Episode 7

"Oxu," panggil Bang Win dari ambang pintu, saat aku dan yang lainnya sedang bersiap menggelar karpet di halaman. Di depan semua orang, Bang Win memang memanggilku dengan nama. Karena bagaimanapun, di tempat kerja, ia adalah atasanku.

"Kenapa, Bang Win?" tanyaku menghampiri.

"Kamu mau snack apa? Opi mau pesen," tanyanya balik sembari menyodorkan sekaleng kopi dingin.

"Apa aja boleh deh. Aku mah, 'kan pemakan semua."

Bang Win hanya terkekeh dan mengusap kepalaku lembut.

"Ah elah! Malah ngeliat yang bikin baper," keluh Kang Utep yang tiba-tiba lewat sembari membawa speaker dari dalam. "Eh Win, nanti siapa yang jemput pak ustad?"

"Kata Opi, Krisna yang mau jemput sekalian ke sini, bareng sama anak-anak panti asuhan."

"Oke deh kalau gitu," balas Kang Utep. Ia meninggalkan kami menuju ke halaman setelah sebelumnya nyengir dan berkata padaku, "Hati-hati, Jeng Merlin ntar dateng."

Aku hanya memicingkan mata dan mengikuti jejak Kang Utep ke halaman, untuk melanjutkan kegiatanku yang terjeda.

Hari ini, sudah dari pagi kesibukan terjadi di Radio Rebel karena akan diadakan pengajian dalam rangka syukuran menempati kantor baru. Sebuah stage baru saja selesai dibangun, untuk tempat pak ustad duduk. Sedangkan untuk para undangan dari pihak rekanan usaha dan musisi serta selebritis akan duduk di karpet yang digelar di halaman, bersama dengan para anak panti asuhan. Acara dijadwalkan mulai pada pukul empat sore, yang akan diisi dengan pengajian, ceramah singkat dan sholat magrib berjamaah, sebelum ditutup dengan makan malam bersama.

***

"Xu, bantuin di dalem yuk?" ajak Teh Opi memanggilku.

"Tapi ini belum beres, Teh," jawabku menunjuk beberapa gulungan karpet yang akan digelar diatas lapisan terpal.

"Udah, biar dilanjut sama anak cowok aja. Masuk aja yuk, panas di luar."

Aku mengangguk dan mengikuti langkah Teh Opi memuju ke arah mushola, di mana banyak bingkisan tanda terima kasih sudah tertata rapi.

"Lah, ini udah pada beres. Apa yang bisa aku bantu lagi, Teh?" tanyaku heran.

"Nyiapin amplop buat anak-anak," balasnya nyengir dan mengeluarkan sebuah amplop coklat berlogo sebuah bank. "Eh, kamu makan aja dulu deh, Xu. Ambil aja di pantry yak. Teteh mau keluar dulu beli amplop kecil-kecil."

Aku mengangguk. "Iya gampang itu mah."

Sepeninggal Teh Opi, aku berjalan ke arah ruangan Bang Win dan mengetuknya pelan sebelum membuka pintu.

"Yank?" sapanya ketika melihatku.

"Mau makan ngga? Teh Opi nyuruh aku makan, tapi aku mau nawarin kamu dulu," ucapku sembari duduk di depannya.

"Mau," jawabnya nyengir. "Suapin aku, mau ngga?"

"Ya udah kalo gitu, aku sekalian makan juga. Bentar," sambungku bangkit dan keluar menuju pantry.

Saat sedang mengambil piring, aku sempat terkejut melihat bayanganku sendiri pada kaca jendela pantry yang menghadap ke halaman.

"Ish Inoxu! Jadi parno 'kan? Sama bayangan sendiri aja kaget," ucapku monolog.

Aku sudah selesai mengisi piring di tanganku dengan nasi dan juga lauk, ketika kembali melihat bayanganku di kaca jendela. Sesuatu mulai terasa aneh ketika aku menyadari jika bayangan tersebut bukanlah bayanganku. Rambutku panjang mencapai bahu, sedangkan bayangan itu berambut pendek. Dengan perasaan was-was, aku menggelengkan kepalaku pelan.

Deg!

Bayangan itu diam tidak bergerak. Saat melihat ke bagian bawah bayangan itu, jantungku sontak berdebar semakin kencang karena menemukan jika bayangan itu hanya separuh badan.

"Bang Win," panggilku lirih karena tenggorokan yang tercekat. Dengan susah payah, aku berjalan menuju ke arah pintu pantry. Instingku menyuruh untuk segera berlari, tapi entah kenapa, seluruh badanku terasa berat dan kaku.

"Yank?" Bang Win menyongsongku yang baru masuk. Wajahnya terlihat heran karena melihatku gemetaran. Dengan cepat, ia meraih piring yang masih kupegang dan kembali mendekatiku.

"Bayangan. Separo badan. Di pantry," dengan susah payah aku mencoba berbicara. Tanpa sadar, air mata sudah membasahi pipi karena rasa takut yang luar biasa.

Bang Win memeluk erat dan mengusap kepalaku. "Ada aku, ngga usah takut lagi. Ada aku, Yank," ucapnya menenangkan. Selama beberapa saat, aku diam tidak bergerak dalam pelukannya sampai rasa tenang perlahan menghampiri.

"Ada bayangan di kaca jendela. Aku kira itu bayangan aku, ternyata bukan. Udah gitu, bayangannya cuma separo badan," ucapku lancar begitu kami duduk di sofa.

"Udah, ngga usah diterusin. Ngga usah diinget-inget lagi. Kamu sekarang di sini aja sama aku."

"Yang lain gimana? Nanti nyariin aku."

"Biarin aja dulu yang lain. Kamu cukup diem di sini sama aku. Aku ngga mau kamu kenapa-kenapa," balasnya tegas yang seketika membuatku terdiam.

***

"Teh ...."

"Teteh ...."

"Teh ...."

Aku keluar dari ruang kerja Bang Win dan mencari sumber suara. Hatiku mencelos, saat menyadari jika suara tersebut berasal dari pantry.

"Teh."

Seseorang di belakangku memanggil dan membuatku berbalik badan cepat. Terlihat seorang gadis berpakaian lusuh sedang melihat ke arahku.

"Siapa ya?" tanyaku penasaran.

"Saya Narmi."

"Mau cari siapa? Narmi kok bisa ada di sini?" tanyaku heran.

"Ngga nyari siapa-siapa, Teh. Lagi pengen ngobrol sama Teteh aja," jawabnya tersenyum. Ada kesedihan yang bisa aku lihat di wajahnya.

"Sini, duduk," ajakku menarik kursi makan dan mempersilakannya.

"Saya yang tadi Teteh lihat di jendela," ucapnya lirih.

Aku terpana untuk sesaat dan merasa heran sendiri ketika tidak merasa takut sama sekali.

"Kamu kenapa nampakin diri ke saya?" tanyaku penasaran.

"Pengen cerita aja ke Teteh. Temen Teteh yang ceking dan centil itu bisa ngeliat saya, tapi dia nyuekin saya terus."

"Adul?" tanyaku lagi.

Gadis itu mengangguk.

"Emang kamu mau cerita apa?"

"Bukan kisah yang menarik sih, Teh. Cuma, saya pengen aja cerita ke Teteh."

"Sok aja cerita," suruhku. Aku menatap ke arahnya dengan rasa iba. Entah kenapa, perasaanku campur aduk.

"Saya pengen pulang, Teh. Pengen ketemu ibu, pengen minta maaf ... Tapi ngga tau kenapa, ngga pernah bisa."

Aku mengerutkan kening.

"Kata ibu, saya anak yang ngga bisa dikasih tau dan dinasehatin. Bukannya rajin sekolah, saya bisanya cuma main-main ke sana ke sini.

Saya jarang pulang juga karena seringnya berantem sama ibu. Apalagi kalau ketauan abis bolos. Ibu bisa ngomel ngga berhenti-berhenti. Diem di rumah yang ngga bisa ngasih rasa nyaman, buat apa juga kan, Teh?"

Aku mengangguk pelan. "Padahal kamu sendiri yang bikin keadaan rumah ngga nyaman. Apa susahnya nurut sih?"

"Waktu itu saya lagi seneng-senengnya main sama temen-temen, Teh. Sampai akhirnya bolos, dan jarang pulang. Ibu marah banget pas dapet kabar dari guru. Kami berantem hebat banget waktu itu, sebelum saya kabur dari rumah.

Pas kabur, saya tinggal di rumah temen saya. Pindah-pindah aja gitu, ke sana ke mari. Kadang ikut juga sama temen laki-laki nongkrong di jalanan sampai pagi. Luntang lantung pokoknya.

Sampai suatu hari, saya liat ibu saya keliling buat jualan. Sambil jualan, ibu juga bawa-bawa foto saya buat sekalian nyari. Sedih liatnya, ternyata tanpa saya tau, ibu sampai segitunya nyari uang buat saya."

"Nyesel 'kan sekarang?" tanyaku lirih.

"Iya, saya nyesel. Saya nyesel banget ngga nurut sama ibu. Sayangnya mau nyesel kaya gimana juga, udah terlambat. Waktu saya mau pulang ke rumah, saya buru-buru banget karena pengen cepet ketemu ibu. Pengen minta maaf, kalau bisa sujud sekalian di kakinya karena banyaknya kesalahan saya. Tapi terlambat. Di jalan depan sana, saya kena hantam motor dan masuk ke kolong bis sampai kelindes. Jadinya kaya gini."

Napasku tercekat tiba-tiba saat sosok di depanku melayang-layang dengan separuh badan. Ia terbang berputar-putar di sekitar pantry sembari menangis.

"Pengen pulang, pengen minta maaf ke ibu. Pengen bilang ke beliau kalau saya nyesel. Benar-benar nyesel," ucap sosok Narmi masih menangis sebelum perlahan menghilang.

Rasa sedih karena mendengar tangisannya serta rasa takut melihat penampakannya barusan yang hanya separuh badan, membuatku gelisah dan tenggelam dalam perasaan yang tidak bisa kujabarkan.

***

"Yank?"

"Oxu? Yank?"

Suara panggilan dan tepukan ringan di pipi, membuatku terbangun dan berusaha mengingat-ingat di mana aku berada. Bang Win duduk di sebelahku dengan tatapan cemas.

"Kamu mimpi apa? Kok gelisah banget?" tanyanya.

"Mimpi?" aku balik bertanya karena tidak mengerti.

"Iya, kamu tidur lama banget, sampai ngga sempet makan abis dari pantry tadi."

Aku duduk dan berusaha mencerna ucapan Bang Win. Lambat laun, kepingan memori kembali terangkai dalam kepalaku.

"Acaranya udah mulai?" tanyaku menatapnya.

"Bentar lagi mulai. Kamu mau istirahat di sini atau ikut pengajian?"

"Ikut," jawabku cepat.

"Ya udah siap-siap. Aku udah nurunin tas kamu dari mobil."

Aku mengangguk masih dalam posisi duduk dan berusaha mengingat mimpi pertemuanku dengan Narmi barusan.

Terpopuler

Comments

nath_e

nath_e

🙈jadi inget waktu dl Miss K nyolek sy minta cerita😅

2023-01-14

4

Andini Andana

Andini Andana

Adul udh pinter euy skrg, liyat jurig udh ga panik, malah bisa cuek bebek 😁😗😎

2023-01-11

7

Andini Andana

Andini Andana

😂😂 jeng merlin krisnawati

2023-01-11

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!