Di siang hari yang terik itu, Tuan De Haas baru saja keluar dari loket penjualan tiket kapal penumpang. Ia berhasil membeli tiket kapal untuk kepindahannya beserta keluarga ke Batavia hari sabtu pekan depan.
Semua urusan administrasi dan berbagai keperluan untuk pindahan sudah dibereskan dengan baik oleh Tuan De Haas, dibantu juga oleh Paman Darijo dan Peter Van Ross sang sahabat.
Kini, di Bumi Sriwijaya, orang-orang Belanda yang berpangkat tinggi di berbagai bidang atau memiliki status sosial tinggi sudah enggan berhubungan dengan Tuan De Haas secara langsung karena rumor liar yang tersebar di kalangan orang Belanda setelah pesta penyambutan kelahiran anak pertama keluarga De Haas.
Pernikahan dengan seorang wanita pribumi seperti yang dilakukan oleh Tuan De Haas memang sudah menuai kontroversi besar, ditambah lagi dengan nama 'terlalu pribumi' yang disematkan oleh Tuan De Haas kepada putrinya ya semakin lengkap sudah kontroversi yang timbul.
Namun, Tuan De Haas tetap teguh kepada pendiriannya untuk mempertahankan rumah tangganya dengan sang istri dan memutuskan untuk tidak pernah mengganti nama sang anak menjadi lebih Eropa seperti saran dari beberapa koleganya.
Hanya dengan cara itulah, Tuan De Haas bisa menunjukkan kecintaannya kepada Bumi Nusantara, yang sayangnya menjadi negeri terjajah yang ditindas oleh bangsanya sendiri.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sejujurnya Tuan De Haas enggan menindas para pribumi yang selalu bersikap ramah bersahaja itu.
Tak heran, Tuan De Haas selalu memberikan upah yang sangat layak bagi para pribumi yang bekerja kepadanya tanpa pandang bulu.
Tuan De Haas tidak mau ambil pusing dengan tanggapan orang lain terhadap sikapnya, ia tetap berusaha untuk tidak menyakiti siapa pun termasuk para pribumi dan selalu menjalankan bisnisnya dengan jujur dan terbuka terlepas dari siapa pun rekan kerjanya.
"Tuan, apa Anda berhasil mendapatkan tiketnya?" tanya Paman Darijo setelah tergopoh-gopoh datang menghampiri sang Tuan.
Tuan De Haas mengangguk. "ya, aku sudah membeli semuanya. ayo pulang, Sarinah pasti sudah menungguku untuk makan siang bersama."
"Baiklah, Tuan."
Karena rumah keluarga De Haas letaknya sangat dekat dengan dermaga, Tuan De Haas dan Paman Darijo lebih memilih untuk berjalan kaki dengan santai menuju rumah seraya berbincang ringan.
Sungai Musi yang membentang luas nampak jelas dari kejauhan, lengkap dengan kapal-kapal besar pembawa penumpang hingga komoditas hasil pertanian dari berbagai daerah belum lagi rakit serta sampan milik warga yang menjajakan dagangan mereka di atas sungai.
Suasana di sana sangat ramai, seperti halnya dengan pasar di darat yang ramai akan hiruk pikuk aktifitas perdagangan para warga.
Tak jarang, ada warga yang membangun rumah mereka di atas rakit guna memudahkan mobilitas mereka untuk berpindah lokasi dari satu tempat ke tempat lainnya.
Di darat pun, banyak orang-orang berlalu lalang dengan berjalan kaki mau pun menggunakan sepeda menambah kesan sibuk di salah satu kota tertua di Nusantara itu.
Tiba di rumah, Tuan De Haas lantas berjalan masuk sambil menyerukan nama istrinya yang sejak tadi sudah menunggu dirinya di meja makan.
"Kamu sudah pulang? Mari makan, kamu pasti sangat lapar karena makan terlambat seperti ini," titah Nyonya De Haas seraya mengisikan piring untuk suaminya dengan berbagai macam masakan rumahan yang ia buat.
"Ya, aku sangat lapar. Beruntung aku masih kuat untuk berjalan pulang sampai ke rumah tanpa harus pingsan lebih dulu," sang suami menyahut dengan nada jenaka, membuat sang istri terkekeh geli.
Keduanya lantas makan bersama, ditemani dengan celotehan nyaring Mawar kecil yang sedang digendong oleh Bibi Inem di halaman belakang rumah.
Entah apa yang ditertawakan oleh Mawar di luar sana, namun ia terdengar sangat berbahagia bermain di luar sana dengan Bibi Inem.
Anak cantik itu kini sudah bisa duduk sendiri di usianya yang ke lima bulan, dan lagi ia tumbuh semakin menggemaskan membuat rumah keluarga De Haas tetap terasa hangat ditengah buruknya pandangan keluarga Belanda lain kepada keluarga ini.
"Bagaimana soal tiketnya? Kamu mendapatkan tiket untuk semuanya di hari yang sama?" tanya Nyonya De Haas, Sarinah, sembari merapikan piring kosong bekas makannya dan sang suami.
"Aku mendapatkan semua tiketnya, termasuk untuk Darijo dan Inem," jawab Tuan De Haas, merogoh sakunya untuk menunjukkan tiket kapal yang sudah ia beli tadi.
Kala itu, transportasi jarak jauh yang paling sering diandalkan untuk bepergian ke pulau lain memang hanya kapal laut.
Sementara kereta api, lebih cenderung digunakan untuk mengangkut komoditas pertanian dan barang.
Sarinah tersenyum lembut. "syukurlah, dengan begitu kita nanti tidak akan kerepotan karena harus mencari Jongos dan Babu yang baru."
Berkat kesepakatan bersama yang sudah dipikirkan masak-masak, Tuan dan Nyonya De Haas mengajak serta Paman Darijo dan Bibi Inem.
Mencari Babu dan Jongos yang setia dan patuh juga bukanlah hal yang mudah, sudah banyak kejadian dimana para pembantu berani menipu Tuan mereka untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam beberapa kasus, ada para Tuan dan Nyonya Belanda yang rela membayar Babu atau Jongos demi mengumpulkan informasi agar bisa menjatuhkan lawan bisnis mereka.
Hal itu tentu saja membuat Tuan De Haas dan Nyonya De Haas memilih untuk membawa serta kedua kepala pembantu rumah mereka itu.
"Kau benar, istriku. Kita hanya perlu mencari beberapa lagi nanti setibanya di Batavia," balas Tuan De Haas setelah meneguk segelas air putih hingga tandas.
"Tadi pagi aku pergi ke gereja untuk berdoa, tapi orang-orang masih saja melihatku dengan pandangan mencemooh entah apa kesalahan yang aku lakukan kepada mereka," keluh Tuan De Haas, terkenang akan kejadian tadi pagi.
Nyonya De Haas hanya tersenyum sendu menanggapi keluhan sang suami, merasa sedih karena keberadaan dirinya kini sang suami harus mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti itu oleh bangsanya sendiri.
"Itu semua salahku karena sudah menjadi istrimu, maafkan aku," cicit sang hawa lesu setelah menyerahkan piring kotornya kepada salah seorang Babu.
Tuan De Haas memandang istrinya galak, tak terima dengan kata-kata yang ia dengar barusan.
"Berhentilah meminta maaf untuk hal-hal yang tidak penting, apalagi itu bukan salahmu. Hargailah dirimu sendiri dengan tidak sembarangan meminta maaf. Ingat, bagiku kau sangat berharga," celoteh Tuan De Haas sebal.
Pria itu tak habis pikir, mengapa Sarinah yang kini sudah menjadi Nyonya De Haas tetap saja mempertahankan sikap rendah dirinya itu.
"Dan satu lagi, jangan tundukkan pandanganmu saat berpapasan dengan para Tuan atau Nyonya yang lain. Status sosial kau dengan mereka itu sama, derajat kita semua sama rata di mata Tuhan."
"Apa yang engkau katakan memang betul, suamiku. Tapi, bukankah bangsa kalian adalah yang paling mulia di atas tanah negeriku yang terjajah ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments