang warnanya merah muda. Aku tidak suka warna merah muda. Pasti diolok temanku. Aku menatap Aga dengan sinis, dia diam seketika.

Randi dan Budi duduk di pojok belakang. Randi bilang dia lebih tenang duduk di belakang. Budi bilang duduk di belakang membuat dia merasa aman dan damai. Mereka berdua sepakat kalau meja paling depan berbahaya bagi siswa yang otaknya pas-pasan. Bukan berarti aku pintar. Tapi sebenarnya aku tidak punya pilihan lain, kemarin hanya kursi di depan ini yang kosong, belum ada pemiliknya.

Lonceng masuk telah berkumandang memanggil-manggil siswa yang baru datang, yang sibuk di kantin, dan yang berkeliaran di luar kelas. Mata Aga tampak ketakutan. Sesekali Aga melirik ke belakang seolah mencari celah untuk keluar dari perangkap.

"Ki, kita pindah tempat duduk, yuk. Di belakang sana ada ruang kosong."

Di belakang kami memang ada sedikit ruang yang bisa ditempati. Sedari tadi Aga meliriknya.

"Tempat duduk di kelas ini sudah disusun rapi, Ga. Kalau kita pindah tempat duduk kita tentu akan mengacaukan tata ruang kelas ini."

"Tapi aku takut, Ki. Hari ini jadwal pak Mad di kelas kita." Aga gundah gulana.

Aku penasaran yang dimaksud Aga tentang pak Mad.

Dari jendela nako tampak samar-samar gelagat kakek-kakek yang berlalu di selasar menuju ke kelas kami. Rambutnya sudah memutih. Langkah kakinya bagai mantan veteran.

"Selamat pagi." Sapanya singkat sembari duduk di depan aku dan Aga. Membawa buku tebal, dihempaskan pelan di atas meja. Aga terperanjat, kaget.

"Ada yang sudah kenal siapa saya?" Tanya guru itu dengan suara tegas. "Yang di depan ini saya tidak asing lagi melihatnya. Aga, coba perkenalkan nama saya pada teman-temanmu."

"Ba-baik, pak." Terbata-bata. Aga berdiri gemetaran. "Teman-teman. Perkenalkan ini pak Mad, guru matematika kita. Sudah, pak." Wajah Aga tegang, pucat, bibirnya bergetar seperti narapidana yang menunggu detik-detik eksekusi mati. Mereka menahan tawa.

"Kalian sudah dengar?" Tanya pak Mad sembari berdiri.

"Sudah pak." Serentak.

Pak Mad mendekatiku, "Siapa namamu?" Melepaskan kacamatanya seolah wajahku akan tampak jelas tanpa kacamata itu.

"Nama saya Aki, pak." Jawabku dengan sigap.

"Kamu di pojok sana, siapa?" Menunjuk ke arah Budi dan Randi.

"Saya pak?" Tanya Budi menunjuk dirinya, memastikan.

"Iya, siapa lagi kalau bukan kamu." Intonasi suara pak Mad meninggi.

"Nama saya Budi, pak." Jawabnya sedikit berteriak.

"Baik. Sekarang kalian maju satu per satu memperkenalkan diri kalian setelah itu berhitung dari satu sampai dua puluh." Pak Mad duduk di kursinya. "Dimulai dari kamu, Aga. Nanti bergiliran dari meja ini sampai ke sana" Pak Mad menunjuk urutan meja mulai dari meja depan hingga ke meja belakang. Ini artinya aku maju setelah Aga.

Dengan ragu-ragu Aga bangkit berdiri seraya berjalan ke depan, menunduk. Pak Mad memperhatikan Aga lamat-lamat seolah mencari sesuatu yang tertinggal.

Aga memperkenalkan dirinya lalu berhitung hingga mentok di hitungan sembilan dan delapan, bingung.

"Otak batu. Balik lagi sana ke tempat dudukmu, bagus gak usah sekolah." Aga tertunduk dalam, menuju tempat duduknya. Aku mengendus angin yang mengikuti Aga, bau pesing.

"Kamu kencing di celana, Ga?" Tanyaku berbisik. Aga meletakkan jari telunjuk kanannya di ujung bibirnya seolah bilang, diam.

Sekarang giliran aku yang maju memperkenalkan nama dan berhitung. Pak Mad mendengarkan hingga selesai.

"Bagus." Ujarnya seolah memberi nilai. Teman-teman yang menunggu giliran tercegang mendengar aku lancar berhitung.

Randi mendapat giliran maju paling terakhir. Setelah lebih dari lima orang yang gagal berhitung, semuanya diomeli pak Mad--Randi tampak ragu. Langkah kakinya yang setengah maju ke depan seakan mau mundur lagi ke belakang.

Pak Mad memukul meja hingga kami semua terperanjat kaget.

"Apa-apaan ini. Kalau saya suruh maju, ya, maju." Bentak pak Mad.

Randi memberanikan diri maju ke depan. Dia mulai memperkenalkan namanya dan berhitung terbata-bata. Hitungannya berhenti di angka enam dan nyaris menyebut angka empat.

"Tujuh." Teriakku pelan. Randi mengikuti.

Pak Mad marah besar padaku. "Saya tidak mau tau, kamu ikut berdiri di depan, angkat satu kaki, kedua tangan menyilang, menarik telinga." Hukuman pak Mad.

Aku berdiri di samping Randi, melakukan seperti yang pak Mad suruh barusan. Randi tersenyum malu melihat ada yang menemaninya.

Di tangan kanan pak Mad tidak jauh dari penggaris kayu. Setiap hentakan kaki pak Mad yang mendekati meja per meja membuat mereka menahan napas sekuat tenaga, tegang. Pak Mad berjalan pelan, bolak-balik. Aga sedari tadi mematung, pasrah. Wajah Aga seolah menyalahiku memilih tempat duduk di bagian depan. Semua yang duduk di depan memang tampak menyesal.

"Kalian tahu. Saya tidak suka murid yang malas. Di depan sana contohnya." Menunjuk Aga dengan ujung penggaris. "Akibatnya di depan sana." Lalu menunjuk aku dan Randi.

Pak Mad kembali ke mejanya. Membuka buku tebal lembar demi lembar hingga di lembar tengah--pak Mad memasang kacamatanya.

"Sebagai hukumannya, kalian semua harus mengerjakan tugas ini." Mendekatkan wajahnya ke buku, "Siapa di antara kalian yang bisa menulis?" Senyap.

Pak Mad memukul meja kedua kalinya. "Saya nanya. Jawab!"

"Saya, pak." Budi mengangkat telunjuk kanannya. Dia sangat berani meskipun wajahnya tampak terpaksa.

Aku bertepuk tangan dalam hati memuji keberanian Budi. Di depanku Aga sibuk mencari bukunya. Budi mulai menulis di papan tulis dengan kapur berwarna putih. Sesekali Budi menggaruk kepalanya, serpihan kapur membuat rambutnya memutih. Budi meniru tulisan di buku itu, tidak banyak, hanya angka-angka kecil tentang penjumlahan. Aku dan Randi menyerong ke samping melihat Budi menulis. Tangan dan kaki Budi tampak gemetar. Dia menyalin tulisan tersebut cukup lama.

Aga main mata padaku, lantas memindahkan bukuku ke hadapannya. Aku membantah dengan menggeleng-gelengkan kepala, tapi Aga sudah terlanjur menulis di bukuku dengan pensilnya.

"Duduk." Bentak pak Mad menyuruh Budi kembali ke tempat duduknya. Budi menyerahkan buku tebal itu ke pak Mad. Dengan penuh kehati-hatian pak Mad mengelap kacamatannya menggunakan kain tipis, lalu mendekat ke papan tulis, mengoreksi tulisan Budi.

"Khusus untuk kalian berdua." Pak Mad menghadap ke arah aku dan Randi. "Kerjakan tugas ini dan tulis." Pak Mad menggerak-gerakkan tangannya di papan tulis. Aku mengeja tulisan pak Mad yang bacaannya: aku tidak pandai berhitung. "Sebanyak dua ratus baris." Imbu pak Mad. Randi ternganga.

Dua ratus baris artinya hampir separuh bukuku untuk hukuman pak Mad?

"Duduk." Bentak pak Mad sekali lagi, "Besok harus sudah selesai. Selamat siang." Pak Mad keluar kelas. Aku dan Randi kembali ke tempat duduk sembari mengucapkan selamat siang dalam hati. Lesu.

"Sudah kubilang. Jangan duduk di depan." Aga menyerigai. Menulis soalnya di bukuku tanpa rasa bersalah. Tulisannya hanya dia yang bisa memahaminya.

"Enak saja. Tadi mengolok bukuku." Menarik paksa buku yang Aga timpa dengan kedua tangannya yang berkeringat, basah.

"Sebentar, Ki." Hingga buku itu sobek, terbagi dua. Aku marah besar pada Aga sembari menahan air mata. Aga minta maaf hingga belasan kali tanpa kupedulikan.

"Nanti kuganti, Ki. Maaf aku tidak sengaja. Aku terpaksa pakai bukumu karena takut pak Mad marah kalau aku tidak menulis." Aku diam, merajuk.

Lonceng dipukul dua kali tanda istirahat.

Aga bisa dibilang siswa yang bebal dan pelupa. Dia menceritakan pengalamannya semasa kecil yang sering disiksa ayahnya yang kejam, pemabuk berat dan pejudi gagal tulen. Sekarang ayah dan ibunya sudah berumur. Ayahnya sudah insaf, kalau ke mana-mana selalu diiring Aga karena ayahnya stroke berat. Ibunya yang mengajari Aga berhitung, menulis dan membaca. Tapi Aga tidak mampu mengingat. Daya ingat Aga hanya beberapa menit, sama seperti ikan yang lepas dari mata kail, tapi setelah itu makan umpan itu lagi seakan lupa kalau umpan tersebut adalah kail yang sempat sangkut di mulutnya barusan.

Randi juga menceritakan riwayat hidupnya. Dia bercerita kalau dulu pernah terbentur di lantai. Kala itu dia mau izin nonton televisi pada ibunya yang asyik arisan di pasar. Lantai semen basah, membuat kaki Randi tergelincir. Dia sempat pingsan beberapa menit. "Makanya aku agak tolol begini." Ujarnya sembari menonjok kepalanya.

"Aku beda lagi." Budi ikut nimbrung. Dia bercerita kalau dia sebenarnya anak angkat. Kami terdiam, empati pada Budi. "Aku serius." Ujarnya menjawab tatapan mata kami yang seolah bertanya, apa benar?

Budi menjelaskan bahwa dia sampai detik ini tidak tahu siapa orang tuanya, dan dia tidak mau tahu. Perlakuan orang tua angkatnya yang memperlakukan dia seperti anak kandung membuat Budi tidak ingin tahu siapa orang tuanya yang sebenarnya. Tapi semenjak tahu dirinya anak angkat, budi sering menghayal dan termenung.

"Jangan bilang kamu mengangkat telunjukmu pagi tadi karena termenung." Ujar Aga, curiga. Budi tersipu malu.

Mereka bertiga menatap aku yang sedang menikmati semangkuk bubur. Tatapan mereka seolah sedang membuka kupon berhadiah.

"Oh, iya. Kalau aku ada dua peristiwa yang sampai sekarang ini sulit kulupakan?" Ujarku membuat mereka bertiga semakin penasaran.

"Apa?" Tanya mereka, serentak.

"Aku pernah tenggelam di sumur. Rasanya seperti ditelan bumi hidup-hidup. Aku juga pernah mandi bubur panas. Ini tandanya." Memperlihatkan bekas bubur panas di tangan kiriku. Tatapan mereka masih penuh tanya.

"Lalu kenapa kamu bisa pintar berhitung seperti tadi?" Tanya Aga.

"Ibuku yang mengajariku." Jawabku santai. Mereka bertiga mengangguk pelan.

"Kapan kamu mau mengganti bukuku, Ga?"

Aga tampak bingung. Seolah menghindari pertanyaanku dia masuk ke dalam kantin tanpa tanggapan. Setengah menit kemudian, Aga keluar membawa buku. Hebat. Seruku dalam hati.

"Ini. Utangku lunas." Memberikan buku itu padaku.

"Ini rumahmu?" Tanyaku.

"Bukan." Aga menjawab cepat.

"Ini." Mengangkat buku yang kupegang.

"Aku berutang. Nanti kalau barang rongsokan di rumahku sudah kujual, aku akan membayarnya." Aga mengangkat mangkuk bergambar ayam jago, menyeropot kuahnya.

Aku hendak menyingkirkan mangkukku ke samping. Tiba-tiba tanpa sengaja sisa kuah di mangkukku tumpah membasahi baju Randi. Wajah Randi memerah, menahan amarahnya. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Maaf, Ran. Aku tidak sengaja." Aku menyeka baju Randi dengan kain lap di atas meja.

Budi menyikut Randi yang sedari tadi berusaha menahan emosinya. Randi diam membisu, sesekali mendorong tanganku yang masih berusaha menyeka bajunya. Aga berdiri seakan siap siaga jika terjadi sesuatu. Untungnya baju Randi berwarna cokelat--kalau putih, tentulah kuah bubur itu akan menguning di bajunya.

"Maaf sekali lagi, Ran." Aku memohon sembari mempertemukan kedua tanganku di depan dada.

Sudah dua kali aku meminta maaf pada Randi tapi tidak ada tanggapan. Randi mengalihkan pandangannya seraya menjauh menuju kelas satu. "Biasa, Ki. Aku juga sering begitu dengannya. Dia memang emosional, mudah tersinggung. Maklumi karena dia pernah terbentur di lantai." Budi terkekeh pelan.

"Aku bayar minumanku dulu, ya." Budi menemui penjaga kantin. Aku mengekor di belakangnya, mengantri untuk membayar.

Uangku sisa seratus rupiah. "Kita kembali ke kelas, yuk." Ajak Aga.

"Yuk, sebentar lagi lonceng masuk jam pelajaran kedua." Budi setuju.

Kami bertiga menuju ke kelas satu. Aku masuk ke dalam kelas sembari melirik Randi. Dia membelokkan pandangannya ke samping. Dari tatapannya aku paham kalau dia belum bisa memaafkan aku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!