Mentari hari itu masih belum terbit.
Langit bahkan masih sama gelapnya dengan sepasang sayap gagak namun Tuan De Haas sudah nampak sibuk di depan meja kerjanya tengah mengerjakan regulasi perpajakan usaha yang baru saja ditetapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Ada kebijakan pajak yang baru lagi bagi para pengusaha besar, membuat Tuan De Haas menjadi sakit kepala. Entah kenapa belakangan ini pemerintah suka sekali mengubah kebijakan sesuka hati mereka tanpa pertimbangan yang matang.
Bibir ranum nan merona milik Tuan De Haas nampak mengapit sebuah cerutu mahal dengan asap tipis yang masih mengepul, menimbulkan aroma tembakau yang begitu khas.
"Kenapa kamu sudah bangun? ini masih pukul empat pagi," Sarinah yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu ruang kerja Tuan De Haas yang terbuka membuat sang pria tersentak kecil.
Sarinah berdiri di depan pintu ruang kerja suaminya masih dengan gaun tidur berwarna biru muda, rambut hitam panjangnya yang tergerai bebas tanpa ditata pun tetap nampak menawan.
Sepasang manik kelam miliknya memandang Tuan De Haas penuh tanya.
Tuan De Haas buru-buru menyingkirkan cerutunya, ia tidak mau istri dan calon anaknya itu terkena asap tembakau dari cerutu yang ia hisap.
"Aku sedang mengurusi kebijakan perpajakan yang baru. Semakin hari pemerintah semakin semaunya saja membuat kebijakan membuat kepalaku pusing sekali," jelas Tuan De Haas sembari mengeluh kepada istrinya Sarinah yang kini tengah hamil tua.
Sarinah tersenyum lembut, membelai rambut pirang suaminya berusaha memberikan penghiburan. "maafkan aku yang buta mengenai perpajakan, suamiku."
Wanita muda itu berdiri di belakang kursi tempat suaminya duduk, tanpa diminta langsung memijat kedua bahu tegap Tuan De Haas yang terasa kaku karena terlalu lama bekerja.
Meski memiliki banyak Jongos yang bisa diandalkan dalam urusan administrasi seperti ini, Tuan De Haas masih saja tetap ingin mengerjakan hal-hal sensitif yang berkaitan dengan uang seperti saat ini sendiri tanpa bantuan orang lain.
Berkat kerja keras serta kegigihan sang Tuan, jadi jangan heran jika semua bidang usaha milik Tuan De Haas mendapatkan kemajuan yang sangat pesat. Tak jarang, Meneer lain juga kerap kali diam-diam merasa iri akan kesuksesan Tuan De Haas yang bahkan usianya belum menginjak kepala tiga itu.
"Sama sekali bukan salahmu, Mijn liefje. Aku hanya ingin menyelesaikannya sendiri dengan lebih akurat jadi kau tak perlu merasa bersalah seperti itu," balas Tuan De Haas dengan seulas senyum tipis khasnya.
Seiring dengan berjalannya kehidupan pernikahan mereka, hubungan Sarinah dan Tuan De Haas semakin erat dari hari ke hari terlebih mereka sebentar lagi akan menyambut kelahiran anak pertama mereka.
Meski tidak mengenyam pendidikan tinggi, Sarinah sebetulnya cukup cerdas. Dia bahkan dapat mengerjakan pembukaan keuangan perkebunan milik Tuan De Haas dengan sangat baik walau hanya satu kali diajarkan, membuat Tuan De Haas semakin mencintai istrinya itu.
Pijatan lembut yang diberikan Sarinah perlahan namun pasti membuat Tuan De Haas merasa mengantuk. Kepala sang Tuan yang mulai tertunduk membuat Sarinah tersenyum geli, gemas sendiri akan kelakuan suaminya itu.
"Kalau mengantuk kenapa tidak tidur saja di kamar?" sindir sang istri, membuat Tuan De Haas buru-buru menegakkan kembali kepalanya.
"Siapa bilang aku mengantuk?" Tuan De Haas bertanya dengan nada tidak terima meski Sarinah dapat melihat dengan jelas kalau mata suaminya itu sudah nampak sayu dengan warna kemerahan.
Sang istri tergelak geli. "sayang, jika kamu dapat membohongi seekor kuda itu bukan berarti kamu dapat membohongi istrimu."
Tuan De Haas terkekeh setelah mendengar lelucon dari Sarinah. "istriku memang merupakan penghibur yang paling hebat. kalau begitu ayo kita kembali tidur."
"Baiklah. Mari kembali ke kamar, suamiku."
Siapa sangka pria yang terkenal tegas dan dingin seperti Adolf De Haas ini bisa menjadi suami yang sangat manis serta mencintai istrinya sepenuh hati begitu?
...****************...
"Jadi bagaimana kondisi kandungan saya, dokter?" tanya Sarinah santun setelah ia selesai memeriksakan kesehatan kandungannya di sebuah rumah sakit.
Dokter Reign, lelaki Belanda dengan rambut cokelat terang itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Sarinah.
"Nyonya dan jabang bayi keduanya dalam kondisi yang sangat baik. Saya sarankan Anda tidak melakukan aktifitas berat ya, tak lama lagi anak Anda akan lahir," jawab Dokter Reign dengan ramah.
"Apakah ada makanan khusus yang perlu saya makan untuk memperlancar proses persalinan, dokter?" lagi-lagi Sarinah bertanya, namun kali ini ia mengeluarkan buku catatan kecil dan sebuah pensil dari dalam tasnya bersiap untuk mencatat hal-hal penting.
Dokter Reign lalu dengan sabar menyebutkan makanan-makanan yang baik untuk dikonsumsi oleh Sarinah menjelang hari persalinannya, sementara calon ibu muda itu mencatat dengan begitu terampil membuat Dokter Reign sedikit banyak mulai memahami kenapa Tuan De Haas mau menikah dengan wanita pribumi berwajah ayu itu.
"Terima kasih banyak, dokter. Kalau begitu saya pulang dulu," Sarinah pamit undur diri setelah catatan kecil miliknya dipenuhi dengan coretan seputar makan yang harus ia konsumsi dan hindari.
"Hati-hati, Nyonya De Haas. Tolong sampaikan salam saya kepada Tuan."
"Iya. Mari, dokter."
Sepasang tungkai Sarinah berjalan perlahan keluar dari ruang pemeriksaan kandungan, melangkah pelan namun pasti menyusuri lorong utama rumah sakit menuju halaman depan tempat suaminya sedang menunggu ia kembali.
Saat berpapasan dengan beberapa petugas medis yang sedang bertugas di sepanjang jalannya, senyuman ramah otomatis menghiasi wajah cantik Nyonya De Haas itu membuat siapa pun meleleh akan kehangatan senyumnya.
Tuan dan Nyonya De Haas itu memiliki sikap yang sangat bertolak belakang ibarat air dan api, wajar saja pasangan yang belum lama menikah itu menjadi buah bibir favorit di lingkungan sosial orang-orang Londo.
Kota Palembang yang sedang mengalami musim kemarau dengan suhu udara tinggi hari itu membuat Sarinah yakin untuk tidak mengenakan alas kaki seperti yang biasa ia lakukan sebelum menikah dengan Tuan De Haas dulu.
"Bagaimana hasil pemeriksaannya? Apa semua bagus?" tanya Tuan De Haas antusias, menggandeng tangan istrinya berjalan perlahan menuju mobil setelah menyadari kehadiran sang terkasih di pintu masuk utama rumah sakit.
Sarinah mengangguk, tersenyum hangat kemudian.
"iya, suamiku. dokter bilang aku harus makan beberapa makanan ini dan menghindari beberapa diantaranya juga."
"Kau mencatatnya sampai seperti itu?" Tuan De Haas terkekeh geli setelah melihat catatan kecil milik Sarinah yang ia tunjukkan.
"Aku wajib melakukannya. Kamu tahu 'kan kalau aku ini pelupa? Tapi kekuranganku itu tak akan aku jadikan alasan untuk membuat anakku kekurangan nutrisi penting yang harus ia dapatkan," papar Sarinah memberikan penjelasan.
Tuan De Haas mengangguk dengan senyuman yang masih merekah. "iya, iya. tolong berikanlah semua yang terbaik untuk anak kita."
Tiba di depan mobil mereka, langkah Sarinah seketika terhenti tatkala ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari sela kedua pangkal pahanya.
"Sayang... Apa yang mengalir ini?" tanya Sarinah takut-takut, enggan beranjak dari tempatnya.
"Mengalir? bukannya itu air sungai?" Tuan De Haas terus berjalan tanpa menoleh.
Namun betapa terkejutnya Tuan De Haas saat melihat sudah ada begitu banyak air yang merembes dari sepasang kaki istrinya.
"Astaga apa itu air ketuban?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments