Para guru Sekolah Dasar waktu itu
Waktu terus berlalu tanpa terasa, hingga kini Mawar De Haas sudah cukup usianya untuk masuk sekolah dasar.
Sama seperti halnya anak-anak yang baru memasuki hari pertama sekolah, Mawar juga merasa malu saat memasuki kawasan sekolah dan bertemu dengan teman-teman sebayanya.
Dalam tuntunan sang Papa, Mawar berjalan dengan langkah ragu memasuki sekolah meski Tuan De Haas sejak tadi sudah berkali-kali bilang kepada Mawar untuk tidak malu.
"Tuan De Haas? Wah, selamat pagi tidak saya sangka kita akan bertemu di sini," sapa Tuan Van Marwijk, ramah seperti biasanya.
Tuan De Haas mengulas senyum tipis khasnya.
"Ya, tanpa terasa anak saya sudah cukup umurnya untuk mulai bersekolah."
Hari itu Mawar nampak sangat cantik dengan rambut pirangnya yang dikepang dua, hasil karya sang Mama tadi pagi.
Kecantikan Mawar De Haas memang sangat seimbang, perpaduan sempurna antara Eropa dan Asia membuat kecantikan Mawar cukup berbeda dari pada teman-temannya yang merupakan keturunan Belanda asli.
Wajah Mawar terlihat sempurna dengan hidung mancungnya yang runcing namun tak begitu besar, dagunya yang runcing dan memiliki belahan sungguh mempesona. Bibir Mawar juga tipis mirip seperti wanita pribumi kebanyakan, tetapi kulitnya putih mulus tanpa bintik-bintik seperti orang Belanda kebanyakan.
"Mawar, kamu cantik sekali. Jangan malu seperti itu, pergilah bermain dengan teman-teman," ucap Tuan Van Marwijk lembut kepada Mawar, tetapi anak itu malah semakin bersembunyi di balik punggung sang Papa.
"Anakku memang pemalu, Tuan Van Marwijk. selama ini dia tak banyak bermain dengan anak lain selain anak Anda, Greg," tutur Tuan De Haas kemudian terkekeh.
"Sayang sekali sekarang Greg sudah naik kelas tiga, jadi dia hanya bisa bertemu Mawar sesekali," Tuan Van Marwijk menimpali, sementara Greg sedang sibuk membujuk Mawar untuk masuk ke kelasnya karena pelajaran akan segera dimulai.
Greg adalah anak yang pemberani dan ceria, satu-satunya sahabat Mawar yang paling dekat sejak kepindahan keluarganya di Batavia.
Sama seperti Mawar, Ibunya Greg, Rukmini juga merupakan seorang pribumi.
"Selamat pagi Tuan De Haas dan Tuan Van Marwijk, senang rasanya bisa berjumpa dengan Anda berdua," sapa Tuan Van Sprang, sang kepala sekolah.
"Selamat pagi, Tuan Van Sprang. ini adalah hari pertama anak saya di sekolah, saya titipkan dia kepada Anda dan para guru di sini," Tuan De Haas berujar, memandang punggung kecil Mawar yang sudah berjalan masuk ke dalam sekolah bersama Greg.
"Sudah kewajiban bagi saya, Tuan De Haas. Tolong sampaikan salam saya kepada Nyonya De Haas," balas Tuan Van Sprang ramah.
Sekolah yang dipilih oleh Tuan De Haas memanglah sekolah dasar terbaik milik Belanda di Batavia.
Tuan Van Sprang, sang kepala sekolah juga merupakan teman Tuan De Haas semasa menempuh pendidikan di Netherland.
Jadi tentunya Tuan De Haas merasa akan lebih aman bagi Mawar untuk bersekolah di sekolah yang dikelola oleh teman lamanya itu.
"Tentu akan saya sampaikan, terima kasih."
...****************...
Suasana kelas satu tempat Mawar memulai pendidikan tergolong sangat tenang, para anak Londo nampak fokus belajar menulis mengikuti arahan sang guru yang sejak tadi sibuk menuliskan beberapa kata yang ringan di papan tulis.
"Mawar, kamu sudah selesai menulisnya?" tanya Bu guru lembut setelah melihat Mawar sudah menutup buku tulisnya.
"Sudah, Bu Huru," jawab Mawar ragu-ragu.
"Kalau begitu boleh Ibu lihat?"
Mawar mengangguk patuh, berjalan perlahan ke depan menuju meja guru membuat anak-anak lain memperhatikan dirinya.
Bu guru lantas meraih buku milik Mawar, membaca apa yang sudah ditulis oleh gadis kecil itu.
"Wah, dari mana kamu belajar? Tulisan kamu sangat indah dan rapi. Bagus sekali, Mawar!" puji Bu guru setelah melihat hasil pekerjaan Mawar.
"Mama saya yang mengajari saya menulis dan membaca, Bu Guru," jawab Mawar.
"Mawar juga sudah bisa membaca?"
Gadis kecil itu mengangguk antusias, membuat Bu Guru tersenyum bangga.
Meski beliau tahu bahwa Mawar memiliki seorang Ibu wanita pribumi, namun itu justru menjadikan Mawar lebih unggul dibandingkan teman-temannya sekelasnya yang bahkan baru hari ini bisa memegang pensil dengan benar.
Sulit dipercaya memang, seorang anak yang baru masuk sekolah dasar kala itu sudah langsung bisa membaca. Hanya anak-anak yang memiliki orang tua luar biasalah yang mampu membuat anak mereka bisa menjadi seperti Mawar kala itu.
"Di papan tulis, Bu Guru menuliskan seperti ini, Kees Suka Membaca," ucap Mawar sambil membaca papan tulis di hadapannya.
"Betul sekali, Mawar. Anak-anak, ingat untuk belajar yang rajin agar bisa pandai seperti Mawar ya," Bu Guru berujar dengan seulas senyum lembut.
"Untuk apa aku harus pandai seperti Mawar? Mama dia 'kan hanya seorang Inlander yang bodoh," tukas Nico teman sekelas Mawar dengan enteng, membuat Mawar menundukkan kepalanya.
"Nico benar, Bu Guru. Mamanya Mawar hanya seorang Inlander yang tidak lebih mulia dari pada kita," imbuh Rebecca.
"Tidak boleh bilang seperti itu ya, anak-anak. Menghina orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji dan bisa dihukum oleh Tuhan. Kalian semua paham?" peringat Bu Guru.
Mawar yang masih tertunduk sedih tahu bahwa Nico dan Rebecca masih memandangnya dengan pandangan tidak suka.
Gadis kecil yang malang itu tidak tahu apa-apa. Pernikahan kedua orang tuanya juga bukan sesuatu yang bisa ia atur, mana bisa dia memilih di keluarga mana ia akan dilahirkan.
"Mawar boleh duduk lagi sayang," titah Bu Guru sambil mengusap lembut puncak kepala Mawar.
"Terima kasih Bu Guru."
"Nico dan Rebecca, cepat minta maaf kepada Mawar," pinta Bu Guru tegas.
Meski dengan wajah yang enggan, Nico dan Rebecca terpaksa meminta maaf kepada Mawar.
"Maafkan kami ya, Mawar," ucap mereka berdua berbarengan.
"Iya."
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Mawar kecil yang hatinya terasa teriris.
Gadis kecil itu hanya bisa berharap kehidupan sekolahnya akan berjalan dengan lancar sampai akhir.
Kehidupan sebagai seorang Noni bukanlah hal mudah yang harus dilewati oleh Mawar.
Mental Mawar memang sudah dipersiapkan oleh Mama dan Papanya sejak dini untuk mengahadapi ejekan seperti ini, namun Mawar tetap saja merasa sedih dan terluka.
Dia kini hanya bisa berpura-pura tak merasakan apa-apa setelah apa yang telah dikatakan oleh Nico dan Rebecca, meski ada juga beberapa orang temannya memandang Mawar dengan sorot iba karena merasa apa yang dilakukan oleh Nico dan Rebecca memanglah salah.
Mawar hanya duduk diam, menunggu dengan tidak sabar dalam hati untuk segera pulang ke rumah.
Jika Mawar terlahir dari seorang wanita asli Belanda apa akan merubah keadaan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Qian
realita masa itu memang rumit banget, tapi author bisa menggambarkannya dengan baik.
keren! lanjutkan Thor❤️
2023-03-23
1