Aku seumpama semut api ditinggalkan koloninya, mencari tahu ke mana Aga sekarang. Semisalnya paman tidak memberitahuku kalau Aga berhenti sekolah, tentunya aku bisa tidur dengan tenang. Tapi malam ini, setelah mendengar kabar dari paman sore tadi, aku sudah belasan kali membalikkan badanku, susah tidur. Ibu risih, ayah yang berdengkur kelelahan ditambah lagi dengan aku yang tidak tenang, menjadi bumbu pedas dalam masakan yang membuat ibu menggeser tubuhnya, menjauh.
Aga teman baikku, sama seperti Randi dan Budi, meskipun kadang kala mereka tidak akur. Aku belum banyak tahu apa yang dimaksud Aga tentang Nina dan alasan tidak ada yang berhasil mendekatinya. Memang penyesalan bersifat misterius, orang sering kali berpikir keputusan dan pilihannya benar tapi malah sebaliknya. Aku menyesal tidak merespon Aga ketika dia menceritakan Nina padaku saat kelas satu dulu. Bukan berarti aku mengagumi Nina. Aku hanya penasaran!
Sekitar jam lima subuh, paman dan ayah sudah bercengkerama santai di ruang tengah, seakan sepakat--ayah mengangguk-angguk mendengar bisikan paman.
"Selamat, ya." Ayah menyalami paman.
Mereka bersalaman sangat lama sambil berpelukan, ayah menepuk pundak paman berkali-kali dengan mata yang berbinar-binar, bahagia dan penuh harap.
"Iya, terima kasih kawan." Jawab paman lirih.
Ayah dan paman memang berteman sudah sejak lama, malah sebelum aku lahir. Paman-lah yang menjadi teman, keluarga, dan sekaligus tetangga kami selama di sini. Siapa sangka, paman yang sudah berusia empat puluh tahun ke atas itu akan memulai hidup baru bersama wanita pilihannya. Kami turut senang mendengar kabar paman akan menikah lagi. Tapi aku khawatir jika sekali-kali di rumah sendirian tanpa ada paman yang menemani.
Paman bilang dia akan pindah ke rumah istri barunya kalau sudah sah menikah.
"Aku minta maaf. Bukan bermaksud akan meninggalkan kalian. Aku hanya tidak ingin istriku mengeluh kalau nanti rumah di sini menyusahkannya." Ujar paman menilai rumahnya yang memang tidak layak bagi pasangan suami istri yang baru. Sekaligus paman menjelaskan alasan kenapa dia ditinggalkan anaknya dengan istri pertamanya dulu. Paman tidak mau itu terulang kembali. Bagi paman, sedikit wanita yang bisa menerima dia apa adanya. Setelah wanita tahu beberapa bulan bahkan beberapa tahun tentang kondisi fisik, ekonomi, dan mental kita sebagai pria--wanita sering kali akan bertindak gegabah. Paman mendeklarasikan kekecewaannya itu dengan intonasi suara merendah. Kekecewaan yang sempat membuat paman menutup diri dari perubahan, pergaulan, dan percintaan.
"Iya, Cil. Kami pun memaklumi. Asal kamu bahagia, itu keputusan dan pilihan yang pantas kamu perjuangkan." Jawab ayah sembari menyeropot kopi. Paman juga menyeropot kopinya. Ibu mulai buka suara.
"Jadi, kapan acara pernikahannya, Cil?" Tanya ibu, ikut nimbrung.
Pertanyaan ibu membuat paman tidak bergeming. Mulut paman komat-kamit tapi tanpa suara. Raut mukanya penuh pertimbangan. Mata ibu yang semakin penasaran karena beberapa detik tanpa jawaban, mengulangi pertanyaannya. Paman terbata-bata menjawab, belum tahu.
Setelah segelas kopi paman dan ayah sisa ampas hitam, barulah mereka berdua berangkat ke hutan mencari ikan maculata.
Aku tiba di sekolah nyaris terlambat. Tapi pagi ini belum ada guru yang mengajar. Aku, Budi dan Randi berbincang-bincang di meja depan. Randi yang terkejut tidak kepalang membuat yang lain ikut sibuk mewawancaraiku. Mereka melontarkan pertanyaan yang sama berkali-kali, kenapa?
"Kamu tidak berbohong, kan, Ki?" Tanya Budi. Belasan pasang mata mengerumuniku bagai penjahat kelas kakap yang tertangkap basah melakukan kesalahan yang fatal.
"Paman bilang begitu, Bud." Serentak mereka berteriak pelan, huuuu. Aku tersenyum lebar. Satu per satu dari mereka memisahkan diri, tidak puas.
Memang berita yang kusampaikan pada Randi dan Budi yang telah menyebar hingga ke seluruh sudut kelas dua; belum tentu benar. Aku menyampaikan apa yang paman beritahukan padaku kemarin.
"Setahuku Aga memang tidak masuk kelas, kan?" Ujarku membuat mereka ikut berpikir alasannya, kenapa?
Memang tidak heran jika satu bahkan dua di antara kami berhenti sekolah karena alasan tertentu. Bahkan di kelas tiga, empat, lima dan enam pun demikian, kecuali kelas satu. Sangat jarang kami mendengar murid kelas satu yang berhenti sekolah. Atau mungkin karena kelas satu baru masuk sekolah? Bisa jadi ini alasan Aga yang isunya berhenti karena sudah bosan sekolah--mengulang dua kali di kelas satu.
"Aku rasa pak Mad sayang Aga makanya sengaja membiarkan Aga mengulang kelas. Kan, pak Mad wali kelas satu." Ujar Randi membuat lelucon. Kami tertawa pelan.
"Eh. Aku baru ingat." Budi memantulkan telunjuk kanannya di dahi. "Bagaimana pamanmu tahu kalau Aga berhenti sekolah?"
Randi mendengar pertanyaan Budi seakan ikut menanyakan hal yang sama, menatapku penasaran. Heran.
"Menurutmu masuk akal tidak kalau pamanmu bisa tahu tanpa orang lain?" Budi mengimbuhi pertanyaannya.
Aku terdiam. Ikut berpikir keras. Ini pertanyaan yang belum aku ketahui jawabannya sejak dari kemarin.
"Aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin yang paman bilang itu benar. Buktinya hari ini Aga tidak masuk sekolah." Jawabku membuat keduanya mengangguk pelan sembari berpikir.
"Benar juga, ya." Ujar Randi.
Lonceng dipukul pak Mad sangat cepat, berkali-kali. Bagai dikejar angsa pak Tibet, murid kelas enam, lima, empat dan tiga di ujung kiri kelas kami berhamburan keluar kelas.
"Kumpul, kumpul. Cepat." Teriak mereka seolah membangunkan kami yang masih berpikir keras.
Aku, Randi, dan Budi keluar kelas bersamaan. Kami bertiga berdiri di barisan pertama di dalam kerumunan halaman sekolah.
"Anak-anak. Hari ini kami para guru akan rapat." Ujar pak Mad setelah kami semua berkumpul di halaman sekolah. "Kalian boleh pulang." Serentak berteriak, hore, di belakangku. Seketika teriakan itu hening ketika mendengar dehaman pak Mad yang tidak setuju mereka berteriak.
Aku paling tidak suka drama yang kualami ketika berangkat dan pulang sekolah. Alasannya tetap sama dari bulan bahkan tahun sebelumnya. Benar. Angsa pak Tibet.
Aku masih saja diintai angsa itu. Dari depan sana angsa pak Tibet sudah mengepak-ngepakkan sayapnya lebar-lebar--padahal tidak bisa terbang. Di toko pak Tibet penuh pengunjung. Ada yang pernah kulihat wajahnya tapi tidak kenal namanya, bahkan ada yang sama sekali asing di mataku. Mata mereka mengikuti langkah kakiku yang semakin kupercepat, hendak menerobos angsa pak Tibet yang menghadang di depanku. Semakin mendekat hingga akhirnya riuh tawa di belakangku terlepas di udara melihat aku yang lari zig-zag dikejar angsa. Sial. Celutukku dalam hati. Aku jadi lelucon bagi pengunjung toko pak Tibet.
Tidak terasa hari sudah malam. Bulan purnama terang benderang. Kami bersiap meninggalkan rumah. Sore tadi ibuku disibukkan memilih pakaian yang cocok untuk kami. Dalam hati aku bergumam, asyik, jalan-jalan. Sekarang, ayah dan ibu sibuk mencari obor yang tepat.
"Pakai obor ini saja." Ibu menawari ayah yang sedang membanding-bandingkan obor mana yang tahan lama dan terang.
"Itu ada minyaknya, tidak?"
"Oh, iya. Minyaknya habis." Ibu terkekeh pelan.
Rumah paman gelap. Paman tidak di rumahnya sedari sore tadi. Bahkan sepeda onthel paman yang biasanya diparkir di samping rumahnya lenyap entah ke mana. Tidak mungkin diambil pencuri. Mana ada pencuri yang bisa membobol gembok sepeda onthel itu.
Semenjak aku bisa menggayuh sepeda, paman semakin protektif. Buluh-buluh sepeda itu paman gembok di tiang rumahnya.
Api obor ayahku membara, menari-nari ditiup angin sepoi-sepoi. Kami berjalan kaki hingga melewati rumah pak Tibet. Suara angsa di kandang pak Tibet bersahut-sahutan. Mungkin mencium keringatku yang bercucuran. Gumamku dalam hati.
Hebat, angsa itu bisa tahu kalau musuh bebuyutannya sedang lewat di depan rumah tuannya. Aku pikir kami akan ke rumah pak Tibet, nonton televisi atau bayar utang. Di rumah pak Tibet sangat ramai. Televisi selebar pintu menyala terang. Di belakang rumah pak Tibet bergemuruh suara generator listrik. Lampu rumah pak Tibet sesekali berkedip. Huuu. Teriakan pengunjung menyoraki lampu yang padam sejenak. Kemudian menyala lagi. Lampu pijar itu lebih terang dari api obor ayahku. Puluhan pasang mata menoleh ke arah kami yang berlalu di depan rumah pak Tibet. Mata mereka melotot seakan menagih utang. Aku tidak tahu persis berapa utang orang tuaku di toko pak Tibet. Tapi yang jelas sisa uang menjual karet tidaklah lebih banyak daripada yang seharusnya.
Setelah kira-kira setengah jam jalan kaki dari rumah pak Tibet, akhirnya kami tiba di rumah panggung yang tidak kalah ramai. Rumah panggung beratap genting, dinding dan lantai papan kayu belian, luas. Lampu petromax menyala terang dari depan rumah sampai ke dalam. Belasan sepeda onthel diparkir rapi. Mulai dari balita sampai lansia berkumpul, bernostalgia, bersenda gurau, tertawa. Anak kecil sepantarku kejar-kejaran di sekitar rumah.
"Ayo, silakan masuk. Jangan sungkan-sungkan." Sambut pak Mad.
"Iya, pak. Maaf kami terlambat." Ayah menyalami pak Mad. Lalu masuk ke dalam rumah.
Astaga. Batinku, kaget. Pak Mad menyalamiku. "Selamat malam pak guru." Sapaku sembari tersenyum was-was.
"Selamat malam. Silahkan masuk."
Senyum pak Mad sangat lebar. Pikirku cara mengajar pak Mad di sekolah akan berkesinambungan di sini, tapi ternyata dugaanku tidak benar. Pak Mad bagai bunglon yang cepat merubah warna, beradaptasi. Bahkan sangat ramah, menawariku makanan dan minuman. Aku duduk di dekat ibu. Sementara ayah di dekat paman. Lagi-lagi aku kaget sangat hebat. Paman di dekat ayah menegurku dengan melambaikan tangannya. Aku menggeleng, malu.
"Aki." Seseorang memanggil namaku. Suara yang sama kudengar saat acara layar tancap tahun lalu. Aku menoleh ke samping.
Tepat di ambang pintu depan. Tidak salah lagi kalau itu Aga.
"Sini." Ajaknya melambaikan tangan.
Aku izin pada ibuku. Aku beranjak dari tempat duduk setelah ibu mengangguk setuju. Aku membungkuk sangat dalam dengan tangan kanan menjulur ke bawah sembari bilang, permisi, berjalan di depan orang tua yang sedang duduk bersila.
"Apa kabar?" Aga menyalamiku. Kami berdua saling rangkul. Mata Aga berbinar-binar.
"Kabar baik. Kamu bagaimana? Kita sudah lama tidak bertemu, ke mana saja selama ini?" Aku membanjiri Aga dengan pertanyaan yang telah kusiapkan selama ini jika bertemu dengannya.
"Kabar baik, Ki. Aku sudah berhenti sekolah." Jawabnya lirih.
"Kenapa berhenti sekolah?" Aku bertanya lagi. Pertanyaan ini akan menghilangkan rasa bersalahku.
"Anu, Ki. Aku malu." Ujarnya terbata-bata.
"Kenapa harus malu, Ga? Bukannya kita akan tetap menjadi sahabat selama kamu di sekolah yang sama denganku?"
"Iya, Ki. Tapi kamu lihat sendiri rumahku di sana." Aga menunjuk rumahnya yang tidak berjauhan dari rumah, siapa? Tanyaku pada Aga. Aku menunjuk rumah di belakangku.
"Rumah bu Neli, adiknya pak Mad." Jawab Aga.
Pantas saja tadi pak Mad menyambut kami. Seharusnya Aga yang tetanggaan dengan pak Mad bisa melobinya agar naik kelas. Tapi Aga bilang pak Mad sangat konsisten kalau masalah nilai.
"Aku membantu orang tuaku, Ki. Lumayan untuk menutupi kekurangan di dapur." Aku menatap mata Aga sembari berkata dalam hati, semoga keputusanmu tepat, Ga.
"Kamu tahu tidak?" Aku membelalakkan mata, "Pak Mad akan jadi kerabatmu." Lanjutnya.
Astaga. Aku kaget kesekian kalinya. Rupanya paman dalang semua ini. Pantas saja paman lebih dulu tahu kalau Aga berhenti sekolah. Pantas saja Bu Neli minggu kemarin mengajar kami hanya sebentar. Pantas saja pak Mad tahu kalau bu Neli dulu pernah merajuk. Dan sekarang, pantas pula pak Mad tersenyum manis padaku.
"Masalah pernikahan sebenarnya tentang perasaan. Rasa sayang. Cinta. Bahagia. Suka. Dan duka. Kita serahkan saja kepada mereka berdua." Ujar ayahku yang ternyata menjadi penghulu paman.
Hening. Berganti-gantian menyeruput kopi. Ibuku mendengarkan serius. Penghulu dari pihak perempuan mengangguk. Bu Neli di hadapan paman yang berjarak tiga meter tertunduk dalam. Paman tampak berpikir keras sesekali melirik ke arah pak Mad yang mengelap kacamatanya.
Lampu petromak mengundang laron yang berterbangan di atas kepala para tamu. Ayahku menyeruput kopinya dan meneguknya pelan.
Aku dan Aga masih berdiri di depan rumah.
Aga menyikutku, "Ki, Aki. Lihat, tuh." Senyum Aga yang tadinya tawar seketika manis, menunjuk ke jalan utama.
"Ada apa, Ga?" Tanyaku. Aga menunjuk dengan sembunyi-sembunyi.
"Ada Nina, Ki. Itu." Ujarnya berbisik.
Nina masuk ke rumah pak Mad tanpa menoleh, aku dan Aga bagai angin yang bisa dirasa tapi tidak tampak. Nina sungguh tidak mengacuhkan kami berdua. Mataku mengikuti langkah kaki Nina yang bersalam-salaman dengan tamu di dekat pintu, lantas duduk di samping ibuku.
"Cieee, Nina duduk dekat ibumu, Ki." Aga mengolok.
"Enggaklah, Ga. Kebetulan saja."
"Jangan salah, Ki. Jodoh tidak ke mana." Ujar Aga masih mengolokku. Dia terkekeh pelan.
"Aku belum sampai kepikiran ke situ, Ga." Jawabku menghentikan tawa Aga.
Bunyi tepuk tangan di ruang tengah membahana. Dua belah pihak sepakat, bersalam-salaman. Paman tersenyum lega. Bu Neli menatap paman bahagia.
"Selamat, ya. Semoga lancar." Ibuku menyalami bu Neli, diikuti Nina di samping ibuku.
"Oh iya, Ga. Aku hampir lupa. Sebenarnya apa yang salah dengan Nina sampai tidak ada yang berhasil mendekatinya?"
"Katamu belum kepikiran." Aga terkekeh pelan. Aga terdiam seketika melihat Nina melirik ke arah kami. Lesung pipit Nina sangat menawan ketika melemparkan senyumnya ke arah kami berdua.
"Sabar, Ki. Nanti kamu tahu sendiri alasannya, kenapa." Aga mencari sendalnya yang tertukar. "Aku pamit pulang dulu ya, Ki." Ujarnya setelah menemukan sendalnya.
Nina masuk ke dalam rumah bu Neli tanpa ragu. Aku masuk ke ruang tengah mendekati ibuku. Dari jauh aku melirik Nina yang sibuk membantu ibu-ibu di dapur. Ayah dan paman berbincang sembari mengunyah kue, dan minum kopi.
"Ini mau?" Tanya ibuku, menggeser piring berisi kue cucur.
Setengah jam kemudian, kami pamit pulang, "Iya, nanti aku menyusul." Ujar paman menunda ajakan ayah untuk pulang sama-sama. Aku mengintip Nina dari balik tubuh orang tua yang berdiri salam-salaman. Tapi tak kunjung melihatnya. Bayangan Nina pun tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments