Aku menutup telinga dengan bantal, mata kukatup kuat-kuat, hati mengutuki sangat panjang--di luar sana berisik. Sepeda motor lalu-lalang, langkah kaki dihentak-hentakkan hingga sendal menjerit kesakitan, bahkan kepalaku yang berlabuh di bantal terasa di dalam kapal di tengah lautan yang beriak-riak, naik-turun. Suara tawar-menawar bersahut-sahutan; ada yang tidak terima, ada yang sepakat, ada pula yang ragu-ragu. Meski suara itu terdengar sayup-sayup, tapi angin subuh yang sejuk menjelaskannya bahwa mereka sangat sibuk. Ibuku di dapur juga terdengar cekatan membolak-balikkan goreng pisangnya yang mendesis keras. Jangan tanya ayahku, sebelum aku terjaga--ayah pasti sudah di pasar.
Detik jarum jam juga ikut mengedor-ngedor kantung mataku yang semakin kukatup kuat-kuat, cekikikan dan keributan di luar semakin membahana.
Berminggu-minggu libur kenaikan kelas membuat aku terbiasa bangun agak siang, walaupun terkadang sadar bahwa di luar sana berupaya mengusikku.
Selang beberapa menit terusik, aku tertidur lagi hingga suhu dalam kamar terasa panas. Cahaya matahari masuk di sela-sela jendela papan yang renggang.
"Bangun, nak. Ini hari pertamamu, loh. Tidak rindu sekolah?" Paksa ibu sembari mengemaskan selimut yang berantakan di tempat tidur. Aku ikut bergeser oleh selimut yang ibu tarik. "Akan ada pengalaman baru yang bisa membuatmu memikirkannya puluhan tahun ke depan." Seakan nostalgia, ibu pasti rindu kenangan puluhan tahun lalu di usianya yang saat ini nyaris empat puluh tahun. Sebentar lagi. Bulan Juni tanggal dua puluh nanti ulang tahunnya. Hanya beda satu tahun dengan ayah, tanggal dan bulan lahirnya sama.
Selama hampir dua minggu ayah mengurus surat keterangan pindah sekolah pada bulan lalu. Kata ayah, pak Mad tampak bersedih. Dia berniat mendaftarkanku lomba matematika di pertengahan semester nanti. Tapi keburu pindah, pak Mad tidak ada pilihan selain Randi dan Budi.
Ayah banyak berkorban waktu, tenaga, dan uang mengurus pindah sekolah yang tidak lagi gratis. Aku belum mengetahui sekolah baruku bagaimana bentuknya, suasananya, letaknya--ayah bilang sekolah itu jauh dari pasar, dekat puskesmas. Aku ingat kalau dulu sekitar empat tahun lalu aku pernah berobat di puskesmas. Mereka bilang di sekitar sini dan kampung lamaku hanya ada satu puskesmas. Tidak salah lagi kalau puskesmas yang ayah maksud adalah puskesmas yang mengobati kulitku yang melepuh ditumpahi bubur panas dulu. Itu, lurus ke arah sana. Kata ayah kemarin menunjuk ke arah sekolah.
Ayah bilang di sekolah baruku muridnya sangat banyak, ruang kelasnya berkeramik, dinding batako, dan halaman yang luas. Ada lapangan sepak bola, voli, dan bulu tangkis. Meskipun semua bidang olahraga tersebut tidak terlalu aku minati. Aku mengaku kalah di bidang olahraga dan seni.
Sekolah mewajibkan semua muridnya menggunakan sepatu dan tas sesuai standar kurikulum. Terpaksa ayah dan ibu membongkar celengannya kemarin siang dan buru-buru menyiapkan perlengkapan sekolahku.
Sebenarnya empat hari yang lalu sudah masuk sekolah, tapi berkas pindahku baru diterima sekolah kemarin pagi; ayah bolak-balik ke sekolah mencari tahu kejelasannya. Sekolah nyaris menolak berkas pindahku. Untungnya nilai di rapor yang cukup meyakinkan menjadi pertimbangannya.
"Oh, iya. Seragam sekolahku mana ya, bu?" Aku beranjak dari tempat tidur. Mengucek-kucek mataku yang berkabut seakan membukanya dengan paksa. Pertanyaanku barusan sebenarnya bukan untuk dijawab, tapi hanya basa-basi yang mengagak-agihkan kalau aku perlu bantuan. Semenjak omelan panjang yang dikumandangkan ibu setiap kali aku tidak sengaja membongkar pakaian di kardus, membuat aku enggan mengulanginya lagi--kecuali kepepet.
"Urus saja mandimu, seragam sekolahmu biar ibu yang mengurusnya." Berbagi tugas yang sama sekali tidak merepotkanku.
Dulu mandi dengan air hujan yang ditampung dengan tong besar. Sekarang mandi dengan air yang ditampung di bak semen, dingin. Aku menggigil. Atas-bawah gigi gerahamku bersentuhan saling adu. Aku buru-buru mengenakan seragam putih merah, topi dan dasi--pemberian Aga.
Aku menatap lamat-lamat kalender yang menempel di dinding semen.
"Aduh, salah." Hari ini hari Jumat. Aku tidak menyalahkan ibuku, wajar salah ambil seragam--ibu sangat jarang melihat kalender.
Aku tidak peduli seberapa lama ibu mengomeli pakaian yang kuacak-acak di kardus.
"Dasar. Awas kalau masih berani membongkarnya lagi?" Ancaman yang sangat ampuh. Aku mengelak dari kejaran tangan ibuku yang siap mencubit, marah karena melihat pakaian di kardus berantakan.
"Sudah siap belum?" Tanya ibu memastikan, keluar dari kamar, mendekatiku. Amarahnya reda. Ibu tidak pernah marah berlarut-larut padaku, gertakkannya tidak seperti angsa pak Tibet yang dendam bertahun-tahun. Tapi kata pak Tibet, minggu lalu ketika mengantar sayur kepada ayahku di kontrakan kami; angsanya telah tewas diserang semut api. Kejadiannya bersamaan dengan terbakarnya rumah kami kala itu. Dalam hati aku mengutuk angsa tersebut, rasain.
Aku mengangguk lentur sembari mengikat tali sepatu di ambang pintu.
"Hati-hati di jalan, ya. Kalau mau nyeberang jalan, jangan lupa tengok kiri-kanan." Banyak kendaraan yang lalu-lalang membuat ibu tampak khawatir.
"Iya, bu. Aki berangkat, ya." Meraih tangan ibuku, spontan menciumnya. Aroma pisang goreng melekat di tangannya.
Aku menjauhi rumah. Ada yang menatap sinis dan mencibir di ujung sana; ibu-ibu separuh baya, rumah urutan keempat dari kontrakan kami. Aku mengabaikannya.
Sudah lima puluh batang tiang listrik yang kulampaui--aku menghitungnya dalam hati sedari tadi. Aku melangkahkan kaki secepat mungkin. Kuakui langkah kakiku tidak bisa mengalahkan laju sepeda anak berseragam sekolah yang berlalu di sampingku. Tampaknya kami satu tujuan.
Di belakangku ada empat sekawan siswi yang bergosip riang sembari tertawa, saling sikut. Di depanku lenggang, artinya hanya kami berlima yang tersisa di jalanan ini. Aku melambankan langkah kaki, empat sekawan itu semakin mendekat. Mereka berlalu tanpa menggubris, bahkan bertanya aku siapa, dari mana, mau ke mana--pun tidak. Sombong sekali mereka. Ketusku dalam hati.
Alhasil aku yang mengekor di belakang empat sekawan itu. Sesekali mereka menoleh ke belakang tanpa raut penasaran, tapi seolah ketakutan; mereka melangkahkan kaki amat cepat, menjauhiku seakan ada hantu di belakangnya. Mungkin aku tidak kelihatan. Batinku melawak.
"Kalian tahu, tidak. Di sekolah kita ada anak baru hari ini."
"Kelas berapa?"
"Kata mereka satu kelas denganmu."
"Oh, ya. Bukan yang itu, kah?" Salah satu di antara mereka melirik ke belakang, menurunkan nada bicaranya seperti berbisik. Niscaya aku mendengarnya.
"Kalau tidak salah dia tetanggamu." Lanjutnya, berbisik. Tapi aku mendengarnya. Sungguh. Sepandai-pandainya perempuan bergosip, pasti kedengaran juga.
Dalam hati aku bergumam, mereka melihatku. Terkekeh pelan. Mereka semakin mempercepat langkah kaki. Wanita berkepang rambut, kulitnya putih, sekilas tadi aku melihat matanya sipit, dia berjalan paling tepi nyaris tersandung batu. Untungnya ditarik salah satu teman di sebelahnya.
Aku sudah berusaha menahan tawa, tapi balon yang dipompa dalam waktu yang lama, akhirnya meledak. Mereka mendengarku.
"Apa maksudmu?" Wanita berkepang rambut itu berhenti, menghadangku. Jujur, dari postur tubuh dia lebih sangar dan besar dariku. Matanya yang sipit berusaha dia buka lebar-lebar, menantangku.
"Maaf. Aku tidak bermaksud menertawakanmu." Terbata-bata.
"Sudahlah, Mil. Tidak penting. Kita bisa-bisa terlambat. Abaikan saja dia. Lagian tidak penting." Tukas salah satu temannya.
Mereka berempat berbalik badan, melanjutkan perjalanan. Aku melambankan langkah kaki, mengekor di belakang mereka yang berjarak sekitar dua puluh meter. Sebelum bel masuk, aku telah tiba di depan sekolah. Hanya berjarak tiga batang tiang listrik dari puskesmas, sekolah cat warna putih itu berdiri kokoh.
Ayahku benar, persis sama dengan yang dia ceritakan kemarin. Berbondong-bondong ratusan bentuk wajah yang berbeda melewati halaman sekolah menuju ruang kelas masing-masing. Halaman yang sangat luas. Gedung sekolah yang amat besar. Lantai keramik yang mengesankan. Bola kaki ditendang kian kemari, badminton ditangkis bolak-balik, bola voli dipukul sekuat tenaga, teriakan, gol, bola masuk ke gawang lawan.
Kali ini aku tidak percaya diri, grogi. Bahkan berkali-kali menatap sepatuku yang sedikit kusam, sedangkan sepatu mereka bersih dan bermerek. Untungnya aku tidak menggunakan tas kresek lagi. Sekolah ini menjadi favorit anak kelas atas nan pintar. Ah, naik kelas saja sudah cukup. Batinku pesimis memikirkan pesaing hebat yang sudah menanti.
"Anak-anak. Suttt." Ibu guru menenangkan. "Toni, kalau kamu tidak bisa diam sebaiknya keluar." Pria berambut pirang dan ikal diberi peringatan keras. Baju pramukanya basah keringat, duduk paling pojok.
Toni seketika diam. "Kenalkan." Ibu guru merangkul bahuku. "Ini teman baru kita, namanya Aki." Aku tersipu malu. Wanita yang menghadangku di tengah jalan tadi duduk berdekatan dengan pria yang namanya Toni. Mereka merumpi sembari tertawa.
"Kamu duduk di samping Toni, ya." Bu Guru menginstruksi.
Aku menuju kursi kosong di samping Toni. Hanya itu satu-satunya kursi yang masih kosong. Di sekolah ini satu kursi untuk satu meja. Beda jauh dengan sekolahku dulu yang satu meja untuk dua kursi, jadi bisa mencontek ke kawan sebelahnya. Aku menyadari puluhan pasang mata sedang menguntitku, menahan tawa, menilai penampilanku yang culun dan namaku yang unik, Aki. Kalau namaku disebut dua kali dalam waktu bersamaan tentunya akan semakin melucu. Ada yang mencibir, dan ada pula yang menatap sinis.
"Hey, anak baru." Aku menoleh ke samping. "Kenalkan, namaku Toni." Tanpa berkenalan pun aku sudah kenal. Anak nakal sepertinya tentu mudah dikenal. Sudah lumrah di sekolah, anak nakal, bebal, rajin dan pintar akan dominan di kelas, dan guru lebih mengenal murid yang demikian.
"Jangan percaya omongan guru di depan, banyak bualnya. Katanya kalau kita rajin sekolah kita akan naik kelas. Kamu tahu, aku sudah tiga kali mengulang kelas. Padahal aku rajin." Hasutnya.
"Kamunya aja yang nakal, berisik." Sambar wanita yang menghadangku di tengah jalan tadi. Aku belum tahu jelas siapa nama panjangnya. Di kelas ini mereka memanggilnya, Mil.
"Kita sama. Kamu juga ada ngulang kelas, kan." Toni menjulurkan lidah mengejek Mil sembari tertawa terbahak-bahak.
"Aduh." Kapur tulis tepat mengenai kening Toni.
"Keluar!" Telunjuk kanan bu guru lurus menunjuk pintu kelas.
Toni masih memijat-mijat keningnya seraya keluar. Tiga kali mengulang kelas tapi tidak putus asa. Beda dengan temanku, Aga; baru dua kali mengulang kelas langsung berhenti. Tapi berkat Aga pula aku bisa sekolah dengan seragam ini. Wanita yang panggilannya Mil juga mengulang kelas, olok Toni barusan. Aku pikir sekolah incaran banyak siswa tidak ada yang tinggal kelas; ternyata banyak. Sebagian dari mereka lebih mengutamakan penampilan daripada isi kepala. Lihat saja pakaian Mil yang bersih, rapi, sepatu bermerek, sampul buku tulis tebal, pensil mahal, gaya rambut hit diikat dengan karet warna-warni. Begitu pun dengan Toni. Ini kesempatan! Seruku dalam hati sembari menyalin tulisan bu guru yang coreng-moreng di papan tulis.
"Mila, coba lengkapi titik-titik ini." Wanita di depan meja Toni mendongak tidak siap. Menggeleng pelan, melirik ke arahku seakan melemparkan perintah bu guru kepadaku. Bu guru tetap konsisten menunjuk Mila. Ternyata namanya Mila. Gelagatnya tomboi, temperamen. Mila berjalan layaknya langkah kaki pria menuju papan tulis, berdiri tanpa bergeming. Bu guru sedari tadi penasaran, menunggu jawaban Mila.
Pantaslah Mila mengulang kelas. Bu guru tampak jengkel padanya. Sedari tadi aku melihat Mila sibuk menggambar di lembar pertama bukunya, tidak mendengarkan penjelasan di depan. Bu guru sepertinya sudah tahu siapa yang tidak serius mata pelajarannya. Wajar kalau bu guru menunjuk Mila.
Hampir satu menit berlalu, Mila masih tidak bergeming, senyap. Menghadap papan tulis, tangan menempel di titik-titik yang dibuat bu guru--tanpa pergerakan. Ah, aku ingat temanku di kelas satu. Budi dulu juga begini. Sama persis seperti Mila. Mematung di depan papan tulis.
"Siapa yang bisa menjawabnya? Maju ke depan."
"Saya, bu." Tanpa ba-bi-bu. Aku mengangkat tangan sembari berdiri. Mila dipersilakan duduk di kursinya, kami berdua berpapasan tanpa suara.
Aku menggoreskan kapur tulis. "Beri tepuk tangan." Goresan terakhir disambut dengan tepuk tangan. Aku tersenyum lega. Toni mengintip di balik jendela.
"Aku pikir kamu gagal menjawabnya, Ki." Toni mulai sok akrab denganku setelah mata pelajaran pertama berakhir. Dia mentraktirku semangkuk bubur, segelas teh es, tiga goreng pisang di kantin sekolah.
"Aku ada pekerjaan rumah, siang nanti harus dikumpulkan. Bantu aku, ya." Tatapannya penuh harap. Mereka yang masuk sekolah lebih dulu dariku telah mendapatkan tugas. Untungnya aku baru masuk hari ini, jadi tidak perlu repot-repot menyelesaikannya di rumah kontrakan kami yang berisik. Tapi agaknya aku akan repot kali ini.
Aku mengalihkan pandangan, fokus menatap gorengan, bubur, dan teh es yang hanya sisa mangkuk dan gelas. Sial. Gumamku dalam hati. Aku pikir ini cuma-cuma. Tidak mungkin aku menolak membantunya sedangkan aku sudah terlanjur berutang budi.
Aku dan Toni kembali ke kelas sebelum bel masuk berbunyi. Toni tergesa-gesa mengeluarkan buku tugasnya di hadapanku. Mempersilakan aku duduk di kursinya. Selama aku memahami tugas dan mulai mengerjakannya, Toni dengan santainya lalu-lalang menjahili teman di kelas.
"Bagaimana, Ki?" Toni menghampiriku setelah lebih dari empat menit kemudian. Sumpah serapah di depan sana meneriaki namanya.
"Baru selesai, Ton. Kita impas, ya." Jawabku menekankan untuk tidak dimanfaatkan Toni lagi.
"Terima kasih, ya." Aku mengangguk sembari bilang, oke.
"Kamu sudah selesai, Ton?" Mila bertanya malu-malu pada Toni yang hendak melangkahkan kaki ke depan; bermaksud akan menjahili yang lain.
"Sudah, dong. Mau?" Mila mengangguk.Toni memberikan bukunya pada Mila.
Bel alarm berkumandang memenuhi seisi ruangan, waktunya pulang.
"Kalau bukan kamu, aku pasti diusir keluar kelas lagi, Ki." Toni merangkul bahuku. Kami berdua melangkahkan kaki, keluar kelas bersama-sama.
Selama jam pelajaran tadi berlangsung, Toni tampak tegang. Dia ragu tugasnya ditolak pak guru. Kata Toni, pak guru mata pelajaran terakhir tadi cukup galak. Jika tugas yang diberikan tidak sesuai instruksi, maka kalau tidak buku yang disobek; tugas ditolak mentah-mentah atau diusir ke luar kelas. Tapi menurutku, pak guru tadi tidak segalak pak Mad yang sering munghukum aku di kelas satu dulu.
Diusir keluar kelas seakan rutinitas Toni di sekolah. Tiga kali mengulang kelas tidak lekas membuat dia jera menjahili teman sekelas, mengolok guru, mencontek, bolos sekolah, bahkan tawuran.
"Kalau ada apa-apa kabarin aku, ya." Pesan Toni ketika mengetahui aku pulang sekolah jalan kaki satu arah jalan pulang dengan Mila. "Tenang. Selama ada aku di sini kamu aman. Mila? Gayanya memang begitu. Sekali-sekali pulang bareng rombongan mereka biar kamu tahu rasanya jadi cewek."
Buset. Toni mengolokku dengan bahasa yang sangat halus. Rasanya jadi cewek, emang aku cowok apaan. Batinku dalam hati.
Memang sepanjang jalan tidak ada yang jalan kaki selain aku dan Mila dengan ketiga kawannya dari kelas dua yang berjalan mendahuluiku.
Mereka melambankan langkah kaki, aku juga sudah bersusah payah ikut melamban, tapi terjebak di lingkaran empat wanita garang yang siap menerkam. Tampaknya mereka memang sedang mengintaiku, mungkin kesalahanku tadi pagi belum usai. Mila mulai mencemoohku, ketiga temannya mengibas-ngibaskan dedaunan ke arahku.
"Begini rasanya jika menertawakan orang." Mila mengacungkan kepalan tangannya ke bahuku. Aku mengaduh meskipun tidak terlalu sakit. Aku hanya ingin memberitahu mereka agar tidak melanjutkannya.
Aku menghindar, kalau ada mantra untuk menghilang, mungkin aku akan melakukannya. Tapi aku hanya bisa berlari sebisaku, menjauh dari mereka yang tertawa mengolok-olokku dengan girang. Setiba di rumah, ibu keheranan melihat aku bercucuran keringat. Ibu langsung menginterogasiku.
"Angsa mana lagi yang mengejarmu itu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments