"Apa yang engkau katakan memang betul, suamiku. Tapi, bukankah bangsa kalian adalah yang paling mulia di atas tanah negeriku yang terjajah ini?"
Mendengar pertanyaan istrinya, Tuan De Haas hanya bisa tersenyum tipis memaklumi.
Memang, orang-orang Belanda yang sombong dengan semua harta kekayaan yang mereka peroleh dari hasil menjajah negeri kaya ini kerap berkata demikian.
"Sama seperti orang pribumi yang tidak semuanya lugu, orang Belanda juga tidak semuanya jahat," ucap Tuan De Haas mencoba memberikan penjelasan kepada istrinya.
Nyonya De Haas mengangguk membalas ucapan suaminya, enggan beradu argumen lebih lanjut dengan sang suami.
Baik Tuan mau pun Nyonya De Haas sama-sama enggan untuk ribut. Mereka cenderung memilih untuk mengalah jika harus beradu argumen untuk hal yang tidak begitu penting seperti ini.
"Iya, suamiku. Kalau begitu lebih baik kita mulai berkemas membantu para Babu agar pekerjaan mereka lekas selesai," ucap Nyonya De Haas kemudian seraya menarik lembut tangan suaminya menuju kamar mereka.
Keduanya kemudian berjalan sejajar sambil bergandengan tangan menuju kamar diselingi gelak tawa kecil, menanggapi candaan dari sang suami yang terdengar tidak lucu.
Para Babu memang sudah mulai mengemasi barang-barang penting keluarga De Haas seperti dokumen penting dan beberapa benda lainnya.
Tuan De Haas memang sengaja tidak mau membawa barang yang terlalu banyak.
Toh, mereka masih bisa membeli barang-barang baru jika diperlukan di Batavia.
Lagi pula membawa barang-barang besar seperti lemari untuk berlayar akan sangat merepotkan, membuat Tuan De Haas dan istrinya memilih untuk mengambil langkah praktis saja.
Tuan dan Nyonya De Haas mulai sibuk berkemas bersama para Babu, sementara Mawar yang sedang diasuh oleh Bibi Inem hanya memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh para orang dewasa di rumahnya dengan tenang.
"Mawar, semoga kelak kehidupan kita di Batavia menjadi jauh lebih baik ya," ucap Nyonya De Haas dengan seulas senyum penuh pengharapan seraya mengusap lembut puncak kepala anak semata wayangnya.
...****************...
Hari kepindahan yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga.
Tuan dan Nyonya De Haas kini sudah berada di dermaga, bersiap untuk berangkat ke Batavia dengan kapal penumpang mewah milik pemerintah Hindia-Belanda.
"Jangan lupa kirimi Ibu dan Bapak surat ya, Nak," peringat Tuminah sang Ibu kepada sang putri, dibalas dengan pelukan hangat dari Sarinah.
"Hati-hati di sana ya, Nak. Jaga anak dan istrimu dengan baik jangan sampai ada orang yang melukai keluarga kalian," pesan Goenawan sambil memeluk singkat menantunya yang memiliki postur jauh lebih tinggi.
"Iya. Bapak tidak perlu khawatir," Tuan De Haas menyahut singkat dengan seulas senyum tipis, seperti biasanya.
"Mari naik, Tuan dan Nyonya De Haas. Kapalnya akan segera berangkat," panggil Paman Darijo santun setelah keluar dari salah satu ruangan dermaga.
Sekali lagi, Nyonya De Haas memeluk kedua orang tuanya memberikan salam perpisahan terbaik, berusaha mengutarakan semua rasa sayangnya kepada dua orang yang telah melahirkan dan merawatnya sejak kecil itu.
"Bapak dan Ibu sehat-sehat selalu ya. Jangan terlambat makan, minum air putihnya juga harus cukup," Nyonya De Haas mencoba tegar mengucapkan kata-katanya meski kini wajahnya sudah basah dengan air mata.
Tuan De Haas yang peka dengan cepat menyodorkan sapu tangan putih dari dalam sakunya, mengisyaratkan kepada sang istri untuk menyeka air matanya.
"Iya-iya, Nak. Kalian juga selalu hati-hati dan jaga diri ya. Pokoknya sering-sering kirimi Bapak dan Ibu surat," ucap sang Bapak, mengecup singkat puncak kepala putri semata wayangnya.
"Kami berangkat ya, Pak, Bu," pamit Tuan De Haas akhirnya sambil menggandeng tangan istrinya untuk langsung naik ke atas kapal yang sudah menunggu mereka.
Goenawan dan Tuminah tak kuasa menahan tangis mereka, namun mau tak mau harus tetap merelakan anak, cucu serta menantunya untuk memulai kehidupan baru di pulau Jawa.
Langkah kaki Nyonya De Haas terasa begitu berat, namun wanita itu memantapkan hati untuk terus melangkah naik ke atas kapal yang akan segera berangkat menuju Batavia.
Nakhoda kapal kemudian membunyikan klakson kapal sebanyak dua kali, pertanda semua persiapan untuk pelayaran telah rampung dan kapal akan segera bergerak meninggalkan dermaga.
Dengan berat hati, pasangan suami istri De Haas tetap teguh kepada pendirian mereka untuk melanjutkan perjalanan menuju Batavia demi menyongsong kehidupan yang lebih baik bersama Mawar sang putri.
"Apa kau baik-baik saja, Sarinah?" tanya Tuan De Haas setelah mereka berhasil tiba di bangku penumpang sesuai dengan nomor tiket.
Buru-buru Nyonya De Haas menghapus jejak air matanya menggunakan sapu tangan, tak mau kesedihannya membuat suaminya menjadi ikut sedih apalagi sampai khawatir.
"Aku baik-baik saja, Adolf. Kita harus hidup dengan lebih baik di Batavia demi Mawar, bukan? Aku yakin setelah terbiasa hidup di Batavia nanti kesedihanku akan hilang dengan sendirinya," jawab Nyonya De Haas sambil memandang ke luar jendela kapal, melihat bentangan perairan yang akan membawanya ke pulau seberang.
Tuan De Haas tersenyum. "aku rasa juga begitu, Mawar harus tumbuh dengan lebih baik di tempat dengan lingkungan yang baik pula."
Mawar yang menjadi topik pembicaraan dari Mama dan Papanya kini sedang sibuk mengikuti arah pandangan sang Mama ke luar jendela kapal, berseru girang dengan suaranya yang sangat menggemaskan hingga menarik perhatian beberapa penumpang lain.
Ya. Anak itu terlalu menarik untuk diabaikan begitu saja. Lihatlah kedua pipi putih nan gembul milik gadis cilik itu yang sanggup menggoda siapa pun untuk menyentuhnya, belum lagi rambut pirangnya yang kini sedang dikuncir dua menggunakan pita merah kian menambah kadar kecantikan sekaligus menggemaskan darinya.
"Anaknya menggemaskan sekali, Tuan dan Nyonya. Siapa namanya?" tanya seorang wanita pribumi paruh baya dengan pakaian pribumi khas orang Jawa, melihat Mawar dengan penuh minat.
"Namanya Mawar, Nyonya," Nyonya De Haas menjawab dengan ramah.
"Nama yang sangat cantik, persis dengan kecantikan dari anak anda berdua," puji wanita itu dengan senyuman yang begitu hangat.
"Terima kasih, Nyonya."
Obrolan itu pun berangsur menjadi lebih panjang dan menarik, membuat Tuan De Haas hanya bisa tersenyum maklum sambil memperhatikan interaksi di antara kedua wanita berbeda usia itu.
Setelah menjadi Nyai dan akhirnya menikah dengan Tuan De Haas, Sarinah memang sudah nyaris tak pernah bergaul dengan orang lain selain orang-orang yang bekerja di rumah Tuan De Haas.
Kehidupan sebagai Nyonya De Haas yang sangat berbanding terbalik dari watak asli Sarinah si gadis lugu dari desa membuat wanita itu mau tak mau harus menyesuaikan dirinya.
Dari yang awalnya biasa makan menggunakan tangan langsung, setelah menyandang status sebagai Nyonya De Haas dia harus bisa makan menggunakan sendok, garpu dan pisau.
Meski terdengar sepele, namun peraturan seperti itu sangat penting. Salah sedikit saja, nama suami Belanda-nya akan tercoreng dan bisa saja membuat sang suami merugi baik secara finansial mau pun Non finansial.
Itu hanya sebagian kecil dari peraturan tak tertulis yang menjadi standar tak masuk akal dari pergaulan sehari-hari lingkungan Belanda di tempat tinggal lama keluarga De Haas, sehingga membuat Sarinah memilih untuk tidak begitu bergaul dengan orang-orang Belanda di sekitarnya.
Nyatanya, menjadi Nyonya dari seorang Tuan Belanda yang kaya raya belum tentu dapat menjamin kebahagiaan hidupmu kala itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments