"Jika Anda merasa tidak masalah mendapatkan anak dari seorang wanita hina seperti saya maka Anda bisa mendapatkan berapa pun yang Anda inginkan, Tuan."
Tuan De Haas tersenyum tipis namun penuh makna setelah mendengar jawaban seperti yang ia inginkan dari Sarinah. Sungguh ia tak pernah menyangka jikalau Goenawan dan Tuminah memiliki anak perempuan secantik ini.
Suara gemuruh dari hujan terus saja mengusik heningnya malam itu, beradu dengan perasaan Sarinah yang berkecamuk. Tak banyak yang gadis malang itu harapkan selain dirinya yang masih dapat memiliki kesempatan untuk bertemu dengan kedua orang tuanya nanti.
"Apa yang kau pikirkan? Ayo turun, kita sudah sampai," kata Tuan De Haas memecahkan lamunan Sarinah.
Sarinah mengangguk kaku, kemudian turun mengikuti langkah sang Tuan yang sudah menginjakan kakinya di pekarangan rumah mewah bergaya arsitektur Art Deco khas milik orang Belanda yang tak mampu dibeli oleh sembarang orang, terlebih seorang pribumi sepertinya.
"Darijo, buang semua pakaian yang dibawa oleh Sarinah. suruh para babu untuk menyiapkan kamar baru bagi Sarinah sekarang juga," perintah mutlak Tuan De Haas kepada Darijo sang kepala jongos rumah ini.
Darijo mengangguk cepat. "baiklah, Tuan."
Lagi dan lagi Sarinah dibuat heran sekaligus bingung dengan sikap Tuan De Haas kepadanya. Untuk apa sang Tuan mau repot-repot menyiapkan sebuah kamar untuknya? Bukankah ia akan tidur bersama para babu di rumah ini?
"Kenapa Tuan menyuruh Paman Darijo untuk menyiapkan kamar untuk saya?" tanya Sarinah yang sudah tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.
"Karena kau adalah Nyai di rumah ini dan aku menganggap kau lebih berharga dari pada para babu di sini. Sembari menunggu kamar untukmu dipersiapkan, mari temani aku makan malam lebih dulu," jelas Tuan De Haas seraya meraih pergelangan tangan kurus milik Sarinah, membawa gadis ayu itu masuk ke dalam rumah mewahnya.
Seumur hidupnya, baru kali ini Sarinah bertandang ke rumah seorang Tuan Belanda apalagi diperlakukan dengan sebaik ini. Biasanya, para orang Belanda bahkan enggan melihat ke arah seorang pribumi seperti dirinya, menganggap bahwa pribumi tak ada bedanya dengan binatang.
Sarinah yang sudah terbiasa diperlukan dengan amat tidak layak oleh para penjajah Belanda jelas saja merasa takjub mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda dari Tuan De Haas, Tuan pertama yang harus ia layani sebagai seorang Nyai.
Dengan lembut, Tuan De Haas menggenggam tangan Sarinah seraya berjalan sejajar menuju ruang makan. Kedatangan Sarinah tentu saja mengagetkan para babu dan jongos di rumah itu yang tidak tahu apa-apa mengenai urusan utang piutang Tuan De Haas dengan Goenawan, Bapaknya Sarinah.
Mereka pikir, penyambutan heboh ini diperuntukan untuk calon istri sang Tuan yang rumornya akan datang langsung dari Belanda namun dugaan mereka malah salah besar.
"Apa makan malam sudah siap?" tanya Tuan De Haas pada salah seorang babu yang sedang sibuk menyusun piring di atas meja makan besar di ruang makan rumah ini.
Wanita paruh baya itu mengangguk, menaruh piring-piring sesuai dengan peruntukannya.
"sudah, Tuan. Anda bisa langsung makan malam sekarang juga."
Tuan De Haas tanpa basa-basi lagi mengambil posisi duduk di sebuah kursi mewah di ujung meja. Kursi yang berjajar di sepanjang meja makan besar itu cukup banyak untuk ukuran seorang bujangan, membuat Sarinah dapat menarik kesimpulan bahwa sang Tuan kerap kali mengadakan perjamuan.
"Duduklah di situ dan makan bersamaku, Sarinah. Aku butuh teman makan bukan sebuah patung yang hanya bisa memperhatikan aku makan," titah Tuan De Haas sembari mengambil sendok dan garpu di hadapannya.
"Saya sungguh boleh menikmati semua hidangan lezat ini, Tuan?" tanya Sarinah polos berusaha memastikan tawaran sang Tuan.
Sepasang obsidian biru safir milik sang Tuan bergulir, memandang ke arah Sarinah kemudian.
"jangan membuatku terus mengulang perkataan, Sarinah. Duduk dan makanlah apa pun yang ingin kau makan sekarang juga."
"Maafkan saya, Tuan," sesal Sarinah sambil buru-buru duduk di sisi kiri sang Tuan.
Dalam hening, Tuan De Haas dan Sarinah makan bersebelahan menikmati hidangan khas Belanda yang tersaji dengan begitu lezat di atas meja.
Sementara keduanya sedang menikmati makanan dalam keheningan, para babu mulai bergunjing dengan saling berbisik mengenai Sarinah sang perempuan pribumi pertama yang diperlakukan dengan begitu istimewa oleh Tuan De Haas.
Agaknya mereka merasa cemburu sebab tak pernah diperlakukan sebegitu baiknya oleh sang Tuan seperti Tuan De Haas memperlakukan Sarinah si gadis pendatang baru.
Lagi pula, wanita mana yang tidak mau berkencan dengan Tuan De Haas yang tampan rupawan serta mapan itu?
"Sampai kapan kalian terus menggunjingkan Nyai yang baru saja aku beli dengan harga mahal ini?"
Pertanyaan dingin dari Tuan De Haas kontan membuat para babu yang sejak tadi sibuk bergunjing membahas segala hal yang berkaitan dengan Sarinah langsung membubarkan diri.
"Tidak usah di dengarkan apalagi sampai di masukkan ke dalam hati, mereka akan selalu begitu jika melihat sesuatu yang menarik," hibur Tuan De Haas, memandang lurus kepada Sarinah sang Nyai.
"Saya sungguh tidak apa-apa, Tuan."
Senyuman manis laksana madu yang dilemparkan oleh Sarinah semakin membuat hati Tuan De Haas bergejolak, tak kuasa membendung perasaan tertariknya yang kian membesar.
Jantung Tuan muda itu berdegup dua kali lipat lebih kencang, membuatnya terus merasa salah tingkah sendiri terlebih Sarinah selalu menjawab perkataannya dengan suara lembutnya yang santun namun menggoda.
"Malam ini kau harus tidur di kamarku karena kamarmu masih dalam proses pengerjaan," kata Tuan De Haas usai mengelap bibirnya dengan sapu tangan dari sakunya, pertanda bahwa makan malamnya telah usai.
"Anda tidak keberatan? Padahal saya bisa tidur di ruangan lain terlebih dahulu," tolak Sarinah halus.
"Tidak boleh. kau adalah Nyai milikku maka hidupmu sepenuhnya adalah milikku dan merupakan tanggung jawabku," balas Tuan De Haas tegas.
Seketika Sarinah merasakan kerasnya tamparan realita yang harus ia terima bahwa dirinya tetaplah wanita rendahan di mata para pria Belanda seperti Tuan De Haas.
Mana boleh Sarinah berharap lebih bahwa ia bisa hidup enak dan bergelimang harta sebagai seorang Nyonya Meneer. Tidak semua orang pribumi bisa merasakan kenikmatan hidup seperti itu di tanah mereka sendiri yang terjajah ini.
"Baiklah kalau itu memang kemauan Tuan."
Kehidupan Sarinah sebagai seorang Nyai baru akan dimulai besok tetapi bisa-bisanya ia malah memikirkan hal-hal seperti itu membuat gadis itu menggeleng pelan berusaha menyadarkan dirinya sendiri.
"Sebagai seorang Nyai yang akan mengabdi kepada Tuan, hidup dan mati saya yang hina ini sepenuhnya merupakan hak dan tanggung jawab Tuan selaku pemilik saya."
"Aku senang mendengarnya. ayo cepat masuk ke kamar, aku sudah lelah dan butuh penghiburan darimu sekarang juga, Sarinah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Defi
di mata para pelayan di rumahnya hidup Sarinah bahagia dn lebih baik dari mereka.. Tapi sebenarnya sam saja, hidup Sarinah ga ada harganya di mata para meener
2023-06-08
1