Dahi mulus milik Tuan De Haas lantas berkerut. "apa yang kau inginkan, Sarinah?"
"Bolehkah saya bertemu dengan Ibu dan Bapak saya sebentar saja, Tuan?" Sarinah mengungkapkan keinginannnya membuat air muka Tuan De Haas berubah.
"Apa Anda tidak bisa mengabulkan permintaan saya, Tuan kalau begitu-"
"Nanti malam kita akan menginap di rumah Ibu dan Bapakmu, tapi hanya satu malam," final Tuan De Haas.
"Sungguh, Tuan?"
Tuan De Haas mengangguk pasti, tersenyum tipis menyakinkan Sarinah bahwa apa yang ia katakan sungguh-sungguh. Entah bagaimana bisa, Tuan De Haas tak pernah bisa mengatakan tidak kepada apa pun yang diinginkan oleh sang Nyai muda.
Agaknya Tuan De Haas benar-benar mencintai wanita muda itu lebih dari sekedar suka seperti dugaan awal sang pria. Dalam lubuk hati sang Tuan, ia sungguh tak mau kehilangan Sarinah.
"Ya. Tapi sebelum itu kau juga harus makan yang banyak, Sarinah. Ayo, lekas habiskan makananmu," perintah Tuan De Haas masih dengan senyumnya yang belum memudar.
Bibir Tuan De Haas yang kemerah-merahan bagaikan kelopak bunga mawar itu begitu menawan, membuat Sarinah juga ikut tersenyum, terhanyut ke dalam pesona sang Tuan.
Sepasang sejoli itu lantas makan dengan tenang sambil saling berhadapan-hadapan, menikmati makanan China yang tersaji dengan beragam di atas meja.
Pengunjung restoran China ini tidak begitu ramai, suasananya damai yang membuat Tuan De Haas dan Sarinah dapat menikmati makanan mereka dengan khidmat diselingi percakapan kecil.
Meski tak jarang orang Belanda yang berlalu memandang Sarinah penuh cemooh, wanita muda itu tetap cuek, lebih memilih untuk menanggapi perkataan sang Tuan lantas membalasnya dengan lembut serta santun.
"Apa kau pernah makan makanan seperti ini sebelumnya?" Tuan De Haas bertanya sambil menyuapi Sarinah dengan sepotong daging sapi yang telah ia potong.
Sarinah menggeleng pelan. "belum pernah, Tuan. ini pertama kalinya saya memakan makanan asing seperti ini tetapi rasanya sangat nikmat, terima kasih banyak, Tuan."
Tuan De Haas merasa amat tersanjung, Sarinah tak pernah pelit senyum dan selalu mengatakan terima kasih untuk hal-hal kecil yang ia berikan kian memperbesar rasa nyamannya kepada sang gadis.
"Aku hanya melakukan yang seharusnya, Sarinah."
Hanya kata-kata seperti itu yang selalu dilontarkan oleh sang Tuan tanpa tahu betapa bahagianya Sarinah telah diperlakukan sebaik ini oleh sang Tuan.
Sarinah bersyukur, Tuan De Haas memperlakukan dirinya dengan sangat baik meski ia hanyalah seorang pribumi yang dipandang rendah oleh orang-orang Belanda lainnya.
...****************...
Sinar mentari yang bersinar begitu terik tak menyurutkan semangat Tuan De Haas dan Sarinah untuk bertolak ke kampung halaman Sarinah hari ini. Di dalam mobil, Tuan De Haas sibuk mempersiapkan berbagai hal yang agaknya akan mereka perlukan selama perjalanan.
"Darijo, aku akan pergi ke rumah Goenawan dan Tuminah karena ada urusan penting jadi kau tak perlu ikut. Oh ya, karena perjalanan cukup jauh maka aku memutuskan untuk pulang besok," terang Tuan De Haas siang itu saat sedang memanaskan mesin mobilnya.
Darijo mengangguk patuh. "baiklah, Tuan. apakah ada hal lain yang perlu saya kerjakan?"
"Tidak perlu, kerjakan saja semuanya seperti biasanya," tukas Tuan De Haas cepat, membawa Sarinah masuk ke dalam mobilnya.
"Baik, Tuan. Kalau begitu hati-hati di jalan," balas Darijo santun sambil melanjutkan pekerjaan, menyapu halaman rumah Tuan De Haas dengan sapu lidi di tangannya.
Mobil yang dikendarai oleh Tuan De Haas lantas bergerak perlahan namun pasti menuju jalan raya, hendak pergi ke desa tempat kampung halaman Sarinah berada.
Perjalanan dari kota Palembang tempat tinggal Sarinah kini ke Pagar Alam, kampung halamannya memang cukup jauh sehingga mereka memulai perjalanan lebih awal.
Meski jalan yang ditempuh tidaklah padat, namun jalanan yang berliku melewati medan perbukitan membuat perjalanan mereka terasa lebih jauh.
Hamparan perbukitan hijau yang menyejukkan mata itu sama sekali tak membuat Sarinah jenuh, ia hanya merindukan Bapak Ibunya hingga melupakan segala rasa lelahnya.
Beberapa jam telah berlalu, matahari pun sudah terbenam menarik semua cahaya yang ada lantas menukarnya dengan langit yang kelam.
Malam ini tidak ada bulan yang nampak, hanya ada beberapa titik bintang menghiasi langit yang sudah gelap itu.
Perjalanan keduanya akhirnya berbuah manis, Tuan De Haas dan Sarinah berhasil tiba di Pagar Alam dengan selamat tanpa hambatan yang berarti.
"Ibu! Bapak! Aku pulang!" panggil Sarinah dengan mata yang berair, begitu merindukan kedua orang tuanya setelah sekian lama tak berjumpa.
"Sarinah!" Goenawan dan Tuminah berseru membalas panggilan sang putri, lantas ketiganya saling mendekap erat membuat perasaan Tuan De Haas turut tersentuh.
Tuan De Haas sudah tidak memiliki kedua orang tua sejak lama, pun ia sama seperti Sarinah yang merupakan anak tunggal.
Melihat momen kebersamaan keluarga kecil itu tentu saja membuat Tuan De Haas merasakan ada sesuatu di dalam benaknya.
"Maaf sudah merepotkan Anda, Tuan... Anak kami sama sekali tidak pernah berpisah dengan orang tuanya seperti ini," ucap Goenawan merasa tidak enak hati kepada sang Tuan Belanda.
"Tidak masalah. Aku tidak bisa merasakan apa yang Sarinah rasakan karena sudah lama tidak lagi memiliki orang tua," sahut Tuan De Haas sambil mendudukkan diri di kursi kayu yang ada di beranda rumah sederhana milik keluarga Goenawan.
"Turut berduka, Tuan," Tuminah berujar sendu.
"Masuklah kalau begitu, kalian pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh," ajak Goenawan ramah, menggandeng tangan sang putri dan Tuan De Haas untuk masuk ke dalam rumah mereka.
Tiba di dalam rumah, Tuan De Haas diperlakukan dengan begitu hangat oleh Goenawan dan Tuminah selayaknya seorang menantu di rumah itu semakin membuat Tuan De Haas merasa nyaman serta mendapatkan kembali kasih sayang yang telah lama tak ia rasakan setelah kematian kedua orang tuanya belasan tahun silam.
"Silakan makan, Tuan. Maaf kami tidak sempat menyajikan makanan yang lebih layak," ucap Tuminah sambil buru-buru menyiapkan makan malam untuk mereka semua.
Tuan De Haas tersenyum lembut, menikmati kehangatan keluarga kecil itu kemudian mengangguk dengan sopan selayaknya sedang berbicara dengan orang tuanya sendiri.
"Ini sudah lebih cukup, Ibu."
Ucapan spontan dari Tuan De Haas membuat semua orang terkejut sekaligus takjub, mengingat Tuan Belanda itu memanggil Tuminah dengan sebutan Ibu.
"Kalau begitu mari makan, Sarinah, Ibu dan Bapak," ucap Tuan De Haas kali ini dengan segurat senyuman yang begitu hangat.
"Rasanya kita seperti sedang bicara dengan menantu ya," Tuminah berujar sambil menyiapkan lauk serta nasi untuk dimakan bersama.
"Ah, betul. Mulai sekarang Tuan harus lebih sering mampir ke mari dengan Sarinah ya," Goenawan menimpali.
Percakapan menyenangkan akhirnya tak terhindarkan, Goenawan, Tuminah serta Tuan De Haas mulai mengobrol membahas berbagai macam hal menarik bersama.
Sarinah hanya bisa tersenyum melihat interaksi antara kedua orang tuanya dan Tuan De Haas. Mereka terlihat amat harmonis benar-benar seperti mertua dan menantu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Binar Syanum
cerita nya keren... unik...
2023-09-28
0