"Cecilion lagi? Ya Tuhan, apakah aku benar-benar menyukai anak itu sampai sejauh ini? Hah..."
Mawar memijat pelipisnya, berusaha mengusir rasa pening yang mendera kepalanya. Belakangan ini ia selalu memikirkan Cecilion, sampai membuat dirinya sering kali kedapatan melamun oleh teman mau pun kedua orang tuanya.
Kebersamaan yang ia rajut bersama Cecilion juga terasa semakin sering, membuat Mawar semakin kesulitan untuk menyembunyikan apa yang ada di dalam hati kecilnya.
"Apakah ini yang dinamakan dengan cinta?" gumam Mawar sambil memandangi potret tampan Cecilion hasil karyanya barusan.
Sebenarnya, gadis mana sih yang tidak akan tergila-gila dengan Cecilion van der Linen, pemuda tampan dan gagah bagai seekor singa jantan.
Sepasang alis tebal nyaris tertaut yang membingkai kedua matanya, semakin menambah keindahan sorot mata tajam milik Cecilion. Hidungnya mancung nan runcing, mirip paruh elang yang tajam serta memesona serta bibir penuhnya yang kemerahan membuat jantung Mawar berdegup tak karuan setiap kali melihatnya.
Cecilion van der Linen memang sangat sempurna, rasanya mustahil jika tidak ada gadis yang menaruh hati kepadanya. Mawar yakin, jika dia nekat menyatakan perasaannya kepada Cecilion hal itu tak mungkin berbuah manis mengingat banyak gadis yang berusaha menarik perhatian sang pemuda.
"Mawar, kamu sedang apa, sayang?" panggil Nyonya De Haas sang Mama dari ambang pintu kamar Mawar.
Dengan gerakan tergesa-gesa, Mawar langsung menutup buku gambarnya. "aku baru selesai menggambar, Mama."
"Ya sudah, kalau begitu ayo kita makan. Mama baru saja memasak nasi goreng kesukaan kamu," ucap Nyonya De Haas dengan senyuman hangat dan lembut khas seorang ibu.
Mawar mengangguk patuh, beringsut mendekat kepada sang Mama yang belakangan sedang sibuk mengurus bisnis baru keluarga mereka.
Sepasang ibu dan anak itu lantas berjalan bersama menuju meja makan sambil bergandengan tangan, bercengkrama satu sama lain disisipi dengan tawa kecil membuat Tuan De Haas yang melihatnya dari kejauhan merasa bahagia.
Tuan De Haas merasa dirinya telah berhasil membangun sebuah keluarga kecil yang hangat dan bahagia ditengah banyaknya persepsi negatif tentang pernikahan beda kasta yang ia jalani dengan Sarinah, istrinya.
Lelaki itu hanya ingin memberikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada istri dan anak semata wayangnya itu tanpa mempedulikan betapa buruk orang-orang Belanda lain menilai dirinya karena telah berani menikahi seorang wanita pribumi.
"Cepat kemari dan makan sebelum semua sajian nikmat ini menjadi dingin," titah Tuan De Haas sok tegas kepada anak dan istrinya yang baru saja mendudukkan diri di atas kursi.
"Bilang saja kalau Papa sudah kelaparan," ledek Mawar sambil meraih peralatan makannya.
Nyonya De Haas tergelak geli. "iya, Papamu pasti sudah kelaparan makanya jadi sinis seperti itu."
Seperti kebiasaan mereka, Tuan De Haas memimpin doa sebelum mereka mulai makan.
Semua orang menundukkan kepalanya sampai Tuan De Haas menyelesaikan doanya.
Keluarga kecil itu kemudian mulai makan dengan khidmat, menikmati rasa dari setiap makanan yang tersaji di atas meja makan dengan air muka bahagia penuh syukur.
"Pabrik gula milik kita semakin berkembang pesat, apa kita harus membuka cabang baru lagi?" ucap Tuan De Haas membuka topik pembicaraan.
"Bukankah kita sudah memiliki tiga pabrik?" celetuk Mawar setelah meneguk minumannya.
"Memang. Tapi Papa merasa kalau membangun pabrik gula baru di Batavia juga akan sangat menguntungkan bagi kita dan orang-orang lain yang membutuhkan pekerjaan yang lebih layak," ucap Tuan De Haas memberikan pandangannya.
Berbeda dengan anak pebisnis lain yang cenderung manja dan masa bodoh dengan bisnis orang tuanya, Mawar justru sangat bijak dan pandai memberikan masukan untuk bisnis yang digeluti oleh kedua orang tuanya.
Bahkan, Mawar juga mendesain sendiri semua bentuk bangunan pabrik gula milik keluarga mereka yang membuat pabrik milik keluarga De Haas memiliki ciri khas tersendiri.
"Kalau mau membangun pabrik baru di Batavia, bukankah kita juga harus mengantongi izin dari gubernur?" kata Nyonya De Haas.
Betul. Semua aktifitas bisnis skala besar sekarang harus dilakukan dengan izin dari gubernur yang berkuasa dengan sederet regulasi yang rumit.
Tuan De Haas menghela. "itu dia masalahnya. gubernur yang saat ini berkuasa adalah musuhku sejak kami masih tinggal di Netherland bagaimana mungkin dia mau memberikan aku izin membuka pabrik baru."
Gubernur Van Der Linen, ayah dari Cecilion memang belum lama ini menduduki jabatan sebagai gubernur di Batavia membuat banyak sekali perubahan terjadi dari berbagai bidang.
Tak jarang orang-orang mengeluh, mulai dari para pribumi sampai pengusaha kaya raya seperti Tuan De Haas seringkali dibuat pusing oleh peraturan baru yang dibuat oleh Gubernur Van Der Linen.
"Kenapa Papa tidak mencoba memperbaiki hubungan dengan Meneer Van Der Linen? Siapa tahu itu juga akan menguntungkan kedua belah pihak," Mawar berujar mencoba memberikan solusi terbaik. Toh, itu bukan semata karena Mawar mencintai putra sang gubernur tapi juga untuk kebaikan mereka semua.
"Papa tidak akan melakukan hal bodoh itu, datang kepadanya lebih dulu? Itu sama saja dengan mencoreng harga diri sendiri," balas Tuan De Haas ketus.
"Lalu kenapa Papa meminta pendapat kami kalau tidak mau mendengarkan masukan?" sahut Mawar, menaruh sendok dan garpu yang sudah selesai ia gunakan di atas meja makan.
Sorot mata gadis itu menajam, tak habis pikir dengan jalan pikiran Papanya yang selalu saja menomorsatukan harga diri.
"Kamu tidak akan mengerti sebelum kamu dewasa, Mawar," kata Tuan De Haas dengan penuh penekanan.
"Dewasa? Aku sudah tujuh belas tahun! Kenapa aku tidak boleh menyampaikan apa yang aku rasa akan menjadi jalan tengah terbaik untuk kalian semua?" suara Mawar meninggi, membuat Nyonya De Haas cepat-cepat mengusap lembut bahu anaknya itu berusaha memintanya untuk tenang.
"Oh, sejak kapan kamu berani melawan Papa seperti ini, Mawar De Haas!"
Mawar bangkit dari tempat duduknya. "itu yang membuat orang-orang malas berurusan dengan Papa selain urusan bisnis, Papa itu keras kepala dan tidak mau mendengarkan masukan dari orang lain!"
Kedua tungkai Mawar melangkah menjauh, meninggalkan kedua orang tuanya yang tak menyangka kalau Mawar akan mengatakan hal seperti itu.
"Jangan harap kamu bisa keluar dari rumah mulai besok, Mawar De Haas!" teriak Tuan De Haas yang sudah tersulut emosinya.
Mawar masuk ke dalam kamarnya, tak mempedulikan teriakan dari sang Papa dari meja makan. Selama ini Mawar memang selalu berusaha menjadi anak yang diinginkan oleh Papanya, tak peduli betapa kerasnya ego sang Papa.
Tapi kini dia sudah merasa tak sanggup dengan sikap keras kepala Tuan De Haas yang semakin lama semakin menjadi itu.
Gadis itu meraih bantalnya, mulai berbaring dengan air matanya yang sudah bercucuran membasahi kedua belah pipinya.
"Aku harus bagaimana, Cecilion?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments