Episode 8

"Yes! Siaran juga akhirnya! Hore! Hore!"

Aku melirik ke arah Adul yang sedang berjalan di sisiku. "Berisik!"

"Biarin ish Teteh. Meni ngga suka banget kalau liat Adul seneng," balasnya menyebalkan. "Eh, Teh. Kangen siomay Mang Udin, ya Teh?"

"Biasa aja. Kamu kali yang kangen, 'kan di Mang Udin bisa Senin-Kamis," ucapku tertawa.

Adul hanya melipat tangannya di dada dan melihatku sinis.

"Xu! Sini cepetan jalannya!" panggil Gia di teras. Merasa ada yang penting, aku setengah berlari menghampiri.

"Ada apaan sih Teh Gia?" tanya Adul.

"Diem! Aku teh ngga mau ngomong sama tukang tepok jidat temen sendiri ya!" kata Gia sinis.

"Ish Teh Gia mah, dibilangin Adul spontan nepok jidat Teteh. Ngga maksud nyakitin," jelas Adul. "Meni dari kemaren sinis terus sama Adul."

"Sini! Gantian aku tepokin tuh jidat, biar tau rasanya gimana," balas Gia.

Adul mendekat dan menyodorkan keningnya sebelum mengaduh keras karena balasan Gia atas apa yang dilakukannya tempo hari.

"Sakit ...." lirih Adul memegang keningnya.

Aku tertawa melihat mereka, lalu beralih menatap Gia. "Ada apaan?"

"Kita ngga bisa pakai sambungan telepon buat siaran perdana kali ini," ucapnya.

"Kenapa?"

"Nomor telepon yang jadi nomor Whatsapp Kisah Tengah Malam lupa diisi pulsa, jadi kena blokir. Besok mau aku urus sekalian pindah ke pasca bayar aja."

Aku mengangguk mengerti. "No problem," sahutku.

"Mau nyeret narasumber dadakan?" Adul bertanya.

"Ya kalau perlu. Banyak yang bisa diseret tuh. Ada Pak Obi, ada pedagang di depan sana. Pancing aja dikit pake cerita horor, pasti ngalir deh."

"Wih, topcer si Xu! Boleh-boleh," Gia mengangguk-angguk. "Ya udah kalo gitu konfirmasi dulu ke narasumber, sambil nunggu Remi dateng. Adul, bantuin aku nyiapin mic sama kursi buat narasumber," tambahnya.

"Siyap!" Adul berjalan masuk ke dalam bersama Gia sedangkan aku duduk di sofa menikmati angin semilir menjelang tengah malam. Dari pintu gerbang, terlihat mobil Bang Win memasuki halaman parkir.

"Udah lama, Yank?" tanyanya duduk di sebelahku. "Aku abis ketemu Kang Saija. Katanya, kita perlu nambah penyiar baru, buat ngegantiin tiga penyiar yang ngundurin diri."

"Emang siapa yang ngundurin diri?" tanyaku menatapnya.

"Yang kesurupan. Dari cerita Opi pas mereka ngasi surat pengunduran diri, ketiganya shock dan ngga mau kerja di sini lagi."

Aku mengangguk mengerti.

"Pulangnya mau makan jagung bakar ngga?" tanyanya lirih dan menatap ke arah lain.

Aku hampir tertawa lepas ketika menyadari maksudnya. "To the point aja deh! Pake alesan jagung bakar. Iya yank, mau! Baju item? Amaaan!" balasku yang membuat telinganya seketika memerah.

***

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat bertemu kembali dengan saya, Inoxu dan—."

"Adul," sahut Adul.

"Dalam program siaran Kisah Tengah Malam setelah lebih dari dua bulan vakum. Seneng banget rasanya bisa kembali mengudara dan menemani istirahat malam para pendengar semua. Kali ini, dari studio dua kantor baru Radio Rebel Bandung 12,08FM, kami akan menyajikan kisah dari para narasumber, baik secara langsung, lewat sambungan telepon atau membacakan kisah mereka yang sudah dikirim melalui email. Namun sebelumnya, satu lagu permintaan Noor dari Firzha dengan Tentang Rindu, salamnya untuk suamiku, semoga lebaran tahun depan pulang ke rumah dengan selamat dan sehat, akan saya putarkan sebagai pembuka kisah. Stay tuned terus dan jangan ke mana-mana."

Aku mematikan mic dan menatap ke arah Pak Obi yang akan menjadi narasumber malam hari ini. Sebelum siaran, Pak Obi dengan ramah menyanggupi permintaan kami untuk menjadi narasumber.

Ketika lagu yang diputar hampir berakhir, Adul bersiap-siap kembali di depan mic, menunggu aba-aba dari Remi.

"Itulah tadi Firzha dengan Tentang Rindu. Nyes banget 'kan lagunya? Buat para pejuang LDR, semangat ya gaes ya! Di samping Adul sekarang udah ada narasumber kita nih. Beliau adalah anggota keluarga baru di Radio Rebel. Beliau adalah penasehat senior yang tugasnya menjaga ketentraman dan kenyamanan di kantor baru Radio Rebel. Assalamualaikum, Pak Obi," kata Adul.

"Waalaikumusalam, Nak Adul."

"Pak Obi, sebelum Pak Obi bergabung di Radio Rebel, dulu kerja di mana?" tanya Adul.

"Bapak ini pensiunan kepala stasiun sebuah stasiun kereta api kecil di suatu daerah di Jawa Barat."

"Wih keren! Pernah ada kejadian yang ngga bisa bapak lupain ngga, sewaktu jadi kepala stasiun?" tanya Adul lagi.

"Ada satu cerita yang sampai sekarang ngga bisa Bapak lupain, Nak Adul. Cerita tentang salah satu masinis muda yang memulai karirnya dengan memimpin rute perjalanan kereta api dari stasiun yang Bapak pimpin.

Kerena stasiun kecil, rute yang dimiliki juga tidak banyak. Pada saat itu, masinis muda ini memegang satu rute yang tujuannya ke stasiun kota.

Pada suatu malam selepas dinas, masinis ini menemui Bapak dengan wajah yang kusut. Di hari itu, perjalanan kereta terlambat lumayan lama karena suatu insiden."

"Insiden apa Pak?" aku bertanya penasaran.

"Ada yang bu*nuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta, Neng Inoxu."

"Innalillahi wa innailaihirojiun," ucapku dan Adul kompak.

"Untuk masinis muda itu, ini adalah pengalamannya pertama kali. Bapak bisa membayangkan bagaimana shocknya. Bapak menyemangatinya semampu Bapak dan berkata jika itu sudah menjadi garis takdir. Untuk seorang masinis, mungkin kejadian ini akan berulang di kemudian hari. Itu kenapa, alangkah baiknya setiap akan bekerja, kita berdoa dan memohon untuk diberi kelancaran serta keselamatan.

Setelah kejadian tersebut, masinis itu bekerja seperti biasa. Bapak pikir, kondisi mentalnya sudah membaik seperti sedia kala. Namun, Bapak salah besar. Masinis itu diam dan menyimpan semua ketakutannya sendiri, hingga sampai di satu titik, dia udah ngga bisa menahan itu semua, lalu kembali menemui Bapak untuk mengundurkan diri.

Dari ceritanya, semenjak insiden tersebut, sosok yang bu*nuh diri itu selalu hadir mengikuti. Yang paling parah, saat masinis tersebut melihat sosok itu di kamar mess tempatnya beristirahat. Satu hal yang Bapak tangkap dari ceritanya, ada sesuatu yang luput dari pengamatan Bapak.

Dengan pelan Bapak meminta masinis itu untuk kembali bercerita dengan jujur, tentang apa yang sudah terjadi. Lumayan lama Bapak menunggu, sampai akhirnya ia bercerita jika setelah kejadian tersebut, ia menemukan potongan jari yang tersangkut di lokomotif, dengan sebuah cincin tersemat. Karena ia pikir tidak akan terjadi apa-apa. Diambil-lah cincin tersebut dan dibuangnya kembali potongan jari itu ke bawah kereta."

"Astagfirullah!" seruku.

Sejak itulah, sosok yang bu*nuh diri itu selalu menampakkan diri di hadapan masinis tersebut," sambung Pak Obi.

"Teris gimana, Pak?" tanya Adul.

"Bapak minta dia untuk mengembalikannya ke pihak keluarga korban. Alhamdulillah, setelah itu, dia berkata ngga pernah lagi mendapat gangguan."

"Wih, ngeri banget ya, Pak? Adul ngga bisa bayangin kondisi dan seberapa banyak korban yang udah kena tabrak kerata api."

"Banyak, Nak Adul. Beberapa karena human error, dan beberapa karena niat mengha*bisi diri sendiri. Tapi mau apapun itu, semua sudah digariskan dalam jalan takdir.

"Bener banget Pak Obi, mantap pokonya mah," sambungku tersenyum. "Pak Obi, makasi banget ya udah mau jadi narasumber malam hari ini. Selamat bergabung dengan keluarga besar Radio Rebel, semoga sehat selalu."

"Sama-sama, Neng Inoxu, Nak Adul," jawab Pak Obi sebelum melepas headphone dengan dibantu Gia dan berjalan ke luar studio.

"Ngga terasa udah satu setengah jam saya dan Adul menemani para pendengar semua. Ada satu hal lagi yang akan saya sampaikan sebelum siaran berakhir."

Adul, Gia dan Remi sontak melihatku dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Ada sebuah pesan yang masuk ke email kami beberapa waktu lalu. Pesan dari seorang anak perempuan yang belum sempat meminta maaf kepada ibunya, untuk semua kesalahan yang sudah ia lakukan. Untuk ibunya Narmi, jika anda mendengar ini, saya bisa bilang kalau Narmi sudah menyesali semua kesalahan dan keputusannya kabur dari rumah setelah bertengkar dengan anda. Narmi sangat menyesal, memohon maaf dan memohon ampunan atas semua yang sudah ia lakukan. Maafkan tidak bisa menjadi anak berbakti yang bisa dibanggakan. Maafkan atas semua air mata yang tumpah karena sikap dan perbuatannya."

Ketiga pasang mata di studio ini menatapku heran.

"Sekian yang bisa saya sampaikan. Inoxu, Adul dan tim Kisah Tengah Malam mohon pamit. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Aku mematikan mic dan menyandarkan punggungku.

"Xu! Kenapa sih? Siapa Narmi?" tanya Gia menghampiriku.

Aku menatapnya diam dan wajah Gia berubah kaget setelah mengerti.

"Jangan bilang—."

Tok tok tok! Ketukan di jendela memotong perkataan Gia.

"Duh! Anak itu balik lagi! Perlu Adul hantem kayanya!" seru Adul berdiri. "Dibilangin jangan suka ngeganggu, masih aja keras kepala."

Aku hampir menarik jaketnya dengan maksud agar dia mengurungkan niat, namun gagal. Dengan langkah gagah, Adul menuju ke jendela.

"Dibilangin jangan—."

Ucapan Adul saat membuka jendela terpotong oleh rasa kaget karena melihat sosok di luar sana.

"Kang Adul," sapa sosok setengah badan itu naik turun.

Adul sendiri merosot di bawah jendela untuk menyembunyikan diri, dengan kedua tangannya masih memegang teralis.

"Makasi Teh, udah menyampaikan pesen saya. Walaupun saya ngga tau, ibu saya bakal denger atau ngga. Tapi paling tidak saya udah lega. Makasi banyak," ucap sosok Narmi ke arahku sebelum sepenuhnya menghilang.

Aku menghembuskan napas kasar dan menengok ke arah Gia dan Remi yang bersembunyi di bawah meja. Adul sendiri terlihat menutup mata dalam posisinya.

"Udah pergi, hoi! Cepet tutup jendelanya," seruku. Gia dan Remi keluar dari bawah meja dan berjalan menghampiri.

Sedangkan Adul, ia membuka mata lalu menatapku lekat. "Itu yang namanya Narmi?" tanyanya.

"Iyah, kenapa? Kata dia, kamu si ceking centil yang suka nyuekin," jawabku.

"Teh Inoxu lupa? Dia sosok yang sama yang di kantor lama Radio Rebel. Temen si Kunthi pake T-H!"

Aku terbelalak. "Serius, Dul?" tanyaku.

"Serius! Dia suka ke sini emang. Makanya Adul cuekin, eh malah Teteh ladenin."

"Biarin-lah. Udah kejadian ini. Dia-nya juga udah pergi, mudah-mudahan karena pesennya udah nyampe, dia ngga balik lagi," ucapku pasrah.

"Hayu ah pulang," ajak Remi menyenggol lenganku. "Penghuni baru dan penghuni lama bersatu mah kita bisa abis."

"Iya hayu," balasku memasukkan ponsel ke saku celana. "Hayu, Dul!"

"Tenang aja sih kenapa. Udah pergi si Narmi-nya juga. Tau gitu dari awal-awal Adul bantuin buat nyampein pesennya," sahut Adul masih dalam posisi berjongkok di bawah jendela dengan tangan memegang teralis.

"Adul bilang juga apa. Ngga perlu takut sama yang kaya gitu-gitu. Buktinya, mau nyampein pesen aja harus minta tolong manusia. Lemah banget jadi setan," sambungnya.

"Adul! Mulai lagi itu mulut harimau!" tegur Gia yang membuat Adul cengengesan.

Brak!

Tepat ketika Gia selesai bicara, daun jendela yang terbuka menutup dengan kencang sehingga menjepit tangan Adul.

"Hiyaaa!" teriaknya histeris.

Aku, Gia dan Remi yang sudah dari awal menahan rasa takut, sontak kaget dan berlari ke luar studio, meninggalkan Adul yang melolong kesakitan.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

😂😂 Adul mulutnya masih aja sompral.. itu Narmi mo bales bilang
" lemah banget jadi cowok,Dul!" 😋😋

2023-01-11

6

Andini Andana

Andini Andana

oooh... jagung bakar teh kode.. 🙊🙊

2023-01-11

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!