Siaran Radio Tengah Malam 2

Siaran Radio Tengah Malam 2

Episode 1

Aku terpaku bersama Bang Win, Kang Saija, Kang Utep, Teh Hani, dan Teh Opi, di halaman yang tadinya adalah tempat parkir Radio Rebel. Kami menatap satu sosok yang masih berdiri di dekat puing-puing sisa kebakaran, walau pun tetesan air hujan mulai turun.

Awalnya, kami ke sini untuk mengangkut barang-barang serta berkas yang masih sempat diselamatkan pada saat kebakaran beberapa hari yang lalu, yang rencananya akan ditempatkan sementara di rumah Kang Saija. Namun, kedatangannya yang bisa dibilang mendadak, sontak menghentikan kegiatan kami.

Aku dan Teh Opi hampir melangkah dan bermaksud menghampiri sosok tersebut untuk memberikan payung, agar tubuhnya tidak semakin basah terkena busur hujan yang semakin menderas.

"Jangan diganggu. Teh Rebel lagi butuh waktu sendiri," larang Kang Saija lirih.

Perkataannya membuat kami kembali terdiam di tempat. Hampir lima menit berlalu, saat Teh Rebel menghampiri kami. Raut sedih, kecewa bahkan air matanya yang tertangkap oleh netraku ketika ia pertama kali melihat kondisi Radio Rebel beberapa saat lalu, telah hilang sepenuhnya, seolah tersapu air hujan.

"Assalamualaikum," sapanya riang. Teh Opi buru-buru memayungi perempuan itu dengan payung yang digunakannya.

Tak bisa dipungkiri, kesedihan masih membayangi kami, para penyiar dan karyawan Radio Rebel. Radio Rebel bukan sekedar tempat untuk mencari nafkah, namun juga rumah kedua untuk kami semua. Di Radio Rebel, kami menemukan jika tidak perlu hubungan darah untuk menjadi satu keluarga.

***

"Ngga usah sedih. Saya udah nyiapin lokasi baru untuk Radio Rebel dan akan membutuhkan bantuan dari temen-temen semua. Tower pemancar akan mulai dikirim dalam dua minggu. Masih ada waktu untuk berbenah di tempat yang baru. Yang jelas di sana nanti, pekerjaan temen-temen semua akan bertambah banyak karena kita mulai lagi dari awal," ucap Teh Rebel pada kami semua di sebuah kafe tidak jauh dari Radio Rebel.

Kami saling berpandangan satu sama lain dengan tatapan tidak percaya.

"Beneran, Teh?" tanya Teh Hani pada akhirnya.

Teh Rebel mengangguk. "Sebenernya, udah dari jauh-jauh hari, saya ngerencanain untuk pindah ke tempat baru yang lebih besar. Namun, karena satu dan lain hal, rencana tersebut harus tertunda. Dan sekarang, saya rasa udah saatnya kita pindah."

"Alhamdulillah," ucap semua serentak.

"Tolong kerjasamanya ya? Temen-temen bakal lebih sibuk lagi mulai dari sekarang."

"Teh Rebel ngga sedih?" tanya Teh Hani dengan suara parau. Dari tadi ia mengusap mata berkali-kali saat menatap ke arah puing-puing Radio Rebel.

"Pasti sedih. Seperti yang udah pernah saya bilang, saya memiliki banyak sekali kenangan di tempat itu. Namun, kenangan sejatinya terletak di hati dan di pikiran, bukan di suatu benda atau bangunan. Bangunan itu bisa hangus, menjadi puing, dan rata dengan tanah. Tapi, kerja keras Nday dan kita semua, ada di Radio Rebel. Selama Radio Rebel masih berdiri, di mana pun lokasinya ngga akan jadi masalah."

***

"Sebelum meninggal, Nday tinggal di sini bersama orang tuanya. Setelahnya, mereka menjual bangunan ini dan pindah ke luar kota. Saya ngga bisa cerita banyak, tapi bisa saya bilang, kalau di tempat inilah mimpi kami untuk membuat Radio Rebel berawal. Dan sekarang, karena takdir, kita bisa berdiri di sini. Seperti yang temen-temen lihat, tempat ini butuh untuk dibersihkan."

Setelah pertemuan beberapa hari yang lalu dengan Teh Rebel di depan sisa bangunan Radio Rebel yang sudah menjadi puing, di sinilah aku dan yang lainnya berada, sembari menatap lekat ke arah bangunan yang berjarak sekitar lima ratus meter dari tempatku berdiri.

Bangunan utama yang berada di depan sana, dikelilingi halaman yang sangat luas. Ilalang yang tumbuh tinggi, menandakan jika bangunan ini tidak terawat untuk waktu yang cukup lama. Walaupun tidak terletak di jalan raya utama, bangunan ini berada di sisi jalan besar dan diapit oleh bangunan bergaya serupa.

"Teh, ini mah kaya rumah hantu ya?" bisik Adul. Ia ikut hadir karena ditelepon oleh Kang Utep.

"Sshhh, diem! Jangan mulai," aku memperingatkan.

"Ayo masuk," ajak Teh Rebel. Ia mendorong pagar besi yang sudah berkarat setinggi tiga meter.

Walaupun terlihat banyak ditumbuhi ilalang di halaman, jalan paving block menuju ke bangunan masih cukup rapi dan bebas dari tanaman merambat.

"Jangan jauh-jauh dari aku," bisik Bang Win. ia menggenggam tanganku erat dan sesekali menoleh ke arah samping. Kami berjalan pelan mendekati bangunan utama.

Napasku tercekat karena kagum melihat bangunan yang benar-benar bergaya kolonial. Teras depan yang lebih tinggi dari halaman dan berlantai marmer abu-abu, langit-langit bangunan yang tinggi, jendela-jendela berukuran besar dengan kaca mozaik berwarna, serta pilar penyangga yang terlihat unik, memunculkan kesan klasik, anggun, dan misterius.

"Adul kayanya ngga sanggup kalau siaran tengah malem di sini, Teh. Siang gini aja serem, apalagi malem," lirih Adul. Teh Hani dan Teh Opi yang ikut mendengar perkataan Adul, mengangguk mengiyakan.

Kami semua mulai memasuki bangunan. Ruangan yang sangat luas, terlihat setelah pintu masuk yang tepat berada di tengah-tengah bangunan, dibuka. Walaupun lama sudah tidak ditempati, kondisi di dalam cukup bersih. Hawanya jauh dari kata pengap karena sirkulasi udara yang baik.

Teh Opi dan Teh Hani mencatat apa saja yang diperlukan untuk kantor baru kami, sedangkan Teh Rebel bersama Kang Saija, Bang Win dan Kang Utep sedang berdiskusi tentang pengaturan ruangan serta melihat halaman belakang yang rencananya akan menjadi tempat tower pemancar serta beberapa alat-alat penunjang diletakkan.

"Teteh, hayu sekalian liat-liat?" ajak Adul. "Adul ngga liat yang aneh-aneh kok. Biarpun kaya yang serem, aura di sini adem banget."

Kami mengikuti Teh Hani dan Teh Opi berkeliling. Ada total delapan kamar besar dalam bangunan ini. Ada juga paviliun yang terlihat seperti ruang khusus membaca, karena terdapat bagian tembok berbentuk setengah lingkaran dengan jendela besar berkaca mozaik, sehingga membuat ruangan terang benderang.

"Oh, ini toh tembok yang dari luar keliatan setengah lingkaran," gumam Teh Hani.

"Keren yak?" tanyaku pelan yang dianggukinya.

Kami terus berjalan ke teras belakang, yang tersambung dengan bangunan lain di ujung sana oleh sebuah lorong terbuka beratap dan berlantai semen, dengan halaman berumput di kiri dan kanan. Persis seperti lorong rumah sakit.

"Serius ini? Kamar mandi sama dapur kepisah dari bangunan utama? Ngga praktis ya gaes ya? Kalo kebelet, keburu jebol pas jalan," sahut Adul.

"Udah sih, masih bagus kita dapet tempat baru buat Radio Rebel. Terima aja, gosah protes!" seruku.

"Iya-iya, kan Adul mah cuma bilang doang," balasnya lirih.

Saking asiknya melihat-lihat, tanpa terasa aku dan Adul sudah berjalan menjauh dari Teh Hani dan Teh Opi. Kami sudah berada di halaman samping yang ditumbuhi rumput tinggi.

Duk! Adul hampir saja terjatuh karena tersandung sebuah batu besar.

"Meni banyak batu gede ih, Adul hampir jatuh," serunya sembari memegang kaki.

Aku tidak terlalu mendengarkan perkataan Adul karena fokus pada sesuatu yang hampir membuat Adul tersandung. "Dul, itu kayanya bukan batu deh," ucapku lirih.

Adul yang penasaran, ikut menoleh ke arah pandangan mataku. "Teh Inoxu, itu mah kaya batu nisan ya?" tanya Adul.

Aku hanya diam dan tidak berniat menjawab pertanyaan Adul, walaupun benda yang masih kutatap itu, memang mirip dengan batu nisan.

"Pergi ajalah, yuk?" ajakku sembari membalikkan badan.

"Bentar, Teh. Adul mau mastiin itu nisan beneran atau bukan."

"Udah ish, gosah aneh-aneh! Hayulah balik," ajakku lagi yang tidak didengarkan oleh Adul.

"Jangan main di situ!" sentak sebuah suara serak yang terdengar penuh tekanan.

Mataku melihat berkeliling dan menemukan sosok pria tua sedang menatap tajam pada kami. Tubuhnya yang sangat tinggi membuatku bisa mengambil kesimpulan jika sosok yang kulihat bukanlah manusia.

"Bang Win," teriakku keras seraya berbalik lari dan meninggalkan Adul. Adul yang juga terkejut, ikut berlari mengejarku hingga akhirnya dia berhenti mendadak.

"Teh, tolong! Kaki Adul dipegang! Tangannya megang kaki Adul!" teriaknya.

Aku berbalik menatap Adul dan melihat sosok pria tua itu masih berada di tempatnya. Kengerian sontak menyelimuti hatiku saat membayangkan tangan pria tua itu memanjang dan menyentuh kaki Adul.

"Hiyaaaaa! Tolong! Tolong," teriak Adul semakin histeris di tempat.

Dengan berjalan mundur, aku menjauhi Adul dan bermaksud untuk kembali berlari ketika pria tua itu terlihat melompat, dan aku menyadari jika sebelumnya, sosok tersebut berdiri di atas sebuah batu besar yang tertutup rumput ilalang. Dengan cepat, ia menghampiri Adul, lalu membungkuk.

"Pak Obi? Ada apa?" Suara Teh Rebel dari belakang membuatku menoleh dan seketika berlari mendekati Bang Win yang juga ada di sana.

"Ini Neng Bel, si Aa ini teriak-teriak karena katanya ada yang megang kakinya. Pas saya liat, ngga taunya ular," jawab pria yang dipanggil Pak Obi tersebut seraya menunjukkan sebuah ular kecil di tangannya. Adul yang melihat itu sontak bergidik dan berlari ke arah kami.

"Ini tadi pada main di sebelah sana. Makanya Bapak larang, soalnya banyak ular. Eh malah pada lari ketakutan," Pak Obi terkekeh.

Teh Rebel nyengir dan memperkenalkan Pak Obi pada kami semua. "Ini Pak Obi, yang biasa bersih-bersih bangunan. Untuk ke depannya, ia akan tinggal di sini dan membantu mengurus serta menjaga Radio Rebel. Kalau ada perlu apa-apa, bisa minta tolong ke Pak Obi ya?"

Pak Obi tersenyum sesudah melepaskan ular yang tadi ia pegang. Setelah menemani kami kembali berkeliling selama beberapa saat, beliau mengantar kami kembali ke depan karena sudah waktunya pulang.

"Bapak itu tinggal di sini?" tanya Teh Opi saat kami berjalan ke arah pintu gerbang.

"Kayanya. Emang kenapa, Teh?" tanyaku balik.

"Bisa-bisanya tinggal di rumah yang kaya gini. Masa iya ngga takut ya?" lanjutnya berbisik.

"Jangan-jangan Pak Obi pawang setan," timpal Adul yang membuat Teh Opi melotot ke arahnya.

Kami lanjut berjalan saat rasa penasaran menghampiri. Dengan perlahan, aku menoleh dan terkejut sendiri karena tidak menemukan sosok Pak Obi, yang baru beberapa saat lalu melepas kepergian kami.

Terpopuler

Comments

septiang

septiang

akhirnya pindah kesini teh regina masih inget saya?

2023-04-27

0

yamink oi

yamink oi

up

2023-02-20

2

Olla Romlah

Olla Romlah

adul mah gitu bikin ulah mulu ga tempat lama ga di tempat baru sama aj🤦tp gara"adul aku jadi terhibur😃😃

2023-01-15

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!