"Eum, aku mau tanya apa benar ibumu adalah seorang pribumi?"
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Cecilion langsung dibalas oleh anggukan dan senyuman lesu oleh Mawar.
"Memang benar, itulah sebabnya teman-teman di sekolah tak banyak yang mau berteman denganku selain dari mereka yang sama sepertiku."
Cecilion menunduk sedih, ia memang beberapa kali pernah mendapati Mawar menerima perlakuan tak pantas dari teman-teman di sekolah.
Ada yang mengolok-olok Mawar karena ibunya seorang pribumi, ada pula yang mengejek Mawar karena nama gadis itu terlalu pribumi dan tidak cocok dengan wajahnya yang selayaknya seorang gadis Eropa.
Malang nasib gadis itu, para guru di sekolah pun merasa enggan memanggilnya dengan nama depan. Mereka cenderung lebih memilih memanggil Mawar dengan nama belakangnya, De Haas.
Cecilion lantas meraih tangan Mawar, memandang gadis itu dengan seulas senyum tulus.
"Kamu tidak perlu khawatir, Mawar. Aku akan tetap bersedia menjadi temanmu seburuk apa pun orang lain memperlakukan dirimu," ujar Cecilion penuh kesungguhan.
Mawar tak menyangka, jika pemuda tampan ini bahkan bersedia menyebutkan nama depannya. Gadis itu terharu akan ketulusan dari Cecilion yang tanpa ia sadari semakin membuat dia tertarik lebih jauh ke dalam pesona seorang Cecilion van der Linen.
"Terima kasih, Cecilion."
"Bukan apa-apa, kalau begitu ayo cepat habiskan es limun itu aku akan traktir kamu makan!"
"Yang benar?"
"Iya, ayo cepat! Aku mau kamu menunjukkan makanan lokal yang paling enak di Batavia kepadaku!"
Usai menghabiskan es limun dan membayarnya, sepasang sejoli muda itu melanjutkan langkah mereka menuju tempat kuliner yang berjarak beberapa ratus meter dari taman pusat kota.
Mawar dan Cecilion melangkah diiringi dengan cekikikan riang dari sang gadis yang terus saja mendapatkan lelucon dari lawan bicaranya. Diluar dugaan Mawar, Cecilion yang biasanya pendiam dan dingin itu juga bisa melontarkan banyak lelucon lucu seperti ini.
"Aku tidak tahu kalau kamu ternyata orangnya jauh lebih hangat," ungkap Mawar setibanya mereka di sebuah kedai makan kecil milik seorang pribumi.
"Papa memaksaku untuk tidak bersikap ramah. Dia bilang kalau anak dari seorang petinggi mana boleh tertawa terbahak-bahak seperti ini apalagi di muka umum," jelas Cecilion sambil memperhatikan keadaan di sekeliling kedai.
Seumur hidupnya, Cecilion baru kali ini dia masuk ke kedai kecil di pinggir jalan seperti ini.
Biasanya Tuan dan Nyonya Van Der Linen mana pernah mau makan di sembarang tempat apalagi kedai di pinggir jalan.
Meski nuansa sederhana kini melingkupi dirinya, entah mengapa Cecilion merasa jauh lebih nyaman ketimbang saat makan di restoran mewah bersama kedua orang tuanya seperti yang sering mereka lakukan di akhir pekan.
Aroma sedap makanan menyapa indera pembauan milik Cecilion, membuat pemuda itu tiba-tiba merasa perutnya keroncongan.
"Di sini aku sering makan dengan Mama. Makanan yang aku sukai adalah nasi goreng, kamu juga harus mencobanya," kata Mawar penuh semangat, semakin membuat Cecilion tertarik pada gadis pemilik kecantikan yang unik itu.
Sorot sepasang netra Cecilion melembut, memandang Mawar penuh minat.
"Jika kamu bilang aku harus mencobanya, maka dengan senang hati aku akan mencoba nasi goreng juga," balas Cecilion dengan derai kekehan ringan.
Mawar mengangguk penuh semangat, senang mendengar perkataan Cecilion barusan.
"Baiklah kalau begitu. Bibi! Kami pesan dua nasi goreng ya!"
...****************...
Seperti siang hari biasanya, Mawar melangkah dengan santai menuju rumahnya yang memang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah.
Mawar memang selalu menolak saat Tuan De Haas memerintahkan sopir mereka untuk menjemput gadis itu dengan alasan ingin berjalan kaki, hitung-hitung sekalian olahraga, itu selalu dijadikan alasan oleh Mawar.
"Oh, lihat ada Mawar layu yang sedang lewat!"
"Haha kamu benar, bagaimana kalau kita lempari dia dengan tepung ini?"
"Ide yang bagus! Itu ganjaran yang sangat cocok untuk perempuan gatal yang suka sekali menggoda Cecilion!"
Tiga gadis berwajah Eropa itu memandang Mawar sinis sambil berucap demikian. Mawar sudah biasa diperlakukan seperti itu, makanya ia tetap cuek melangkahkan kakinya tanpa mau menoleh kepada mereka bertiga.
"Hei, kalau orang lain mengajakmu bicara kau harusnya jawab!" seru Marry, si gadis berambut ikal panjang sambil menarik rambut Mawar dengan kasar, membuat Mawar spontan berhenti berjalan.
"Kalian ini apa-apaan?!" teriak Mawar marah.
Belum sempat Mawar mengeluarkan semua kata-kata yang sudah ada di ujung lidahnya, ia malah diguyur menggunakan tepung oleh Lydia dan Guin, teman Marry.
Sungguh, Mawar yang malang lagi tak tahu apa-apa itu kembali menjadi bahan perundungan membuat emosi yang membakar benak gadis itu sudah tak mampu ia tahan lagi.
"Kenapa kalian selalu melakukan ini kepadaku?! Aku bahkan tidak pernah sekali pun mengusik hidup kalian!" pekik Mawar marah, mendorong Guin yang hendak mengguyur tubuhnya dengan air.
"Kau tanya kenapa? Bukankah sudah jelas itu karena kau adalah anak dari seorang Inlander yang bodoh dan menjijikan?" tantang Lydia dengan congkak, semakin membuat Mawar naik pitam karena mereka selalu saja mengolok-olok sang Mama yang bahkan jauh dari kata hina yang selalu mereka lontarkan itu.
Meski pun sang Mama adalah seorang pribumi, ia tak kalah terdidik dari pada para Nyonya Belanda yang kerap kali bersikap congkak dan tidak punya perasaan itu. Sarinah, sang Nyonya De Haas bahkan kini sudah memiliki satu pabrik gula yang ia kelola sendiri di Yogjakarta.
"Bodoh dan menjijikan? Apa kalian tahu bahwa Mamaku bahkan mampu membeli harga diri kalian?!" balas Mawar dengan sengit tak mau kalah.
Soal harta kekayaan, Mawar tentunya percaya diri mengingat sang Papa sudah memiliki beberapa pabrik besar dengan nilai omzet penjualan yang fantastis bahkan produk dari pabrik keluarga De Haas sering kali di ekspor ke Eropa.
Mana mungkin tingkat kekayaan itu sama dengan milik orang tua dari anak-anak yang sedang merundung Mawar ini yang hanya merupakan pegawai biasa.
"Kalian sedang apa?! Berhenti di sana dan jangan bergerak!" Cecilion berseru marah sambil berlari menghampiri mereka.
Lydia, Guin serta Marry menjadi mati kutu. Mereka yang sedang berusaha memukul Mawar kini hanya bisa terdiam, memandang takut kepada Cecilion yang kini nampak mengerikan dengan sorot matanya yang kian menajam bagaikan sepasang pedang baru.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Cecilion khawatir kepada Mawar.
Gadis tangguh itu mengangguk pelan, menjawab pertanyaan sang adam.
"Aku tidak apa-apa, tapi apa yang harus aku katakan kepada Mama kalau harus pulang dengan pakaian kotor seperti ini?"
Cecilion mendekatkan diri kepada Mawar, berbisik kepada sang hawa. "kita pikirkan nanti, sekarang aku harus mengurus tiga perempuan jahat ini terlebih dahulu, Mawar."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments