Bab 12 : Menyongsong Kehidupan Baru

"Apa yang engkau katakan memang betul, suamiku. Tapi, bukankah bangsa kalian adalah yang paling mulia di atas tanah negeriku yang terjajah ini?"

Mendengar pertanyaan istrinya, Tuan De Haas hanya bisa tersenyum tipis memaklumi.

Memang, orang-orang Belanda yang sombong dengan semua harta kekayaan yang mereka peroleh dari hasil menjajah negeri kaya ini kerap berkata demikian.

"Sama seperti orang pribumi yang tidak semuanya lugu, orang Belanda juga tidak semuanya jahat," ucap Tuan De Haas mencoba memberikan penjelasan kepada istrinya.

Nyonya De Haas mengangguk membalas ucapan suaminya, enggan beradu argumen lebih lanjut dengan sang suami.

Baik Tuan mau pun Nyonya De Haas sama-sama enggan untuk ribut. Mereka cenderung memilih untuk mengalah jika harus beradu argumen untuk hal yang tidak begitu penting seperti ini.

"Iya, suamiku. Kalau begitu lebih baik kita mulai berkemas membantu para Babu agar pekerjaan mereka lekas selesai," ucap Nyonya De Haas kemudian seraya menarik lembut tangan suaminya menuju kamar mereka.

Keduanya kemudian berjalan sejajar sambil bergandengan tangan menuju kamar diselingi gelak tawa kecil, menanggapi candaan dari sang suami yang terdengar tidak lucu.

Para Babu memang sudah mulai mengemasi barang-barang penting keluarga De Haas seperti dokumen penting dan beberapa benda lainnya.

Tuan De Haas memang sengaja tidak mau membawa barang yang terlalu banyak.

Toh, mereka masih bisa membeli barang-barang baru jika diperlukan di Batavia.

Lagi pula membawa barang-barang besar seperti lemari untuk berlayar akan sangat merepotkan, membuat Tuan De Haas dan istrinya memilih untuk mengambil langkah praktis saja.

Tuan dan Nyonya De Haas mulai sibuk berkemas bersama para Babu, sementara Mawar yang sedang diasuh oleh Bibi Inem hanya memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh para orang dewasa di rumahnya dengan tenang.

"Mawar, semoga kelak kehidupan kita di Batavia menjadi jauh lebih baik ya," ucap Nyonya De Haas dengan seulas senyum penuh pengharapan seraya mengusap lembut puncak kepala anak semata wayangnya.

...****************...

Hari kepindahan yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga.

Tuan dan Nyonya De Haas kini sudah berada di dermaga, bersiap untuk berangkat ke Batavia dengan kapal penumpang mewah milik pemerintah Hindia-Belanda.

"Jangan lupa kirimi Ibu dan Bapak surat ya, Nak," peringat Tuminah sang Ibu kepada sang putri, dibalas dengan pelukan hangat dari Sarinah.

"Hati-hati di sana ya, Nak. Jaga anak dan istrimu dengan baik jangan sampai ada orang yang melukai keluarga kalian," pesan Goenawan sambil memeluk singkat menantunya yang memiliki postur jauh lebih tinggi.

"Iya. Bapak tidak perlu khawatir," Tuan De Haas menyahut singkat dengan seulas senyum tipis, seperti biasanya.

"Mari naik, Tuan dan Nyonya De Haas. Kapalnya akan segera berangkat," panggil Paman Darijo santun setelah keluar dari salah satu ruangan dermaga.

Sekali lagi, Nyonya De Haas memeluk kedua orang tuanya memberikan salam perpisahan terbaik, berusaha mengutarakan semua rasa sayangnya kepada dua orang yang telah melahirkan dan merawatnya sejak kecil itu.

"Bapak dan Ibu sehat-sehat selalu ya. Jangan terlambat makan, minum air putihnya juga harus cukup," Nyonya De Haas mencoba tegar mengucapkan kata-katanya meski kini wajahnya sudah basah dengan air mata.

Tuan De Haas yang peka dengan cepat menyodorkan sapu tangan putih dari dalam sakunya, mengisyaratkan kepada sang istri untuk menyeka air matanya.

"Iya-iya, Nak. Kalian juga selalu hati-hati dan jaga diri ya. Pokoknya sering-sering kirimi Bapak dan Ibu surat," ucap sang Bapak, mengecup singkat puncak kepala putri semata wayangnya.

"Kami berangkat ya, Pak, Bu," pamit Tuan De Haas akhirnya sambil menggandeng tangan istrinya untuk langsung naik ke atas kapal yang sudah menunggu mereka.

Goenawan dan Tuminah tak kuasa menahan tangis mereka, namun mau tak mau harus tetap merelakan anak, cucu serta menantunya untuk memulai kehidupan baru di pulau Jawa.

Langkah kaki Nyonya De Haas terasa begitu berat, namun wanita itu memantapkan hati untuk terus melangkah naik ke atas kapal yang akan segera berangkat menuju Batavia.

Nakhoda kapal kemudian membunyikan klakson kapal sebanyak dua kali, pertanda semua persiapan untuk pelayaran telah rampung dan kapal akan segera bergerak meninggalkan dermaga.

Dengan berat hati, pasangan suami istri De Haas tetap teguh kepada pendirian mereka untuk melanjutkan perjalanan menuju Batavia demi menyongsong kehidupan yang lebih baik bersama Mawar sang putri.

"Apa kau baik-baik saja, Sarinah?" tanya Tuan De Haas setelah mereka berhasil tiba di bangku penumpang sesuai dengan nomor tiket.

Buru-buru Nyonya De Haas menghapus jejak air matanya menggunakan sapu tangan, tak mau kesedihannya membuat suaminya menjadi ikut sedih apalagi sampai khawatir.

"Aku baik-baik saja, Adolf. Kita harus hidup dengan lebih baik di Batavia demi Mawar, bukan? Aku yakin setelah terbiasa hidup di Batavia nanti kesedihanku akan hilang dengan sendirinya," jawab Nyonya De Haas sambil memandang ke luar jendela kapal, melihat bentangan perairan yang akan membawanya ke pulau seberang.

Tuan De Haas tersenyum. "aku rasa juga begitu, Mawar harus tumbuh dengan lebih baik di tempat dengan lingkungan yang baik pula."

Mawar yang menjadi topik pembicaraan dari Mama dan Papanya kini sedang sibuk mengikuti arah pandangan sang Mama ke luar jendela kapal, berseru girang dengan suaranya yang sangat menggemaskan hingga menarik perhatian beberapa penumpang lain.

Ya. Anak itu terlalu menarik untuk diabaikan begitu saja. Lihatlah kedua pipi putih nan gembul milik gadis cilik itu yang sanggup menggoda siapa pun untuk menyentuhnya, belum lagi rambut pirangnya yang kini sedang dikuncir dua menggunakan pita merah kian menambah kadar kecantikan sekaligus menggemaskan darinya.

"Anaknya menggemaskan sekali, Tuan dan Nyonya. Siapa namanya?" tanya seorang wanita pribumi paruh baya dengan pakaian pribumi khas orang Jawa, melihat Mawar dengan penuh minat.

"Namanya Mawar, Nyonya," Nyonya De Haas menjawab dengan ramah.

"Nama yang sangat cantik, persis dengan kecantikan dari anak anda berdua," puji wanita itu dengan senyuman yang begitu hangat.

"Terima kasih, Nyonya."

Obrolan itu pun berangsur menjadi lebih panjang dan menarik, membuat Tuan De Haas hanya bisa tersenyum maklum sambil memperhatikan interaksi di antara kedua wanita berbeda usia itu.

Setelah menjadi Nyai dan akhirnya menikah dengan Tuan De Haas, Sarinah memang sudah nyaris tak pernah bergaul dengan orang lain selain orang-orang yang bekerja di rumah Tuan De Haas.

Kehidupan sebagai Nyonya De Haas yang sangat berbanding terbalik dari watak asli Sarinah si gadis lugu dari desa membuat wanita itu mau tak mau harus menyesuaikan dirinya.

Dari yang awalnya biasa makan menggunakan tangan langsung, setelah menyandang status sebagai Nyonya De Haas dia harus bisa makan menggunakan sendok, garpu dan pisau.

Meski terdengar sepele, namun peraturan seperti itu sangat penting. Salah sedikit saja, nama suami Belanda-nya akan tercoreng dan bisa saja membuat sang suami merugi baik secara finansial mau pun Non finansial.

Itu hanya sebagian kecil dari peraturan tak tertulis yang menjadi standar tak masuk akal dari pergaulan sehari-hari lingkungan Belanda di tempat tinggal lama keluarga De Haas, sehingga membuat Sarinah memilih untuk tidak begitu bergaul dengan orang-orang Belanda di sekitarnya.

Nyatanya, menjadi Nyonya dari seorang Tuan Belanda yang kaya raya belum tentu dapat menjamin kebahagiaan hidupmu kala itu.

Episodes
1 Bab 1 : Terperosok Dalam Lumpur Dosa
2 Bab 2 : Hidup Baru sang Nona Manis
3 Bab 3 : Hari Pertama Sebagai Nyai
4 Bab 4 : Kemurahan Hati sang Tuan
5 Bab 5 : Bertemu Ibu dan Bapak
6 Bab 6 : Hari Yang Tidak Disangka-sangka
7 Bab 7 : Kehidupan Setelah Pernikahan
8 Bab 8 : Lahirnya Sang Malaikat
9 Bab 9 : Pesta Bersama Para Londo
10 Bab 10 : Keputusan Besar
11 Bab 11 : Langkah Baru
12 Bab 12 : Menyongsong Kehidupan Baru
13 Bab 13 : Batavia
14 Bab 14 : Pertumbuhan Mawar
15 Bab 15 : Hari Pertama Bertemu Dengannya
16 Bab 16 : Berkenalan Lebih Dekat
17 Bab 17 : Rasa Ingin Melindungi?
18 Bab 18 : Ksatria Tanpa Kuda Putih
19 Bab 19 : Vader en Dochter Strijden
20 Bab 20 : Khawatir
21 Bab 21 : Percikan Api Kedua Keluarga
22 Bab 22 : Keluarga Van Der Linen
23 Bab 23 : Taktik Cecilion
24 Bab 24 : Cinta Dua Sejoli
25 Bab 25 : Voogd Ridder
26 Bab 26 : Langit Biru Batavia
27 Bab 27 : Pure Love en Cecilion
28 Bab 28 : Pesta
29 Bab 29 : Dappere Bekentenis
30 Bab 30 : Balada sang Bunga
31 Bab 31 : Persimpangan
32 Bab 32 : Menyebrangi Rintangan
33 Bab 33 : Beledigd
34 Bab 34 : Perjalanan Jauh
35 Bab 35 : Kekacauan Dua Keluarga
36 Bab 36 : Familie Discussie
37 Bab 37 : Percikan Api Dua Kubu
38 Bab 38 : Melodi Indah Menuju Altar
39 Bab 39 : Cecilion, sang Kumbang di Perkebunan
40 Bab 40 : Pebisnis Handal
41 Bab 41 : Langit Biru di Tanah Sumatera
42 Bab 42 : Munajat Sepasang Kekasih
43 Bab 43 : Een wijze Leider
44 Bab 44 : Perjalanan Kebahagiaan Adam dan Hawa
45 Bab 45 : Terkuaknya Aroma Mesiu
46 Bab 46 : Vreselijk Voorval
47 Bab 47 : Putihnya Kebaikan
48 Bab 48 : Pelarian
49 Bab 49 : Hujan Darah di Bumi Sriwijaya
50 Bab 50 : Langkah Mawar
51 Bab 51 : Kehidupan di Desa
52 Bab 52 : Anugerah yang Dinantikan
53 Bab 53 : Malaikat Kecil, sang Lentera Hati
54 Bab 54 : Dokter Nathan
55 Bab 55 : Pelipur Lara Sang Dewi
56 Bab 56 : Jatuhnya Hati sang Dokter
Episodes

Updated 56 Episodes

1
Bab 1 : Terperosok Dalam Lumpur Dosa
2
Bab 2 : Hidup Baru sang Nona Manis
3
Bab 3 : Hari Pertama Sebagai Nyai
4
Bab 4 : Kemurahan Hati sang Tuan
5
Bab 5 : Bertemu Ibu dan Bapak
6
Bab 6 : Hari Yang Tidak Disangka-sangka
7
Bab 7 : Kehidupan Setelah Pernikahan
8
Bab 8 : Lahirnya Sang Malaikat
9
Bab 9 : Pesta Bersama Para Londo
10
Bab 10 : Keputusan Besar
11
Bab 11 : Langkah Baru
12
Bab 12 : Menyongsong Kehidupan Baru
13
Bab 13 : Batavia
14
Bab 14 : Pertumbuhan Mawar
15
Bab 15 : Hari Pertama Bertemu Dengannya
16
Bab 16 : Berkenalan Lebih Dekat
17
Bab 17 : Rasa Ingin Melindungi?
18
Bab 18 : Ksatria Tanpa Kuda Putih
19
Bab 19 : Vader en Dochter Strijden
20
Bab 20 : Khawatir
21
Bab 21 : Percikan Api Kedua Keluarga
22
Bab 22 : Keluarga Van Der Linen
23
Bab 23 : Taktik Cecilion
24
Bab 24 : Cinta Dua Sejoli
25
Bab 25 : Voogd Ridder
26
Bab 26 : Langit Biru Batavia
27
Bab 27 : Pure Love en Cecilion
28
Bab 28 : Pesta
29
Bab 29 : Dappere Bekentenis
30
Bab 30 : Balada sang Bunga
31
Bab 31 : Persimpangan
32
Bab 32 : Menyebrangi Rintangan
33
Bab 33 : Beledigd
34
Bab 34 : Perjalanan Jauh
35
Bab 35 : Kekacauan Dua Keluarga
36
Bab 36 : Familie Discussie
37
Bab 37 : Percikan Api Dua Kubu
38
Bab 38 : Melodi Indah Menuju Altar
39
Bab 39 : Cecilion, sang Kumbang di Perkebunan
40
Bab 40 : Pebisnis Handal
41
Bab 41 : Langit Biru di Tanah Sumatera
42
Bab 42 : Munajat Sepasang Kekasih
43
Bab 43 : Een wijze Leider
44
Bab 44 : Perjalanan Kebahagiaan Adam dan Hawa
45
Bab 45 : Terkuaknya Aroma Mesiu
46
Bab 46 : Vreselijk Voorval
47
Bab 47 : Putihnya Kebaikan
48
Bab 48 : Pelarian
49
Bab 49 : Hujan Darah di Bumi Sriwijaya
50
Bab 50 : Langkah Mawar
51
Bab 51 : Kehidupan di Desa
52
Bab 52 : Anugerah yang Dinantikan
53
Bab 53 : Malaikat Kecil, sang Lentera Hati
54
Bab 54 : Dokter Nathan
55
Bab 55 : Pelipur Lara Sang Dewi
56
Bab 56 : Jatuhnya Hati sang Dokter

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!