Ayah keluar rumah sebelum ayam berkokok. Mataku masih merapat, sulit dibuka karena tadi malam aku tidur kurang lebih hanya dua jam. Lantas aku memejamkan mata lagi hingga semburat matahari yang masuk melalui celah papan, menyadarkanku.
Ibuku kesiangan, tidur membelakangiku, menghadap ke dinding. Kelelahan menyiram rumah yang kebakaran semalam membuat ibu tidak menyadari suara ayam berkokok dan hari sudah pagi. Aku tidak berani membangunkan ibu dengan cara yang sering dia lakukan padaku setiap kali aku telat bangun tidur; mengguncang-guncangkan tubuh, mengomel, atau memercikkan air. Ini pertama kalinya aku melihat ibu tidur sampai kesiangan. Kendati biasanya ibu yang membangunkan aku.
"Ayah di mana, paman?" Beranjak dari tempat tidur seraya mendekati paman yang sedang menghidupkan api di tungku. Paman tampaknya sangat waspada ketika api mulai menyala. Di sekitar tungku dibersihkan paman, jauh dari barang yang mudah merambakkan api.
"Tidak tahu. Sebelum paman bangun pintu rumah sudah terbuka kecil." Jawab paman.
Memang pintu rumah sudah terbuka. Ini artinya ayah ke luar tanpa sepengetahuan kami. Aku setuju dengan ibu yang tidur kesiangan. Jika tidak semburat matahari dan ayam yang berkokok--aku pasti masih tidur. Tapi ayah sepertinya tidak tidur semalam. Aku salut pada ayah. Terbiasa menoreh membuat jam tidur ayah hanya sedikit. Paling lama cuman delapan jam, tapi jarang, lebih sering hanya dua hingga empat jam. Jadi tidak heran tubuh ayahku kurus kering begitu. Sejak itu, ibu tidak bisa memaksa aku tidur siang lagi. Setiap kali ibu menyuruh aku tidur dengan alasan tubuhku yang tidak mau gemuk, aku selalu membantah, membandingkan diriku dengan tubuh dan jam tidur ayah. Ibu bilang jangan tiru ayahku, tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah terbiasa tidak tidur siang.
Suara paman yang terdengar tegas dan sedikit keras membangunkan ibuku. Suara itu tidak dibuat-buat. Tapi memang sudah menjadi watak paman. Maklum, paman terlalu sering ke hutan. Kalian tahu bagaimana sendirian di hutan? Kalau tidak menghibur diri dengan berdendang dan bersiul, kalian akan merasa kesepian. Paman pernah bilang kalau dulu dirinya nyaris tersesat di hutan. Paman mengira jalan yang dia lalui itu jalan pulang, rupanya bukan. Paman salah jalan. Semakin jauh paman melangkahkan kaki, semakin sering pula memutari jalan yang sama. Lantas paman berteriak sekuat tenaga hingga akhirnya ada orang yang membalas teriakan itu. Coba saja suara paman tidak tegas dan lantang begitu, bisa jadi puluhan kalimat berbelasungkawa dititipkan penduduk desa kepada kami.
"Ada apa?" Tanya ibu sembari mengucek-ngucek matanya.
"Ayah ke mana, bu?" Bertanya pada orang yang baru bangun dari tidurnya sama saja dengan pepatah yang mengatakan orang buta menuntun orang buta. Tidak akan ketemu jawabannya meskipun yang ditanyai itu juga memikirkan hal yang sama.
"Tidak tahu ke mana." Jawab ibuku.
Aku mencari ayah ke rumah kami yang terbakar, tapi ayah tidak kutemukan. Ada banyak bekas kaki di abu rumah yang terbakar itu. Aku melihatnya lekat-lekat sembari mengukur dengan mata yang tidak berkedip selama kurang lebih satu menit. Aku meyakini itu bekas kaki ayahku subuh tadi. Apalagi di antara kami tidak ada yang tahu ayah ke mana. Jelaslah ini jejak kaki ayah.
Sekitar tiga jam lamanya aku berjalan memutari rumah yang terbakar sembari menyelisik siapa tahu ada yang bisa kuambil.
Ibu mendongakkan kepala dari ambang pintu, memanggilku. "Aki. Kemari, nak." Panggilnya sedikit berteriak, pelan.
Aku menghampiri ibuku, aroma gulai nangka dan sambal terasi menggugah semangat. Sarapan pagi hari pertama di rumah paman telah dihidangkan. Paman membagi gulai nangka dan nasi ke mangkuk satunya lagi, menyimpannya di lemari kayu.
"Kalian tunggu di rumah, ya. Selepas ini aku mau mencari ikan maculata ke hutan." Ujar paman sembari mengunyah.
"Iya. Semoga dapat banyak. Biar cepat menikah." Jawab ibuku sembari tersenyum lebar.
Aku pun tersenyum lebar. Senyuman yang sebenarnya belum dapat kami lontarkan sepenuhnya kepada siapa pun karena separuh dari pikiran kami masih diselimuti dengan bayangan api yang membakar rumah. Tapi senyuman itu dapat kami berikan pada paman untuk menyemangatinya. Aku pun semangat. Sungguh. Ini artinya aku bisa dengan bebas meminjam sepeda onthel paman berkeliling di sekitar halaman rumah.
Paman ke hutan hanya berbekal penyerok yang dibuat dari kelambu bekas dan kantong plastik transparan. Kelambu memiliki rajut yang amat kecil, sehingga cocok untuk menyerok ikan maculata yang tidak lebih besar dari ikan seluang. Paman berjalan cepat menuju ke hutan. Dia menjauh, perlahan kepalanya tenggelam di antara dedaunan dan pohon. Aku mengeluarkan sepeda onthel dari tempat parkir setelah aman dari pandangan paman.
"Hati-hati. Nanti pamanmu marah kalau tahu sepedanya dipakai sembarangan." Ibu mengingatkan.
"Ibu mau ke mana?" Belum sempat menggayuh sepeda, aku melihat ibu menuruni tangga rumah.
"Ke bekas rumah kita." Jawabnya seraya melangkahkan kaki. Sekarang rumah yang terbakar itu berubah status menjadi bekas rumah. Ibu berjalan cepat mendahuluiku.
Aku menggayuh sepeda sekuat tenaga hingga akhirnya sepeda berjalan pelan di pinggir kolam buatan paman, menuju rumah kami yang terbakar.
"Ibu ada lihat seragam sekolahku, tidak?" Tanyaku sembari memarkirkan sepeda onthel di halaman rumah yang terbakar itu. Aku berjalan mendekati ibuku yang menggais-ngaiskan ranting kayu ke tumpukkan abu dan arang.
"Tidak ada, nak." Mendengar jawaban itu aku melemah seraya kembali bermain sepeda onthel.
Aku menggayuh sepeda itu lagi hingga keringat bercucuran di tanah. Aku menikmati setiap centi pergerakan sepeda. Setiba di ujung jalan ke arah kuburan tua, aku kembali lagi ke rumah yang terbakar. Berkeliling tiada henti meskipun sempat tumbang beberapa kali. Kakiku tergores, luka dan berdarah. Bagiku tidak masalah.
Matahari terik, menyengat kulitku yang hitam legam, saking hitamnya kulitku sampai memerah. Ibu masih mencari barang sisa kebakaran, meskipun berjam-jam lamanya tidak ada yang dia temukan. Nihil.
Tanggal di kalender rumah paman tidak ada yang berwarna merah, tapi aku masih berkutat menggayuh sepeda. Bukan berarti aku sengaja atau tidak ingat jadwal sekolah. Tapi memang aku tidak punya seragam. Semua hangus terbakar. Mungkin itu yang sedang ibuku cari dengan tekun saat ini.
Hingga sore hari, ayah belum juga pulang. Ibu cemas. Menanyaiku ke mana ayah. Pertanyaan yang dia lontarkan hanya untuk menenangkan dirinya walaupun aku tidak memberi jawaban sesuai yang dia mau. Ibu menghentak-hentakkan kakinya, menyapu debu di bajunya dengan kedua tangannya. Debu beterbangan, mendekati aku yang berdiri di depan ibuku sembari menahan sepeda onthel agar tidak tumbang. Aku berbalik badan, membelokkan sepeda onthel ke arah rumah paman. Aku mengembalikan sepeda itu ke tempat parkir sebelum paman tiba di rumah.
Burung ruak-ruak bersahut-sahutan di samping rumah paman yang dominan semak. Paman tiba di rumahnya membawa sekantong besar ikan maculata. Kantong transparan itu mengembang dengan separuh air rawa yang berwarna merah, berisi ikan maculata. Paman membawa kantong transparan itu ke dalam rumah. Mata yang penasaran membuat aku sibuk mewawancarai paman bagaimana cara mengambilnya, di mana habitat ikan ini yang paling banyak, dan cara memeliharanya biar tahan lama. Paman hanya menjawab, ambil saja satu atau dua untukku. Dengan semangat aku membuka kantong plastik itu lantas mengambil dua ikan maculata dan memindahkannya ke botol transparan sembari berterima kasih pada paman.
Di bawah sinar bulan, ayah berjalan menuju rumah paman. Ibu berteriak pelan memberitahukan kepada kami kalau ayah sudah pulang. Aku melongok dari ambang pintu. Ayah menjinjing sendalnya di tangan kiri dan kantong plastik hitam di tangan kanan, berjalan kaki dengan penuh kehati-hatian. Ayah melirik ke arah rumah yang terbakar sejenak, lalu mengabaikannya dengan berjalan cepat menuju ke rumah paman.
"Dari mana saja?" Ibu langsung menginterogasi ayah yang baru saja melabuhkan pantatnya di ambang pintu.
Ayah terdiam sejenak. Lalu menjawab pelan. "Dari rumah pak Tibet."
"Ngapain? Ada perlu apa dengan pak Tibet?" Ibu langsung menyambar.
"Tidak ada apa-apa. Tapi pak Tibet dan keluarganya memberi ini untuk kita." Ayah menyodorkan kantong plastik pada ibuku yang sontak membukanya dengan wajah berseri-seri, bahagia.
"Ini untukku?" Tanya ibu dengan intonasi suara tidak percaya. Lalu mengenakan sehelai baju dan celana pemberian istri pak Tibet.
Ayah memamerkan celana dan baju kemeja pak Tibet. Aku tersenyum bahagia, paman tidak berkedip hingga beberapa menit, terkagum-kagum melihat celana yang amat elok itu. Bersih, rapi, tanpa kerutan sedikit pun. Bajunya wangi mengalahkan parfum paman. Semua pakaian yang ayah bawa tampak masih baru dan terawat meskipun kata ayah itu semua pakaian bekas.
"Untukku mana, yah?" Sedari tadi aku mengacak-acak isi dalam kantong plastik itu, tidak menemukan pakaian yang cocok untukku. Ukurannya lebih besar dari tubuhku. Jika aku memaksa diri untuk mengenakannya, aku akan tampak menyerupai orang-orangan sawah.
"Punyamu nanti menyusul, nak. Sabar, ya. Nanti ayah carikan untukmu." Ujar ayah sembari membelai rambutku. Aku mengangguk sedih.
Ayah bilang akan mencarikan pakaian untukku? Pikiranku bergulat hebat mengulangi kalimat itu. Apakah barusan ayah menjadi pengemis di rumah pak Tibet? Meminta belas kasihan? Ah, tidak mungkin. Aku mengenal ayah sudah hampir sembilan tahun, aku tahu persis bagaimana ayah berjuang dan berkorban untuk kami.
"Sayang sekali sudah basi. Andai kamu pulang lebih awal pasti masih bisa dimakan." Celetuk paman, memeriksa lauk dan nasi yang disisakan untuk ayah pagi tadi. Baru sempat memeriksanya karena kami sehari cuman makan dua kali, pagi dan sore. Makan pagi merangkap dengan makan siang sekitar jam sembilan. Kami sudah terbiasa begitu. Meskipun kadang-kadang gemuruh di perut tidak dapat dipungkiri.
Aku pernah menahan gemuruh di perutku saat kami belajar serius dengan pak Mad. Ketika perut meliuk-liuk, aku menggeser pantatku ke kiri dan ke kanan sampai gerakan meliuk itu berhenti sejenak, spontan aku berdeham mengalihkan suara perut yang menciut. Tentu yang mendengar dehamanku akan berpaling menatapku, tidak masalah, asal tidak membuat aku malu. Celotehku dalam hati.
Mengingat nama pak Mad, aku ketakutan tidak kepalang. Aku sudah sejauh ini memikirkan raut muka pak Mad yang sangar itu. Aku sudah alpa hari ini. Dan besok, aku tidak tahu bagaimana. Kemungkinan besar aku akan alpa lagi. Selama belum ada seragam sekolah, aku tidak berani menginjakkan kaki di kelas dua.
"Aku sudah makan di rumah pak Tibet, Cil." Ayah mengemaskan pakaian pemberian pak Tibet.
Aku tidak terlalu yakin kalau ayah sudah makan karena sedari tadi aku mendengar suara demo di perutnya. Ayah berkali-kali menekuk keningnya, seakan menahan sakit. Lantas menyandarkan punggungnya ke dinding papan.
Ibu beranjak dari tempat duduk setelah merapikan pakaiannya. Memasak mi untuk makan malam kami. Mi, makanan kesukaanku. Aku tidak pernah lupa membeli mi setiap kali ikut ayah menjual karet ke pak Tibet. Saking hobinya makan mi, sampai stok empat bungkus sanggup menghabiskannya dalam sehari. Kali ini stok yang tersisa hanya dua bungkus, itu pun milik paman yang dia simpan untuk persediaan dua hari ke depan. Paman yang menyuruh ibuku memasak mi itu.
Ibu menunduk di depan tungku yang apinya sengaja diperkecil, mengurangi jumlah kayu bakar yang awalnya lima potong menjadi tiga potong. Tidak perlu waktu lama, air mendidih, mengingatkan aku akan panasnya bubur yang menyiramku beberapa tahun lalu--aku menjauh. Ibu memasukkan mi ke dalam air mendidih, lalu mengaduknya, pelan.
"Apa yang kamu bilang ke pak Tibet?" Tanya paman sembari menyeruput kopi buatannya. Aku menatap lamat kopi itu. Warnanya tidak terlalu hitam. Tapi aromanya cukuplah untuk dua orang dewasa yang sedang bingung dan pusing memikirkan hari esok.
"Minta maaf, Cil. Pak Tibet mengangguk, memaklumi kalau itu hanya kecelakaan bukan kesengajaan." Jawab ayah sembari meniup kopi, menyeropotnya ketika dirasa sudah dingin. "Oh, iya. Teman-temanmu tadi mencarimu, nak." Ayah menatapku seolah bertanya, bagaimana?
"Ayah jawab apa?" Aku mendekat, penasaran.
Ayah menyeropot kopinya lagi. "Ayah bilang kamu belajar di rumah." Terkekeh pelan.
Untunglah ayah tidak tahu kalau aku bermain sepeda onthel milik paman seharian ini. Aman. Aku mengangguk setuju. Ibuku berbalik badan ke arah kami yang duduk melingkar. Tapi cepat-cepat aku menoleh ke ibuku seolah memaksanya untuk berbohong. Ibu tersenyum santai.
"Awas!" Ayah memperingatkan dengan berteriak keras, panik.
Ibu kurang berhati-hati menyentuh ujung kuali, menumpahkan mi. "Aduh. Bagaimana ini." Menepuk jidatnya.
"Sudah. Buang saja." Paman beranjak dari tempat duduknya. "Itu sudah kotor." Larang paman pada ibuku yang buru-buru memasukkan mi ke dalam panci.
"Makan apa kita?" Tanya ibu, kebingungan.
Pertanyaan apa yang kita makan bagiku tidak tepat ketika perut menangih-nagih makanan. Paman mencacah nasi di kaleng yang luarnya hitam bagai arang.
"Kita buat nasi goreng saja." Ide paman sangat cemerlang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments