Kejutan Peringkat Satu

Pagi ini kami mengerumuni depan kelas dua, Budi gemetaran sembari bertanya, ayahku mana? Tanpa jawaban. Randi di samping Budi juga tidak tenang meskipun ayahnya baru tiba di halaman sekolah. Aku mencoba menenangkan diri karena kutunggu pun--ayah tidak akan datang, sibuk.

Sudah dua kali pembagian rapor kenaikan kelas tapi ayah tidak pernah hadir. Bukan sengaja, melainkan memang ayah bekerja seharian penuh. Istirahat hanya malam, itu pun ayah tidur tidak tenang, berpikir keras. Hanya ayah yang tahu, aku dan ibu lebih banyak diam jika di depannya. Paling ayah sekadar bertanya bagaimana sekolahku, berapa sisa uang, dan minta dibangunkan subuh, barulah kami menggubris.

"Ayahmu tidak datang lagi, Ki?" Tanya Randi. Dua kali tidak hadir mengambil rapor kenaikan kelas, membuat Randi keheranan kenapa ayah tidak pernah menyempatkan waktunya. Aku menggeleng hebat.

Orang tua murid berbondong-bondong memasuki ruang kelas dua, pak Mad mengekor di belakang mereka. Ayah Budi hampir terlambat, untungnya masih diperbolehkan masuk.

"Pamanmu bagaimana?" Tanya Budi. Kali ini wajah Budi tampak lega setelah ayahnya duduk di kursi depan.

Aku menggeleng lagi, bagai jam bandul yang bergerak bolak-balik dan berbunyi seperti lonceng kecil yang dipukul, aku menjawab, tidak sempat.

Sebenarnya paman mau kalau dia belum menikah. Lima bulan lalu paman menikah dengan bu Neli. Kami turut bahagia meskipun di rumahnya kami kesepian, paman pindah ke rumah bu Neli. Aku tidak sempat bilang pada paman kalau hari ini kami pembagian rapor kenaikan kelas. Jarak yang lumayan jauh tidak memungkinkan untuk aku mendesak paman. Lagi pula paman sudah bersama keluarga barunya. Pak Mad resmi menjadi abang iparnya paman. Lirikan pak Mad padaku sebelum memasuki ruang kelas tadi sangat bersahabat.

"Baiklah. Tenang, Ki. Ayahku ada. Dia pasti bangga mengambil rapormu." Randi menenangkan. Aku mendongak, menatap mata Randi seakan bertanya, bangga kenapa? "Ayahku pasti bangga mengambil rapor peringkat satu di kelas kita, Bud." Randi mengalihkan pembicaraan pada Budi yang menggangguk-angguk setuju.

Mereka berdua sepakat menyemangatiku. "Kamu pasti peringkat satu lagi di kelas kita, Ki." Ujar Budi.

"Iyalah, siapa lagi kalau bukan Aki?" Randi seumpama menambah bumbu penyedap rasa. Dia memainkan mata ke arahku, optimis.

"Ah, kalian terlalu yakin. Mana mungkin aku bisa rangking satu. Awal semester aku banyak alpa. Jangan-jangan di antara kalian berdua yang mungkin kali ini peringkat satu." Aku balas menyemangati.

Budi dan Randi kompak, menggeleng. "Tidak ada yang tahu, bukan?" Tanyaku. Mereka berdua memikirkannya, benar juga.

Semalam aku terus terang pada ibuku kalau kelas dua ini aku banyak ketinggalan mata pelajaran, ibu bilang tidak apa setelah mendengar aku pesimis kemungkinan besar tidak dapat peringkat satu lagi. Ibu bilang kalau aku bisa memulainya dari awal di kelas baruku nanti. Aku mengangguk. Di perjalanan tadi aku melihat mobil baru di rumah pak Tibet, aku berpikir betapa bahagianya jika ada yang baru di hidup kita, aku sepakat dengan ibuku--memulai dari awal di kelas baru. Mungkin aku bisa memperbaikinya. Lagi-lagi pak Tibet menjadi orang yang beruntung.

Aku menyandarkan tubuhku ke dinding papan, menoleh ke kiri, di ujung sana Nina sedang duduk di samping teman laki-laki. Mereka berdua tertawa bersama. Nina melirik ke arahku, kami saling tatap antara satu sama lain. Aku pura-pura mengalihkan pandangan ke arah Budi dan Randi di depanku yang sedang duduk, bergosip. Kata cie, membuat aku hafal maksud mereka berdua.

Kalau saja aku dan Nina satu kelas, tentulah aku akan tersaingi. Aku tidak akan diberi kesempatan olehnya untuk mendapat peringkat satu. Jelas sudah, dua kelas Nina lampaui, kedua-duanya dia peringkat satu. Aku baru saja akan melampaui kelas dua, itu pun belum jelas akan mendapat peringkat berapa. Untung-untungan kalau masih dapat peringkat tiga atau sepuluh besar.

Ruang kelas hening sejenak. Kami yang duduk di luar pun tidak bergeming. Randi yang awalnya banyak omong seketika membisu. Pak Mad berdeham, berdiri dengan penuh rasa hormat di hadapan orang tua murid.

Tidak lama kemudian, ruang kelas menjadi bising dengan sorakan yang sangat membahana. Meneriaki namaku dengan bangga. Benar kata Randi, ayahnya bangga mengambil raporku dan rapornya. Meskipun Randi peringkat dua, ayahnya tidak membanding-bandingkannya dengan aku yang peringkat satu. Apalagi ayah Budi, bahagia tidak kepalang mendengar nama Budi dipanggil setelah Randi, ayah Budi maju ke depan kelas penuh percaya diri.

Randi dan Budi sangat bahagia, pembagian rapor diambil langsung oleh orang tua mereka. Sedangkan aku, hanya membawa kabar baik pada kedua orang tuaku. Kabar yang sebenarnya bisa dibuat-buat oleh siapa pun yang ingin membanggakan orang tuanya. Tapi ayah dan ibu tidak pernah membantah ceritaku. Mereka memercayaiku sepenuhnya meskipun ceritaku ditanggapi ala kadarnya--mereka sangat sibuk.

"Nanti, kamu bawa yang ini, ya. Yang berat itu biar ayah." Menunjuk kardus pakaian, bagianku. Lemari pemberian paman itu bagian ayah. Ibu mengemaskan perabot rumah yang berserakkan di lantai. Sesekali mengelap keringatnya. Ayah menuruni tangga, memikul lemari, lantas membawanya. Bagai pencuri kesiangan, ayah berjalan sangat cepat hingga semak di jalanan menutupi bayangannya yang mengarah ke jalan raya.

Aku keheranan tidak kepalang, belum sempat bertanya, mau ke mana? Mereka sibuk tidak memedulikanku. Malah saat aku bilang dapat peringkat satu, mereka hanya menjawab cepat, syukurlah, sembari menyibukkan diri lagi.

Rumah seolah tidak berpenghuni, semua perabotnya di bawa ke luar. Ibu mengemaskannya sangat rapi. Karung goni dipadat-padatkan hingga muat sekitar belasan perabot rumah. Ember, piring, teko, cawan, botol minyak, pelita, centong nasi, kaleng, dan banyak lagi yang lainnya. Berkumpul di dalam karung goni. Sungguh seperti pencuri. Mereka melakukannya tanpa basa-basi, senyap, tapi serius.

"Mau ke..." Ibu langsung menyambar, nanti kamu tahu. Aku urung bertanya. Apakah ini kejutan kenaikan kelas dan dapat peringkat satu? Tanda tanya besar terbentur di kepalaku yang kugaruk berkali-kali meskipun tidak ada yang gatal.

"Cepat susul ayahmu. Bawa itu!" Menunjuk kardus di depanku.

Seragam sekolah masih kukenakan. Kardus terlanjur disegel ibu, aku tidak bisa mengambil pakaian ganti. Rapor yang tadinya kupegang erat di depan dadaku, berniat menunjukkannya kepada ayah dan ibu--kumasukkan lagi ke dalam tas kresek.

Aku mengangkat kardus pakaian, menyusul ayah yang sudah dua kali bolak-balik selama aku tiba di rumah. Artinya, ayah lebih dari dua kali bolak-balik sebelum aku tiba di rumah, karena aku melihat mobil pak Tibet; aku tahu persis itu mobil pak Tibet biarpun yang menyetirnya bukan dia--sudah penuh perabot rumah.

Mobil yang mirip seperti mainanku tiga tahun lalu. Mainan yang membuat aku ditumpahi bubur panas, yang membuat aku bersemangat bangun pagi, dan selalu menolak paksaan tidur siang dari ibuku. Mobil itu seolah membesar. Aku melihatnya sudah terparkir di pinggir jalan. Ayah meletakkan tong air besar di bak mobil itu.

Sopir keluar dari pintu mobil. Ibu muncul di belakang kami, membawa tikar daun mendongnya.

"Bisa tidak?" Tanya ayah setelah meninjau sekeliling mobil yang tampak sedang dipaksa mengangkut ribuan kilo perabot rumah.

"Tenang. Mobil ini mampu, muatannya bahkan sampai dua ton. Apakah semuanya sudah diangkut?" Tanya sopir setelah menjelaskan spesifikasi ketahanan mobil yang dikendarainya.

"Sudah." Jawab ibuku cepat.

"Beres. Tapi kami duduk di mana?" Ayah sekali lagi kebingungan.

"Satu orang di belakang. Kalau ada apa-apa dengan perabot ini bisa berteriak memberitahuku. Yang berdua lagi duduk di depan. Anak ini bisa di pangku." Jawab sopir sangat berpengalaman dalam jasa angkut barang dan penumpang.

Aku berkedip pelan. Sopir mengepulkan asap rokoknya seraya membuka pintu mobil. Ayah naik ke bak mobil. Aku dan ibu memutari mobil menuju pintu satunya lagi. Ibu masuk duluan, lalu kususul dan duduk di pangkuannya.

"Bu, sebenarnya kita mau ke mana?" Aku mensukseskan pertanyaanku yang sedari tadi kuurungkan. Sopir menginjak gas mobil hingga berjalan, pelan. Melintasi dedaunan yang menunduk di pinggir jalan. Di jendela kaca transparannya, aku menatap langit yang mulai redup, matahari sangat condong ke barat. Di belakang aku dan ibu ada kaca transparan, aku mendongak ke kaca itu. Ayah tampak sedang berpegangan pada tali yang mengikat perabotan rumah. Kepala ayah bergoyang-goyang seolah suara mesin mobil seperti lagu kesukaannya.

"Pindah rumah." Jawab ibu memutar kepalanya dari kiri ke kanan. Rambutku seolah menghalangi pandangan ibu, leher yang memanjang dan tubuh yang semakin berat, membuat ibu seakan duduk di atas bara api. Tubuhnya basah keringat. Untungnya sopir menghidupkan kipas angin kecil di depan mobil itu.

Aku sangat terkejut mendengar jawaban ibuku. Aku merasa ini mimpi buruk. Tapi api rokok sopir mengenai tanganku yang berpegangan di ganggang kursi, menyadarkanku bahwa sekarang bukan saatnya untuk mimpi.

Aku mengaduh kesakitan, sopir meminta maaf. Aku bertanya lagi dengan nada memelas. "Bu. Kita mau pindah ke mana?" Ibuku pasti paham yang dia pangku sekarang tidak setuju pindah rumah.

Bagaimana bisa setuju? Aku baru sampai di rumah sudah dikagetkan dengan berbagai macam perabot yang berserakkan. Pikirku akan disambut dengan makanan, malah disambut dengan kabar pindah rumah. Aku tidak sempat berpamitan dengan kedua sahabatku, Randi dan Budi. Mereka pasti mencariku setelah masuk di kelas tiga nanti. Jangan-jangan mereka mengiraku menyusul Aga, berhenti sekolah. Tidak. Aku tetap sekolah. Tapi pindah rumah ini membuat aku tidak terima. Harusnya ayah dan ibu memberitahuku terlebih dahulu. Pantas saja ibu semalam bilang kalau aku bisa memulainya di kelas yang baru. Ternyata bukan hanya kelas yang baru, rumah yang aku tidak tahu letaknya, bentuknya; itu pun baru. Tadinya aku berpikir sesuatu yang baru dalam hidup dapat membuat kita bahagia, rupanya aku salah. Aku ingin keluar dari pintu mobil. Ibu bilang itu akan membuat ayah kecewa. Aku menoleh ke belakang, melihat ayah menyeka keringatnya, membuat aku tidak tega.

Cahaya lampu berbaris di sepanjang jalan, kami melewatinya satu per satu yang baru saja menyala otomatis. Tidak ada suara burung ruak-ruak, sungguh ini bukan desa, tapi pasar, kota, atau sejenisnya. Kami tiba di tengah kepadatan rumah penduduk sekitar jam tujuh malam. Perutku bergendang, memukul simbal, menginjak pedal, meniup seruling, memetik gitar--bergemuruh hebat. Mobil berhenti tepat di tengah pasar, di depan rumah yang berhimpit-himpitan. Ada yang berdendang riang, berjoget, lampu kelap-kelip seperti pantat kunang-kunang, bersahut-sahutan dengan perutku. Berisik.

Aku turun dari mobil diikuti ibuku. Sopir ke belakang membantu ayah menurunkan perabot rumah. Beberapa orang yang lewat tidak ada yang membantu. Mereka melirik penasaran setelah itu berlalu tanpa suara.

Ibu-ibu yang berlalu di samping kami bertanya pada ibuku. "Baru pindah, ya?" Tatapannnya tampak sinis.

Ibuku menjawab, iya. Ibu-ibu berlalu begitu saja menuju rumah urutan nomor empat dari mobil ini. Ibuku membantu ayah menurunkan perabot, membawanya ke teras rumah baru kami. Rumah itu gelap, seolah lama tidak dihuni. Ayah bersusah payah membuka kuncinya. Satu per satu ayah coba, hingga akhirnya pintu rumah terbuka lebar. Ayah menekan dinding hingga berbunyi, klik. Isi dalam rumah kelihatan sangat jelas. Lampu berwarna putih di langit-langit rumah menyala terang.

"Ini mau simpan di mana?" Tanya sopir sembari menarik asap rokok kuat-kuat. Mengepulkan asap rokok itu setelah meletakkan tong air di ruang tengah.

"Biarkan saja di situ." Ujar ayahku. Sopir kembali ke mobil, mengambil perabot rumah yang lain.

Ibu menghamparkan tikar daun mendong pemberian paman ke ruang tengah, di samping tong air.

"Ini, beli empat bungkus di sana." Ayah memberi ibu satu lembar uang berwarna merah, menunjuk ke luar. Ibu mengikuti petunjuk ayah. Aku meletakkan tas kresek di samping tong air itu, lantas duduk di tikar daun mendong.

Aku menatap lekat-lekat seisi rumah. Tidak terlalu menyeramkan daripada rumah paman. Celutukku dalam hati. Ibu kembali ke dalam rumah sembari membawa kantong plastik besar berwarna hitam. Ayah dan sopir menyusul di belakang. Kami duduk melingkar, menyantap makan malam dengan sangat lahap.

"Terima kasih, ya. Jangan jera membantu kami." Ujar ayah sembari berjabat tangan dengan sopir. Ayah dan sopir seperti melakukan transaksi tunai, sopir memasukkan tangannya ke saku celana lalu menyalami ibuku dan mengajak aku tos dengan telapak tangan.

"Maafkan ayah tidak memberitahumu. Kita memang tiba-tiba pindah rumah. Sebelumnya ayah tidak kepikiran kita akan pindah di sini. Berkat pak Tibet, kita diberi tumpangan mobil gratis, dan rumah kontrakan bebas sewa satu bulan. Tentu ini dipertimbangkan pak Tibet dalam waktu yang sangat lama. Pak Tibet mengabari ayah pagi tadi." Ayah menjelaskan alasan kenapa tiba-tiba pindah rumah. Aku mengerti sekarang, ayah menyetujui tawaran pak Tibet agar kami pindah rumah karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Benar. Kesempatan tidak datang dua kali.

Rumah kontrakan pak Tibet lumayan besar. Dua kamar, berarti satu untukku. Tapi malam ini aku belum berani tidur sendiri. Aku masih ingin satu kamar dengan ayah dan ibu. Kami tidur dengan kasur, tikar daun mendong yang dibawa ibuku seolah tidak berfungsi lagi untuk alas tidur kami. Ternyata begini rasanya jadi orang kaya. Tidur di kasur empuk membuat mata cepat terlelap. Bahkan dengkuran ayahku pun tidak lagi terdengar. Aku terbenam sangat dalam di atas kasur dan bantal empuk.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!