Tidak terasa sudah hampir setahun di kelas satu. Kaki ini agak kuat menopang tubuh yang semakin meninggi, kurus. Paling hoki dalam sebulan dua kali aku dikejar angsa. Aku tidak jera, tapi tetap was-was. Setiap kali sebelum melewati rumah pak Tibet, aku menoleh ke kiri dan ke kanan terlebih dahulu, memastikan sekitarku sedang aman atau tidak. Angsa yang agresif tentu tidak pikir panjang mematuk pantatku. Ada banyak angsa yang dipelihara pak Tibet, tapi satu angsa yang agresif, lebih besar dari yang lainnya. Sudah belasan kali angsa itu berhasil mematuk pantatku. Tidak kuat. Tapi cukuplah membuat aku lari terbirit-birit, ketakutan hingga malam ini--berpikir esok pagi harus melakukan apa biar tidak dikejar angsa itu lagi.
Kunang-kunang masuk ke dalam rumah menghampiri aku yang sedang belajar di ruang tengah. Kelap-kelip. Aku mengambilnya dengan kedua tanganku. Tiga ekor kunang-kunang berhasil kutangkap. Mengurungnya di botol transparan, akuariumku yang sudah lama kosong karena ikan piaraanku mati semua.
Kunang-kunang itu seperti lampu disko, kedip lampunya sama cepat dengan kedip mataku yang sudah mengantuk. Tiga ekor kunang-kunang di dalam botol transparan itu berhasil menyemangatiku yang sedari sore tadi memandangi buku catatanku. Mengeja dalam hati.
Ayah mengasah pisau toreh di dapur. Ibu mendekat. "Sepuluh kurang lima ibarat kamu punya kue sepuluh lantas diambil temanmu lima, kira-kira sisa berapa?" Ibu mencoba menyelesaikan masalah yang coreng-moreng di buku catatanku.
"Iya, bu. Tapi ini bukan masalah kue yang berkurang itu." Jawabku sembari memantul-mantulkan pensil di bibir.
"Lantas apa?" Tanya ibu semakin mendekat.
"Besok aku bakal dikejar angsa itu lagi." Jawabku polos. Ibu terkekeh pelan.
Ayah mendengar perbincangan kami, "Kamu bisa menyusul ayah ke kebun karet. Ada jalan pintas dari sana yang tembus ke sekolah." Ujar ayah memberi solusi. Ide bagus.
Aku membuka lembar berikutnya di buku catatanku. Ini lembar terakhir. Tulisanku di setiap lembar berubah-ubah. Awalnya seperti cakar ayam yang tidak banyak orang bisa membacanya. Termasuk ibu yang bingung angka dan huruf apa yang kutulis sampai aku harus mengeja untuknya. Tapi di lembar terakhir ini, ibu tidak bertanya lagi karena tulisanku mulai rapi dan beraturan. Hanya saja untuk membacanya perlu sedikit lebih dekat ke pelita, tulisanku terlalu kecil seperti mataku yang menyipit, kantuk.
"Api. Api. Api. Cepat padamkan." Ibu panik. Mengibas-ngibaskan tangannya, mengacak-acak rambutku.
"Mana?" Ayah pun ikut panik.
Bukannya membantu. Ayah dan ibu malah tertawa terbahak-bahak melihat rambutku yang terbakar di bagian poninya.
"Yeah. Pasti besok diolok kawanku." Sembari menarik poniku yang terbakar, timpang. Melucu.
"Tenang. Gak usah sedih. Ayah ada ini." Mengangkat gunting.
Pembangunan sekolah hampir rampung. Pagi ini, aku tiba di sekolah lebih awal, bebas dari kejaran angsa pak Tibet. Aku mengikuti saran ayah semalam, melalui jalan pintas yang lebih cocok disebut jalan tikus. Memang seragam putihku sedikit lembab, tapi jalan pintas yang dilapangkan ayah menuju ke sekolah lebih dekat daripada jalan raya. Walaupun menempuh jalan pintas tadi aku harus mengibas-ngibaskan ranting yang panjangnya sekitar satu meter biar embun yang hinggap di ujung daun tidak membasahi seragam sekolahku. Demi bebas dari kejaran angsa. Gumamku dalam hati.
Sehari sebelumnya ayah melapangkan jalan pintas itu untukku. Keseringan mengeluh dikejar angsa pak Tibet membuat ayah seharian penuh menebas rerumputan yang menutupi jalan pintas, karena tidak mungkin memaksa pak Tibet mengurung atau membunuh angsa kesayangannya--kecuali mencari jalan lain.
"Botak rupanya kamu, Ki." Aga menertawakanku, melepas paksa topi sekolah dari kepalaku.
Aku menggerutu kesal dalam hati bercampur malu. Sontak berusaha meraih topi itu dari tangan Aga. Nahasnya, Aga semakin mengolokku, membawa lari topi itu ke halaman sekolah, melemparnya sembarangan. Seorang wanita di baris kelas dua mengambil topiku.
"Itu milikku." Mendekat dengan napas tersengal-sengal.
"Ini. Aku menemukannya jatuh di sini." Menyodorkan topiku. Matanya menatap tajam seakan penuh tanya. Rambutnya diikat kepang dengan gelang karet. Berlesung pipit.
"Cie. Dekat dengan Nina, Cie." Olok Aga di sampingku di barisan kelas satu. Tidak kugubris. Aku baru tahu nama wanita itu, Nina. Aga pernah satu kelas dengannya. Pantas saja Aga tahu.
Sampai di dalam kelas. Aga menyikutku, sembari menginterogasi. "Bagaimana? Dia anak yang pintar. Rangking satu." Mengangkat jari telunjuk kanan. Mata Aga serius kali ini.
"Banyak yang suka padanya. Ya, sejenis mengagumi."
"Termasuk kamu, Ga?" Tanyaku memotong cerita Aga. Dia tersipu malu.
"Tapi setelah kamu tahu dia anak siapa kamu pasti akan minder, takut, ragu, dan bahkan hilang harapan." Imbuh Aga yang sedikitpun tidak berhasil membuat aku tertarik menyambung ceritanya.
Bu Neli masuk di kelas satu seraya membawa amplop cokelat yang masih bersegel dengan tulisan, dokumen sangat rahasia. Mata Aga mengikuti langkah kaki bu Neli hingga duduk di kursi depan.
"Oh, iya. Aduh. Aku lupa." Sudah kutebak. Aga pasti lupa kalau hari ini kami ulangan akhir semester. Ulangan hari ini yang menjadi penentu kami apakah naik ke kelas dua atau tinggal di kelas satu. Aga melirik ke arahku. Sebelum dia melirik aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan.
"Selamat pagi anak-anak." Sapa bu Neli disambut tegang, ragu-ragu. Mata mereka tampak ketakutan. Ada yang sedang sibuk menulis di meja. Menunduk sangat dalam seperti sedang berdoa. Ada yang mencolek-colek teman di sebelahnya. Aga sedari tadi tersenyum ke arahku, penuh harap.
"Hari ini ulangan matematika. Silakan mencontek dan bekerja sama dengan teman di sebelah kalian. Tapi ingat! Tidak boleh buka buku." Ujar bu Neli, tersenyum lebar. Menempelkan telunjuk kanan di bibirnya ketika teman sekelasku hendak bersorak bahagia.
Siapa yang tidak bakal bahagia? Padahal ulangan tengah semester beberapa bulan lalu sangat ketat diawasi pak Mad. Hari ini, ulangan akhir semester, bu Neli malah sangat baik. Kalau tahu begini, aku tidak akan belajar mati-matian semalam.
"Tidak ada pertanyaan dan jawaban yang sama." Bu Neli melanjutkan. Semua tercengang keheranan.
Kertas ulangan dibagikan mulai dari Aga, diestafetkan ke belakang. Spontan Aga menarik kertas ulanganku, membandingkan setiap pertanyaan di kertas ulangannya.
"Bagaimana bisa mencontek! Mustahil." Ujarnya mengeluh. Matanya yang tadi bahagia berubah menjadi patah semangat.
Ternyata tidak ada pertanyaan yang sama di setiap kertas ulangan. Aku tetap tenang setelah melihat pertanyaan di kertas ulanganku, sudah kupelajari semalam.
"Makanya jangan kebiasaan mencontek. Pak Mad guru yang cerdas." Ujar bu Neli seraya kembali ke tempat duduknya setelah membagikan kertas ulangan.
Aku mengangguk lentur. Tidak ada alasan lain yang membuat pertanyaan di setiap kertas ulangan berbeda selain mayoritas kesamaan jawaban pada saat ujian tengah semester beberapa bulan lalu. Nilai ulangan tengah semester kami hampir sama semua. Jawabanku yang benar persis tersalin di lembar jawaban mereka. Anehnya, jawabanku yang salah pun seakan berpindah tempat ke lembar jawaban Aga dan yang lainnya. Sudah sepantasnya pak Mad mencurigai kelas satu.
Aku menjadi kasihan pada Aga. Dia yang mendapat nilai paling rendah ketika ulangan tengah semester. Matanya berkaca-kaca.
Budi dan Randi di pojok kelas tampak biasa-biasa saja sementara yang lainnya mulai bersitegang membaca kertas ulangan berulang kali. Rata-rata dari mereka yang duduk di belakang kelas tampak lebih santai daripada yang duduk di tengah, apalagi di depan seperti Aga. Tatapan Aga sekali lagi seolah menyalahiku yang mengajaknya duduk di depan.
"Tadi saya bilang kalian cuman boleh mencontek ke teman sebelah, bukan berarti kalian boleh melihat buku." Bu Neli berdiri di depan Budi dan Randi, geram. Mengambil buku mereka yang sedari tadi disembunyikan ke dalam laci.
Setelah kejadian itu, mereka yang tadinya mencontek dengan sembunyi-sembunyi akhirnya urung. Tapi ada pula yang masih nekat.
Ruang kelas hening. Aga menutup kedua matanya dengan mulut komat-kamit. Amin.
Aku sekali lagi menoleh ke belakang. Budi dan Randi mengundi serpihan kertas kecil yang mereka hamburkan di atas meja, memilih salah satu, membukanya, kemudian mencoret-coret kertas jawaban mereka dengan pensil.
"Aki. Kepalamu bisa-bisa tidak balik lagi, loh." Bu Neli memperingatkanku.
"Iya, Bu. Maaf." Tersipu malu.
Aga termangu-mangu menatap kertas soal. Aku melihat dia menunjuk-nunjuk huruf A, B, dan C hingga ujung pensilnya berhenti pada salah satu huruf--Aga langsung menyalinnya di kertas jawaban.
Sudah lima pertanyaan dari sepuluh soal yang berhasil aku kerjakan. Masih banyak waktu yang tersisa. Aku mengerjakannya dengan cara ibuku semalam. Dandi punya ayam lima ekor, mati satu berarti sisa empat ekor. Lebih memudahkan aku untuk menjawabnya.
Aku menemukan soal yang sulit. Ini soal terakhir, waktu pun semakin cepat berputar. Soal perkalian. Aku mencobanya dengan cara ibuku tapi gagal. Aku melirik ke arah Aga. Dia sudah menyelesaikan kesepuluh soal itu. Aga tersenyum lega ke arahku. Kami bertatap-tatapan. Aku kembali fokus pada soal yang belum terpecahkan ketika bu Neli berdeham dua kali.
Aku mencoba cara yang dilakukan Aga, Budi dan Randi. Tapi bukan cuman mereka bertiga yang begitu, hampir semuanya di kelas ini mengundi. Aku mengundi dalam hati. Duduk di depan akan membuat aku dengan mudah ketahuan melakukan kebodohan.
"Bagi yang sudah selesai silakan antar ke depan." Bu Neli membersihkan mejanya dari segel amplop cokelat tadi.
Aga berdiri paling cepat, semangat. Yang lain mengekor di belakang Aga. Sisa aku sendiri yang belum selesai. Aku sudah tiga kali mengundi tapi hasilnya berubah-ubah. Aku bingung sekaligus keheranan pada Aga yang hanya sekali mengundi langsung berani menentukan pilihan, malah dia yang duluan menyerahkan kertas jawabannya ke depan.
Aku telah yakin pada sembilan soal yang berhasil kujawab. Tentu benar semua. Dalam hati aku mengkalkulasikan berapa nilai yang akan aku peroleh jika jawabanku yang satu soal ini salah.
Aku menutup kedua mataku dengan mengernyitkan dahi. Lantas memilih salah satu jawaban yang kuanggap hoki dalam hidupku. Aku menyerahkan kertas jawabanku ke bu Neli setelah semua soal telah kujawab dengan penuh optimisme.
Aga tampak bangga setelah memecahkan rekor muri sebagai siswa tercepat menyelesaikan ulangan akhir semester. Budi tampak khawatir, dan Randi menggeleng hebat sembari membaca buku catatannya.
Masih ada empat hari lagi ulangan semester akhir. Ulangan di hari pertama sangat menguras otak dan tenaga, terutama bagi yang mengundi. Bahkan ada yang melempar undian sekuat tenaga, geram. Meskipun begitu mereka tidak ambil pusing. Masih tetap tersenyum lebar walaupun aku yakin betul di dalam hati mereka sedang berpikir keras.
Hari kedua ulangan semester akhir diawasi pak Mad. Bu Neli ke kelas dua. Dan dua pak guru lagi ke kelas tiga, empat, lima, dan enam, bolak-balik. Satu guru kadang mengawasi dua kelas, bergiliran. Sekolah ini memang kekurangan tenaga pengajar. Isunya setelah pembangunan gedung baru selesai pihak sekolah berencana akan menambahkan guru baru di sini. Kalau memang benar, aku hendak mengusulkan ibuku. Leluconku dalam hati.
"Kenapa senyum-senyum sendiri, Ki?" Tanya Aga keheranan.
Pak Mad membagikan kertas ulangan. Aga buru-buru membuka kertas ulangan itu lantas membandingkannya dengan kertas ulanganku.
"Soalnya sama, Ki." Berbisik. Aga tersenyum sangat lebar. Mata pelajaran bahasa Indonesia. Bahasa sehari-hari yang kami gunakan ketika di sekolah. Tapi yang dipelajari bukanlah tentang bahasanya, melainkan tentang cara menggunakan dan mengetahui susunan kata dalam kalimat terutama cara membaca, dan tanda baca. Untungnya aku sudah belajar semalam. Nomor satu bisa kujawab dengan mudah. Aga melirik ke lembar jawabanku. Bolak-balik. Leher Aga bagai baling-baling yang ditiup angin malam, sembunyi-sembunyi, mencontek.
"Aga. Kalau tidak mau saya suruh keluar. Kerjakan soal itu sendiri!" Ujar pak Mad. Baru dua soal yang berhasil kujawab, Aga sudah mendapat kartu kuning.
Sedetik pun tidak terlewatkan dari pantauan pak Mad. Matanya bagai mata elang yang dari ketinggian bisa melihat mangsa dengan jelas, menerkam mangsanya ketika lengah. Pak Mad menarik contekan Aga. Dia marah besar, nyaris mengusir Aga.
"Sekali lagi ketahuan mencontek saya tidak segan-segan mengeluarkan kamu dari sekolah ini!" Ancam pak Mad. Aga hanya berkedip pelan, lalu menunduk penuh penyesalan.
Aga menjawab soal ulangan dengan tergesa-gesa. Jera mencontek lagi. Bukannya aku tidak mau memberi contekan pada Aga. Tapi sedari tadi mata pak Mad mengawasi Aga seolah tidak ada siswa lain yang mencurigakan di kelas ini selain Aga.
Ulangan hari kedua telah selesai. Aga termangu-mangu di mejanya. Siswa lain membuka buku catatan mereka, ada yang menggeleng hebat seperti Randi dan Budi, ada pula yang tersenyum lega.
Hari terakhir ulangan, Aga masih tidak tenang. Biarpun bu Neli yang menjadi pengawas ulangan hari ini, Aga tetap gundah.
"Kamu sakit, Ga?" Tanyaku sedikit berbisik. Aga membelalakkan matanya tidak ingin diinterogasi.
Selama ulangan berlangsung, aku membuka lebar-lebar kertas jawabanku memperbolehkan Aga untuk menconteknya. Bu Neli pun tidak menggubris. Tapi anehnya, Aga menjawab soalnya tanpa melirik sedikit pun ke kertas jawabanku. Malah selesai lebih dulu dariku.
"Hebat kamu, Ga. Sudah selesai." Ujarku pelan. Aga tersenyum manis.
Lonceng berbunyi tiga kali tanda ulangan akhir semester telah selesai. Kami menyambut riang suara lonceng itu. Ada yang bersorak bahagia. Budi dan Randi melompat-lompat kegirangan.
"Hore. Kita libur lama." Ujar Budi sembari berpelukan dengan Randi. Kami bersalam-salaman.
"Semoga hasilnya memuaskan." Saling mendoakan satu sama lain.
Aga keluar kelas lebih dulu. Dia berdiri di tengah halaman sekolah, merespon teriakanku yang memanggil-manggil namanya. Senyum Aga teramat manis. Dia cepat membalikkan tubuhnya menuju jalan pulang. Senyuman itu menjadi pemisah antara aku dan Aga. Kami akan bertemu kembali ketika pembagian rapor nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments