“Aki…” Ibuku berteriak dari dapur, memanggilku.
Nama yang singkat. Nama itu memiliki makna yang berarti semoga sembuh. Dulu, sebelum namaku diganti menjadi Aki--aku sering sakit-sakitan. Ayah dan ibu sempat pasrah karena berbagai cara yang telah mereka lakukan tidak berhasil. Pamanku yang mengganti namaku menjadi Aki. Sejak saat itu, aku tidak sakit-sakitan lagi.
"Ada apa, bu?" Tanyaku penasaran seraya melongok ke dapur. Ibu menyusun pakaian kotor ke dalam ember yang dipadat-padatkan.
"Ibu mau mandi di sumur. Kamu ikut, tidak?"
"Ikut, bu." Jawabku cepat, penuh antusias.
Aku berlari zig-zag ke arah kamar, mengambil handuk kecilku. Handuk polos yang ibu belikan dua tahun yang lalu, masih layak pakai, meskipun sedikit sobek di pinggirnya. Dalam hitungan detik, aku keluar rumah dan bergegas menyusul ibuku yang sudah menjauh sekitar sepuluh meter dari pintu belakang. Kami melewati ilalang di sepanjang jalan. Aku berhenti sejenak, menggaruk-garuk kakiku sembari melihat ibu yang tampak berat melangkahkan kakinya, membawa dua ember yang berisi pakaian kotor; ember yang satunya di bahu, satunya lagi dijinjing. Langkah kaki ibuku memendek, tanpa jejak. Karena memang tidak ada yang bisa membuat kaki berbekas di tanah keras. Biasanya di tanah yang aku dan ibu lalui sekarang ini berlumut. Licin. Kadang-kadang membuat ibuku tergelincir, terhuyung-huyung menjadi latah, memaki-maki sekitarnya sembari bilang, kurang ajar, keras lembut lumut kepala, ilalang berbuah. Sejak kapan ilalang ada buahnya, latah ibuku membuat lelucon aneh, aku tertawa terbahak-bahak setiap kali mendengar latahnya.
Dulu, aku juga pernah tergelincir melewati rumpun ilalang ini. Kaget. Bahkan sangat kaget sampai menutup mata dengan kedua tanganku seperti melihat hantu. Bukan takut hantu, tapi aku takut ilalang itu menusuk mataku. Mata yang amat mungil, yang kupejamkan di kala malam dan kupaksa melek di saat subuh dan pagi; yang berkedip pelan, bahkan yang bisa mengeluarkan air di kedua sisinya.
Ilalang itu menunduk seolah menghormatiku seperti seseorang yang dituakan dalam kumpulan anak-anak. Aku berjalan membalas penghormatannya sembari mengucapkan kata, permisi dalam hatiku.
Tidak mengulur waktu terlalu lama. Aku berjalan mendahului ibuku. Menuju sumur yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah tua kami. Sekitar dua puluh lima meter.
Rumah tua? Aku menoleh ke belakang dan memastikan bahwa rumah itu benar-benar sudah tua.
"Aku duluan, bu." Langkah kaki yang sengaja dibuat terseok-seok, mengolok-olok ibuku yang berjalan pelan.
Aku bagai burung yang lepas dari sangkar dengan sendirinya. Berlari kencang, mendekati sumur. Melihat ke sekeliling sumur yang tampak mengasyikkan. Ada tanaman seperti keladi, berdaun lebar, batang berduri—tumbuh di dekat sumur. Tidak jauh dari tanaman berduri itu ada rerumputan yang rebah ke kiri dan ke kanan seperti jalan yang sengaja dibuat menuju ke hutan. Mungkin jalan alternatif ayahku untuk mencari rumput. Bisa jadi ayam kampung peliharaan ayah menjadi vegetarian akut. Sapi menyukai rumput, tidak mungkin ayam menolaknya. Tapi, ada satu hal aneh. Aku belum pernah melihat ayah mandi di sumur ini. Celotehku dalam hati.
Ayah paling mahir menghemat air, bahkan mandi pun sanggup dengan persediaan air yang serba dicukup-cukupkan. Tidak mau mandi di sumur ini. Malah lebih memilih mandi di kolam buatan paman. Airnya keruh. Ayah tidak peduli. Asal basah! Bantahnya ketika ibu mengomel. Siapa yang mau tidur satu kamar dengan orang yang mandi di air keruh? Pasti bau. Ketus ibuku setiap kali ayah membantah. Tapi ibu tidak sampai hati membiarkan ayah tidur di ruang tengah sendirian. Itu hanya cara ibuku agar ayah rajin mandi, meskipun tidak berhasil.
Dulu ibuku pernah memaksa ayah mandi di sumur ini. Hanya beberapa hari. Dingin. Alasannya agar tidak dipaksa. Memang benar. Air sumur ini sangat dingin dibandingkan air kolam buatan paman. Tapi aku tidak mau seperti ayah, dan juga paman yang ikut-ikutan mandi di kolam buatannya itu.
Sumur ini dihuni ikan-ikan kecil bermacam warna. Di pinggirnya ada akar-akar yang menjalar ke bawah, menyentuh air. Sumur yang cukup dalam. Kemarau panjang tidak membuat sumur ini kering. Tapi memang agak surut. Hampir satu meter menurut perhitunganku dari permukaan tanah. Airnya yang jernih membuat aku dengan bebas bisa melihat ikan-ikan kecil itu berenang. Ada yang berwarna merah, putih garis kehitaman, mulutnya moncong, mata kecil, dan aku tergoda.
Ibuku melemparkan ember yang diikat dengan tali ke dalam sumur. Air di sumur beriak-riak ketika ember itu berkecimpung dan diangkat perlahan oleh ibuku. Ikan-ikan itu tetap tenang. Sesekali bersembunyi di balik akar, dedaunan dan batu yang tersusun acak di dalam sumur. Dua ember penuh. Ibu membawa air itu agak jauh dari sumur, lantas mencuci pakaian membelakangiku, menghadap ke arah tanaman berduri itu. Kata ibuku biar air sabun tidak mengotori sumur.
"Kenapa, bu?" Aku bertanya keheranan melihat ibuku membuang seember air ke sumur.
"Melepaskan ikan yang tidak sengaja terserok." Ibu melempar ember ketiga kalinya. Setelah memastikan tidak ada ikan yang ikut terserok, barulah kemudian air itu dia digunakan untuk mencuci pakaian.
Belum sempat aku menahan ibuku agar tidak mengembalikan ikan itu ke sumur; aku bermaksud ingin memeliharanya. Seolah mengucapkan terima kasih, ikan itu berenang riang di dalam sumur. Aku tidak pernah bosan melihatnya. Malah semakin lama mencondongkan kepalaku ke sumur, aku semakin bersemangat dan penasaran ingin menyeroknya langsung. Sembari menghayal ikan-ikan itu kupelihara di dalam botol yang sudah aku siapkan dua hari sebelumnya.
Ibuku masih sibuk mencuci pakaian di belakangku. Berkali-kali menyeka wajahnya yang keringatan. Aku tidak tega. Ibu membutuhkan bantuan, sangat membutuhkannya! Dan, seharusnya sebuah ide baru kulakukan dengan sesegera mungkin. Saat ini. Ide itu muncul. Aku akan membantu ibu mengambil air sumur, dan juga ikan-ikan itu. Tunggu kalian! Seruku dalam hati sembari mengambil ember kosong di samping ibuku, diam-diam. Berharap ada yang terangkat ke atas olehku. Aku ingin memelihara salah satu ikan yang ada di sumur itu.
Tanganku sudah siap menyerok air sumur. Kepalaku tertunduk ke bawah. Mengambil posisi yang tepat untuk fokus pada gerakan tanganku yang penuh ambisi agar ember yang dilempar ke sumur tepat sasaran. Tiba-tiba beberapa capung mengepakkan sayapnya, beterbangan di depanku. Ada banyak. Sekitar sepuluh ekor. Mereka tampak sedang merayakan kebebasan. Sekaligus menemaniku yang juga senang bisa memegang ember, mengaiskannya ke permukaan air.
Sebenarnya aku tidak diperbolehkan mendekati sumur ini. Lebih tepatnya, ibuku akan marah jika melihat tanganku senakal ini tidak mengindahkan larangannya.
Aku mencoba mengambil air saat ibu sibuk, lagi pula tidak ada yang tahu. Aku juga ikut mengibas-ngibaskan tanganku seperti capung yang mengepak-ngepakkan sayapnya. Sudah tiga kali. Aku melemparkan ember dengan penuh hati-hati, pelan--agar tidak didengar ibuku kalau aku memberanikan diri mendekati sumur dan mencoba mengambil airnya.
Rumput di dalam sumur ikut tersingkirkan. Berkali-kali sampai akhirnya pada lemparan yang kelima, ikan-ikan kecil itu masuk dan terjebak di dalam ember. Mereka sengaja kutarik dengan sangat cepat supaya aku tidak terlambat. Aku menariknya semakin cepat. Tidak jauh dari ganggang ember tampak beberapa untai tali telah putus. Semakin kuat aku menarik ember itu, semakin banyak untaian tali yang putus. Aku berupaya menjangkau ember sembari membungkuk.
Mendesis tertahan, sedikit ragu, dan berusaha tidak didengar ibuku. Tidak ada yang tahu dengan ide muliaku. Bisa jadi suatu hari nanti ibu memercayaiku mengambil air di sumur ini lagi. Satu hal yang menyenangkan. Tapi itu masih tekad yang kuat, dengan segenap ambisi aku harus berjuang untuk membuktikannya! Batinku.
Pembuktian dengan mengangkat ember seperti lelaki gagah perkasa yang memang pahlawan andalan. Tentu akan menjadi perbincangan yang mengharukan bagi setiap orang. Aku berharap demikian. Hanya seember air, aku yakin ibu akan menceritakan aku pada ibu-ibu lainnya, menyebut kelebihanku yang bernyali besar bertenaga super. Aku harus berbeda dari anak kecil biasa. Bukan hanya ingin menjadi pahlawan, aku juga iba melihat ibu jika setiap hari mengambil air di sumur tanpa ada yang membantu.
Aku memegang gaggang ember sekuat tenaga agar tidak terlepas. Mengangkatnya sembari memasang ancang-ancang seperti tarik tambang. Tapi terhenti sejenak. Napasku terlalu lama kutahan, dan ember pun terlalu berat. Tanganku masih memegang ember. Aku memang belum sepenuhnya kuat seperti yang kubayangkan. Tapi, apa salahnya kucoba sekali lagi?
Tanah di pinggir sumur terkikis. Aku melihat air sumur itu mulai keruh. Satu per satu tanah di atas sumur berjatuhan. Ibuku di ujung sana tidak melihatku. Terlalu banyak pakaian yang dicucinya hari ini, sibuk.
Aku tidak mau melepaskan ember itu karena di dalamnya sudah ada ikan yang akan aku pelihara. Apalagi ibuku membutuhkan bantuanku. Ibu harus merasakan peranku sebagai anaknya! Setidaknya aku sedikit berguna meskipun kadang-kadang menyusahkannya. Bandel, nakal, dan aktif.
Berat badanku kata petugas Posyandu beberapa hari yang lalu lima belas kilogram, sedangkan berat ember yang kutarik sekarang rasanya sekitar dua kilogram. Aku memang kurus. Di usiaku yang lima tahun sekarang dengan berat badan sebegitu--tidak ideal kata petugas Posyandu. Ada yang bilang aku cacingan. Ada juga yang bilang aku nakal, jarang istirahat siang. Memang aku jarang istirahat. Ibu sering mengintaiku, memaksa aku tidur siang. Tapi aku malah kabur dari rumah sembari berjoget-joget menjulurkan lidah, mengolok ibuku. Ayah dan ibu pernah memberi aku obat tidur. Sumpah. Hanya obat tidur itulah yang berhasil membuat aku terlelap sampai kedua orang tuaku itu ketakutan kalau aku tidak bangun selamanya. Bagaimana tidak takut? Aku tidur sedari meminum obat itu, mulai dari pagi sekitar jam enam, bangun siang hanya untuk makan, lanjut tidur lagi hingga pagi berikutnya. Sejak saat itu, kedua orang tuaku jera memberiku obat tidur. Biarkan. Kata ayah ketika aku menolak tidur siang.
Aku mengangkat ember itu lagi sambil mengerang pelan. Tangan kiriku memegang ganggang ember, tangan kananku berpaut pada rerumputan. Sendal yang kupakai terasa licin. Aku sedikit membungkuk sembari melepaskan sendal itu. Kemudian melanjutkan misiku.
Kali ini aku tidak akan gagal. Aku memegang ember itu dengan kedua tanganku. Tumpuan terhebatku saat ini ada pada kakiku. Semua tenaga telah kukerahkan.
Ibu menoleh ke sumur dengan sangat cepat. Tangannya yang cekatan berhenti seketika setelah mendengar kecimpungan air yang sangat kuat.
“Ya Tuhan..!” Teriak ibuku, kaget dan panik.
Berlari mendekat. Mengulurkan tangannya. Tapi tidak sampai, hanya ujung jari yang bisa kusentuh. Ujung jari yang terasa seperti magnet sama kutub. Meskipun aku sudah berusaha mendekat dan menggapai tangan ibuku, tapi gagal karena aku belum bisa berenang. Ibu juga tidak bisa berenang. Dia hanya bisa mengulurkan tangannya sembari berteriak sekuat tenaga, minta pertolongan.
Lubang melingkar seperti huruf vokal tidak ada ujung dan pangkal yang disebut dengan mulut termonyong-monyong tanpa menyentuh kedua bibir itu, membuat aku tidak berdaya. Aku kedinginan dan takut. Mulut komat-kamit minta tolong tidak beraturan. Sesekali air sumur masuk melalui mulut dan hidungku. Aku kesulitan bernapas.
Aku mengibas-ngibaskan kedua tanganku. Tenagaku hampir habis. Kakiku sama sekali tidak bisa menggapai berbatuan di dalam sumur. Bahkan ember pun aku tidak tahu ke mana. Jelas sudah, ikan-ikan itu tidak bisa kutangkap. Mereka telah bebas. Saat ini, malah aku yang terperangkap di lorong perlindungan mereka.
Sumur telah berubah menjadi siluman. Tanah yang terkikis dan air sumur yang bergelombang membuatnya airnya keruh. Warnanya tidak jauh beda dari kolam buatan paman. Ikan-ikan pun menghilang seketika, menjauhiku, seolah aku mengundang bencana bagi mereka.
Tangan ibuku melambai-lambai. Berteriak panik, bergema seperti di dalam gua.
Tidak lama kemudian ada seorang lelaki mengenakan topi berwarna merah yang perawakannya seperti kakek-kakek berdiri di dekat sumur. Melihatku sekilas. Seketika itu juga seutas tali tambang diulurkan ke sumur. Aku tidak bertenaga lagi untuk memegang tali itu. Meskipun di atas sana ada suara yang terdengar mengecil menyuruh aku memegang tali. Tapi aku tidak bisa. Sebentar lagi aku akan tenggelam. Aku pasrah.
Perlahan tali itu memendek, tubuh besar masuk, menyusulku ke dalam sumur. Kakinya menginjak dinding sumur, sementara tangannya berpaut pada tali.
Dia merangkulku dengan satu tangannya. Menarik aku ke atas. Aroma getah kering masih melekat di tubuhnya. Pelukannya sangat erat. Membuat aku merasa sedikit kehangatan. Tangannya terasa kasar. Aku sepertinya mengenali tangan itu.
Mataku belum bisa melihat dengan jelas. Yang kulihat semuanya tampak samar.
Aku diangkat sungsang; kaki di atas, kepala di bawah. Lalu diguncang berkali-kali hingga sedikit demi sedikit air yang tertelan keluar dari hidung dan mulutku, disertai batuk.
Aku sadar dan mulai bisa melihat siapa yang menolongku. Ternyata dia adalah ayahku. Orang yang telah berjasa menyelamatkanku. Orang yang banyak alasan kalau dipaksa mandi di sumur ini. Saat ini, malah ayah yang turun ke dalam sumur menolong aku.
Ibu memeluk aku seperti orang yang bersalah. Dia menangis sejadi-jadinya ketika melihat aku sekarat.
"Ini salahku." Kata ibuku terisak tangis, aku masih di dalam pelukannya. Suaranya terdengar lembut di telinga kiriku.
"Tidak apa-apa." Ayah memeluk aku dan ibu. Kami bertiga seperti teletubbies yang sedang berpelukan. Seperti gambar di sampul buku yang sempat aku tatap lekat-lekat beberapa hari lalu.
Dari kejauhan, paman berlari kencang mendekati kami yang sedang berpelukan di dekat sumur.
“Syukurlah kamu selamat.” Paman tersenyum lega. Napasnya tersengal-sengal. Keringatan dan sedikit pucat. Membelai kepalaku.
Ayah melepaskan bajunya, melingkarkannya di tubuhku. Mengambil topi di atas dedaunan. Topi itu sengaja dilempar sembarangan karena panik, menolongku. Menyungkupkannya di kepalaku sembari tersenyum kelelahan.
"Di mana anak ikan itu, sembunyi semua?" Ledek paman. "Oh ini embernya." Mengangkat ember yang tenggelam di sumur.
"Mau ke mana, Cil?" Tanya ayah pada paman. Nama paman, Ucil. Sesuai dengan namanya; tubuh paman tidak lebih besar dari ayah. Tapi langkah kaki paman sangat tangkas. Meskipun satu langkah kaki ayah sama dengan dua langkah kaki paman, tapi laju langkah kaki paman tidak bisa kami kalahkan kalau sedang di hutan.
"Sebentar!" Paman meneruskan perjalanannya, melewati rerumputan yang rebah. Ayah mendongak, penasaran.
"Apa itu?" Tanya ayah sembari mendekati paman.
"Hadiah untuk anak yang nakal." Paman memberiku tiga ikan mungil yang dia ambil dari dalam hutan.
Ternyata rerumputan yang rebah itu ulah paman. Sengaja direbahkan agar ada jalan menuju ke hutan, tempat paman mencari ikan rasbora maculata. Ikan jenis ini bisa dijual. Harga per ekornya lima puluh rupiah. Harga dua ekor ikan rasbora maculata mampu membeli permen pendekar biru yang lagi hit di Desa Trans Prompong ini, desaku. Desa yang jauh dari pasar, jauh dari sekolah tingkat pertama dan atas, dari puskesmas dan kota.
"Oh gara-gara ikan ini?" Tanya ayah dengan nada bicara keberatan. Melirik ke arahku yang tersenyum merasa bersalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments