Sayur Pak Tibet

Kasur empuk bagai mangnet beda kutub yang menarik tubuhku hingga kesiangan. Kalau saja di luar sana tidak berisik tawar-menawar antara pembeli dan penjual, mungkin aku belum bangun hingga tengah hari. Ibuku tumben tidak mengomel, biasanya bangun tidur kesiangan biarpun jam di dinding menunjuk angka tujuh; ibu tidak henti-hentinya mengomel.

Hari pertama pindah rumah membuat aku canggung. Di rumah lama kami, siang-siang begini kalau tidak menoreh, ya, bermain. Tapi satu jam berbaring di kasur sembari membuka mata, aku semakin malas-malasan. Malah ingin menutup mata lagi, melanjutkan tidur. Bunyi piring berdenting di dapur, aku tidak perlu memastikannya, jelas itu ibuku. Tapi di mana ayah? Tanyaku dalam hati.

Libur kenaikan kelas. Aku ingat sebentar lagi kelas tiga. Di kelas tiga nanti akan ada orang baru, kelas baru, guru baru, semuanya serba baru, aku belum siap. Tapi ibu bilang hari-hariku akan menyenangkan kalau aku menikmatinya. Kalau aku tidak menghitung jam dan tanggal setiap kali aku merasa bosan, justru menghitung jam dan tanggal akan membuat aku semakin bosan. Ibu benar. Seharian di rumah sudah belasan kali aku memandangi kalender dan jam dinding di kamar. Satu jam terasa setahun. Padahal dulu di rumah lama kami, satu bahkan lima jam itu terasa sangat singkat. Bahkan sampai detik ini, aku merasa masih anak kelas satu. Bukan menolak tua, tapi rasanya baru kemarin aku sekolah. Sebentar lagi usiaku sembilan tahun.

"Ayah di mana, bu?" Beginilah pertanyaan anak kepada orang tua yang ada di rumah. Jika ayah yang di rumah, maka ibu yang kutanyakan. Sebaliknya, jika ibu yang di rumah, maka ayah yang kutanyakan. Meskipun jawabannya, tidak tahu, pertanyaan itu seolah ritual pagi atau ketika baru sampai rumah yang wajib ditanyakan.

Tapi kali ini ibu menjawab, "Ayah di pasar." Sejak kapan bapak-bapak hobi di pasar? Sifat patriarkatku melonjak, keheranan. "Jualan sayur." Ibu melanjutkan. Aku mengangguk paham.

Ibu bilang, ayah jualan sayur milik pak Tibet di pasar. Ayah bangun lebih awal, subuh sekitar jam empat, bahkan nanti kalau musim libur hari raya bisa jadi ayah jualan jam tiga bahkan jam satu. Di pasar jam sebegitu jamnya orang berbelanja.

Paman benar. Pendidikan tidak menentukan keberhasilan seseorang. Pak Tibet yang tidak tamat Sekolah Dasar bisa mengulikan ayahku yang tamat. Bahkan saat ayah bangun subuh menjual sayur di pasar, pak Tibet mungkin masih berdengkur di tempat tidur yang tidak kalah empuk dari kasur kami.

Ingat kata paman, aku rasanya tidak ingin melanjutkan sekolah. Ingin jadi pak Tibet. Belajar usaha, mengelola kebun, mencari pengalaman. Apalagi pindah rumah begini. Beradaptasi dengan orang baru dan dunia baru, tentu akan membuat aku kesulitan. Dulu, aku bisa percaya diri menulis dengan buku yang sampulnya berwarna merah muda. Nanti, aku akan sangat malu jika berhadapan dengan anak orang kaya yang sampul bukunya terkenal dan mahal.

"Di mana lapak ayah, bu?" Ibu sibuk mengemaskan rumah yang bagai kapal karam. Bagaimana tidak? Rumah ini berantakan. Beberapa piring dan cawan berserakkan di dapur.

"Tidak jauh dari rumah ini. Lapak ayah urutan lapak ke lima dari samping rumah kita di sebelah kanan" Jawab ibu sembari mengelap meja.

Aku membuka pintu rumah setelah mencuci muka dan gosok gigi, mengenakan baju sobek sedikit di leher. Aku ingat pak Tibet tampil sederhana, mengenakan sendal jepit, rambut acak-acakkan, tapi duitnya banyak. Aku ingin meniru gaya pak Tibet. Apa adanya.

Aku menyusul ayah di pasar. Menghitung dalam hati setiap lapak yang kulewati. Hingga hitungan keempat, di depanku ayah sedang duduk menunggu pembeli. Aku datang mendekat, membuat ayah terkejut seolah bangun dari tidurnya. Ayah tampaknya menahan kantuk. Sayur di lapak ayah sisa sedikit, pasar buka sampai jam dua belas, ramai kembali sekitar jam tiga sore, artinya masih ada waktu beberapa jam untuk menjajakan sayur di lapak ayah siang ini.

"Ngapain di sini? Bagus bantu ibumu di rumah. Ayah sebentar lagi pulang." Ujar ayah melihat aku mendekat padanya.

"Aku mau belajar jualan, yah." Tersenyum lebar dan penuh keyakinan.

"Tidak mudah, nak. Kamu lihat ayah dari subuh hingga siang begini masih ada yang belum laku. Itu artinya perlu kesabaran, belum lagi menghadapi pembeli yang cerewet. Lecet dan layu sedikit saja sayur yang kita jual, mereka enggan membelinya." Jelas ayah, membuat aku berpikir keras.

"Ini berapa, bang? Ada yang ikatnya lebih besar sedikit tidak?" Tanya calon pembeli di lapak ayah. Ibu-ibu berbadan besar bersama satu orang anak perempuan di sampingnya, memilih sayur. Memutar-mutar sayur, aku yakin dalam hati ibu-ibu itu sedang memberi penilaian. Tidak lama kemudian, ibu-ibu berbadan besar itu meletakkan sayur tersebut ke tempat semula sembari mencibir, tidak puas.

"Ini tiga ratus rupiah satu ikat, kalau dua ikat lima ratus rupiah. Tidak ada yang lebih besar, kak. Semuanya kita kemas dengan ikatan yang sama." Jawab ayah, mulai promosi.

Ibu-ibu itu berlalu tanpa suara, tentunya tidak minat membeli sayur di lapak ayah. Ibu-ibu itu menuju lapak lain di ujung sana, mengangkat sayur yang sama lantas membayarnya. Ayah kecewa melihatnya. Wajah ayah tampak bersedih.

"Belum lagi banyak saingan. Kamu harus sabar kalau ingin berjualan." Lanjut ayah mengimbuhi penjelasannya tadi. Aku mengangguk lentur.

Modal sabar, aku yakin bisa. Seruku dalam hati. Aku berdiri di samping ayah. Berteriak sekuat tenaga mempromosikan sayur yang belum laku sekitar tiga ikat sayur lagi. Aku bilang sayur yang ayah jual diambil dari perkebunan sendiri yang alami, dan tentunya sehat. Tidak lama kemudian seorang ibu yang sedang hamil muda datang menghampiri, melihat-lihat sayur di lapak ayah.

"Aku beli yang ini, ya. Berapa?" Tanya ibu-ibu yang hamil muda itu. Ayah langsung menyambar, menyebut harga yang sama dengan ibu-ibu berbadan besar tadi. Akhirnya, sayur di lapak ayah ludes. Ibu-ibu hamil muda itu memborong sayur ayah.

"Masih ada sayurnya, bang?" Ibu-ibu berbadan besar tadi bertanya kembali, anak perempuan masih mengekor di belakangnya.

Ayah mengemaskan lapaknya, "Sudah habis, kak." Jawab ayah, lembut.

"Aduh, di lapak lain juga habis semua." Ujarnya melemah.

Ibu-ibu berbadan besar itu tidak kebagian sayur. Pantas saja dia kembali ke lapak ayahku, ternyata di lapak lain dia tidak menemukan sayur. Hanya satu ikat sayur yang dapat dia bawa pulang, ini artinya pasar membutuhkan pemasok sayur yang lebih banyak. Pak Tibet pasti senang, belum lagi hasil ayah menjual sayur hari ini lumayan banyak.

"Beginilah yang ayah lakukan setiap harinya semenjak rumah kita kebakaran." Pantas saja ayah jarang di rumah, berangkat subuh, pulang malam. Aku paham sekarang. Kali ini aku tidak akan memaksa ayah mengambil raporku lagi, biarpun paksaan itu tetap tidak dituruti, tapi raut wajah ayah yang tampak merasa bersalah--aku merasa berdosa. Tapi ada kemungkinan aku berhenti sekolah. Aku sudah menguasai cara berjualan walaupun hanya sedikit.

Hari pertama aku ikut ayah di pasar sungguh menyenangkan. Apalagi di saat menghitung hasil jualan bersama pak Tibet.

Sore itu pak Tibet datang berkunjung di rumah, membawa sayur yang baru dipanen dengan mobilnya. Bak mobil nyaris penuh, bermacam jenis sayur pak Tibet bawa; pakis, kangkung, daun ubi, bayam, sawi, bahkan tomat, cabai dan satu tandan pisang kepok pun ada.

"Dua puluh persen untukmu. Kalau bisa sore ini jual sebagian dulu, subuh nanti jual semuanya. Jangan lupa disirami air biar tetap segar." Pak Tibet membagi hasil jualan. Ayah mendapat dua puluh persen dari total hasil jualan yang sebanyak dua ratus ribu rupiah itu.

Ayah senang tidak kepalang. Setelah pak Tibet pulang, ayah membagi persenan dari hasil jualan sayur kepada ibuku. Dua puluh ribu rupiah dia berikan pada ibu, dua puluh ribu rupiahnya lagi untuk membeli beras dan kebutuhan dapur.

"Ini untuk apa?" Tanya ibu, keheranan.

"Untuk sekolahnya. Minggu depan pak Tibet membawa surat keterangan pindah sekolah." Jawab ayah.

"Aku tidak mau sekolah, yah. Aku mau jualan saja. Sekolah hanya membuang-buang uang, mending uangnya untuk kita bayar sewa rumah atau buat rumah."

"Nak, kamu yakin jualan di pasar bisa bertahan puluhan tahun? Bagaimana jika pesaing semakin banyak? Atau pak Tibet gagal panen? Boleh kita pertimbangkan juga kalau nanti pasar ini menjadi pasar modern, keahlian dan pengalaman yang kita punya tambah lagi tanpa ijazah, kita akan tersingkirkan." Ibu memaparkan kemungkinan yang bisa saja terjadi di pasar. Ayah mengangguk-angguk setuju. Aku melirik ayah seolah minta pembelaan.

"Tapi kata ayah jualan perlu kesabaran, bu?" Bantahku. Ayah mebelalakkan matanya.

"Kesabaran tidak cukup tanpa modal." Ibu mengimbuhi pemaparannya barusan.

"Kamu bisa membantu ayah sepulang sekolah, nak." Ayah menimpali.

Ayah beranjak dari tempat duduknya, lantas menarik karung goni dari ambang pintu ke dalam rumah. Menyusun sayur di rak kayu yang sengaja dibuat memanjang, menyiram sayur itu dengan air. Ayah memasukkan beberapa ikat sayur ke dalam kantong plastik, kemudian bersiap menjualnya lagi di pasar.

"Aku ikut, yah." Nyaris beranjak dari tempat duduk. Lantai semen yang dialasi karpet melekat di kakiku seolah menahan aku biar tidak ikut ke pasar.

Benar saja. Ayah melarangku. "Sudah sore. Ayah jualan sampai malam. Kamu di rumah saja bantu ibumu buat pisang goreng."

Pantas saja tadi pak Tibet membawa pisang kepok. Ibu mengupas pisang itu di dapur. Mengadon tepung, menambahinya dengan bumbu racikan sendiri. Menghidupkan api di kompor gas. Awalnya ibuku takut memutar tonjokan di kompor gas yang bentuknya seperti pemutar volume radio ayah tahun lalu. Ibu memberanikan dirinya hingga akhirnya api kompor menyala. Begitupula ketika menghidupkan lampu listrik, ibu saking takutnya sampai terperanjat kaget melihat seisi ruangan yang seketika terang bagai hari sudah siang.

Botol pelita yang kami bawa dari rumah lama kini hanya bersemayam di bawah lemari kompor gas, tidak digunakan lagi. Kecuali lampu padam, pelita baru difungsikan.

Aku membantu ibu di dapur. Pisang goreng dicelupkan ke minyak panas, dibolak-balik hingga matang kemudian ditiriskan di piring. Ibu mencelupkan pisang yang satunya lagi ke minyak, berbalik badan, keheranan. Pisang yang sudah matang, lenyap.

"Ini pasti ulah Aki." Ujarnya sembari mencariku di ruang tengah.

Aku tersipu malu ketahuan ibuku, huh. Desahnya. Lantas kembali lagi ke dapur. Melihat pisang gorengnya sudah hangus. Aku tertawa terbahak-bahak.

Jam delapan malam; aku, ayah dan ibu berkumpul di ruang tengah. Seharian jual sayur di pasar membuat ayah kelelahan. Hidangan pisang goreng ibu seakan membayar rasa lelah itu.

"Wah, pisang goreng ini gurih. Rasanya juga pas. Pasti laku kalau dijual." Bagai juri papan atas, ayah memberi penilaian puas untuk pisang goreng buatan pertama ibu.

Memang kalau masalah rasa tidak dapat kusangkal lagi. Satu jam aku sanggup menghabiskan tiga pisang goreng sekaligus hingga kekenyangan. Ibu tersenyum bahagia.

"Besok subuh aku akan membuatnya lagi. Ini khusus untuk kita, siapa tahu ada yang kurang bisa langsung mengomentarinya. Aku akan membuat yang lebih enak. Menurutmu berapa harganya?"

"Kalau menurutku tiga ratus rupiah sesuai dengan rasa dan modal." Jawab ayah.

"Ini lima ratus rupiah, yah. Rasanya lebih gurih dan enak dibandingkan goreng pisang yang lain." Aku memberi komentar positif. Walaupun begitu, ayah dan ibu merasa terlalu berlebihan.

"Kalau harga sebegitu bisa-bisa tidak laku, nak. Seribu itu setara dengan dua mangkuk bubur. Pembeli akan memilih dua mangkuk bubur ketimbang satu goreng pisang. Pembeli itu ibarat kita sebagai penjual. Kalau kita tidak ingin dagangan kita rugi, maka pembeli pun tidak ingin yang dibelinya tidak sesuai standar harga persaingan pasar." Lugas ayah. Standar harga persaingan pasar? Aku bertanya-tanya dalam hati.

"Pasar memiliki standarnya, nak. Kalau lapak di sebelah kiri jual sayur lima ratus rupiah per ikat, sedangkan lapak di sebelah kanan seribu rupiah per ikat. Mana yang akan kamu beli?" Tanya ayah.

"Lapak sebelah kiri, yah. Lebih murah dari lapak sebelah kanan." Jawabku cepat.

"Benar, itulah standar harga persaingan pasar. Kita boleh menjual dengan harga yang sama, misal satu gorengan ini tiga ratus rupiah, di sebelah sana juga tiga ratus rupiah; tapi ketika orang mencoba gorengan ibumu, mereka akan berpikir berkali-kali gorengan mana yang pantas dibeli." Ayah menyeropot kopinya sembari mengunyah goreng pisang. "Kalau dari segi harga kita sama, tapi segi kualitas, rasa dan pelayanan tentu akan dipertimbangkan pembeli." Lanjut ayah.

Ibu mengangguk setuju. "Bagaimana kalau sayur layu, yah?" Tanyaku mengingat pembeli yang tidak kebagian sayur tadi siang.

"Nah, kalau itu tergantung stok sayur di pasar. Kalau hanya kita yang jual sayur, maka orang tetap akan membeli sayur kita." Ujar ayah, santai.

"Kalau banyak yang jual sayur, yah?"

"Jangan heran kalau sayur yang kita jual banyak yang akan kita bawa pulang. Makanya perlu kualitas dan pelayanan. Tapi ingat, kalau kamu ingin usaha, bisnis, dan bekerja dengan orang, kamu harus bisa memimpin dirimu sendiri terlebih dahulu." Goreng pisang masih tersisa satu di piring. Kalau saja aku tidak kekenyangan, tentulah aku yang merebutnya dari ayah. "Kamu harus bisa mengontrol emosimu, meninjau potensimu, mengenal jati diri, dan bisa membedakan apa yang kamu butuhkan atau inginkan. Banyak-banyaklah bergaul dengan orang sukses, pembisnis, pengusaha, dan pekerja tulen." Tiga jam berlalu, ayah panjang lebar bercengkerama denganku hingga goreng pisang ludes tidak bersisa.

"Sudahlah, jangan ajari dia usaha melulu, bagus pikirkan bagaimana caranya biar dia bisa sekolah. Tidur lagi. Sudah larut malam." Ibu membuayarkan rasa penasaranku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!