Episode 20

Gia, Remi, serta Adul sedang mengobrol di sofa teras saat aku turun dari mobil dan berjalan menghampiri mereka dengan Bang Win di belakangku.

"Xu!" pekik Gia menegakkan badannya. "Kok siaran sih? Ngga mual-mual emang?"

"Ngga dong," jawabku pendek sembari duduk.

"Yakin aman? Ngga pusing?" tanya Remi.

"Aman, tenang aja," jawabku santai sembari melihat ke arah Adul. Dengan segera aku mengangkat jari telunjuk dan jari tengah ke mataku lalu mengarahkan padanya.

"Ish, mulai bar-bar," lirih Adul membuang muka.

"Tolong bujuk deh, Oxu seharian ini belum makan apa-apa," ucap Bang Win dengan nada putus asa sebelum berpamitan untuk masuk ke dalam.

"Xu! Harus dipaksa makan! Nanti kesian bayi yang di dalem," sentak Remi.

"Iya, Teh. Walaupun sedikit-sedikit, pastiin ada makanan yang masuk," tambah Adul.

"Tenang, nanti kalo pengen sesuatu, aku tinggal beli ke depan," balasku menyandarkan punggung. Kami mengobrol selama beberapa saat, ketika tiba-tiba perutku berbunyi cukup kencang.

"Teteh laper? Mau makan baso?" tanya Adul.

Aku menggeleng.

"Mie ayam?" tanya Gia.

Aku kembali menggeleng.

"Siomay?" tanya Remi.

Aku masih menggeleng. "Ish, lagi ngga pengen apa-apaan. Pengen diem aja," sahutku menutup mata.

"Lotek mau? Karedok? Rujak? Atau mau mangga tetangga curian?" tanya Gia lagi yang membuatku sontak membuka mata.

"Hih! Kriminal banget kamu mah! Masa masih di dalem perut dikasih makan ngga halal," sahutku sewot.

"Yakali! Kan katanya ibu hamil ngidamnya aneh-aneh," lanjut Gia.

"Ngga aku mah. Santai aja kok, cuma bawaan sekarang sering ngantuk. Bentar-bentar pengen rebahan."

"Ya udah tiduran aja dulu Teh, di ruang Bang Win. Nanti kalo udah deket jam siaran, Adul kasi tau," tawarnya.

"Ngga ah, pengen di sini aja. Adem keangin-angin," ucapku lirih dan kembali menutup mata.

Angin yang berhembus sepoi-sepoi memainkan anak rambut di keningku dan menciptakan sensasi yang menenangkan. Kendaraan di jalan depan sana, mengisi indera pendengaranku dengan suara klakson yang sesekali terdengar dan hiruk pikuk penjual serta pembeli serasa menempati ruang kosong di kepala. Itu semua membuatku mengantuk dan terlelap.

Cukup lama aku tertidur, hingga tiba-tiba mendengar suara Gia. "Xu, bangun Xu! Nih, ada martabak nih," ucapnya menepuk pipiku. Setelah membuka mata dan merenggangkan tubuhku sejenak, aku terpaku menatap dua dus di atas meja, berlogo martabak terkenal di kota Bandung yang merupakan favoritku. Satu dus sudah kosong, dan satu dus tersisa setengah.

"Ayo, dimakan. Tuh, udah disisain," suruh Remi yang kurespon dengan gelengan. "Lah, kok ngga mau? Serius ngga mau?" tanyanya lagi.

"Ngga mau, Rem. Aku mau minum aja," jawabku sembari berdiri dan melangkah ke arah pantry, lalu menuangkan air putih dingin dalam gelas, dan menambahkan beberapa es batu. Air yang sangat dingin, bisa kurasakan menuruni kerongkongan dan memberikan rasa dingin yang menyenangkan.

Dengan membawa sisa air di tangan, aku kembali ke teras depan dan cemberut ketika melihat isi dalam dus martabak sudah habis.

"Allahu Akbar! Kenapa?" tanya Remi panik ketika melihat ekspresiku

"Kenapa abis martabaknya ...?" tanyaku lirih. Sumpah, aku juga tidak mengerti kenapa bertingkah terlalu berlebihan seperti ini. Tiba-tiba, aku merasa sedih membayangkan mereka dengan gembira, menghabiskan martabak tanpa kehadiranku.

"Katanya tadi ngga mau?" tanya Gia balik.

"Kan tadi ..., Sekarang mah mau," balasku sembari masih cemberut dan melihat Adul terpana menatapku, dengan potongan martabak terakhir, yang baru saja ia masukkan semua ke mulutnya.

"Euh, Adul. Kena lagi sama si Xu," gumam Gia menatap ke arahnya.

"Dibilangin, sisain dua atau tiga potong," lanjut Remi.

"Huh, heh Inosu abek agih (Duh, Teh Inoxu ngambek lagi)," ucap Adul dengan mulut dipenuhi martabak.

"Kan! Aku bilang juga apa? Orang hamil mah emang gitu. E*dan eling, banyakan e*dannya. Makanya tadi aku suruh pisahin. Adul sih, main embat aja," lanjut Gia.

Adul masih menatap ke arahku dengan takut-takut.

"Ya udah gapapa, abisin aja," seruku kembali bersikap biasa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dalam beberapa detik, aku tertawa melihat Adul yang susah payah kembali mengunyah martabak, sembari terus menatapku seolah takut kumarahi.

"Si Teh Inoxu hamil, apa kesurupan sih? Cepet banget berubahnya," tanya Adul lirih setelah menelan dengan susah payah, martabak dalam mulutnya.

"Ngga tau-lah. Yang jelas jangan cari perkara, aja! Susah mau ngelawan ibu hamil. Yang ada, kita nanti disalahin." Remi menghembuskan napas panjang.

Kami terdiam dengan pikiran masing-masing, ketika sebuah mobil masuk, dengan bunyi klakson berkali-kali.

"Astaga, si dokter kribo!" sahut Adul menatap ke arah halaman parkir. Tidak lama, sosok dokter itu terlihat berjalan mendekati teras.

"Pokoknya saya mau minta ganti rugi sama si Kedul!" sentaknya tanpa basa basi.

"Sembarangan banget ganti nama orang!" ucapku lirih yang membuat dokter Abo menoleh dan mendekatiku.

"Inj juga, Teh Inoxu. Bukannya ngelarang si Kedul ngunciin saya, malah ikutan!" lanjutnya dengan nada tinggi.

"Yakan dokter sendiri yang mau ngerekam penampakan. Giliran ditinggalin, malah ketakutan sendiri! Kan aneh," balasku santai.

Dokter Abo terlihat gusar. "Pokoknya saya minta ganti rugi kamera saya yang rusak! Gara-gara si Kedul kunciin kemarin di ruang yang minim cahaya, kamera saya rusak."

"Heh!" sentakku berdiri yang membuat semua kaget. "Pertama, orang yang dokter panggil Kedul itu namanya Adul. Lengkapnya Muhammad Doulif, jadi panggil sesuai nama karena ngga ada si Kedul di sini.

Kedua, kamera itu rusak karena jatuh kesenggol kaki dokter sendiri waktu ketakutan. Jadi, ngga usah sok iye minta ganti ke sini!"

"Kata siapa kamera saya rusak karena kesenggol saya sendiri?" balasnya lagi.

"Kata setan orang Belanda yang ngga punya kepala ..., Yang sejak malam itu selalu nempel di punggung dokter ...." Aku berkata dengan suara dalam dan lirih, mirip pembawa acara cerita horor. Padahal, aku hanya mengarang saja.

"E-Emang iya ...?" tanyanya seketika dengan suara yang ragu-ragu.

"Woyadong!" sahut Adul tegas yang membuatku sontak menjauh dari dokter Abo. "Masih mau minta ganti rugi? Kalo iya, biar saya suruh itu setan nempel terus di punggung dokter. Biar aja dia nyanyiin dokter lagu bahasa Belanda terus. Siapa tau lama-lama dokter jadi hapal!" lanjut Adul.

Dokter Abo membelalakan matanya dan berbalik pergi tanpa berkata apapun. Kami menatap mobilnya yang berbelok di halaman parkir dan keluar dari Radio Rebel.

"Hayu, ke studio aja. Bentar lagi siaran," ajak Gia menghembuskan napas panjang. Aku sendiri mengambil ponselku di sofa, dan menaruhnya di saku belakang.

"Duluan aja sok. Adul beresin ini dulu, sekalian minum," ucapnya yang kami angguki.

Melewati studio satu, bagian bawah perutku terasa nyeri. Nyerinya menjalar dari depan, dan menembus hingga ke pinggang. Aku mengatur pernapasan beberapa kali, namun sakit itu tidak juga mereda. Berusaha bersikap biasa agar Gia dan Remi tidak panik, aku secepatnya duduk di kursiku dan pura-pura menyibukkan diri memeriksa mic serta headphone.

Bruk!

Botol air mineral menggelinding di lantai saat Adul menjatuhkannya, dan menatap ke arahku dengan raut wajah ketakutan. Firasatku terbukti, ada sesuatu yang tidak beres. Gia dan Remi ikut menatapku tegang, di kursi mereka masing-masing.

"Ada apaan?" tanyaku.

Adul diam tidak menjawab.

"Adul, ada apaan?" tanyaku lagi.

Adul masih diam

"Adul?!" sentakku.

"A-Ada so-sosok perempuan yang waktu i-itu nempel d-di dinding lagi ngelus-ngelus pe-perut Teteh!"

Brak!

Aku menggebrak meja siaran, dan menoleh ke sudut kosong di sisiku, di mana mata Adul menatap. "Kalau kamu berani menyakiti saya dan anak saya lebih jauh, saya bisa membalasnya dengan perbuatan yang nyata. Saya bisa membuatmu kehilangan rumah dalam kobaran api yang sangat besar, tanda jika saya sudah benar-benar marah. Jadi, pergi dan jangan pernah mendekati saya serta anak saya lagi ...." Aku berkata pelan dengan nada mengancam dan menekan.

Selama beberapa detik, suasana terasa mencekam, sebelum Adul terlihat menghembuskan napas panjang dan berwajah lega, sehingga membuatku yakin jika sosok yang dilihatnya di sisiku sudah tidak ada.

"Hayu siaran," ajakku pada mereka bertiga dengan tersenyum lebar.

Terpopuler

Comments

dewi

dewi

bumil keren euy

2023-07-25

2

irva 😍

irva 😍

serem eh,,

2023-01-17

3

Yayu Yuwana

Yayu Yuwana

mana lanjutanny thor seru nii

2023-01-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!