Mawar De Haas
Author POV
Hindia Belanda, 23 Januari 1919.
"Kapan kau akan membayar utangmu, Goenawan?" seorang jongos dari Tuan Belanda kaya raya kepada Goenawan, seorang pribumi pemilik usaha kelapa sawit di bumi Sumatera.
Goenawan kehabisan kata-katanya, takut akan konsekuensinya yang tak mampu lagi membayar hutangnya kepada sang Tuan Belanda karena bisnisnya terus menurun beberapa bulan belakangan.
Di samping Goenawan, ada Tuminah sang istri yang sudah mulai menangis sebab teringat akan perjanjian mereka dengan sang Tuan Belanda yang telah memberikan mereka pinjaman uang.
Suasana sore hari yang seharusnya tenang dan menyenangkan itu berubah seratus delapan puluh derajat sejak kedatangan para jongos Tuan Belanda itu ke kediaman keluarga Goenawan.
"Aku sudah tidak sanggup membayarnya, Darijo..." jawab Goenawan putus asa.
Tuminah, wanita berusia dua puluh tahunan akhir itu memeluk Sarinah putri semata wayangnya dengan air mata bercucuran sementara sang gadis hanya bisa memandang kedua orang tuanya bingung.
"Kalau begitu, aku akan segera memanggil Meneer kemari untuk mendapatkan kompensasi dari utang yang tak mampu kalian lunasi," final Darijo sambil melirik gadis cantik dalam dekapan Tuminah.
Darijo lantas pergi meninggalkan rumah keluarga Goenawan, yang lagi-lagi menimbulkan tanya dalam benak Sarinah.
"Apa yang sebetulnya terjadi, Bapak, Ibu?" tanya Sarinah yang tak mengerti mengapa Ibu dan Bapaknya menangis sambil memeluk erat-erat dirinya.
"Berjanjilah kepada Bapak untuk selalu bersikap baik di hadapan Tuan, Sarinah."
Belum terjawab tanda tanya dalam benaknya, Sarinah sang gadis muda kini makin dibuat bingung oleh ucapan Bapaknya barusan.
Dengan air muka bingung yang tak bisa dia sembunyikan, Sarinah hanya bisa memeluk Ibu dan Bapaknya yang terus menangis dalam diam.
Setelah kehilangan banyak lahan kebun mereka, apa lagi yang harus hilang dari keluarga Goenawan yang malang ini?
...****************...
Suara berisik dari kereta kuda yang membawa Tuan De Haas menuju rumah keluarga Goenawan menyita perhatian warga sekitar pemukiman penduduk pribumi malam itu.
Adolf De Haas, seorang Tuan Belanda yang merupakan seorang pengusaha kaya raya berparas tampan itu memang kerap kali menyita perhatian.
Tubuhnya tegap dan tinggi, rambutnya pirang dengan sepasang mata biru safir yang begitu menarik bagi para lawan jenis terlebih usia sang Tuan yang masih muda dan belum menikah.
Bagi banyak mata, Tuan De Haas bagaikan singa jantan yang gagah perkasa serta rupawan yang pesonanya begitu sayang untuk dilewatkan.
Bermodalkan penerangan dari beberapa batang obor yang dibawa oleh para jongosnya, Tuan De Haas akhirnya berhasil tiba di rumah keluarga Goenawan.
"Selamat datang, Tuan. Maaf membuat anda harus datang ke rumah kami yang hina dina ini," sapa Goenawan berusaha ramah kepada sang Tuan Belanda tetapi kesedihan tak dapat disembunyikan oleh ayah satu anak itu.
"Tidak perlu menyajikan apa-apa, aku kemari hanya untuk menerima pembayaran dari utangmu," tegas Tuan De Haas.
Goenawan menelan ludahnya, tak tahu harus berkata apa saat pria Belanda itu langsung mendudukkan diri di atas kursi kayu ruang tamu rumahnya.
Tidak mau membuat sang Tuan menunggu, Goenawan lantas beringsut ke dalam rumahnya untuk memanggil anak dan istrinya.
"Ayo, cepat! Tuan sudah datang," bisik sang kepala keluarga kepada istrinya.
Tuminah mengangguk, merangkul sang putri untuk berjalan keluar dari kamar menuju ruang tamu tempat sang Tuan menunggu.
"Selamat malam, Tuan. Maaf telah membuat Anda menunggu, dia adalah Sarinah putri kami satu-satunya yang paling berharga yang saya dan Goen miliki," ucap Tuminah santun, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Tatapan tajam khas Tuan De Haas seketika berubah menjadi lembut tatkala ia beradu pandang dengan Sarinah, sosok ayu yang tengah berdiri di hadapannya dengan penuh kebingungan.
Gadis itu berkulit kuning langsat dengan sepasang netra berwarna cokelat gelap lengkap dengan bibirnya yang merah ranum, kecantikan yang begitu mencolok untuk seorang pribumi.
Tuan De Haas pun mengakui dalam hatinya bahwa kecantikan Sarinah sangat luar biasa jika dibandingkan dengan wanita-wanita lain yang pernah menjalin hubungan dengannya.
Dengan kaku, Sarinah akhirnya tersenyum karena dipaksa oleh sang Bapak yang berdiri di belakangnya.
"Karena kompensasi yang aku dapatkan memang sangat menarik, aku anggap semua utang kalian lunas. Bawa dia masuk ke dalam kereta kuda," ucap Tuan De Haas setelah cukup lama tercenung memandangi kecantikan milik Sarinah.
"Bapak dan Ibu menjual diriku?" tanya Sarinah dengan mata yang sudah basah oleh air mata.
Biar bagaimana pun, Sarinah tak pernah merasa siap walau ia tahu kejadian seperti ini memang sudah menjadi hal yang umum di Hindia Belanda.
Jika sebuah keluarga tak mampu membayar utangnya kepada Tuan Belanda tempat mereka meminjam uang, maka jika tak ada barang berharga setara dengan nominal utang itu maka mereka harus rela kehilangan anak mereka sebagai kompensasi.
Mau tak mau, Sarinah harus menerima takdirnya ini demi keselamatan nyawa kedua orang tuanya yang sangat dia cintai.
"Tak ada yang bisa kami lakukan selain ini, Nak," jawab sang Bapak yang sudah tak kuasa menahan tangisnya.
"Bersikaplah sebaik mungkin, anakku," ucap sang Ibu mengingatkan ditengah pelukan terakhir keluarga hangat itu.
Setelah dapat mencerna sepenuhnya situasi yang menimpa keluarganya, Sarinah melangkah gontai mengikuti sang Tuan menaiki kereta kuda.
Hujan yang turun secara tiba-tiba membasahi bumi seolah menjadi gambaran kesedihan yang menyelimuti keluarga Goenawan.
Seiring dengan langkah kuda yang menarik kereta yang ditumpangi oleh putri mereka kian melangkah jauh, Goenawan dan Tuminah hanya bisa berharap semoga kehidupan putri mereka akan menjadi lebih baik setelah hidup sebagai seorang Nyai.
"Setibanya di rumahku nanti, buang saja semua pakaian yang kau bawa dari rumah," ucap Tuan De Haas pelan, seperti gumaman di tengah suara gemuruh hujan.
"Ya, Tuan?" Sarinah yang sedang melamun tak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh sang Tuan.
"Buang semua pakaian yang kau bawa setibanya di rumahku nanti, Sarinah."
Bagi Sarinah, mendengar seorang Tuan Belanda mau memanggil namanya adalah hal yang sangat luar biasa mengingat selama ini orang-orang Belanda selalu memperlakukan mereka, rakyat pribumi layaknya kotoran di negeri mereka sendiri.
"Jika itu perintah, maka akan saya lakukan, Tuan," balas Sarinah patuh dengan pandangan kosong ke depan.
Tuan De Haas yang amat terpesona dengan kecantikan milik Sarinah tak mampu menyembunyikan rasa ketertarikannya pada gadis pribumi itu.
Sejak berada dalam kereta kuda, sepasang obsidian biru safir milik sang Tuan selalu setia menelisik setiap inchi dari wajah Sarinah yang amat menawan.
"Jika aku menginginkan anak darimu, apa kau tidak keberatan?" tanya sang Tuan lagi.
Sarinah lagi-lagi dibuat heran dengan perlakuan Tuan De Haas yang sangat lain dari yang lain ini.
Entah apa yang dipikirkan oleh sang Tuan hingga ia melontarkan pertanyaan seperti itu.
Sarinah tersenyum, walau terpaksa ia tetap mengangguk kemudian berujar lembut.
"Jika Anda merasa tidak masalah mendapatkan anak dari seorang wanita hina seperti saya maka Anda bisa mendapatkan berapa pun yang Anda inginkan, Tuan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Defi
segitu mirisnya di zaman dahulu, harga diri anak perempuan itu nol besar 😕
2023-06-08
1