Author POV
Hindia Belanda, 23 Januari 1919.
"Kapan kau akan membayar utangmu, Goenawan?" seorang jongos dari Tuan Belanda kaya raya kepada Goenawan, seorang pribumi pemilik usaha kelapa sawit di bumi Sumatera.
Goenawan kehabisan kata-katanya, takut akan konsekuensinya yang tak mampu lagi membayar hutangnya kepada sang Tuan Belanda karena bisnisnya terus menurun beberapa bulan belakangan.
Di samping Goenawan, ada Tuminah sang istri yang sudah mulai menangis sebab teringat akan perjanjian mereka dengan sang Tuan Belanda yang telah memberikan mereka pinjaman uang.
Suasana sore hari yang seharusnya tenang dan menyenangkan itu berubah seratus delapan puluh derajat sejak kedatangan para jongos Tuan Belanda itu ke kediaman keluarga Goenawan.
"Aku sudah tidak sanggup membayarnya, Darijo..." jawab Goenawan putus asa.
Tuminah, wanita berusia dua puluh tahunan akhir itu memeluk Sarinah putri semata wayangnya dengan air mata bercucuran sementara sang gadis hanya bisa memandang kedua orang tuanya bingung.
"Kalau begitu, aku akan segera memanggil Meneer kemari untuk mendapatkan kompensasi dari utang yang tak mampu kalian lunasi," final Darijo sambil melirik gadis cantik dalam dekapan Tuminah.
Darijo lantas pergi meninggalkan rumah keluarga Goenawan, yang lagi-lagi menimbulkan tanya dalam benak Sarinah.
"Apa yang sebetulnya terjadi, Bapak, Ibu?" tanya Sarinah yang tak mengerti mengapa Ibu dan Bapaknya menangis sambil memeluk erat-erat dirinya.
"Berjanjilah kepada Bapak untuk selalu bersikap baik di hadapan Tuan, Sarinah."
Belum terjawab tanda tanya dalam benaknya, Sarinah sang gadis muda kini makin dibuat bingung oleh ucapan Bapaknya barusan.
Dengan air muka bingung yang tak bisa dia sembunyikan, Sarinah hanya bisa memeluk Ibu dan Bapaknya yang terus menangis dalam diam.
Setelah kehilangan banyak lahan kebun mereka, apa lagi yang harus hilang dari keluarga Goenawan yang malang ini?
...****************...
Suara berisik dari kereta kuda yang membawa Tuan De Haas menuju rumah keluarga Goenawan menyita perhatian warga sekitar pemukiman penduduk pribumi malam itu.
Adolf De Haas, seorang Tuan Belanda yang merupakan seorang pengusaha kaya raya berparas tampan itu memang kerap kali menyita perhatian.
Tubuhnya tegap dan tinggi, rambutnya pirang dengan sepasang mata biru safir yang begitu menarik bagi para lawan jenis terlebih usia sang Tuan yang masih muda dan belum menikah.
Bagi banyak mata, Tuan De Haas bagaikan singa jantan yang gagah perkasa serta rupawan yang pesonanya begitu sayang untuk dilewatkan.
Bermodalkan penerangan dari beberapa batang obor yang dibawa oleh para jongosnya, Tuan De Haas akhirnya berhasil tiba di rumah keluarga Goenawan.
"Selamat datang, Tuan. Maaf membuat anda harus datang ke rumah kami yang hina dina ini," sapa Goenawan berusaha ramah kepada sang Tuan Belanda tetapi kesedihan tak dapat disembunyikan oleh ayah satu anak itu.
"Tidak perlu menyajikan apa-apa, aku kemari hanya untuk menerima pembayaran dari utangmu," tegas Tuan De Haas.
Goenawan menelan ludahnya, tak tahu harus berkata apa saat pria Belanda itu langsung mendudukkan diri di atas kursi kayu ruang tamu rumahnya.
Tidak mau membuat sang Tuan menunggu, Goenawan lantas beringsut ke dalam rumahnya untuk memanggil anak dan istrinya.
"Ayo, cepat! Tuan sudah datang," bisik sang kepala keluarga kepada istrinya.
Tuminah mengangguk, merangkul sang putri untuk berjalan keluar dari kamar menuju ruang tamu tempat sang Tuan menunggu.
"Selamat malam, Tuan. Maaf telah membuat Anda menunggu, dia adalah Sarinah putri kami satu-satunya yang paling berharga yang saya dan Goen miliki," ucap Tuminah santun, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Tatapan tajam khas Tuan De Haas seketika berubah menjadi lembut tatkala ia beradu pandang dengan Sarinah, sosok ayu yang tengah berdiri di hadapannya dengan penuh kebingungan.
Gadis itu berkulit kuning langsat dengan sepasang netra berwarna cokelat gelap lengkap dengan bibirnya yang merah ranum, kecantikan yang begitu mencolok untuk seorang pribumi.
Tuan De Haas pun mengakui dalam hatinya bahwa kecantikan Sarinah sangat luar biasa jika dibandingkan dengan wanita-wanita lain yang pernah menjalin hubungan dengannya.
Dengan kaku, Sarinah akhirnya tersenyum karena dipaksa oleh sang Bapak yang berdiri di belakangnya.
"Karena kompensasi yang aku dapatkan memang sangat menarik, aku anggap semua utang kalian lunas. Bawa dia masuk ke dalam kereta kuda," ucap Tuan De Haas setelah cukup lama tercenung memandangi kecantikan milik Sarinah.
"Bapak dan Ibu menjual diriku?" tanya Sarinah dengan mata yang sudah basah oleh air mata.
Biar bagaimana pun, Sarinah tak pernah merasa siap walau ia tahu kejadian seperti ini memang sudah menjadi hal yang umum di Hindia Belanda.
Jika sebuah keluarga tak mampu membayar utangnya kepada Tuan Belanda tempat mereka meminjam uang, maka jika tak ada barang berharga setara dengan nominal utang itu maka mereka harus rela kehilangan anak mereka sebagai kompensasi.
Mau tak mau, Sarinah harus menerima takdirnya ini demi keselamatan nyawa kedua orang tuanya yang sangat dia cintai.
"Tak ada yang bisa kami lakukan selain ini, Nak," jawab sang Bapak yang sudah tak kuasa menahan tangisnya.
"Bersikaplah sebaik mungkin, anakku," ucap sang Ibu mengingatkan ditengah pelukan terakhir keluarga hangat itu.
Setelah dapat mencerna sepenuhnya situasi yang menimpa keluarganya, Sarinah melangkah gontai mengikuti sang Tuan menaiki kereta kuda.
Hujan yang turun secara tiba-tiba membasahi bumi seolah menjadi gambaran kesedihan yang menyelimuti keluarga Goenawan.
Seiring dengan langkah kuda yang menarik kereta yang ditumpangi oleh putri mereka kian melangkah jauh, Goenawan dan Tuminah hanya bisa berharap semoga kehidupan putri mereka akan menjadi lebih baik setelah hidup sebagai seorang Nyai.
"Setibanya di rumahku nanti, buang saja semua pakaian yang kau bawa dari rumah," ucap Tuan De Haas pelan, seperti gumaman di tengah suara gemuruh hujan.
"Ya, Tuan?" Sarinah yang sedang melamun tak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh sang Tuan.
"Buang semua pakaian yang kau bawa setibanya di rumahku nanti, Sarinah."
Bagi Sarinah, mendengar seorang Tuan Belanda mau memanggil namanya adalah hal yang sangat luar biasa mengingat selama ini orang-orang Belanda selalu memperlakukan mereka, rakyat pribumi layaknya kotoran di negeri mereka sendiri.
"Jika itu perintah, maka akan saya lakukan, Tuan," balas Sarinah patuh dengan pandangan kosong ke depan.
Tuan De Haas yang amat terpesona dengan kecantikan milik Sarinah tak mampu menyembunyikan rasa ketertarikannya pada gadis pribumi itu.
Sejak berada dalam kereta kuda, sepasang obsidian biru safir milik sang Tuan selalu setia menelisik setiap inchi dari wajah Sarinah yang amat menawan.
"Jika aku menginginkan anak darimu, apa kau tidak keberatan?" tanya sang Tuan lagi.
Sarinah lagi-lagi dibuat heran dengan perlakuan Tuan De Haas yang sangat lain dari yang lain ini.
Entah apa yang dipikirkan oleh sang Tuan hingga ia melontarkan pertanyaan seperti itu.
Sarinah tersenyum, walau terpaksa ia tetap mengangguk kemudian berujar lembut.
"Jika Anda merasa tidak masalah mendapatkan anak dari seorang wanita hina seperti saya maka Anda bisa mendapatkan berapa pun yang Anda inginkan, Tuan."
"Jika Anda merasa tidak masalah mendapatkan anak dari seorang wanita hina seperti saya maka Anda bisa mendapatkan berapa pun yang Anda inginkan, Tuan."
Tuan De Haas tersenyum tipis namun penuh makna setelah mendengar jawaban seperti yang ia inginkan dari Sarinah. Sungguh ia tak pernah menyangka jikalau Goenawan dan Tuminah memiliki anak perempuan secantik ini.
Suara gemuruh dari hujan terus saja mengusik heningnya malam itu, beradu dengan perasaan Sarinah yang berkecamuk. Tak banyak yang gadis malang itu harapkan selain dirinya yang masih dapat memiliki kesempatan untuk bertemu dengan kedua orang tuanya nanti.
"Apa yang kau pikirkan? Ayo turun, kita sudah sampai," kata Tuan De Haas memecahkan lamunan Sarinah.
Sarinah mengangguk kaku, kemudian turun mengikuti langkah sang Tuan yang sudah menginjakan kakinya di pekarangan rumah mewah bergaya arsitektur Art Deco khas milik orang Belanda yang tak mampu dibeli oleh sembarang orang, terlebih seorang pribumi sepertinya.
"Darijo, buang semua pakaian yang dibawa oleh Sarinah. suruh para babu untuk menyiapkan kamar baru bagi Sarinah sekarang juga," perintah mutlak Tuan De Haas kepada Darijo sang kepala jongos rumah ini.
Darijo mengangguk cepat. "baiklah, Tuan."
Lagi dan lagi Sarinah dibuat heran sekaligus bingung dengan sikap Tuan De Haas kepadanya. Untuk apa sang Tuan mau repot-repot menyiapkan sebuah kamar untuknya? Bukankah ia akan tidur bersama para babu di rumah ini?
"Kenapa Tuan menyuruh Paman Darijo untuk menyiapkan kamar untuk saya?" tanya Sarinah yang sudah tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.
"Karena kau adalah Nyai di rumah ini dan aku menganggap kau lebih berharga dari pada para babu di sini. Sembari menunggu kamar untukmu dipersiapkan, mari temani aku makan malam lebih dulu," jelas Tuan De Haas seraya meraih pergelangan tangan kurus milik Sarinah, membawa gadis ayu itu masuk ke dalam rumah mewahnya.
Seumur hidupnya, baru kali ini Sarinah bertandang ke rumah seorang Tuan Belanda apalagi diperlakukan dengan sebaik ini. Biasanya, para orang Belanda bahkan enggan melihat ke arah seorang pribumi seperti dirinya, menganggap bahwa pribumi tak ada bedanya dengan binatang.
Sarinah yang sudah terbiasa diperlukan dengan amat tidak layak oleh para penjajah Belanda jelas saja merasa takjub mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda dari Tuan De Haas, Tuan pertama yang harus ia layani sebagai seorang Nyai.
Dengan lembut, Tuan De Haas menggenggam tangan Sarinah seraya berjalan sejajar menuju ruang makan. Kedatangan Sarinah tentu saja mengagetkan para babu dan jongos di rumah itu yang tidak tahu apa-apa mengenai urusan utang piutang Tuan De Haas dengan Goenawan, Bapaknya Sarinah.
Mereka pikir, penyambutan heboh ini diperuntukan untuk calon istri sang Tuan yang rumornya akan datang langsung dari Belanda namun dugaan mereka malah salah besar.
"Apa makan malam sudah siap?" tanya Tuan De Haas pada salah seorang babu yang sedang sibuk menyusun piring di atas meja makan besar di ruang makan rumah ini.
Wanita paruh baya itu mengangguk, menaruh piring-piring sesuai dengan peruntukannya.
"sudah, Tuan. Anda bisa langsung makan malam sekarang juga."
Tuan De Haas tanpa basa-basi lagi mengambil posisi duduk di sebuah kursi mewah di ujung meja. Kursi yang berjajar di sepanjang meja makan besar itu cukup banyak untuk ukuran seorang bujangan, membuat Sarinah dapat menarik kesimpulan bahwa sang Tuan kerap kali mengadakan perjamuan.
"Duduklah di situ dan makan bersamaku, Sarinah. Aku butuh teman makan bukan sebuah patung yang hanya bisa memperhatikan aku makan," titah Tuan De Haas sembari mengambil sendok dan garpu di hadapannya.
"Saya sungguh boleh menikmati semua hidangan lezat ini, Tuan?" tanya Sarinah polos berusaha memastikan tawaran sang Tuan.
Sepasang obsidian biru safir milik sang Tuan bergulir, memandang ke arah Sarinah kemudian.
"jangan membuatku terus mengulang perkataan, Sarinah. Duduk dan makanlah apa pun yang ingin kau makan sekarang juga."
"Maafkan saya, Tuan," sesal Sarinah sambil buru-buru duduk di sisi kiri sang Tuan.
Dalam hening, Tuan De Haas dan Sarinah makan bersebelahan menikmati hidangan khas Belanda yang tersaji dengan begitu lezat di atas meja.
Sementara keduanya sedang menikmati makanan dalam keheningan, para babu mulai bergunjing dengan saling berbisik mengenai Sarinah sang perempuan pribumi pertama yang diperlakukan dengan begitu istimewa oleh Tuan De Haas.
Agaknya mereka merasa cemburu sebab tak pernah diperlakukan sebegitu baiknya oleh sang Tuan seperti Tuan De Haas memperlakukan Sarinah si gadis pendatang baru.
Lagi pula, wanita mana yang tidak mau berkencan dengan Tuan De Haas yang tampan rupawan serta mapan itu?
"Sampai kapan kalian terus menggunjingkan Nyai yang baru saja aku beli dengan harga mahal ini?"
Pertanyaan dingin dari Tuan De Haas kontan membuat para babu yang sejak tadi sibuk bergunjing membahas segala hal yang berkaitan dengan Sarinah langsung membubarkan diri.
"Tidak usah di dengarkan apalagi sampai di masukkan ke dalam hati, mereka akan selalu begitu jika melihat sesuatu yang menarik," hibur Tuan De Haas, memandang lurus kepada Sarinah sang Nyai.
"Saya sungguh tidak apa-apa, Tuan."
Senyuman manis laksana madu yang dilemparkan oleh Sarinah semakin membuat hati Tuan De Haas bergejolak, tak kuasa membendung perasaan tertariknya yang kian membesar.
Jantung Tuan muda itu berdegup dua kali lipat lebih kencang, membuatnya terus merasa salah tingkah sendiri terlebih Sarinah selalu menjawab perkataannya dengan suara lembutnya yang santun namun menggoda.
"Malam ini kau harus tidur di kamarku karena kamarmu masih dalam proses pengerjaan," kata Tuan De Haas usai mengelap bibirnya dengan sapu tangan dari sakunya, pertanda bahwa makan malamnya telah usai.
"Anda tidak keberatan? Padahal saya bisa tidur di ruangan lain terlebih dahulu," tolak Sarinah halus.
"Tidak boleh. kau adalah Nyai milikku maka hidupmu sepenuhnya adalah milikku dan merupakan tanggung jawabku," balas Tuan De Haas tegas.
Seketika Sarinah merasakan kerasnya tamparan realita yang harus ia terima bahwa dirinya tetaplah wanita rendahan di mata para pria Belanda seperti Tuan De Haas.
Mana boleh Sarinah berharap lebih bahwa ia bisa hidup enak dan bergelimang harta sebagai seorang Nyonya Meneer. Tidak semua orang pribumi bisa merasakan kenikmatan hidup seperti itu di tanah mereka sendiri yang terjajah ini.
"Baiklah kalau itu memang kemauan Tuan."
Kehidupan Sarinah sebagai seorang Nyai baru akan dimulai besok tetapi bisa-bisanya ia malah memikirkan hal-hal seperti itu membuat gadis itu menggeleng pelan berusaha menyadarkan dirinya sendiri.
"Sebagai seorang Nyai yang akan mengabdi kepada Tuan, hidup dan mati saya yang hina ini sepenuhnya merupakan hak dan tanggung jawab Tuan selaku pemilik saya."
"Aku senang mendengarnya. ayo cepat masuk ke kamar, aku sudah lelah dan butuh penghiburan darimu sekarang juga, Sarinah."
"Aku senang mendengarnya. ayo cepat masuk ke kamar, aku sudah lelah dan butuh penghiburan darimu sekarang juga, Sarinah."
Perkataan Tuan De Haas itu dibalas dengan anggukan oleh Sarinah, gadis polos berusia lima belas tahun yang tidak tahu apa-apa mengenai penghiburan di dalam kamar.
Meski pun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, namun Sarinah tak punya daya untuk sekedar berkata tidak atas keinginan sang Tuan. Ia menurut dengan tenang, berjalan lurus ke arah kamar mengikuti langkah sang Tuan.
Rumah Tuan De Haas sangat luas, ada banyak ruangan berjajar di sepanjang lorong rumah ini semakin jelas menunjukkan tingginya status sosial Tuan De Haas.
Setelah beberapa saat berjalan, Sarinah dan Tuan De Haas tiba di depan pintu kamar tujuan mereka.
Kamar itu sangat menonjol dibandingkan dengan ruangan lainnya di rumah ini dengan dua buah daun pintunya yang tinggi bercat cokelat gelap.
Jemari Tuan De Haas merengkuh pelan pinggang Sarinah, membawa gadis polos itu masuk ke dalam kamar. Meski dalam hatinya Sarinah merasa luar biasa gugup disertai rasa takut namun air mukanya tetap tenang bagai air danau tanpa riak.
Tuan De Haas mengunci pintu kamarnya, kemudian perlahan mengecup bibir kenyal nan lembab milik Sarinah membuat gadis itu lantas memahami akan hiburan apa yang diinginkan oleh sang Tuan.
Tentu saja, Sarinah ada di sini karena untuk melakukan hal ini sebagai ganti atas utang orang tuanya yang sudah tak mampu lagi mereka bayarkan karena bisnisnya bangkrut.
"Aku tahu ini adalah yang pertama untukmu, jadi aku akan berusaha melakukannya dengan perlahan agar kau juga bisa menikmatinya," bisik Tuan De Haas dengan suara rendahnya, membuat Sarinah seketika merinding.
Tuan De Haas kembali melanjutkan aksinya, mencumbu Sarinah dengan begitu lembut serta memabukkan berusaha menghantarkan hasratnya dengan lebih perlahan sesuai perkataannya.
Entah mendapatkan arahan dari mana, Sarinah tanpa ragu mengalungkan kedua tangannya di leher Tuan De Haas nampak begitu menikmati permainan panas yang mereka lakoni.
"Kau sungguh tidak keberatan kalau aku membuatmu hamil?" tanya Tuan De Haas dengan wajah merah padam serta pandangan sayu, pertanda hasratnya sudah semakin menanjak.
Napas pria itu memburu, kulitnya terasa lebih hangat dan Sarinah juga dapat merasakan debaran jantung sang Tuan yang menggila.
Wajah rupawan itu juga nampak semakin tampan dan menggoda, membius Sarinah untuk jatuh ke dalam pesona sang Tuan lebih jauh lagi.
"Cukup lakukan saja apa yang Tuan inginkan, saya akan menerima dengan senang hati."
Mendapatkan persetujuan yang ia inginkan, Tuan De Haas lantas perlahan mulai melucuti pakaian yang dikenakan oleh Nyai muda kesukaannya itu.
Dilihat dari sisi mana pun, Sarinah memang sangat menarik dengan pesona yang luar biasa menggoda.
Hidung runcing sang Tuan bergerak bersamaan dengan bibirnya, menelusuri setiap inchi tubuh molek milik Sarinah, menikmati wangi khas pribumi yang menguar dari tubuh gadis itu yang entah mengapa semakin membuat Tuan De Haas bergairah untuk terus menyentuh tubuh Sarinah.
"Buatlah aku tidak bisa melupakan malam ini, Sarinah."
"Saya akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Anda, Tuan."
Pergumulan keduanya di atas ranjang kemudian kian memanas, yang satu menjadi penyerang handal sementara yang lainnya menikmati permainan sambil berusaha melakukannya dengan baik agar sang Tuan mencapai puncak kenikmatan yang maksimal.
...****************...
"Apa kau bisa berjalan? Katakan dengan jujur karena aku harus membawamu ke suatu tempat," tanya Tuan De Haas, pukul delapan pagi setelah dia selesai memakan sarapannya kepada Sarinah yang baru saja selesai mandi.
"Saya merasa sedikit nyeri, Tuan. Tapi saya tidak apa-apa," jawab Sarinah dibubuhi seulas senyum.
Sebenarnya bukan sedikit nyeri, tapi nyeri yang luar biasa. Namun beruntung, Tuan De Haas tidak membuang bungkusan obat herbal yang dibawa oleh Sarinah dari rumahnya semalam sehingga ia bisa cepat meminumnya untuk meredam rasa sakit yang menjalari tubuhnya.
Tuminah sang Ibu memang sudah menyiapkan obat-obatan herbal untuk Sarinah yang ia racik sendiri untuk meredakan nyeri. Beliau tahu, malam pertama tentu saja akan sangat menyakitkan untuk putri semata wayangnya itu.
Tuan De Haas mengangguk, tersenyum tipis merasa lega. "kalau begitu segera sarapan dan rapikan rambutmu, aku sudah menaruh sarapan untukmu di kamar. aku tunggu di mobil ya."
Bagaimana Sarinah tidak merasa takjub? Tiba-tiba ada seorang Tuan Belanda memperlakukan dirinya yang merupakan seorang pribumi dengan begitu baik bahkan mau mengambilkan makanan serta menunggunya, keajaiban luar biasa apa ini?
Tidak mau membuat sang Tuan menunggu lebih lama, buru-buru Sarinah menghabiskan sarapannya yang sama sekali ia tak tahu apa namanya itu.
Dengan cekatan Sarinah menyisir rambut panjangnya yang masih basah, membiarkannya tergerai begitu saja.
Dengan langkah terburu, Sarinah menuju dapur bermaksud untuk mencuci piring yang habis ia gunakan dan mengembalikannya.
"Sedang apa kau?" tanya salah seorang babu yang memergoki Sarinah hendak mencuci piring.
"Hendak mencuci piring," jawab si gadis dengan polos.
"Letakkan saja piringnya di situ. Kami semua bisa mati kalau ketahuan oleh Tuan membiarkan kau melakukan pekerjaan rumah," kata wanita yang lebih tua, mengambil alih piring di tangan Sarinah.
Sarinah memandang bingung wanita yang sedang mencuci piring darinya. Kenapa dia tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan rumah?
"Memangnya kenapa?"
"Hah... Kau ini, itu semua karena Tuan sangat menyukaimu, lagi pula kami semua tahu kalau Tuan membeli dirimu dengan harga yang sangat mahal," jelas sang wanita sambil mengelap piring yang baru saja ia cuci.
"Omong-omong, namaku Iyem. Siapa namamu?"
"Namaku Sarinah."
"Kalau begitu lekas pergilah temui Tuan, dia baru saja masuk ke dalam mobil," titah Iyem sambil mengayunkan tangannya, memberi isyarat pada Sarinah untuk segera pergi.
"Terima kasih, Bibi Iyem," ucap Sarinah santun lantas berbalik menuju pekarangan rumah tempat Tuan De Haas sudah menunggunya.
Sepasang telapak kaki kasar milik Sarinah melangkah ragu, tetapi akhirnya tetap berhasil tiba di depan mobil Dodge Model 30 milik Tuan De Haas.
Memiliki sebuah mobil dan kereta kuda merupakan salah satu ciri seorang yang kaya raya, terlebih harga mobil pabrikan Eropa yang sangat mahal seperti milik Tuan De Haas ini.
"Apa yang kau tunggu, cepat naik. Kau butuh pakaian dan alas kaki mana mungkin aku membiarkan kau memakai pakaian yang sama setiap hari tanpa di cuci," perintah Tuan De Haas.
Dengan gerakan kaku, Sarinah kemudian naik ke atas mobil Tuan De Haas sambil tersenyum canggung.
"Warna apa yang paling kau sukai?" tanya Tuan De Haas sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Saya suka warna merah jambu, Tuan," jawab Sarinah apa adanya, dia memang sangat suka warna merah jambu.
"Baiklah, kalau begitu sekarang kita akan pergi ke toko pakaian dan membeli banyak pakaian berwarna merah jambu untukmu."
"Apa, Tuan?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!