Tepat setelah empat puluh hari kelahiran Mawar De Haas, malam ini rumah keluarga De Haas sudah ramai disambangi oleh orang-orang Belanda dari berbagai macam kalangan.
Mulai dari sesama pebisnis seperti sang kepala keluarga, para pejabat pemerintahan dan militer sampai para staff yang bekerja di bidang produksi semuanya datang untuk menghadiri pesta penyambutan kelahiran anak pertama De Haas yang diselenggarakan di rumah keluarga De Haas malam ini.
Alunan musik mengiringi pesta yang megah itu, dekorasi yang indah juga kian mempercantik rumah keluarga De Haas.
Semua orang nampak asyik bercengkrama satu sama lain, membahas bisnis mau pun mengenai soal pekerjaan mereka masing-masing.
Tuan De Haas juga nampak sibuk mengobrol dengan kolega bisnisnya, sedangkan Nyonya De Haas yang sedang berada di dekat pintu rumah tengah menjadi buah bibir para Nyonya Belanda yang berdarah Eropa murni.
"Apa Nyonya De Jaeger tidak lihat? Ibu dari anak Tuan De Haas ternyata adalah seorang pribumi," bisik Nyonya Van Kessel bernada tajam, melirik Nyonya De Haas yang nampak anggun dengan gaun pesta berwarna biru muda.
Nyonya De Jaeger menaikkan alis kirinya, memandang Nyonya De Haas dengan tatapan mencela.
"Aku juga menghadiri pernikahan mereka, meski dia cantik tetap saja Tuan De Haas tidak sepatutnya menikah dengan wanita itu."
Nyonya Van Hoffman juga turut menimpali dengan nada satir. "ya, kita hanya tinggal menunggu kapan wanita itu akan dicampakkan oleh Tuan De Haas. dia sama sekali tidak pantas untuk mendampingi lelaki hebat seperti Tuan De Haas."
Sarinah, wanita malang yang menjadi bahan pergunjingan keji para Nyonya Belanda itu dapat mendengar semua yang mereka katakan dengan sangat jelas. Namun ia memilih untuk diam, meski sang suami selalu meminta Sarinah untuk melawan saat orang-orang menghina dirinya.
Meski kini sudah menjadi Nyonya De Haas, Sarinah tetaplah Sarinah, perempuan desa yang lugu lagi bersahaja. Walau kini sudah hidup bergelimang harta, dia tetap memilih untuk bersikap sederhana.
Tak jarang, kebaikan hati Nyonya De Haas yang suka membantu rakyat pribumi yang miskin mendapatkan apresiasi dari pribumi lainnya namun mendapatkan kecaman keras dari orang-orang Belanda di sekitarnya.
"Nyonya De Haas, tidak sepatutnya Anda mendengarkan kata-kata jahat mereka," ucap Nyonya Van Ross ramah, menggiring Nyonya De Haas menjauh dari orang-orang yang mengatakan hal jahat kepadanya.
Nyonya Van Ross memang terkenal akan sikapnya yang berbeda dari para Nyonya Belanda yang lain, beliau memang selalu memperlakukan semua orang dengan baik termasuk para pribumi.
Nyonya De Haas hanya tersenyum sendu, melihat anaknya yang sedang bermain dengan jemari tangannya sambil berjalan mengikuti arah kemana Nyonya Van Ross menuntunnya.
"Entah kesalahan apa yang pernah saya lakukan, Nyonya Van Ross. Mereka selalu memandang saya rendah bagaikan sampah," balas Nyonya De Haas setibanya mereka di dekat meja perjamuan.
Meski bukan seorang pribumi, namun Nyonya Van Ross mengerti bagaimana perasaan Nyonya De Haas saat ini. Wanita itu tahu betul, apa saja yang harus dilalui oleh Sarinah yang malang.
Mendapatkan suami Belanda bukan jaminan bahwa hidupnya akan menjadi jauh lebih baik, namun terlepas dari semua itu Sarinah tetap merasa bersyukur karena memiliki suami yang selalu memperlakukan dirinya dengan baik.
Walau suaminya memberikan status sosial yang tinggi dengan harta berlimpah, orang-orang Belanda tentunya tak mau serta merta menghormati Nyonya De Haas yang merupakan seorang pribumi.
"Mereka memang selalu begitu, Nyonya De Haas. Tetapi bagi saya memandang rendah orang lain bukanlah perilaku yang terpuji. Biar pun tidak banyak, sebenarnya masih ada orang-orang yang bersikap seperti saya," Nyonya Van Ross berujar lembut, membawa Nyonya De Haas untuk duduk.
Pesta yang meriah itu sama sekali tidak terasa spesial untuk Sarinah, sang Nyonya De Haas.
Dia merasa hampa, tak ada yang memperhatikan keberadaan dirinya selain suaminya dan Nyonya Van Ross.
Keadaan ini adalah pil pahit yang harus ditelan oleh Sarinah selaku istri pribumi dari seorang Meneer.
Orang Belanda lain akan memperlakukan dirinya dengan baik saat sedang membutuhkan bantuannya, selebihnya orang-orang enggan bahkan hanya untuk sekedar menyapanya.
Sungguh miris, namun inilah kenyataan hidup.
"Meneer dan Mevrouw sekalian mohon perhatiannya sejenak," suara Tuan De Haas menginterupsi, menarik perhatian semua mata yang ada di ruangan itu.
Mereka yang sudah mendengar suara Tuan De Haas mulai datang mendekat, penasaran agaknya apa yang akan dikatakan oleh sang Tuan rumah.
Tuan De Haas menghampiri istrinya yang sedang mengobrol dengan Nyonya Van Ross, lagi-lagi menarik perhatian semua orang.
"Semuanya, dengarkan aku. Dia adalah istriku yang harus kalian panggil sebagai Nyonya De Haas, sedangkan anak yang ada dalam gendongannya adalah putri kami yang bernama Mawar De Haas."
Perkataan tegas dari Tuan De Haas membuat ruangan itu seketika senyap. Orang-orang Londo itu tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Tuan De Haas langsung.
"Apa? Namanya Mawar? Bukankah itu sangat kampungan?" cela Tuan Van Kessel.
"Kenapa Anda tidak memberikan nama yang lebih baik untuk anakmu? Setidaknya jika ibunya adalah seorang pribumi yang menjijikan maka dia harus memiliki nama yang baik," Tuan De Jaeger berkata pedas, membuat hati Sarinah terasa sakit sekali.
Kenapa ia harus hidup menderita seperti ini di negerinya sendiri? Hidup di negeri terjajah memang sangat menyakitkan, membuat wanita muda yang malang itu tak kuasa menahan tangisnya.
Buru-buru Sarinah masuk ke dalam kamarnya, membawa serta sang anak yang sedang menangis tanpa memikirkan apa yang ada di dalam pikiran orang-orang di ruangan itu.
Melihat hal itu, wajah Tuan De Haas menjadi merah padam karena darahnya menggelegak marah. Tentu saja dia tidak terima istrinya dijelek-jelekkan seperti itu.
"Dari mana hartamu yang berlimpah itu berasal kalau bukan dari kerja keras mereka para pribumi yang bahkan upahnya kau bayar sesuka hatimu, Tuan De Jaeger? Harusnya kau tidak mengatakan hal seperti itu!" balas Tuan De Haas tak kalah tajam.
"Walau istriku bukan wanita Eropa yang kalian sebut sebagai wanita yang paling mulia, tapi dia adalah wanita dibalik suksesnya semua bisnisku belakang ini. Apa istri kalian bisa melakukan pembukuan keuangan seperti istriku? Belum tentu," Tuan De Haas menambahkan.
Lelaki itu sudah terlalu marah untuk bisa mengendalikan dirinya hingga beberapa Tuan Belanda lain mulai menjauhkan Tuan De Jaeger darinya sebelum terjadi tindakan kekerasan.
"Suami istri De Jaeger memang keterlaluan. Mereka terus saja menjelekkan istri Anda sejak tadi," desis Tuan Van Ross, menarik lengan Tuan De Haas untuk menjauhi kerumunan yang kini mulai bergunjing dengan topik baru.
"Peter Van Ross, tolong katakan kepada semua orang bahwa pestanya sudah selesai."
"Baik, Tuan."
Malang nasib Sarinah dan anaknya.
Bahkan saat Mawar masih bayi pun ia sudah harus terlibat dalam masalah.
"Mawar, apa pun yang terjadi aku tidak akan mengganti namamu, Nak," gumam Tuan De Haas sambil berjalan menyusuri lorong rumahnya menuju kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments