Layar Tancap

Berhari-hari menahan malu, benjol di keningku akhirnya mulai mengempis. Paman paling sering mengolokku hingga mengubah panggilanku menjadi, Jol.

"Kamu ikut tidak malam ini, Jol?" Tanya paman setengah berteriak sembari mencedok air di kolam buatannya yang airnya tetap tidak berubah, keruh. Suara burung ruak-ruak bersahut-sahutan dari dalam semak di belakang rumah paman, tanda hari sudah menjelang malam.

"Ikut dong. Rugi kalau tidak ikut." Seruku ayahku penuh semangat. Aku berdiri di dekat ayah, diam. Ayah merakit obor di depan rumah yang setengah menyerupai teras. Ibu tumben cepat mandi. Paman pun bergegas masuk ke dalam rumahnya mengenakan handuk nyaris melorot.

"Kamu tahu tidak? Dulu. Acara seperti itu pasti ramai. Duduk di tengah halaman lapang. Biar jauh. Kami tetap antusias pergi walau jalan kaki. Ramai. Hanya saja kala itu sangat jarang diadakan." Ayah memasukkan minyak tanah ke dalam obornya. "Malam ini, acara yang pertama kalinya selama kita tinggal di sini." Ayah melanjutkan.

Pagi tadi, halaman sekolah ramai dikunjungi penduduk melihat beberapa orang yang berpakaian serba abu-abu memasang dan menyiapkan acara nanti malam. Ada yang sibuk memasang baliho bergambar pria baju hitam dengan mata menatap tajam, di belakang pria itu ada beruang siap menerkam. Tulisan di atas beruang kami eja huruf demi huruf, jurus beruang hitam, aku membacanya. Mereka yang mendengar aku membacanya mengangkat jempol, hebat.

Ada yang menancapkan paku panjang di tanah kemudian mengikat dan menarik kain putih dengan tali hingga membentang luas. Kain putih yang sangat besar. Hampir separuh bangunan sekolah ditutup kain putih itu. Menghadap ke halaman lapang yang luas. Muat sekitar empat ratus orang. Mereka menyebutnya layar tancap.

Di depan layar tancap berjarak hampir lima belas meter dipasang penyangga dari kayu untuk proyektornya. Tidak jauh dari proyektor itu ada mesin generator pembangkit listrik.

Kami tidak fokus belajar, bahkan bu Neli, satu-satunya ibu guru di sekolah kami--menjelaskan panjang lebar tanpa digubris. Kecuali kami yang duduk di depan, sesekali melirik layar tancap ketika bu Neli menulis di papan tulis, sontak menatap ke depan ketika bu Neli menghadap ke kami.

"Kalian paham?" Tanya bu Neli dengan suara serak.

"Paham bu guru." Kompak. Berteriak nyaring, padahal belum tentu paham. Teriakan yang paling nyaringlah yang sedari tadi mendongak ke jendela melihat layar tancap; Budi dan Randi.

"Baiklah. Kalau begitu, Budi maju ke depan selesaikan tugas ini." Bu Neli menunjuk papan tulis dengan tangan kanannya.

Budi bagai kesetrum listrik. Terkejut hebat. Lirikannya seakan menunjuk Randi di sampingnya. Tapi bu Neli sudah terlanjur memilih Budi. Dengan terpaksa Budi beranjak dari tempat duduknya menuju ke papan tulis. Budi mematung di depan papan tulis. Kakinya gemetar, tangan kanannya memegang kapur tulis tanpa pergerakan. Budi berpikir keras hingga mematung sangat lama, membuat bu Neli jenuh.

"Selesaikan, cepat." Desak bu Neli pada Budi yang sedari tadi tidak berkutik.

Budi menoleh ke arah bu Neli yang berdiri tidak jauh di sampingnya. Senyum pasrah. "Saya tidak bisa, bu." Jawabnya pelan.

"Saya tahu kamu tidak akan bisa. Saya melihat kalian semua yang sibuk memandangi layar tancap di luar sana. Jangan pikir saya tidak tahu." Tatapan bu Neli tajam. "Kembali ke tempat dudukmu! Pelajaran hari ini kita akhiri." Bu Neli merajuk. Dia mengemaskan buku yang berserakkan di mejanya. Lantas keluar kelas dengan raut wajah kesal.

Budi kembali ke tempat duduknya. "Gara-gara kamu bu Neli merajuk." Randi menuduh.

"Iya tuh. Makanya jangan asyik melirik ke luar." Ujar Aga setengah berteriak dari tempat duduknya.

"Kalian pun sama. Enak aja cuman menuduh aku." Budi membantah.

Serentak bilang, huu... Memarahi Budi. Memang layar tancap di luar sana seolah tamu terkenal yang menggugah rasa penasaran kami untuk melihat dan mendekatinya. Kami keluar dari pintu kelas yang sama tapi ke arah yang semrawut padahal lonceng istirahat belum dipukul.

Tidak lama kemudian, pak Mad keluar dari ruang guru, berkacak pinggang melihat kami yang berhamburan dari halaman sekolah masuk ke dalam kelas.

"Apa-apaan ini. Kalian pikir bu Neli tidak mengadu?" Wajah pak Mad serius. Memandangi kami yang seketika disiplin. "Satu pun di antara kalian tidak boleh pulang sebelum kelas ini bersih." Pak Mad meninggalkan kelas dengan raut wajah geram. Tidak ada yang berani membantahnya kali ini.

Kami kompak membersihkan kelas. Menyusun kursi. Menghapus papan tulis. Menyapu lantai dan sarang laba-laba di plafon. Sampah paling banyak bersemayam di laci Budi. Bekas bungkus permen pendekar biru, plastik es gepeng, dan kertas.

"Awas kalian kalau ada yang berani pulang duluan." Aga mengancam. "Enak aja kamu." Imbuhnya pada Randi yang hanya duduk. Dengan terpaksa Randi ikut membantu membersihkan kelas.

Sekitar satu jam kemudian, pak Mad kembali ke kelas satu, memastikan. Matanya terbelalak lebar mengawasi setiap sudut. Bagai juri dalam pertandingan sengit, pak Mad disambut tegang oleh siswa kelas satu ketika hendak memberi penilaian.

"Bagus. Lain kali lakukan kesalahan yang sama." Ujar pak Mad di ambang pintu kelas satu.

Murid kelas lain sudah pulang ke rumah mereka masing-masing, kecuali kelas satu. Kami diperbolehkan pulang ketika kelas sudah bersih. "Silakan pulang." Pak Mad kembali ke ruang guru. Kami menyambutnya dengan riang. Ada yang langsung pulang ke rumahnya, ada pula yang menyempatkan diri melihat layar tancap. Aku langsung pulang. Beruntungnya di perjalanan tidak dikejar angsa. Aku berjalan lega setelah melampaui depan rumah pak Tibet.

Malam harinya, kami berbondong-bondong menuju ke sekolah. Parfum paman membuat ibuku mengomel sepanjang jalan.

"Tahu kita tidak mampu aroma parfum malah jalan di depan." Ibuku bersin-bersin. Paman terkekeh pelan. Ayah memegang obor di belakang.

Cahaya siluet bulan sabit juga menyinari langkah kaki kami yang cepat. Satu langkah kaki paman sebanding dengan dua langkah kakiku dan kaki ibuku. Tapi langkah kaki ayah tidak kalah cepat dari langkah kaki paman, hanya saja ayah melambankan langkah kakinya, menyinari jalanan yang gelap itu dengan api obor.

Setiba di halaman sekolah api obor langsung dipadamkan ayahku. Asap hitam mengepul. Wajah ayahku tampak jelas disinari lampu listrik yang terang benderang. Kami tertawa terbahak-bahak, membuat ayahku keheranan.

"Cepat cuci mukamu itu." Ibuku mendesak.

Ayah baru menyadari wajahnya hitam bagai cerobong asap ketika paman memberinya cermin. Spontan ayah menuju toilet sekolah.

Pintu kelas satu terbuka lebar, terang. "Aki." Panggil seseorang di dalam kerumunan. Aku mencari-cari arah suara itu sembari digandeng ibuku dengan erat. Aku tidak menemukannya.

Sangat ramai. Halaman sekolah penuh sesak. Aku dan ibu duduk bersila di atas rerumputan kering. Ayah menghampiri kami ketika acara layar tancap baru dimulai.

"Ki. Aki." Ada yang memanggil namaku. Tidak terlalu jelas. Suara itu bercampur aduk dengan teriakan anak kecil yang menangis, kejar-kejaran, sumpah serapah yang latah, dan pengeras suara di samping proyektor layar tancap.

Aku menoleh ke belakang karena ada yang menarik bajuku. "Oh, kamu, Ga." Mata Aga berbinar-binar bahagia, mendekatiku.

Aga berpindah tempat duduk, menggeser penonton di sampingku. "Dengan siapa kamu di sini, Ga?" Tanyaku keheranan melihat Aga bebas ke sana kemari.

"Sendiri, Ki. Kamu dengan siapa?"

"Ibu, ayah dan pamanku, Ga." Menunjuk ke kiri dengan memonyongkan mulutku. Ayah dan ibu serius menonton layar tancap. Paman memisah dari kami.

"Ayo tendang. Awas. Hah! Kamu." Bersilat di tempat duduk, latah ibuku kumat lagi.

"Eh, tenang dikitlah. Tuh, lihat di belakangmu." Ayah menunjuk penonton di belakang ibuku yang sedari tadi mengelak ketika ibu hendak memukul angin.

Aku dan Aga tertawa. "Di mana yang lain, Ga?"

Aga menggeleng, tidak tahu. Terlalu ramai. Hingga tidak bisa mengenal teman sekelasku. Di belakangku ada banyak yang berdiri berhimpit-himpitan. Aku melihat seperti gelagat paman yang sedang berdiri di dekat perempuan. Tapi wajahnya tidak tampak. Mereka berdiri di belakang proyektor layar tancap.

Ayah berbisik kepada ibuku. Anggukan lentur ibu membuat ayah beranjak dari tempat duduknya.

"Ayah mau ke mana?" Tanyaku setengah beranjak.

"Kamu tunggu di sini. Ayah ke belakang sebentar." Ayah berjalan sembari membungkuk di depan penonton.

Ibu masih bersilat di tempat duduknya ketika pahlawan dalam film itu menangkis pedang lawannya. Ibu berteriak, geram. Pahlawannya jatuh ke dalam jurang. Penonton yang lain juga berteriak. Yang tidak latah seketika menjadi latah. Ibu semakin bersemangat. Pahlawan itu ditolong oleh kakek tua kepala sula berjanggut putih. Aku teringat mimpi opelet tua beberapa tahun lalu. Kakek tua itu menyembuhkan pahlawan, dan mengajarinya jurus silat beruang hitam. Pahlawan itu semakin lama semakin jago, banyak musuh yang dia kalahkan. Tumbang, terpelanting jauh, dan babak belur akibat silatnya yang luar biasa itu. Andai aku bisa silat, tentulah tonjokan Randi lima hari yang lalu dapat kutangkis. Gumamku dalam hati sembari berhalusinasi.

Ayah kembali membawa kantong plastik hitam. Duduk di tempat semula. "Ini sate kikil. Bagi kalian berdua." Ayah menyerahkan kantong plastik warna hitam itu setelah mengambil dua tusuk sate kikil--memberi ibuku satu tusuk.

"Terima kasih, om." Ujar Aga sembari mengambil satu tusuk sate kikil..

Aku dan Aga menonton layar tancap sembari mengunyah. Ibu terperanjat ketika pahlawan itu dihempaskan lawannya. Ibu memaki-maki penjahat itu seolah berhasil menyemangati pahlawan yang kemudian bangkit hingga berhasil menaklukkan musuhnya. Ibuku tersenyum senang.

Tidak lama kemudian pahlawan itu mematung. Hening. Hanya suara anak kecil yang sedang menangis yang kami dengar.

"Selamat malam saudara-saudari. Maaf mengganggu. Filmnya saya hentikan sejenak. Saya selaku Kepala Desa Trans Prompong mengucapkan terima kasih atas dukungan saudara-saudari semua. Semoga menikmati acara kita malam ini." Seorang bapak berdiri di samping layar tancap. Suaranya bergema.

Kemudian film dilanjutkan lagi. Empat tusuk sate kikil sudah aku habiskan. Aga baru dua tusuk sate kikil. Kami menikmati acara malam ini. Setelah pidato, Kepala Desa tadi masuk ke kelas satu. Di kelas itu ada banyak petugas layar tancap yang kami lihat tadi pagi.

"Kelas kita dipakai mereka, Ki." Ujar Aga. Pantas saja pak Mad menghukum kami. Aku melirik dari jauh. Di sela-sela layar tancap itu tampak pak Mad sedang menjamu sekitar belasan orang di kelas satu.

"Iya, nih. Seru filmnya. Coba lihat. Pasti nanti anak muda itu mengalahkan lawannya." Ibuku menunjuk ke arah layar tancap. Optimis menjelaskan skenarionya seakan tahu apa yang akan terjadi.

"Iya kamu benar." Ujar ibu di sampingnya. Tebakan ibuku tidak meleset.

Sebentar lagi film akan tamat. Semua penonton agaknya tidak mau film kesukaan mereka berakhir. Tatapan mereka semakin serius. Hingga akhirnya tuan putri yang dicari pahlawan ditemukan. Mereka menikah dan bahagia bersama. Tamat.

Di belakangku, benar saja paman menghampiri kami di depan. Tapi paman sendiri. Tersenyum bahagia. Sepertinya film barusan berhasil menginspirasi paman.

Kami beranjak. Ada yang berteriak tidak puas. "Putar sekali lagi." Bersahut-sahutan. Tapi ini sudah tengah malam. Petugas layar tancap pun sudah mengemas proyektor dan layar mereka.

Aku menoleh ke belakang. Lampu senter jelas menyinari wajah Budi yang sedang bersalaman dengan bu Neli. Ternyata mereka duduk di belakang, cukup jauh dari aku dan Aga.

"Hati-hati, Ga." Aku melambaikan tangan ke arah Aga.

Ayah menyalakan obornya. Paman berjalan paling depan dengan lampu senternya. Redup. Aroma parfum paman tidak lagi wangi. Ibu tidak bersin. Kami berjalan pelan, menahan kantuk.

Ayah mengestafetkan obor itu pada ibuku lantas menggendongku. Aku mendengar napas ayah sembari menghitung bintang meskipun tidak pernah berhasil menghitungnya. Napas ayah terdengar berat, kelelahan. Tapi ayah tidak membiarkanku jalan kaki.

Baterai senter paman habis. Sudah dua kali paman menginjak kubangan air. Paman menyerah. Berjalan di belakang kami. Tapi kali ini aku yang tidak tenang. Berkali-kali paman mencolek pantatku hingga aku tertawa tapi marah. Geli. Paman masih menjahiliku. Seketika diam seolah melihat sesuatu yang janggal di matanya. Aku juga melihatnya. Ada bintang jatuh tidak jauh dari depan kami. Bintang itu seakan memiliki ekor berwarna merah. Bintang itu mendarat di rerumputan. Tapi anehnya rumput itu tidak terbakar.

Ibuku melompat-lompat setengah berlari. "Awas ada semut api." Ibu menunduk, menggaruk-garuk kakinya.

Ayah melompat sangat hebat hingga aku merasa seperti di atas kuda. Paman pun demikian. Beberapa langkah kaki ke depan ada yang melempar kami dengan batu. Kami tidak tahu batu apa. Yang jelas membuat orang tuaku dan paman membisu. Mereka tidak hirau.

Di dalam hutan suara burung hantu dan kulang-kulit bersahut-sahutan, mengikuti kami di belakang. Paman yang tadinya berjalan di belakang kami seketika melaju hingga di dekat ayahku. Aroma yang sangat wangi terlintas di hidung kembang kempisku. Bukan parfum paman. Aku tidak tahu aroma wangi dari mana. Ibuku berupaya menjaga api obor agar tidak padam dengan daun simpur yang didapatnya di pinggir jalan.

Napas ayah semakin berat. Tubuhnya basah, berkeringat. Mereka seperti dikejar angsa. Berjalan setengah berlari. Ibu di depan masih berusaha menjaga api agar tidak padam. Untungnya angin bersahabat malam ini. Hingga tiba di rumah, obor itu tetap menyala.

"Makanya aku tidak mau pulang sendirian." Ujar paman yang kulihat pemberani tapi ternyata takut juga. Paman mengelap keringatnya dengan bajunya.

"Wajar. Ini sudah tengah malam." Ujar ibuku.

Ayah menurunkan aku dari gendongannya. Membuka pintu rumah, di sela-sela papan sudah tampak api pelita melambai-lambai di ruang tengah.

"Aku nginap di sini malam ini, boleh?" Tanya paman.

Dari kamar ibu mengeluarkan tikar daun mendongnya. Menghampar tikar itu di ruang tengah. Bantal, selimut dan kelambu juga di sediakan untuk paman.

"Siapa perempuan tadi, Cil?" Ayah menginterogasi paman. Tanpa digubris. Paman tersenyum lebar. Membuat ayah paham maksud senyumannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!